Kategori
Artikel/Opini Catatan Jumat Hikmah Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Rahasia Perempuan Surabaya Tokoh Topik Penting WRITING. SHARING.

Surabaya : Perempuan, Persaingan, Posisi

Lihat berita tentang bu Khofifah dan bu  Risma belakangan ini, jadi geli sendiri. Dua-duanya tokoh yang punya banyak kiprah di tanah air. Kita tahu bu Khofifah dan bu Risma punya kapabilitas untuk mengelola jabatan publik. Akhir-akhir ini, dengan adanya covid 19 dan berbagai kondisi yang mengiringi (PSBB, rapid test, dlsb); di rumah jadi sibuk berdiskusi. Maklum anak-anak kami terdiri dari lelaki dan perempuan, jadi mereka punya pendapat sendiri-sendiri. Di situlah sebagai orangtua kita harus menjembatani, bila ada yang perlu diluruskan dari pola pikir anak-anak kita.

 

👨‍🦰 Begitulah kalau perempuan memimpin, ya. Pasti ada baper-bapernya. Jadi susah kita. Apa perempuan pada akhirnya gak bisa menduduki jabatan tertentu? Karena pasti perasaannya akan kebawa-bawa?

👱‍♀️Eh, ini gak terkait perempuan atau gender tertentu ya. Margaret Tatcher dan Jacinda Arden juga mampu mengelola kursi Perdana Menteri

👨‍🦰Iya, tapi coba lihat pertikaian ini. Ala emak-emak banget. Ada yang ngamuk-ngamuk, ada yang sindir-sindir

👱‍♀️Karena kali ini permasalahannya kompleks, ya kita gak bisa menilai sekilas.

👨‍🦰Lihat, ya. Beberapa pemimpin yang kebetulan perempuan, bertikai kayak anak kecil

👱‍♀️Memang gak semua perempuan bisa memimpin. Tapi ada lho perempuan yang “tough” banget, dan dia bisa memimpin dengan baik tanpa dicampur perasaan.

Asyik kalau dengar anak-anak berdebat.

Lucu dan mengesankan.

Ciri Khas Perempuan

Perempuan memang punya sumber daya emosi yang besar.

Untuk itulah cocok dengan pekerjaan-pekerjaan pengasuhan : guru, dosen, dokter, perawat, petugas sosial dan sejenisnya. Di zaman ini, banyak perempuan yang semakin terlatih dan pintar sehingga tidak lagi hanya berkutat di pekerjaan pengasuhan. Pekerjaan yang membutuhkan resiko besar seperti tentara dan polisi, juga bisa. Yang membutuhkan tantangan besar seperti pengusaha dan politikus, juga oke. Yang penuh masalah dan rintangan seperti kepala daerah, juga hebat.

Masalahnya : jangan bandingkan perempuan dan lelaki dalam perilaku.

Wong cara berpikirnya beda, anatomi tubuhnya beda, anatomi otaknya beda. Jadi perilakunya pun beda ( baca : Kitab Cinta & Patah Hati; juga Seksologi Pernikahan Islami, hehe).

Termasuk dalam pola kepemimpinan, pasti juga beda.

Bukan cuma bu Khofifah dan bu Risma lho, kalau berseteru model emak-emak.  Ada perempuan-perempuan di posisi jabatan tertentu sangat terlihat ciri khas keperempuanannya. Semisal, ketika bersaing dengan rekan kerja yang sama-sama perempuan, tidak berani bersikap fair. Perempuan suka merasa nggak enak hati, malu berterus terang, dan enggan konfrontasi secara frontal.

Beda dengan laki-laki yang bisa main gebrak, main labrak, hantam kromo. Berkelahi terang-terangan, tapi segera baik kembali kalau masalah selesai.

Perempuan?

Tentu beda. Memendam perasaan tak enak, susah mengungkapkan.

Kalau usia anak sekolah SD- SMA, tentu masalahnya tak rumit-rumit amat. Paling masalah persaingan akademis, persaingan cinta, persaingan perhatian guru. Semakin dewasa dan banyak tanggung jawab, tentu banyak pula yang dipertimbangkan.

Misal, seorang atasan perempuan. Ia akan mempertimbangkan anak buahnya, kadang sampai hal yang sekecil-kecilnya. Rumahnya di mana? Transportasinyanya bagaimana? Cukup gak penghasilannya? Nyaman gak dia di tempat kerja? Gimana kalau dia hamil dan sakit? Ciri pengasuhan perempuan tetap menempel di manapun ia berada. Ciri seorang istri, ciri seorang ibu. Karenanya, kadang atasan perempuan lebih cerewet dari atasan lelaki. Karena ciri pengasuhannya memang tampak sekali.

Ia akan memikirkan hal-hal sepele yang bagi atasan lelaki kayaknya gak banget deh. Misal, ada atasan perempuan saat rapat memikirkan menu makan rapatnya apa? Saat family gathering, apa saja menu yang dihidangkan untuk keluarga para bawahannya? Atasan lelaki tentu gak seperti itu. Tinggal nyewa gedung, hotel, plus menu makanan. Beres deh. Mau enak gak enak, yang penting bayar. Selesai.

Bu Khofifah emak yang mau mengayomi se Jawa Timur. Bu Risma emak yang mau mengayomi Surabaya. Waktu masalah mobil PCR, kelihatan kan ciri khas perempuannya?

Perempuan : Maksimal Level Berapa?

Kalau perempuan selalu punya ciri pengasuhan kayak gitu, bisa gak sih sampai level tinggi?

Misalnya orang nomer 1 di perusahaan. Orang nomer 1 di kementrian. Atau orang nomer 1 sebagai kepala daerah, atau kepala negara? Wah, pernyataan itu bisa mengundang polemik yang panjang. Tapi, saya lebih mau ngebahas ke pendekatan psikologi ya. Karena emang tahunya basic ilmu psikologi.

Kepribadian atau personality sangat berpengaruh pada pola pikir dan perilaku seseorang (baca lagi deh Seksologi Pernikahan Islami dan Kitab Cinta Patah Hati 😊). Personality ini panjang banget prosesnya. Intinya, gak ada lho orang yang tahu-tahu lahir jadi pemimpin. Baik lelaki or perempuan.

Ada perempuan yang awalnya gak bagus jadi pemimpin karena sedikit-sedikit baper. Lalu dia mau dikasih kritik, dikasih saran. Dia mau berkembang dan belajar. Nah, dia akan bisa terus melaju mencapai posisi tinggi. Tapi, proses dia mau “mendengarkan saran” itu juga perlu kedewasaan. Dan kadang kedewasaan itu juga bersumber dari personality.

Ada orang yang sepanjang hidupnya gak bisa dewasa. Sampai usia 30, 40, 50 tetap aja kayak anak-anak. Mau lelaki atau perempuan kalau kayak gini emang bikin senewen. Kalau perempuan masih kekanakan di usia dewasa, ya ia akan rewel. Gak peduli apapun posisinya. Kalau lelaki masih kekanakan di usia dewasa, ia akan adiksi sama perhatian. Eeeh, berarti sama-sama adiksi dong : adiksi perhatian. Cuma modelnya beda.

Perempuan yang hamil, punya anak banyak, kalau dia dewasa dan memiliki personality yang matang; dia akan siap menerima beban berat. Jadi pemimpin perusahaan,  kepala kantor, kepala daerah , kepala departemen, dst. Meski dia lagi repot dengan kondisi dirinya yang hamil, yang rempong sama anak dan suami; dia bisa me-manage masalahnya sendiri. Me-manage emosinya sendiri sehingga nggak merembet ke mana-mana.

Tapi perempuan meski anaknya cuma 1, atau bahkan memilih single karena ingin fokus karir, kalau nggak dewasa ya gak akan siap menerima amanah apapun.

So, kalau saya melihat bu Khofifah dan bu Risma, bukan sekedar : ah, emak-enak, baperan! Gak bisa mimpin daerah. Perempuan gak bagus kalau pegang jabatan tinggi! Enggak bisa se-simple itu. Kalau ada konflik, semua pihak pasti akan bersiaga dan waspada. Memanas. Sampai klimaks.

Masalahnya, kita emang belum pernah punya Gubernur dan Walikota perempuan bersamaan. Periode lalu, pakde Karwo yang jadi gubernur Jawa Timur. Jadi kalau konflik antara perempuan – lelaki, kayaknya bakal ada yang ngalah. Bakal ada yang adem. Tapi karena konflik kali ini antar perempuan, mungkin sensitifitasnya meningkat.

Sebagai perempuan saya ngerti kenapa bu Risma ngamuk-ngamuk pas taman Bungkul rusak berantakan. Lha, emak-emak kalau habis ngepel dan anaknya nginjak dengan kaki kotor aja bisa ngamuk! Perihal mobil PCR kelihatan banget kalau pola komunikasi perempuan yang seringkali by symbol dan berharap orang lain memahami, terjadi. Masalahnya, pola komunikasi perempuan di jajaran atas itu akan jadi tontonan nggak enak kalau dikonsumsi anak-anak bangsa dari berbagai latar belakang usia dan status. Semoga ibu-ibu kita tercinta itu segera berkomunikasi dengan baik lalu cari titik temu, ya.

Bagaimana pendapat anda?

Kategori
Hikmah mother's corner Oase Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Politik yang Bergairah

 

“Mama kamu nyoblos apa?”

“Partai V. Kalau Mama kamu?”

“Aku X. Kok gak sama ya?”

Kami ibu-ibu senyum-senyum dengar percakapan anak-anak kecil di sekolah. Anak-anak itu boleh jadi diajak bunda mereka ke bilik suara, melihat tata cara mencoblos dan terjadi diskusi tersebut. Mereka masih kecil-kecil, kadang masih nangis ngosek kalau nggak dituruti jajan. Tapi pemikiran dan diskusi anak sekarang sangat variatif.

Politik, memang selalu menimbulkan polemik. Pro kontra. Serang sana sini. Hasut sana sini. Kalau membayangkan pertarungan politik 2019, lelah rasanya. Tapi politik juga membawa kehidupan yang lebih bergairah dari waktu-waktu sebelumnya.

Masak sih?

Iyalah.

Waktu saya SMP, SMA, apalagi SD; mana pernah ayah sama ibu saya ngomong bab politik. Saya juga nggak tau pilihan politik mereka berdua. Hanya pernah dengar selentingan kalau pegawai negeri harus ada pilihan wajib. Partai saat itu hanya 3 : Golkar, PPP dan PDI. Seingat saya, waktu kecil bahkan menjelang remaja sampai kuliah; gak ada ketertarikan blas buat ngomong politik.

Sekarang beda.

Bicara politik, bahas politik, bukan hanya sekedar di ruang public atau medsos belaka. Tetapi di ruang rumah kami. Di kamar tidur. Di ruang makan, ruang tamu. Kadang-kadang melihat anak-anak saya berdebat dengan argumentasi mereka, lucu aja. Bahasa-bahasa kelas ‘tinggi’ yang dulu saya nggak nyampe, sekarang biasa diperbincangkan anak-anak kita : pemilihan, hoaks, legislative, melanggar hukum, partai politik, pemilu, posisi strategis, dsb.

Bahkan bagi anak-anak yang belum paham betul pilihan politik yang bijak dan baik itu seperti apa, sudah melontarkan pernyataan politik.

“Ummi, aku ini sudah ikut nyoblos enggak?”

“Ih, aku nggak mau milih ketua kelas kayak dia lagi. Egois banget orangnya!”

“Wah, Ummi! Di koran ada Ilhan Omar. Keren ya, dia!”

Tuh, kan. Padahal usianya belum sampai 17 tahun dan belum dapat KTP.

Saya dulu boro-boro mikir nyoblos. Mikir mana partai yang merepresentasikan suara rakyat, ogah.

Bersyukur banget dengan segala kondisi sekarang, anak-anak dapat dewasa secara alamiah. Memang sih, pasti ada hal-hal buruk yang timbul. Mana ada sih di dunia ini, segala sesuatu disantap tanpa menimbulkan dua sisi mata uang? Politik membuat kehidupan bernegara kadang terpecah belah. Tapi, politik juga membuat hidup lebih bergairah. Anak-anak SD dan SMP mulai mikir : milih ketua kelas macam apa ya, biar kegiatan di kelas bisa berjalan? Bapak ibu juga semakin aktif mengkampanyekan nilai-nilai yang mereka yakini. Ada yang bergabung di komunitas pengajian, paguyuban orangtua, komunitas seni dan segala macam. Semakin banyak berinteraksi, semakin banyak kesempatan berdialog.

Bagi saya ini positif.

Kalau dulu saya taunya sekolah, les, belajar kelompok; anak-anak saya mulai ikut ini itu demi belajar politik yang sesungguhnya.

“Di kampus, aku jadi tim media, Mi. Gak bergengsi sih posisinya. Tapi itu yang aku bisa dan aku bekerja sebaik-baiknya. Eh, karena kerjaku baik, teman-teman selalu suka. Aku sampai diperebutkan sana sini jadi tim sukses, lho.”

“Ilhan Omar dari Somalia keren ya, Mi. Udah punya anak 3, lagi.”

Ilhan Omar memang spektakuler. Perempuan asal Somalia ini pernah tinggal di pengungsian Kenya selama 4 tahun dan hidup dalam kondisi serba sulit.

Ada 2 muslimah yang duduk di kursi Kongres saat ini, satu lagi perempuan keturunan Palestina. Ilhan sendiri terpilih menjadi anggota House of Representative, mewakili distrik 5 negara bagian Minnesota.

 

Perbincangan-perbincangan sepele itu sepertinya tak punya muatan apa-apa. Tapi idola, pusat perhatian anak-anak kita, sekarang dimeriahkan dengan panggung politik. Mereka tidak lagi hanya menjadikan fenomena orang keren dari kalangan artis atau selebritas saja. Tetapi orang-orang dari kancah politik pun bisa jadi orang yang keren banget.

Politik, membawa hidup lebih bergairah!

 

 

( Ilhan Omar, Jawa Pos 7/11/2018 dan 11/11/2018)

 

Kategori
Artikel/Opini da'wahku Dunia Islam Oase Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Ketika Issue Negatif terhadap Ulama Tidak Berpengaruh

 

 

Kampanye hitam dan issue negatif terhadap satu pihak sudah digunakan sejak lama untuk menjatuhkan martabat lawan, dan diharapkan dapat mendongkrak posisi penyerang. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah Saw dianggap sebagai penyihir dan pendusta tetapi semua terbantahkan sebab jejak hidup beliau memang tidak tercerminkan dalam berita bohong yang tersebar. Fitnah terhadap Aisyah ra dalam kisah terkenal haditsul ifki, dihembus demikian kuat, tetap tak dapat menghitamkan jejak ummahatul mukminin shalihat yang terkenal sangat cerdas serta sangat menjaga shaumnya. Muhammad Al Fatih pernah dianggap berambisi pada kekuasaan dan melakukan konspirasi ketika dua saudara laki-laki tiri Al Fatih, Ahmad bin Murad dan Alauddin Ali, meninggal terbunuh. Namun kampanye hitam itu terhapus. Sebab bagaimana mungkin orang dengan watak licik mampu mengorganisasikan pasukan bernyali sekaligus luhur budi? Ketaatan dan kedekatan Al Fatih pada ulama besar di masanya seperti Mollah Ghorani dan Aq Syamsuddin, semakin menghapus berita dusta. Mereka yang dekat dengan ulama, adalah mereka yang tahu batas antara kebenaran dan kebathilan.

syaikh-yusuf-qardhawi-dan-dr-hidayat-nur-wahid
Syaikh Yusuf Qardhawi & Dr. Hidayat Nur Wahid

Dalam surat al Maidah ayat 41 dikabarkan bahwa orang-orang Yahudi gemar sekali percaya pada berita bohong – hoax istilah zaman sekarang. Hoax dengan komponen yang membangkitkan bias negatif memang sangat digemari masyarakat, utamanya karena informasi ini benar-benar memainkan perasaan, keputusan, serta bagaimana proses informasi di jalur mental seseorang berjalan (Lang, Park, et al, 2007)

Apakah kampanye hitam terhadap pihak lawan bermanfaat untuk menjatuhkannya, memperkuat posisi penyerang dan memenangkan pertarungan? Apakah hoax dan bias berita negatif akan mengunci seluruh informasi dan benar-benar membuat orang hanya cenderung ke satu sisi?  Penelitian di lapangan akan memberikan jawaban.

 

Membangun Emosi Negatif

Emosi negatif terhadap kampanye hitam membuat kualitas dan kuantitas seseorang menurun dalam pertimbangan politik, pencarian informasi maupun penambahan pengetahuan politik.

yusuf-qaradhawi-biografi-web-2
Syaikh Yusuf Qardhawi, Dr. Hidayat Nur Wahid, ulama-ulama

Secara garis besar emosi manusia terdiri atas lima hal : marah, takut, jijik, bahagia dan sedih. Tiga emosi negatif yang pertama menjadi bahan penelitian ahli sosial yang mengaitkan dengan issue-issue di media, terutama media sosial. Emosi jijik tersisih, yang tersisa adalah emosi marah serta takut yang memberikan informasi penting. Ternyata respon fisiologis dan kognitif manusia amat sangat berbeda saat merespon takut dan marah.

Rasa takut terhadap issue negatif politik membuat orang terpacu mencari informasi dan belajar politik (Valentino et al, 2008) Tetapi tidak dengan rasa marah. Rasa marah akibat kampanye negatif membuat dampak yang berbeda dari rasa takut. Mereka yang terpicu amarahnya justru akan berbalik dari rasa takut; pada akhirnya enggan belajar politik sebab beranggapan politik adalah hal paling busuk dalam sejarah tatanan manusia. Pertimbangan-pertimbangan terhadap politik menajdi sarkastik, atau malah pragmatis.

Pendek kata, kampanye negatif yang membangkitkan rasa takut akan menjadikan orang lebih berperilaku positif,  dalam hal ini terkait information seeking dan recall. Namun kampanye negatif yang membangkitkan amarah akan menjadikan orang berperilaku negatif baik dalam information seeking maupun recall.

Informasi negatif lebih dapat membangun respon emosional, kognitif dan perilaku dari target sasaran dibanding informasi netral dan positif. Apakah para penyerang bermaksud demikian? Boleh jadi. Berita-berita yang menebarkan kemarahan akan cepat sekali mendapatkan respon masyarakat, dibanding berita yang menebar ketakutan. Masarakat diharap membuat respon cepat yang bedasarkan pertimbangan cognitive heuristic , tanpa sempat mencari informasi yang akurat dalam membangun kerangka berpikir yang menuju ke arah penyelesaian solutif. Ingatkah beberapa hari lalu beredar di media sosial tentang unggahan status seseorang yang ingin membeli al Quran dan kertas di dalamnya dipakai untuk membersihkan tinja? Atau unggahan pihak-pihak yang mengatakan sosok ini bukan ulama, sosok itu adalah penebar makar, dengan bahasa-bahasa yang menmbangkitkan kegusaran. Untungnya, masyarakat Indonesia semakin waspada sehingga melakukan information seeking terlebih dahulu sebelum bertindak.

Kali ini,  masyarakat pun dibuat marah dengan pemberitaan terkait ulama yang mendapatkan perlikau tak pantas di ruang persidangan. Padahal, dalam struktur kaum muslimin, ulama dihormati sedemikian dalam dan luas sebagaimana agama lain menghormati para pemimpin spiritualnya. Masyarakat seperti  artis, pejabat, penguasa terbiasa mendatangi ulama untuk beragam kepentingan. Rakyat kecil dan selebritis umumnya membutuhkan kehadiran ulama sebagai penyejuk hati dalam menghadapi seribu satu persoalan hidup. Pejabat dan penguasa mendatangi ulama untuk fatwanya, untuk dukungan kekuatannya,  untuk penggalangan suara dari ratusan ribu bahkan jutaan santri yang dimiliki para alim ulama.

Kita berhutang budi pada ulama

 

Dampak Kampanye Hitam Terhadap Ulama

Apakah tujuan kampanye hitam dengan menebar issue negatif?

Salah satunya adalah agar masyarakat memiliki ingatan lebih memorable ketika me-recall satu informasi yang pernah masuk dalam ingatan. Ingatan ini betul-betul tajam dan diharapkan dapat membantu di ruang-ruang pemilihan. Menjatuhkan seseorang akan membuat pihak penyerang mendapatkan posisi angin. Ingatan ini membuat masyarakat cenderung ke satu pihak, dengan kecenderungan yang sangat besar. Harapan ini tampaknya berbeda dengan penemuan di lapangan, bila memang kondisi yang terjadi benar-benar jujur tanpa rekayasa.

Kampanye hitam dengan issue negatif justru menurunkan rasa political efficacy, kepercayaan terhadap pemerintah dan secara keseluruhan merusak public mood  (R. Lau et all, 2007). Rakyat semakin resah dan tidak memiliki mood baik terhadap politik, enggan pula mencari informasi yang akurat, pada akhirnya lebih mempercayai berita hoax dibanding percaya pada kebenaran. Bila rakyat lebih percaya pada issue-issue negative –terlebih hoax-, dapat kita bayangkan. Negara adidaya seperti Amerika pun dibuat limbung sebab presidennya, pemerintahannya, rakyatnya saat ini lebih mempercayai issue negatif. Tidak selamanya berita hoax dan issue negatif  menguntungkan pihak penyerang sebab pada akhirnya baik informasi negatif yang menimbulkan rasa takut dan marah akan menghasilkan satu sikap : information seeking dan recall.

 

Ingatan terhadap Ulama

Recall adalah proses memanggil ulang yang sangat penting dalam proses kognitif. Dalam bersikap dan bertindak, manusia seringkali melakukan berlandaskan azas kognitif dengan memanggil ulang informasi yang pernah didapat. Bagaimana orangtua menghadapi anak-anak, dengan memanggil ulang ingatan masa lalu terhadap apa yang pernah dialami sendiri di masa kanak-kanak. Bagaimana menghadapi situasi, dengan memanggil ulang informasi yang membantu mengatasi situasi tersebut.

Recall atau memanggil ulang ingatan terhadap ulama, telah kita miliki bertahun-tahun bahkan puluhan tahun.

Apa skema dalam otak kita terkait ulama?

Mereka yang memiliki pesantren, mengurus anak-anak yatim hingga anak-anak yang paling dibuang masyarakat. Mereka yang memiliki ilmu agama mendalam dan luas, menempuh pendidikan di pusat-pusat studi Islam di seantero tanah Arab, Afrika dan keseluruhan Maghribi. Mereka yang menghabiskan hari-hari dengan mengorbankan seluruh hidup bagi agama. Mereka yang babat alas, mendirikan pesantren mulai dari nol hingga menjadi madrasah besar. Mereka yang bergerak dalam diam, ketika para politisi berorasi di atas mimbar dan pengusaha mempertontonkan kesuksesan. Mereka yang  saat hidupnya dicari untuk dimintai nasehat, mereka yang saat wafatnya ditangisi para pelayat.

Membuat issue negatif terhadap ulama di Indonesia, tidak akan membuat masyarakat me-recall informasi negatif terhadap sosok tersebut. Sebab selama puluhan tahun, informasi yang tertanam di benak adalah keluhuran dan kemuliaan mereka. Memang, ada ulama yang lebih mencintai dunia dan tidak berpihak pada masyarakat yang menderita, namun prosentasenya sangat sedikit. Ribuan alim ulama di negeri ini, mendampingi masyarakat di saat-saat sulit. Memberikan nasehat agar rakyat selalu bersabar dan bukankah nasehat ulama ini sangat bermanfaat bagi posisi penguasa?

Maka, kampanye hitam terhadap ulama, issue-issue negatif yang menyudutkan ulama, berita-berita bohong dan berita yang memicu kemarahan terkait ulama tidak akan mengubah proses recall masyarakat terhadap profesi mulia ini. Sungguh, ulama adalah asset bangsa yang luarbiasa, yang posisinya didapat bukan karena harta atau pangkat, tapi karena ilmu dan kemuliaan.

Bila Ali Sadikin yang spektakuler membangun Jakarta saja begitu menghormati Mohammad Natsir sang ulama, lalu apalah kita yang belum berbuat apa-apa; berani mencaci maki ulama?

 

Sinta Yudisia

Penulis dan Psikolog Klinis

Kategori
Artikel/Opini da'wahku Oase Sejarah Islam WRITING. SHARING.

Bila Pengejek dan Pengolok berbalik menjadi Pendukung

 

Jika anda memakai  jilbab seperti saya di era 90an, pasti pernah  mengalami masa-masa yang spesial ini.

“Kamu mau kayak orang Iran ya?” kata salah  seorang saudara.

“Kamu ikut aliran apa sih?”

Apalagi ketika saya membatasi pergaulan, mengurangi film dan musik, tuduhan semakin berdatangan : “kamu sekarang nggak asyik lagi diajak ngobrol.”

Ketika saya tidak mau diajak bersalaman dengan pakde paklik mereka sontak murka : “memangnya aku ini apamu, Sin? Pakde paklik merasa tersinggung sekali saya tidak mau menyentuh tangan mereka.”

Waktu nikah muda di usia 20-an tahun, lengkaplah sudah stigma cewek berjilbab : “kamu itu dipengaruhi banget ya sama suru ngaji kamu? Kamu nggak mau kerja? Maunya di rumah aja? Hah, mau anak banyak? Ampun deh! Anak dua aja susah setengah mati!”

Berlinang air mata ini. Sakit rasanya. Kalau yang menyudutkan adalah guru-guru sekolah, nggak papa. Kalau yang menyindir dan mengolok-olok teman satu geng, okelah. Kalau yang menjauh adalah klub bahasa Inggris dan klub  pecinta alam, ya sudahlah. Tapi ketika saudara sendiri yang ikut-ikutan menyindir, mengejek, menyudutkan, menuduh macam-macam; jauh di lubuk hati sakitnya tak terkira melebihi goresan yang ditorehkan orang lain.

Saya ingin pakai jilbab karena ingin menjaga kemuliaan diri dan akhirnya menjaga kemuliaan keluarga, tapi mengapa keluarga sendiri juga yang menentang? Dulu, waktu saya pakai celana pendek dan kaos rock n roll, tidak ada yang menegur. Orang pacaran dibiarkan, orang menikah dikomentari. Padahal pacaran dan menikah sama-sama menghabiskan uang. Bedanya yang satu tidak terarah, yang satu terarah.

Tetapi ternyata, apa yang dilakukan atas landasan kebenaran, semakin kokoh dari hari ke hari. Satu demi satu sepupu, paman, bibi, pakde, bude yang menentang akhirnya ikut memakai jilbab. Yang dulu memarahi karena menikah  muda, malah memuji kami. Yang menuduh aliran sesat ketika tengah mendalami agama, ramai-ramai ikut pengajian dalam segala bentuknya. Ada yang ikut tasawuf, ada yang ikut Muhammadiyah, ada yang ikut NU, ada yang lebih suka tabligh. Pendek kata, semua yang menentang saya melakukan kebaikan dulu, pada akhirnya berbalik memuji dan mendukung. Bahkan mengikuti.

 

Kebaikan akan Berkembang

Alam semesta memuai. Kita semua tumbuh dan berkembang. Kejahatan tumbuh berkembang, sebaliknya, kebaikan juga tumbuh dan mekar. Dulu pacaran diam-diam, sekarang bahkan bugil dan berhubungan intim difoto, dishare, di like dan di comment!

Demikian pula kebaikan secara hukum alam, mengikuti aksi reaksi.

Ibaratnya, dimana ada Firaun, disitu ada Musa.

Semakin dahsyat keburukan, semakin dahsyat pula kebaikan mencari celah untuk tumbuh subur. Dulu saya harus menjahit baju sendiri, memakai taplak untuk jilbab. Satu-satuunya model jilbab saat itu hanya model ala qasidah, jilbab dengan topi. Kain jilbabnya tipis dan berbentuk segitiga tipis. Sekarang? Mau cari model busana dan kerudung ala apapun, ada! Harganya tersedia di segala level. Butiknya tersedia di setiap sudut jalan.  Mau pakai celana panjang, rok, gamis, cadar, abaya, baju kurung, baju pesta. Bahkan busana renang berhijabpun, ada. Disaat orang rame-rame memamerkan foto bugil, para muslimah pun tak ketinggalan memamerkan bahwa busana syari demikian modern dan stylish.

 

Panggung pendidikan, panggung sosial dan panggung politik

Apa sih yang laris dijual?

Ih, acara-acara yang menghibur ala dunia entertaintment dong. Pentas musik, film, novel teenlit chicklit, televisi yang menayangkan sinetron. Di zaman saya dulu, jangan coba-coba pakai label Islam. Nggak bakal laku! Yang namanya sekolah Islam dan pesantren, hiiii. Kumuh, pojok, kudisan, terbelakang. Apalagi pesantren. Alamak! Ketombean, kutuan, korengan. Yang mentereng adalah sekolah-skolah internasional dan sekolah non-muslim. Ekonomi dan perbank-an? Wuah, mana ada ekonomi syariah. Mana ada bank syariah. Yang ada adalah pinjaman bunga berbunga. Masih ingat ketika mama saya dulu punya usaha apotik, setengah mati cari pinjaman ke bank. Harus bayar setoran per hari (atau perpekan ya?). Telat sedikit, atau kurang meski seribu perak, di black list.

Sekarang?

Kalau mau daftar sekolah Islam, haus antri daftar November. Padahal tahun ajarannya masih Juli Agustus! Sekolah-sekolah Islam menjamur dan luarbiasa bagusnya. Pesantren? Mau cari yang tradisional atau modern, semua ada. Yang mahal atau murah, silakan, sama bagusnya. Daycare, taman kanak-kanak, SD, SMP SMA Islam wuaahhh, kualitasnya luarbiasa.

EO wedding sampai seminar, pelatihan yang muslim; ada. Sinetron muslim, ada. Novel Islami, ada. Warung, cafe, resto, makanan, minuman, hotel, wisata Islami, ada. Motivator, ada. Yang ceramah agama laris manis sekarang. Ustadz ustadzah adalah pekerjaan bergengsi yang menghasilkan pendapatan layak. Tidak seperti di zaman saya kecil dulu, ustadz itu miskin banget!

Bank-bank syariah menjamur. Senang banget lihat pegawai bank yang cantik-cantik berjilbab; tangkas, cerdas. Hampir di tiap kantor pemerintah atau swasta gemar mengadakan kajian Islam mulai dari belajar tahsin Quran sampai belajar tentang pernikahan dan parenting.

Panggung pendidikan dan sosial kita telah  mulai merasakan indahnya nafas Islam. Islam maju, indah, mampu bersaing dan solutif. Lalu; dunia yang memuai inipun menunjukkan sunnatullah. Hukum alam.

Boleh  kan Islam mulai merambah ke dunia politik?

natsir
Mohammad Natsir

Mulailah kaum muslimin yang semakin cerdas dan sadar akan posisinya; merasakan tanggung jawab sebagai khalifah. Wah, kalau sosial dan ekonomi saja mulai merasakan keteraturan dan keberkahan ketika dikelola oleh kaum muslimin; boleh dong urusan-urusan politik serta kenegaraan diatur juga oleh kaum muslimin. Tidak dengan cara anarkis, membabai buta, main seruduk. Tapi dengan cara yang baik kok. Sebagaimaan di pentas sosial dan pendidikan, kaum muslimin juga belajar banyak menjadi tokoh di bidangnya. Kaum muslimin semakin mahir, semakin cakap mengelola permasalahan dan mencari jalan keluarnya.

Ketika lembaga zakat dan ekonomi Islam berkembang, terasa sekali masyarakat miskin dan yang amat sangat  miskin mendapatkan bantuna. Banyak anak yatim, yatim piatu, keluarga dhuafa yang terbantu ketika sakit, membuka usaha, meneruskan pendidikan.

Ketika kaum muslimah semakin mampu menjaga diri dengan busana syari dan semakin memahami agama; kehidupan di kantor dan dunia kerja semakin lebih kondusif. Masing-masing kita lebih lapang melepas anak perempuan atau istri bekerja (jika harus bekerja).

Pendidikan, ekonomi, sosial; sudah.

Tapi masih ada yang kurang.

Sebab memang pentas politik dikelola oleh orang-orang yang sangat mahir dalam menaklukan segala sesuatu. Politikus haruslah negarawan. Saya masih ingat ucapan seorang tokoh muslim, Dr. Eko Fajar Nurpasetyo, Phd, yang memilih kembali ke Indonesia meskipun ia dan keluarganya dapat hidup makmur di negeri para Shogun. Bisnis potong ayam, potong daging, dan microchipnya telah mendunia Inti ucapan beliau, “seorang negarawan, pemimpin, melihat 20 tahun ke depan. Mempersiapkan situasi dan kondisi bagi generasi sesudahnya.”

Dampak ekonomi Islam dapat dirasakan sekarang. Pendidikan yang baik membuat orangtua tenang dan membantu mempersiapkan masa depan. Kehidupan sosial yang baik membuat masyarakat lebih stabil. Tapi siapa yang dapat menajmin berlangsungnya semua itu? Bisa saja arah kebijakan berbalik arus sehingga ekonomi Islam, pendidikan Islami, dan kehidupan sosial lalu ambruk. Negarala yang menjamin berlangsungnya hal yang baik, atau yang buruk.

Jadi, tak salah kemudian kalau orang-orang sholih mengarahkan pandangan mereka ke pentas politik. Lagipula, kan memang bersaing di negeri sendiri?

 

Semua Perkara Islami Awalnya Mendapat Tantangan

Pernah menyekolahkan anak di SDIT?

Saya menyekolahkan anak-anak di SDIT mulai gedung itu masih bangunan jelek, di tanah sewaan, guru segelintir. SMPIT juga begitu. SMAIT juga begitu. Putri saya sekolah SMAIT dengan jumlah siswa segelintir. Bangunan berhantu, di gang sempit yang ujiannya masih menumpang ke sekolah lain!

Sekarang? SDIT, SMPIT, SMAIT tempat anak saya sekolah hampir selalu menolak murid setiap tahun karena tak cukup lokal. Sekolah Islam menjadi incaran pertama kali!

“Kamu itu ngapain nyekolahin anak di sekolah yang akreditasinya gak jelas? Jangankan diakui atau disamakan, mungkin terdaftar aja belum!”

Kalau sekarang saya diminta mengisi acara parenting, hal yang saya ucapkan adalah : saya bangga menyekolahkan anak-anak saya di sekolah Islam ini. Biar bangunannya jelek, tapi guru-gurunya punya komitmen tinggi dan tahu kemana kualitas pendidikan akan dibawa. Maka anak-anak kami yang bersekolah di SIT insyaallah menjadi anak-anak berkarakter.

Pertentangan, resah gelisah, maju mundur; dialami pada awal berdirinya sebuah institusi. Termasuk lembaga sosial dan perekonomian. Siapa juga yang dulu mau buka tabungan di bank Islam macam Muamalat? Mending di bank lain yang bunga depositonya jelas! Kini bank-bank Islam digemari. Bukan hanya karena semakin maju pelayanannya, rasa tentram dan barakah membuat kaum msulimin senang berinteraksi dengan layanan perbankan Islami.

Politik Islam?

“Kotor! Semua politikus busuk. Semua partai Islam korup, sama aja. Semua anggota dewan menghalalkan segala cara. Ngapain kiai dan ustadz duduk disana? Nggak kompeten. Politik itu tempatnya barang haram, maksiat, terlaknat beredar.”

Ya iyalah. Yang jadi panduan Il Prince nya Machiavelli. Jelas politikusnya kotor seperti klan Medici.

Coba yang dibaca Muqaddimah Ibnu Khaldun, pasti beda. Yang dibaca Siyasah Syariyah  Ibnu Taimiyah, pasti melek. Yang dibaca karya Buya Hamka dan Mohammad Natsir, pasti lebih semangat.

Memang bisa ya politik Islam memimpin negeri? Nggak akan menindas, main anarkis, memaksakan kehendak? Wah, yang bilang Islam selalu menindas berarti gak baca sejarah Indonesia, nih. Suku Batak itu dikepung Aceh dan Melayu sejak lama, aman-aman saja. Bali dihimpit Jawa Timur, Madura, Sasak, Bugis yang kuat sekali sisi religusitasnya; tetap damai sampai sekarang.

Mainlah kapan-kapan ke Surabaya. Kalau lewat daerah Nginden hari-hari tertentu saat misa Kristiani, mobil-mobil memacetkan jalanan sampai kita nyaris kehabisan nafas. Tapi tidak ada kok keluhan atau ancaman supaya gereja menghentikan peribadatan. Kaum muslimin menerima perbedaan keyakinan.

Ini bulan Desember. Pasti anda lihat dong dimana-mana penuh pohon Natal dan para penjaja minimarket pakai topi Sinterklas. Kita kaum muslimin sebetulnya tidak terima lho. Kan muslim mayoritas. Kok dipaksa mengadakan perayaan Natal di seantero negeri sih? Tapi sekali lagi, kaum muslimin tepaselira. Di Bali, sekolah-sekolah Islam mengikuti libur Galungan, Nyepi, Kuningan. Di kalender nasional juga. Tidak ada protes meski sebagian sekolah Islam tetap masuk.

Nah, kalau sekarang kaum muslimin masuk ke ranah politik dalam segala aspeknya, anggap saja itu hukum alam yang memuai. Boleh dong kita duduk sebagai bupati, gubernur, Panglima ABRI, menteri, presiden asalkan itu fair. Lewat pemilihan yang adil. Kalau ada hal-hal yang berjalan tidak adil, selayaknya kaum muslimin protes. Protes bisa lewat media sosial, media massa, jalur resmi, lembaga hukum, lewat anggota legislatif, dan seterusnya. Kalau semua sudah dilakukan dan masih tetap buntu, ya, aksi bersama atau demonstrasi. Eh, demonstrasi itu hal lumrah di negara manapun. Waktu rakyat Amerika tidak menerima Trump menjadi presiden, mereka demo juga. Aksi damai pernah dilakukan Mahathma Gandhi yang mengumandangkan Ahimsa-Satyagraha. Martin Luther King Jr. Juga pernah melakukan  saat menuntut kesetaraan hal sipil.

Aksi demonstrasi Islam dianggap aneh? Ya, sama seperti panggung sosial, pendidikan, ekonomi yang dianggap sebelah mata oleh pemeluknya sendiri (apalagi yang non muslim). Meski, lama-lama kaum muslimin yang menentang, justru merasakan keberkahan panggung-panggung Islami itu dan berbalik mendukung.

Awalnya, saya ragu dengan aksi 411 dan 212 : benar nggak sih ini Islami? Sampai saya datang di acara al Falah 27 November tempo hari dan mendapatkan penjelasan dari Bachtiar Nasir.

Punk muslim, laki-laki, perempuan, anak-anak di acara aksi 

 

Tapi pasti ada kan di kalangan kaum muslimin yang masih ragu, bahkan tidak setuju dan menentang agenda ini? Wajar kok.

Dalam sejarah juga terjadi.Yang menentang kaum muslimin dengan keras salah satunya bangsa Mongolia hingga mereka menghancurkan Baghdad. Tetapi sejak Chagatay, Tuqluq Timur Khan, Anada Khan, Baraka Khan, begitu banyak bangsa Mongolia menjadi muslim. Apa alasannya? Mereka punya pepatah kuno Mongolia. Pepatah yang membuat mereka berbalik memeluk Islam.

Pepatah ini cocok untuk 411 ddan 212.

“Kalau ada suatu hal yang begitu mudah tersebar sebagaimana angin bertiup, perkara itu pastilah perkara kebaikan.”

Bangsa Mongolia yang menaklukan Eropa hingga Asia ternganga : kok ada ya keyakinan yang tersebar demikian luas sebagaimana arah angin bertiup dengan mudah? Logika itu membuat mereka memahami bahwa Islam adalah kebaikan semata.

Masih tidak percaya 411 dan 212 bagaimana angin bertiup membawa kebaikan?

Kalau begitu anda harus nonton film Pay It Forward. Satu anak punya niat baik, akan menyebar ke 3 anak. 3 anak punya niat baik, akan menyebar ke 9 anak. Begitu seterusnya.

Masih belum percaya juga?

Hm, gimana ya. Gini aja.

Pasang iklan termahal untuk radio di Surabaya itu ranking pertama dipegang Suara Surabaya. Wajarlah. Itu radio FM yang kondang banget. Tahu ranking kedua siapa? Ternyata Suara Muslim Surabaya. Lho, kok bisa? Ya. Karena pendengar Suara Muslim Surabaya sangat besar meskipun pasif. Mendengar data ini saya diam-diam merenung. Padahal, Suara Muslim Surabaya itu radio keagamaan lho. Tidak menayangkan K-Pop seperti Seventeen, BTS atau EXID, Black Pink. Tidak menayangkan BMTH, SoAD atau Linking Park. Tapi diam-diam banyak pengagumnya.

Jangan-jangan kita seperti pendengar radio Suara Muslim Surabaya. Pasif, tapi diam-diam mengagumi. Meski kita menghujat, meremehkan, mencaci maki aksi para ulama dan aksi bela Islam; diam-diam ada rasa kagum juga kan? Atau diam-diam mendukung dengan dana dan doa? Kalau nggak bisa mendukung dana dan doa, jangan caci maki para ulama dan aksi bela Islam. Segitu banyak orang lagi berdoa di hari Jumat, lho. Hari keramat. Sayyidul ayyam. Kebayang gak sih kalau kita minta didoakan sama ummat Islam yang segitu banyaknya, di hari Jumat, di tengah aksi memperjuangkan kebenaran? Kalau kita nggak mau mendukung, jangan mencaci maki. Takutnya nih, ribuan doa kaum muslimin yang tangannya menegadah ke langit, mengirimkan doa-doa rahasia bagi pendukung dan pencela.

Kalau malaikat-malaikatNya turun tangan, memangnya masih ada kolong langit yang aman?

 

Sinta Yudisia, Ordinary People

 

Kategori
Catatan Perjalanan Gaza Kami Oase WRITING. SHARING.

Tanpa Surabaya, Indonesia telah menjadi Inggris : Energi Ilahiyah dalam  tabligh akbar Al Falah

 

 

Mata meleleh mendengar lantunan Quran surat al Maidah : 51-58 . Betapa sesungguhnya Allah Swt telah memberi peringatan sejak berabad lampau, tapi kita juga yang tidak memperhatikannya. Penutup acara hari itu diserahkan kepada ustadz Bachtiar Nasir , ketua GNPF MUI.  Apa yang disampaikan beliau benar-benar membuat tersentak.

Berikut adalah rangkuman dari apa yang disampaikan ustadz Bachtiar Nasir . Semoga menjadi perenungan untuk kita.

“Inggris negara sekutu terhebat di Perang Dunia II.  Tetapi oleh Surabaya Inggris,  benar benar dianggap sekutu (seukuran kutu).  Kapolri sesuungguhnya tidak pernah melarang aksi 212. Sore nanti tekanan terhadap kaum muslimin lewat kapolda dan kapolres dicabut. Perusahan organda,  bis-bis boleh menyewakan kendaraan ke Jakarta. Ummat Islam apalagi Surabaya,  semakin ditekan semakin nekat berbahaya. 10.000 orang Ciamis dilarang naik kendaraan maka sejak Senin akan jalan kaki.

Bachtiar Nasir bertanya : kalau gak boleh naik bis ke Jakarta mau naik apa?

Audiens menjawab : motor,  truk, kapal laut, booking pesawat.

Kata beliau, terlalu murah bagi orang Surabaya utk beli tiket
Saya jelaskan mulai yang kasat mata sampai yang menurut pandangan ulama. Demo empat November 3-5 x lipat dari 1998. 212 bisa lebih besar lagi.

Ada sebuah konspirasi jangka panjang. Kenapa ada yang  begitu perkasa di hadapan hukum. Ada pelumpuhan hukum sehingga hukum  tunduk pada pemodal yang menguasai pejabat. Uangnya sebetulnya sedikit. 6 ribuan trilyun uang ummat Islam  ada di Indonesia.

A*** akan dilindungi karena tidak punya niat jahat.
Kalau orang ngomong di muka umum, tidak ngelindur maka ia melakukan dengan sengaja. Kita sedang diadu domba.

Arswendo ditangkap pakai fatwa MUI. Dalam kasus A*** gak bisa pakai  fatwa MUI. Sebetulnya apa yang terjadi sehingga hukum lumpuh?
Gara gara investor politik menempatkan aktor politik untuk memaksakan kehendak. Yang menjadi pemimpin di negara ini adalah orang yang imannya setipis uang kertas.

Ini yang kasat mata.

Indonesia tidk jadi tuan rumah di negeri sendiri. Kedua, penyimpangan tafsir Pancasila dan bhinneka tunggal ika. Bhinneka Tunggal Ika kalau minoritas boleh memimpin yang mayoritas muslim. Saya memberi tahu kepada pemimpin partai. Pemimpin ormas. Anda akan menajdi fossil pemimpin jika tidak bergabung  dengan kekuatan rakyat sekarang. Ada yang memaksakan Al Maidah berjalan sehingga  apa yang terjadi sekarang.

Ingin hukum jahiliyah berlaku. Tidak  ingin Ketuhanan yang Maha Esa.

Mau tuhannya kodok. Tembok. Terserah. Maka pejabat saat ini bertuhan pada pantat dan perut. Pemimpin yang hanya menjaga pantatnya saja alias kursinya saja. Ada yang ingin hukum jahiliyah di Indonesia. Bukan Islam. Mau lesbi, gay, LGBT, transgender gakpapa.

Ketiga, Sila 4 5 sudah tidak ada. Sila Persatuan Indonesia sudah tidak ada. Dibelah menjadi ultra tiongkok dan kapitalis. Tanda-tanda komunisme sudah ada. Indikator sudah kuat. Petinggi negeri banyak yang berpikir: daripada dijajah Amerika mending dijajah Cina. Sebab Amerika 80 : Indonesia 20. Kalau Cina 20 : Indonesia 80. Bohong! Teknologi. SDM,  semua dari  Cina!

Apa yang membuat ini meledak?

Semua bersumber dari siapa yang lebih bagus hukumnya selain hukum Allah? Ada hukum jahiliyah yang ingin ditegakkan, melawan para ulama yang ingin hukum benar- benar ditegakkan.

Presiden datang ke Prabowo. Datang ke SBY. Kira-kira apa hubungannya? Orang mengira ini masalah politik.

Bukan! Ini masalah Al Maidah 51!

Kita ke Jakarta mati belum tentu membela undang- undang masuk surga. Tapi membela Quran insyaallah masuk surga.

Yang terjadi adalah energi Ilahi Al Maidah. Hari ini insyaallah panas menjadi adem. Sebagaimana api diperintahkan menjadi dingin (dalam kasus Nabi Ibrahim as). Semoga panas hari ini menjadi energi jihad. Usai deadlock, saya tidak bisa bertemu presiden. Saya ingin bertemu presiden. Tapi gak tau presiden ada dimana.

Ketika deadlock, tiba-tiba ada mentri marah pada bawahannya. Bertanya,  mengapa tidak terjadi hujan petir (buatan). Jawabnya : Pak mentri, saya sudah 4 kali bolak balik menerbangkan pesawat untuk menaburkan garam, tapi tidak terjadi hujan.

Hari itu harusnya yang mati ribuan. Berdesak desak. Suasana itu lebih lelah dan lebih padat. Kanan pagar gedung. Kiri pagar gedung gedung.
Kemarin 411 ditembaki gas air mata. Harusnya gas air mata di tembak keatas. Israel begitu. Tapi kemarin tidak begitu. Harusnya ditembak ke atas.  Sekali saja. Ini kemarin berkali-kali. Orang-orang  sedang kekurangan oksigen.

Padahal, kalau ada orang nginjak rumput diteriakkan: hati- hati provokasi. Pasukan kebersihan ada 2000 orang. Tidak pernah ada demonstrasi seperti itu. Demonstrasi ini putih. Para pemimpin itu hanya eksis di medsos. Memiliki massa itulah politik sesungguhnya. Anda yang menagakan cacing dan mencacingkan naga, tunggu tanggal mainnya. Mereka mengatakan itu cuma gerakan politik.
Mereka mempersepsikan kita seperti cacing tapi menekan kita seperti naga.

Kalau anda gagal paham anda akan tergilas. Ini aksi damai sebab ini kita cinta damai. Saat itu gas air mata dosis tinggi ditembakkan bertubi-tubi.
Supaya mike tetap di tangan ulama yang berteriak : Bertahan. Duduk. Jangan melawan. Jangan lari.

Dengan izin Allah…

Bagaimana kita menang?

  1. Aksi damai
  2. Melawan dengan bertahan
  3. Pasti menang dengan bersabar

Kalau bukam karena Surabaya, Indonesia sudah jadi negara Inggris.

Jadi tadi pagi saya minta izin pada Habib Riziq untuk  ke Surabaya.
Jangan jadikan Yahudi Nasrani teman dekat  apalagi pemimpin.

Wahai orang-orang kafir, jangan bermimpi memimpin NKRI yang muslim. Natal orang muslim disuruh pakai topi Sinterklas, awas! Kami tidak mau aqidah kami dijajah di negeri sendiri.

Selama ini Islam terpecah belah. Saat ini semuanya bersatu karena energi Al Maidah. Selama ini seminar dll tidak bisa menyatukan.

Bagaimana kaum muslimin dapat menang :

  1. Ummat terikat pada fatwa ulama. Ummat Islam faham Quran sunnah karena ilmu ulama. Setelah Quran, Sunnah, kebawah seterusnya adalah domain para ulama.
  2. Pemimpin kita adalah para ulama. “ulil amri” tafsir pertama adalah ulama, bukan presiden! Siapa yang wajib diataati, didengar, dijaga, didekati, diajak hidup bersama adalah ulama. Kitaharus tunduk pada kepempimpinan habaib, kiai, ulama. Maka jaga juga lembaga ke-ulama-an.”

 

Sinta Yudisia – Ordinary People

Ini adalah catatan sepanjang mengikuti acara. Mungkin saja ada yang terlewat atau ada yang salah. Laporan 27 November 2016 , tabligh akbar bersama GUIB JATIM.

 

Pak polisi yang cantik dan santun

Yang unik : pasukan sampah dan Punk Muslim

 

Kategori
Artikel/Opini Oase Sejarah Islam Tokoh

Najmuddin Ayyub ibnu Shadzi : bila pemimpin dan militer berupaya menegakkan kebenaran

 

 

Siapa tidak ingin tinggal di Indonesia?

Kolam susu, hutan bakau, laut penuh ikan dan mutiara, udara jernih, daratan dipenuhi bahan tambang dan subur makmur. Sudah sejak lama ekspatriat senang tinggal di Bali yang hangat sementara negara-negara mereka berselimut salju tebal. 13.000 pulau tersebar dari Sabang sampai Merauke, masih memungkinkan menampung manusia-manusia tinggal dan hidup beranak pinak.

 

Buat usaha sampai mendirikan sekolah

Adalah John Hardy, pria Kanada yang memulai bisnis perhiasan di Bali sejak 1975. Belakangan ia tertarik membangun sekolah dengan konsep alam. Jadilah John Hardy  dan Cynthia Hardy membeli lahan 4,55 hektar di daerah Badung lalu membangun Green School Bali. Kepala sekolah GSB adalah Leslie Medema, berasal dari South Dakota dan telah tinggal 6 tahun di Bali. GSB saat ini terdiri dari 384 siswa dari 33 negara. Anak-anak Nadya Hutagalung , presenter Asia’s Next Top Model bersekolah disini. Daryl Hananh, Tyra Banks, David Copperfield bahkan Ban Ki Moon berkunjung ke GSB dan mengagumi konsep sekolah yang dikelola oleh sepasang suami istri Hardy. Sekolah lokal, sekolah nasional dan internasional bebas tumbuh berkembang di tanah air.

Masyarakat tionghoa pun telah lama tinggal, berinteraksi dan membangun bisnis di Indonesia.

Sejarawan berbeda pendapat tentang asal usul masuknya Islam di Indonesia. Ada yang percaya Islam disebarkan oleh pedagang dari Gujarat, ada yang mengatakan langsung dari Mekkah, ada yang mengatakan dibawa oleh orang-orang Cina Yunnan yang bermadzhab Hanafi. Raden Fatah yang merupakan raja Demak pertama bernama asli Jin Bun. Sunan Ampel, salah satu tokoh Walisongo bernama asli Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng, seorang tionghoa suku Hui bermadzab Hanafi.

Di era kuno hingga zaman modern, interaksi antara beragam suku bangsa, budaya, agama, telah biasa dilakukan masyarakat Indonesia. Bahkan, dalam hal kedekatan aqidah, Islam di Indonesia memiliki pertalian sejarah dengan India, Arab dan Cina. Tak diragukan lagi sumbangsih Walisongo dan kerajaan Demak bagi perjalanan kaum muslim di Indonesia. Bersamaan dengan itu, tak diragukan lagi ikatan iman dan ukhuwah antara kaum muslimin nusantara dengan saudara-saudara muslim dari Cina.

 

Siapa yang meresahkan?

Kasus pedofilia yang pernah marak di Bali, terselubung layanan pariwisata membuat masyarakat resah. Namun, tidak serta merta pemerintah mem black list semua daftar turis asing untuk berkunjung, membuka usaha, menikah dengan warga setempat, atau membeli properti di Indonesia. Tidak kemudian mengusir John Hardy dan Leslie Medema yang membangun GSB sebab menyadari, pedofilia dilakukan oleh oknum. Tidak semua ekspatriat yang tinggal di Bali atau wilayah Indonesia lainnya berniat jahat.

Issue tentang etnis tertentu yang menguasai ekonomi dan politik, juga tidak membuat masyarakat Indonesia atau pemerintah, serta merta memblokade wilayah-wilayah muamalah. Selama dilakukan oknum, maka bukan ras tertentu atau agama tertentu yang menjadi musuh.

Masjid Cheng Ho yang dikelola PITI di Jawa Timur berujud bangunan klenteng, menjadi saksi bagaimana kaum Tionghoa dan masyarakat setempat berinteraksi dengan baik. Halaman masjid tersebut diperuntukkan pemuda-pemuda yang ingin berolah raga, tak terkecuali dari agama berbeda. SMA negeri, universitas Airlangga, Universitas Kristen Petra; menyelenggarakan aktivitas olahraga di halaman masjid. Saat peletakan batu pertama masjid tersebut di tahun 2001; tokoh-tokoh Tionghoa hadir , dari agama dan latar belakang berbeda. Di antara mereka hadir ketua paguyuban masyarakat Tionghoa Liem Ou Yen, presiden komisaris PT Gudang Garam Tbk Bintoro Tanjung, direktur PT Surya Inti Permata Tbk Henry J. Gunawan, ketua majelis tinggi agama Konghucu Indonesia Bingky Irawan.

masjid_cheng_ho
Masjid Cheng Ho, Surabaya

Masyarakat Indonesia telah terbiasa menerima warga lain yang bukan sesuku, bukan satu ras, bukan satu agama untuk menjadi bagian dari perjalanan hidup bangsa. Sikap welas asih kaum muslimin pada sesama menyebabkan kita juga terbiasa tepaselira alias tenggang rasa. Dalam bahasa lain, mencoba bersabar dan mengalah terlebih dahulu bila terjadi benturan. Tidak ingin memancing pertikaian.

Anda tahu Bali, bukan?

Secara geografis wilayah itu disebut minoritas dan terhimpit.

Sebelah timur, NTB dengan suku sasak Lombok yang sangat kental nuansa keagamaannya. Sebelah barat, Jawa Timur dan Madura yang juga sangat kental kehidupan religiusnya, terlebih warga Madura yang demikian taat pada kiai. Beberapa pulau kecil Madura merupakan keturunan pelaut dari Sulawesi yang memiliki temperamen keras.  Di sebelah utara Bali terletak Kalimantan dan Sulawesi, dimana Sulawesi dikenal dengan suku Bugis yang juga kental terikat dengan syariat Islam.

Kalau kaum muslimin yang mayoritas terbiasa mendzalimi kaum lain; sudah sejak dulu Bali tak aman. Kadang-kadang di Bali timbul beberapa kejahatan seperti pencurian dan perampokan, dilakukan suku yang notabene muslim; namun lebih kepada sebab ekonomi atau motivasi kejahatan dibanding cleansing ethnic seperti yang terjadi di negara sebelah, Myanmar.

Suku Batak di Sumatera Utara pun dikepung oleh orang-orang Aceh yang militan dan suku Melayu di bagian timur/selatan yang menjadikan Islam sebagai darah daging. Hampir tak pernah didengar, Batak menghadapi serbuan orang-orang muslim kecuali satu masa dahulu di era kolonial Belanda dimana kaum Paderi pernah memkasakan kehendak pada orang Batak.

Dalam sejarah Islam, memang pernah kerajaan-kerajaan Islam melakukan penaklukan seperti yang dilakukan Salahuddin Al Ayyubi dan Muhammad Al Fatih. Peperangan dan pembunuhan tentu ada, satu dua prajurit yang melakukan tindakan kelewat batas mestinya juga terjadi. Namun tidak ada pembantaian yan dikomandokan atas nama agama. Perang Ain Jalut antara Mamluk yang notabene muslim dibawah komando Baybar dan Qutuz, menang atas Kitbuqa dan pasukan Mongolia, terjadi demikian heroik. Berbeda ketika Mongolia menaklukan Baghdad, darah kaum muslimin memerahkan aliran sungai; maka peperangan Ain Jalut murni antar kekuatan bersenjata.

Kembali pada Islam dan Indonesia.

Islam tidak mengenal cleansing ethnic. Justru ketika berhadapan dengan kaum yang tidak mengenal Islam, kewajiban yang utama adalah berdakwah atas kaum tersebut. Jelas sekali dalam the Preaching of Islam karya Thomas W. Arnold; dakwah Islam lebih mengedepankan upaya persuasif.  Pedang atau senjata baru diangkat ketika telah terjadi peperangan di satu wilayah.

Seorang muslim Cina yang menyertai perutusan kaisar Cina ke Jawa sebagai juru bahasa 6 tahun sebelum wafatnya Maulana Ibrahin (1413) menyebut adanya orang-orang Islam di Jawa dalam bukunya Keterangan Umum tentang Pantai dan Lautan :the-preaching-od-islam

“Di negeri ini terdapat 3 golongan penduduk. Penduduk Islam yang datang dari Barat dan telah menjadi penetap, pakaian dan makanan mereka bersih dan pantas. Kedua, orang-orang Cina yang lari dari negerinya dan menetap disini, pakaian dan makanan mereka juga baik-baik, banyak di antaranya yang masuk Islam serta taat melaksanakan amal ibadah agamanya. Ketiga, ialah penduduk asli yang sangat jorok dan hampir tak berpakaian, rambut tak disisir, kaki telanjang dan mereka sangat memuja roh. Negeri inilah yang dikatakan sebagai negeri serba roh didalam buku-buku Buddha.”

Berkembangnya Islam di Indonesia tak lepas dari pengaruh bangsa Arab, India, Cina dan wilayah Indocina. Persatuan telah terjalin berabad-abad lamanya di nusantara.

Indonesia, memaknai Bhinneka Tunggal Ika sebagai berbeda-beda tetapi satu. Walau Islam mayoritas dan agama yang lain minoritas, bukan berarti sah menindas agama yang berbeda. Walau keterikatan suku dan agama di Indonesia lebih dekat kepada Malaysia sebagai rumpun Melayu; Arab dan sebagian wilayah Afrika dengan ikatan aqidah; bukan berarti Indonesia menolak  warga benua Amerika, Eropa, Australia yang notabene bukan muslim.

Setiap yang ingin tinggal di Indonesia baik WNI atau WNA, muslim atau non muslim, memiliki hak dan kewajiban yang sama. Satu sama lain harus menghormati, satu sama lain harus menghargai batas-batas.

Memang, adakalanya terjadi benturan interpretasi atau benturan kepentingan antar agama. Ucapan Natal misalnya, sebagian kaum muslimin mengharamkan dan sebagian yang lain masih melakukan. Namun teguran atas ucapan Natal lebih kepada kaum muslimin sendiri; tanpa perlu mencaci maki penganut Kristiani atau mencacai maki gereja serta pendeta/pastor.

Perbedaan pendapat terkait Isa as dan Yesus Kristus, atau bagaimana kaum muslimin memandang Maryam binti Imron dan bunda Maria; dibahas di kalangan kaum muslimin sendiri, di masjid atau majelis pengajian. Ataupun ketika ada dialog terbuka  membahas satu hal sensitif  (misal terkait masalah pemurtadan dan pindah agama) dilakukan oleh  pemuka agama masing-masing dalam dialog antar agama.

Akan sangat membingungkan ketika permasalahan lintas agama dibahas di ruang publik, bukan oleh pemuka agama, tidak ada orang kompeten yang mewakili dari agama yang bersangkutan. Indonesia, sebagai negara hukum pun akan berada dalam posisi sulit. Para ahli hukum berikut jajaran kepolisian akan berada dalam situasi serba tak nyaman, sebab ada benturan kepentingan.

Ingin menegakkan keadilan, lalu orang bersuara : apakah ini bukan masalah antar muslim non muslim? Ingin menegakkan kebenaran, lalu orang berpendapat : apakah ini bukan issue SARA, suku non Tinghoa versus Tionghoa?

Kita dapat merasakan beratnya beban polisi, beratnya beban negara, beratnya beban pemerintah. Jika memenangkan salah satu, pasti ada pihak lain yang merasa dirugikan. Dan kerugian mungkin tidak cukup terbilang dalam rupiah.

Masyarakat Indonesia mungkin mudah berteriak : polisi harus membela yang  benar, melayani masyarakat. TNI AD harus mengayomi rakyat Indonesia dan menjaga NKRI. Namun kenyataannya tidak semudah itu. Hubungan interpersonal saja dapat berkembang demikian rumit ketika ada kepentingan-kepentingan terlibat didalamnya (hubungan mahasiswa-dosen, murid-guru, warga-ketua RT dapat sederhana dapat pula ruwet tanpa ujung). Hubungan bawahan-kepala kantor yang seharusnya hanya terbatas di lingkup kerja, harus berkembang menjadi hubungan harmonis antar teman, hubungan tepaselira bila berbeda agama, hubungan supportif bila ingin target kerja tercapai (hubungan supportif termasuk memberi perhatian, memberi bantuan finansial atau non material).

Apalagi, hubungan yang melibatkan institusi besar semacam negara, perusahaan raksasa, pemodal asing, militer bersenjata. Pasti akan jauh lebih banyak yang dipertimbangkan. Pasti akan jauh lebih rumit. Pasti akan menguras energi, emosi, perhatian, tenaga, biaya dan segala macam sumber daya.

 

Nurani bagi Pejabat dan Petinggi Militer

Sejarah, dapat menjadi panduan cemerlang bagi para pemimpin yang sedang dilanda gelisah resah dalam mengambil keputusan.

Kisah dibawah ini semoga dapat menjadi pembelajaran berharga bagi kita semua.

Adalah seorang bernama Najmuddin Ayyub.

Ia seorang dizdar (pemimpin kastil) di Tikrit, menggantikan ayahnya Shadzi ibnu Marwan yang wafat. Shadzi ibnu Marwan memiliki dua putra : Najmuddin Ayyub dan Assaduddin Shirkuh. Perjalanan Shadzi dan dua putranya hingga tiba di Tikrit, Iraq, demikian berliku. Berhubung Shadzi adalah seorang pejabat dan politikus; ia memiliki hubungan rumit dengan banyak orang, banyak kepentingan. Shadzi memiliki hutang budi salah satunya kepada sahabatnya sendiri, Jamal ad Daula Mujahiduddin Bihruz. Bihruz banyak membantu Shadzi bukan hanya urusan material namun juga non material. Bihruz bukan hanya berjasa pada Shadzi, namun juga pada dua putranya, Ayyub dan Shirkuh.

Najmuddin Ayyub-lah yang dapat tampil menjadi seorang negarawan yang cakap, bijak, berani mengambil keputusan.

Terjadi beberapa peristiwa penting yang membuat Najmuddin Ayyub harus mengambil keputusan sulit.

Pertama, ia seharusnya mengabdi utuh pada khalifah Abbasiyyah saat itu, Mustarshid Billah. Konflik tajam saat itu memunculkan peperangan antara Khalifah melawan Ghiyatsuddin Masud dan Imaduddin Zanki. Dalam pertempuran, pasukan Imaduddin Zanki terdesak hebat. Najmuddin Ayyub dapat saja menebas leher Zanki dan membawanya ke hadapan khalifah, dengan demikian kedudukannya akan semakin cemerlang, berwibawa dan melesat. Namun Ayyub justru memilih melindungi Zanki yang tertatih-tatih, melarikan diri lewat sungai Tigris menuju Mosul. Tindakan Najmuddin Ayyub menuai kecaman keras dari para petinggi dan pejabat kekhalifahan. Mujahidduddin Bihruz sangat murka dengan pembangkangan Najmuddin Ayyub. “Kamu mendapatkan musuh dalam gengggamanmu; mengapa kamu perlakukan dia dengan baik dan melepaskannya?!”

Kedua, bekas bendahara pemerintahan Saljuq, Azizuddin al Mastaufi, ditahan di Tikrit karena satu tuduhan. Al Mastaufi harus menjalani hukuman mati dan harus dibawa ke Baghdad. Najmuddin Ayyub menolak perintah tersebut sebab ia yakin, al Mastaufi sesungguhnya tak bersalah. Mujahiduddin Bihruz yang akhirnya menjemput al Mastaufi di Tikrit dan menghukum mati dirinya di Baghdad.

Ketiga, suatu ketika seorang perempuan melewati  benteng Tikrit sembari menangis. Ayyub dan Shirkuh melihatnya dan menanyakan sebab ia bersedih. Perempuan itu menjawab ia telah dilecehkan oleh isfahsalar (pimpinan tentara) beragama Nashrani. Shirkuh marah sekali hingga ia mengambil tombak dan menusuk sang isfahsalar. Atas perbuatannya, Najmuddin Ayyub terpaksa memenjarakan Shirkuh. Sesungguhnya, Ayyub sangat mencintai Shirkuh. Adik lelaki satu-satunya itu telah menemani hidupnya sejak mereka hijrah dari Dvin menuju Tikrit. Keduanya bahu membahu untuk masalah keluarga hingga pertempuran. Agar keadilan tidak timpang sebelah, Ayyub melaporkan kejadian tersebut kepada Mujahiduddin Bihruz.

Dapat diduga, Bihruz murka besar. Meski desas desus beredar, Shirkuh membunuh isfahsalar bukan hanya karena ia melecehkan si perempuan muslimah namun juga ia melecehkan agama Islam. Bihruz, yang telah menolong keluarag Shadzi sejak bertama kali mereka hijrah dari Dvin menuju Tikrit, merasa Najmuddin Ayyub tak tahu membalas terima kasih. Berkali-kali Ayyub membangkang perintah khalifah dan menyulitkan posisi Bihruz. Kali ini, Bihruz mengambil keputusan tak main-main : Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Shirkuh beriktu seluruh keluarga mereka, malam itu juga harus meninggalkan Tikrit. Bila tidak, mereka tak akan bernyawa lagi.

Malam kelam saat itu, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Shirkuh beserta keluarga mereka mengendap keluar dari benteng Tikrit. Pedih hati Ayyub. Bukan karena ia berkecil hati atas kerugian, kesusahan, kesulitan yang menghimpit keluarganya lantaran ia bersikukuh memilih kebenaran atas kebathilan. Tapi karena malam itu, istri Najmuddin Ayyub baru saja  melahirkan. Tubuhnya masih lemah, bayi lelaki di pelukannya merah dan mungil

Di bawah langit kota Tikrit yang dipenuhi gemintang.

Dihadang benteng-benteng sunyi yang menyaksikan sejarah jatuh bangun berulang. Disisi hati yang menangis antara ketakutan, kekhwatiran, namun juga keinginan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Di gang-gang sunyi gelap yang diintai oleh orang-orang khianat dan kemungkinan tertangkap. Najmuddin Ayyub menangisi takdirnya, menangisi bayi lelaki dalam dekapannya yang sekecil itu berada dalam pelarian. Seorang lelaki, pengikutnya, menghiburnya.

Ucapan lelaki itu ternyata dicatat oleh para sejarawan.

Jamal ad Daula Mujahiduddin Bihruz yang berkuasa, pintar mencari posisi, kesayangan khailfah dan pejabat-pejabatnya; anak cucunya tak dikenal sebagaimana anak cucu sahabat yang ditolongnya, Shadzi ibnu  Marwan. Shadzi ibnu Marwan mewariskan keberanian, kejujuran, dan ketundukan pada Allah Swt kepada dua anaknya, Najmuddin Ayyub dan Asaduddin Shirkuh. Kelak, bayi lelaki merah yang baru saja dilahirkan, yang dilarikan diantara bintang gemintang Tikrit. Di antara bayang-bayang benteng yang tak mampu menahan langkah kaki pelarian menuju Mosul. Bayi lelaki itu mengharumkan nama kakeknya, Shadzi ibnu Marwan dan ayahnya, Najmuddin Ayyub.

Bayi pelarian Tikrit itu bernama, Shalahuddin al Ayyubi.

Bisakah pemimpin dan militer kita seperti Najmuddin Ayyub ibnu Shadzi, ketika hatinya menyerukan kebenaran maka ia berani menyuarakan pendapat dan bertindak berdasarkan hati nurani?

 

Sinta Yudisia, Ordinary People

 

Referensi :

Arnold, Thomas W. The Preaching of Islam. 1979. Penerbit Widjaya, Jakarta

De Graff, H.J. Cina Muslim di Jawa Abad XV dan XVI : Antara Historisitas dan Mitos. 2004. Tiara Wacana, Yogya

Alatas, Syed Alwi. Biografi Agung Salahuddin al Ayyubi. 2014. Karya Bestari, Malaysia

Jawa Pos, Sabtu 15 Oktober 2016. Green School Bali, Sekolah Alam yang Unik dan Ramah Lingkungan : Bikin Penasaran Ban Ki Moon dan David Copperfield.

Jawa Pos, —-. Jejak 14 tahun Masjid Muhamamd Cheng Hoo, Simbol Peratuan dan Toleransi Bangsa : Siang untuk Jumatan, Sore Lapangan Basket

 

Kategori
Oase Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Fanpage Sinta Yudisia

https://m.facebook.com/SintaYudisiaWisudanti/

Akhirnya,  setelah punya 2 Facebook bernama Sinta Yudisia dan Sinta Yudisia II, keduanya full. Maka daripada buat Sinta Yudisia 3, lebih baik buat akun fanpage.

 

Semoga bermanfaat untuk silaturrahim 😊😊💕💞💖

 

 

 

 

 

Kategori
Artikel/Opini Oase WRITING. SHARING.

Jakarta : Pemimpin gabungan Berber, Visigoth, Corleone dan isyarat Ibnu Khaldun

 

Jakarta  dibangun dari Judi dan Prostitusi?

“Pak Natsir naik helikopter aja kemana-mana. Sebab jalanan Jakarta saya bangun dari duit judi,” sindir Ali Sadikin.

Mohammad Natsir, tokoh petisi 50 dan Mosi Integral, seorang ulama sederhana yang disegani kawan dan lawan. Kesederhanaan beliau, kehati-hatian beliau dalam berinteraksi dengan hal-hal haram bahkan syubhat, membuat sebagian orang risih. Ali Sadikin salah satu diantaranya.

Bagaimana Ali Sadikin membangun Jakarta, memang menuai pro dan kontra. Di tangan Ali Sadikin, pembangunan Jakarta di era 70an melaju pesat. Jalan-jalan, TIM (Taman Ismail Marzuki) dan TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Tahun 1966 Jakarta belum seperti sekarang. Butuh dana besar untuk membangun sarana prasarana. Ali Sadikin mengambil langkah kontroversial dengan melegalkan judi,  kawasan merah Kramat Tuggak; demi menarik pajak daerah. Secara fisik, pembangunan Jakarta melaju cepat di tangan Ali Sadikin. Konon, hanya ada dua gubernur yang dilantik di istana negara : Ali Sadikin dan Ahok. Di kemudian hari, Ali Sadikin beranggapan bahwa membangun Jakarta dari judi dan prostitusi dapat dilakukan di awal kemerdekaan. Ketika orang-orang tulus dan para pejuang yang komitmen dengan cita-cita besar bangsa masih banyak bertebaran. Ia mengatakan hal itu tak dapat terus menerus dilakukan, apalagi bila institusi korup semakin merajalela.

 

Jakarta :  antara Silkroad- Megacities dan  Cordoba

batavia
Batavia lama

Para international writers yang diundang ke Seoul 2016 sebagian mengatakan, salah satu capital city yang indah dan menarik untuk dipandang adalah Jakarta. Bagi kita warga Indonesia yang mendambakan kedamaian serta situasi yang tidak menimbulkan depresi, Jakarta adalah kota yang harus dihindari. Dibandingkan Seoul, ibukota Korea Selatan dan Rabat, ibukota Maroko ; Jakarta memang lebih istimewa. Warna warni hijau masih tersebar dimana-mana, mengingat kata Koes Plus, kayu dilemparpun jadi pohon. Kolam susu menggenang di segala penjuru. Kalau sekarang orang tak menemukan kayu bertransformasi menjadi pohon serta kolam susu sekeruh mangkok kobokan; salahkan saja Jan Pieterszoon Coen yang membangun Batavia. (Hm, sedemikian mudahkah menyalahkan sejarah?)

Apa yang anda bayangkan ketika menyebut ibukota?

han-river-2
Sungai Han, Seoul

Mungkin, saya jenis orang yang terlalu khusyuk berimajinasi. Berkhayal.  Jakarta suatu saat akan memiliki sungai seromantis Han Kang atau sungai Han yang membelah Seoul. Sungai jernih yang menimbulkan sejuta loncatan imajiner setiap kali warga naik subway melintasi Dangsan dan Hapjeong. Sungai yang terpelihara dari anak iseng yang melempar kulit permen. Sungai yang membiarkan remaja berlarian, naik sepeda, melaju dengan otopet, atau menentang riaknya dengan naik kapal pesiar.

 

Bukan sungai yang diberitakan meluap, memecah tanggul, menyerap teriakan orang-orang yang tergusur rumah kardusnya.

Yah, lebih jauh saya membayangkan Jakarta akan seperti salah satu dari 5 of megacities yang dicatat sebagai silkroad– jalur sutra : Xi’an (Changan), Samarkand, Aleppo, Mosul dan Merv. Meski Aleppo dan Mosul saat ini menorehkan luka dalam di hati kaum muslimin, kemegahan kota-kota tersebut tak akan hilang dari jejak sejarah. Apa yang menyebabkan kota mega tersebut menjadi mutiara-mutiara yang berkilau hingga kini menjadi negara modern? Pembangunan fisik yang meliputi masjid, benteng, pasar, observatorium menjadi salah satu keunggulan. Hal lain adalah, para ulama menjadi motor-motor penggerak yang diberikan kebebasan untuk memberikan motivasi kepada khalayak. Ulama, adalah para pewaris Nabi yang bersama mereka, ilmu dan amal menjadi satu kesatuan.  Tentu, tak akan lepas dari catatan sejarah para ulama yang menghasilkan gagasan-gagasan besar : Ibnu Sina dengan the Canon Medicine, Ibnu Khaldun dengan Muqaddimah, Ibnu Batutah dengan Rihlah, Umar Khayyam sang astronomer dan penyusun Rubaiyyat serta ribuan lagi ulama yang tak akan cukup waktu manusia memelajari kehebatan mereka. Sepanjang ulama memiliki tempat terhormat, sepanjang itu pula sejarah memiliki peradaban tertinggi.

Bisakah Jakarta seperti Cordoba?

Ah, mengapa pula tidak.

Abdurrahman III, sang pemuda sebatang kara yang selamat dari pembantaian di Rusafa, melarikan diri dari Damaskus. Seluruh dinasti Umayyah dihabisi dinasti Abbasiyyah, hanya Abdurrahman seorang yang tersisa. Keberanian, kecerdasan, ketabahan sang pemuda menjadikan satu wilayah di semenanjung Iberia menjadi sebuah ikon yang disebut sebagai Ornament of the World – hiasan dunia: Cordoba atau Qurtubah. Sebuah kota megah dengan ciri khas air mengalir dan perpustakaan. Konon, khalifah memiliki perpustakaan pribadi dengan 44 jilid katalog ( katalognya saja!) dan 600.000 judul buku disaat raja Eropa hanya memiliki 400 manuskrip. Perpustakaan Abdurrahman III hanya 1 diantara 70 perpustakaan di Cordoba, dan di pasar tersedia 70 penyalin naskah al Quran yang siap mendistribusikan kitab mulia tersebur ke segenap penjuru.

Pembangunan fisik, yang menjadikan Cordoba tak kalah megah dari Damaskus dan Baghdad, menjadikan orang-orang berbondong ingin menikmati Ornament of the World. Sekali lagi, pembangunan fisik. Dan tidak lupa, pendidikan serta peran serta para ulama menjadi kata kunci yang membuat kota tersebut dikenang sepanjang masa. Para pemikir besar lahir dari wilayah Damaskus, Baghdad, Cordoba selain dari Mekkah, Madinah, Palestina tentu. Para ulama menjadi sosok yang dihormati, menempati mimbar elite pemerintah; bukan sekedar di koridor, selasar atau malah emperan sebagai pemanis.

 

Jakarta : siapakah yang berkuasa?

Sebuah kota selalu memiliki 2 pemerintahan.

Luarbiasa cara Mario Puzo menggambarkan dalam bukunya Omerta, “kota, memiliki pemerintahan siang dan malam. Siang hari kalian dikuasai pemerintah formal, malam hari penguasa yang lain menggantikan.”

Mungkin, darah Italia Mario Puzo menjadikannya berpikir demikian. Mafia menguasai segala penjuru kota dan stigma mafia semakin terbentuk sebagaimana film legendaris the Godfather  melambungkan nama Francis Ford Coppola sebagai sutradara serta Marlon Brando sebagai Vito Corleone dan Al Pacino memerankan Michael Corleone. Para keluarga mafia saling bunuh, saling melindungi, dan saling membayar hutang piutang. Terutama hutang jasa. Sekali keluara Corleone mengucap janji, mereka pantang menarik. Mereka melindungi setiap yang bersandar pada keluarga ini dan sebaliknya, mereka menuntut upeti dalam jumlah yang pantas.

Memang, di balik penguasa hebat, berdiri orang-orang kuat.

Abdurrahman III tak akan sukses membangun Cordoba tanpa keikutsertaan suku Berber yang mendiami gunung Atlas, Maroko. Ibu Abdurrahman berdarah Berber, dan nama suku Berber menjadi sanjungan (atau olokan) ketika orang berperilaku sangar : kalian seperti kaum Barbar! Suku Berber dikenal kuat, tegas, berani, tak kenal ampun dan anda akan terbiasa dengan pertengkaran ketika menginjakkan kaki di Maroko.

Semenanjung Iberia tampaknya hanya pantas dikuasai orang-orang kuat seperti kerajaan Visigoth dengan penakluknya Alaric dan  dinasti Umayyah yang memiliki komandan Tariq bin Ziyad.

Bila, sebuah penguasa membutuhkan kekuatan lain di belakangnya, siapakah yang dikatakan sebagai orang kuat? Abdurrahman III memiliki suku Berber, Alaric memiliki Visigoth dan Corleone memiliki mafia.

Apakah pemimpin Jakarta pun harus memiliki orang kuat di belakangnya?

Demikianlah seharusnya. Meski, paradigma ‘orang kuat ‘ ini akan berbeda bagi setiap orang. Bila kita mengambil prinsip Machiavelli dalam Il Principe maka kita akan mengambil pemimpin tipologi ini.

“Jangan memilih pemimpin karena rasa cinta. Pilihlah karena rasa takut. Rasa cinta akan hilang seiring lunturnya kewajiban. Tapi rasa takut, tak pernah gagal.”

Banyak pemimpin seperti yang digambarkan Machiavelli. Hitler, Stalin, Lenin. Membangun kekuasaan dengan kekuatan dan ketakutan. Memang di salah satu titik, tampaknya tak pernah gagal.

Tapi bagaimana pendapat Ibnu Khaldun tentang pemimpin dan  kekuasaan?

Dalam kitab megafenomenal Al Muqaddimah, beliau menuliskan banyak bab penting terkait rakyat, kesukuan, pemerintahan, kekuasaan, tabiat-tabiat bangsa serta suatu tabiat kurun waktu.

muqaddimah-ibnu-khaldunPasal Keempat, Bab 3, Kitab Pertama

Kerajaan Memiliki Kekuasaan Kuat Berlandaskan Agama, Baik Melalui Kenabian Maupun Seruan Kebenaran

Sebab kekuasaan hanya dapat diraih dengan penguasaan. Penguasaan ini hanya dapat dilakukan dengan fanatisme. Yakni kesamaan harapan untuk menyuksesan suatu tuntutan. Kesatuan jiwa dan persatuannya hanya dapat terjadi atas pertolongan Allah Swt dengan mendirikan agamaNya.

Hal ini sebagaimana yang disebutkan firman Allah

“Walaupun engkau membelanjakan semua kekayaan yang berada di bumi, niscaya engkau tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Alalh telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Gagah lagi Maha Bijaksana ( Al Anfaal : 62).

Rahasianya , apabila jiwa terdorong untuk melakukan kejahatan dan condong pada kehidupan dunia, maka akan terjadi persaingan dan menimbulkan konflik. Apabila jiwa-jiwa tersebut tunduk pada kebenaran, menolak tipu daya kenikmatan dunia dan berbagai kejahatan yang ada di dalamnya dan menghadap kepada Allah Swt dengan lapang dada maka kondisi itu akan mempersatukan visi dan misi mereka. Dengan kesamaan tujuan ini , rivalitas yang tidak sehat akan lenyap dan konflik akan minimal, yang pada akhirnya akan mempererat kerjasama dan saling membantu.

Dengan persatuan dan kesatuan tersebut maka kerajaan akan semain kuat dan kaya (Muqaddimah, Ibnu Khaldun)        

 

Pemimpin untuk Jakarta

Saya bukan warga Jakarta. Enggan pula tinggal di Jakarta mengingat lingkungan fisik dan sosial ibukota sangat berat untuk tumbuh kembang anak-anak, apalagi bagi remaja. Jakarta bagi orang seperti saya adalah sebuah kota untuk transit ketika harus keluar daerah. Jakarta terasa berdenyut mendebarkan ketika walikota kami, bu Risma, diberitakan akan diboyong kesana. Jakarta terasa menakutkan ketika berita kejahatan lalu lalang di media.

Jauh di lubuk hati, rasanya lelah memikirkan Jakarta.

Betapa ingin ibukota ini setenang Seoul dimana warga bebas hilir mudik hingga larut malam. Anak sekolah dasar dan menengah, masih mengenakan seragam, bebas naik subway atau bis tanpa takut kejahatan. Memang, kejahatan pasti ada seperti kasus pembunuhan di daerah Gangnam beberapa waktu yang lalu.

Betapa ingin Jakarta menjadi Ornament of the World dimana ciri khas air mengalir (betul-betul mengalir) bukan menderas laksana airbah menjadi hiasan sudut-sudut kota. Perpustakaan menjamur, yang berarti industri kertas berkembang pesat berikut kesejahteraan, sebab buku-buku yang tersebar identik dengan kemakmuran masyarakat.

Betapa ingin Jakarta menggantikan kota-kota mega jalur sutra, dimana bukan hanya bangunan fisiknya yang megah menjulang namun juga para ulama menjadi tonggak pemikir masyarakat.

Betapa ingin Jakarta memiliki pemimpin yang memiliki gabungan kekuatan Berber, Visigoth, Corleone namun mampu menjalin hubungan mesra dengan para ilmuwan, pemikir dan pemuka agama.

il-principeDan pada akhirnya saya tidak ingin menjadikan Il Principe sebagai bantal tidur, sebagaimana yang dilakukan para pemimpin diktator lain, sebab ketakutan itu bukan ruh sebuah masyarakat.

The care of human life and happiness and not their destruction, is the first and only object of good goverment (Thomas Jefferson)

Saya membayangkan seorang pemimpin yang diinginkan Machiavelli, akan membuat rakyat berkeringat dingin tiap kali bangun pagi. Ketakutan. Kecemasan. Kekhawatiran. Akan keputusan-keputusan, sikap, juga bahasa yang terasa menggedor-gedor denyut jantung.

Sungguh saya menginginkan hari-hari bahagia dimana seorang pemimpin membuat hati ini nyaman dengan senyuman, kata-kata, sikap dan kebiasaan yang seperti diisyaratkan Thomas Jefferson.

Selamat memilih,warga Jakarta! Semoga anda temukan pemimpin yang dapat menjadikan Jakarta sebagai Ornament of the World.

 

 

Kategori
Artikel/Opini Oase Renungan Hidup dan Kematian

Proporsional Menilai Orang Besar : Gatot Brajamusti, Mario Teguh dan Mahfudz Siddiq

 

 

Kalau laki-laki kebal terhadap uang dan wanita, dia tidak tergoyahkan.” (Mossad, Victor Ostrovsky)

 

Kita selalu terkejut oleh berita yang dilakukan orang-orang besar, hebat, terkenal di sekeliling. Meski yang dilakukan mereka, banyak juga dilakukan orang lain. Betapa banyak orang merokok dan mengkonsumsi narkoba, mulai anak hingga lansia. Namun mata kita dibuat tercengang ketika yang tersandung kasus narkoba adalah tokoh masyarakat, terlebih ia dijadikan panutan  banyak orang termasuk artis. Masih terkenang Elma Theana dan Reza Artamevia yang menjadikan Gatot Brajamusti sebagai guru spiritual mereka.

Beberapa waktu lalu, Gatot tertangkap di sebuah hotal di Mataram karena pemakaian psikotropika.

gatot
Aa Gatot

Berapa banyak orang menggunakan narkoba dan sabu-sabu? Banyak sekali. Tapi ketika Gatot Brajamusti yang menggunakannya, geger media sosial dan media massa.

Berapa banyak orang punya WIL, PIL atau pernah menikah lebih dari sekali? Pernah bercerai? Bertumpuk kasus perceraian di pengadilan Agama. Sebagian rujuk, sebagian berpisah. Jawa Timur pemegang rekor untuk kasus perceraian di Indonesia, mengingat banyaknya tenaga kerja perempuan pergi mengadu nasib di negeri orang. TKI, TKW, buruh, tukang becak, pembantu rumah tangga; nikah berkali-kali, kawin cerai. Atas kejadian itu paling-paling kita hanya menaikkan alis.

Pembantu saya dulu, seorang gadis cantik. Menikah di usia belasan, lalu kemudian bercerai. Dan sudah menikah lagi kini. Banyak sekali gadis dan pemuda di desa seperti wilayah Madura atau Brebes yang menikah dan berpisah. Berkali-kali, sebab mereka sangat miskin pengalaman dan pendidikan,termasuk miskin pemahaman agama. Kepada pembantu-pembantu saya yang pernah beberapa kali menikah, saya hanya bilang : sabar ya! Kalau bisa, pertahankan pernikahanmu yang sekarang. Kamu harus pintar.

Selesai.

Case closed. Paling-paling diskusi itu merembet hanya ke tengah keluarga inti ,” eh, mbak X yang dulu di rumah kita, sudah nikah lho. Tapi kemudian cerai.”

“Wah, kasihan ya, Mi!”

Tapi bila yang menikah atau bercerai adalah orang-orang top; bukan main. Masih teringat kasus Maia, Ahmad Dhani dan Mulan Jameela. Mulai dari aksi panggung Maia yang enggan berdekatan dengan Mulan sampai video permintaan maaf Mulan digeber habis di media. Masing-masing khalayak punya kubu : Dhani, Maia , Mulan. Ditambah lagi anak-anak mereka beranjak remaja; kisah Al El dan Dul semakin renyah dikunyah.

Sekarang, kisah Mario Teguh dan Mahfudz Siddiq merajai berita.

Mario Teguh, dikecam adik-adiknya karena menjadi pribadi yang berbeda usai terkenal sebagai motivator. Konon, sang adik harus melalui protokoler tertentu untuk bisa menemui abang sulungnya, Sis Mariyono Teguh. Tidak itu saja, kata-kata Mario Teguh yang menolak Ario sebagai anak dari istri pertamanya Ariyani menjadi bulan-bulanan berita. Sebagai motivator kondang; kehidupan pribadi Mario Teguh dianggap bertolak belakang dari apa yang diucapkannya.

Belum selesai keterkejutan khalayak dengan kisah Aa Gatot dan Mario Teguh, media kembali mengupas desas desus renyah pernikahan Mahfudz Siddiq. Ustadz-ustadz kondang yang menikah lebih dari 1 x, sering mendapat porsi pemberitaan lebih. Tentu kita masih ingat peristiwa Aa Gym beberapa tahun lalu atau ustadz Arifin Ilham. Popularitas Aa Gym sempat merosot hingga pada akhirnya masyarakat mulai terbiasa mendengar berita tentang poligami, dan Aa Gym kembali mendapat tempat di hati amsyarakat. Bahasan tentang istri kedua yang cantik dan lebih muda, bagai memuaskan rasa ingin tahu banyak pihak terutama perempuan.

“Tuh, kan, bener kata orang. Ternyata istri mudanya lebih muda dan cantik. Pantas istri pertama ditinggalkan!”

Apalagi, bila timbul percekcokan antar istri, menjadi berita yang dinanti-nanti khalayak.

“Makanya, punya istri satu saja. 1 udah repot, 2 apalagi!”

 

Alasan yang tak dapat dikemukakan

Menyoroti kasus orang-orang besar dan hebat yang tengah mendapatkan ujian, masalah, cobaan, sandungan, atau apapun itu namanya; kita selayaknya menyadari ada banyak hal yang tak dapat diungkap ke publik.

Coba, sebutkan masalah pribadi.

Pernahkah kita malas sekolah atau kuliah lalu bilang sedang sakit (memang sedang sakit! Entah flu, sakit hati, sakit kantong)? Kepada semua orang kita bilang nggak bisa hadir ke suatu tempat karena sakit. Apa perkara ‘sakit’nya, hanya kita dan Allah Swt yang tahu. Saat itu mungkin kita sedang tak enak hati pada seorang teman atau bahkan dosen, sedang tak punya uang untuk beli bensin, sedang pusing sakit kepala yang tak tertahankan ( bagi sebagian orang flu adalah siksaan berat, meski bagi yang lain hanya sakit sepele).

Kita pernah tak dapat ikut arisan RT atau kerja bakti kampung dengan alasan ‘sakit’. Padahal saat libur adalah satu-satunya hari tempat berkumpul bersama keluarga dan memang, tubuh ingin istirahat. Betul-betul ingin tidur dari pagi hingga sore setelah selama berhari, berpekan, atau malah berbulan tugas keluar kota menumpuk berkejaran. Saat itu tak mungkin bilang alasan sebenarnay kepada ibu-ibu atau bapak-bapak sekitar, kecuali dengan alasan singkat : sakit.

Perceraian, pernikahan (lagi) dapat terjadi karena banyak hal.

Apakah masalah seksual? Masalah selingkuh? Masalah penghasilan? Komunikasi? Anak-anak? Karier dan pekerjaan? Wallahu’alam. Seringkali alasan yang betul-betul riil hanya diketahui diri pribadi dan Allah Swt. Mustahil, alasan sejujur-jujurnya ini diungkap ke publik. Bila diungkap ke publik, dimana pula letak privasi seseorang? Maka , biasanya selebritis yang tersandung masalah pernikahan berkata : kami tidak ada kecocokan.

Mungkin saja ada KDRT di dalamnya. Atau perbedaan prinsip terkait pengelolaan keluarga. Atau ada harapan-harapan yang tidak dapat selaras lagi antara kedua belah pihak suami istri.

Mengingat setiap individu berhak untuk menyimpan masalah pribadinya sendiri, maka kita pun seharusnya memberikan porsi itu pada setiap orang. Termasuk pada selebritis, ustadz, atau orang hebat manapun.

Mario Teguh pernah menikah dengan Ariyani, lalu bercerai, lalu menikah lagi dengan Linna. Kenapa bercerai? Anaknya milik siapa? Mentang-mentang motivator yang banyak followers dan penyanjungnya, lantas ia bisa seenaknya memuntir pendapat orang?

Kurang apa istri pertama dan kedua Mahfudz Siddiq? Keduanya shalihah, mendampingi disaat susah. Lalu datang seorang perempuan muda cantik, pintar, berkelas dan jauh sekali dari siluette dua istrinya terdahulu.

Meski Gatot Brajamusti, Mario Teguh, Mahfudz Siddiq adalah tokoh masyarakat; mereka punya sisi pribadi yang tak ada seorangpun tahu. Kecuali hanya Allah Swt dan malaikat Raqib Atid. Maka, membaca berita tentang mereka boleh-boleh saja. Membicarakan ihwal mereka sah-sah saja. Lalu, doakanlah semoga mereka dapat memilih jalan kehidupan yang lebih positif ke depannya. Kita tidak pernah tahu, alasan apa di belakang perilaku mereka.

Mengapa Aa Gatot mengkonsumsi ‘makanan jin’ dan benarkah ia memperkosa gadis-gadis? Mengapa Mario Teguh menuduh istri pertamanya selingkuh? Mengapa Mahfudz Siddiq  menikahi muallaf cantik yang belum berhijab dan jauh sekali dari istri kedua pilihan Aa Gym dan Arifin Ilham?

mahfudz-siddiq
Mahfudz Siddiq

Hanya mereka pribadi yang tahu jawabannya. Dan kita sama sekali tak tahu. Maka, proporsi kebencian, ketidak sukaan itu hanya dapat sampai pada apa yang terlihat saja. Jangan mencaci maki dan membenci para tokoh ini lantaran mereka selebritis. Gampang dipuja, gampang disanjung, lalu kita berharap mereka baik-baik selamanya. Kita jadikan mereka figur tanpa tandingan dan ketika mereka melalukan kesalahan, hancur pula harapan kita.

 

Alasan yang Dapat Diterima

Walau kehidupan masing-masing selebritis adalah hak prerogatif individu, tak ada salahnya setiap kita mulai belajar. Belajar menjadi diri pribadi yang lebih mulia serta belajar menapaki hari-hari yang kemungkinan, suatu saat kita berada di sorot mata dunia.

Siapa tahu, kelak sebagian kita menjadi pengusaha terkenal, pengacara kondang, motivator berkharisma atau malah anggota dewan dan tokoh perubahan nasional bahkan internasional.

Jejak kita akan dilihat orang banyak.

Maka sejak belum menjadi ‘apa-apa’ kita belajar mawas diri dan menempatkan diri.

Misal, berusaha berkata yang baik atau diam, sebagaimana hadits Rasulullah Saw. Baik dalam kegiatan offline atau online. Kebiasaan baik ini akan terpupuk, sehingga ketika menjadi tokoh kita tidak akan suka mengumbar kata-kata yang memancing anarkisme. Dalam kegiatan online di facebook, blog, twitter, instagram dan dimanapun; perkataan yang baik ini juga harus dibiasakan. Tidak terbiasa mengumbar kata-kata negatif yang memancing perselisihan.

Mawas diri dan pandai menempatkan diri, adalah hal yang harus dilakukan oleh setiap individu terutama orang-orang yang berada di ranah publik.

Ketika mahasiswa dulu, orang akan berbeda menanggapi mahasiswa biasa dengan mahasiswa berprestasi. Mahasiswa biasa; lulus 2,75 maka orang memberi selamat.

“Ah, yang penting kamu lulus!”

Tapi mahasiswa berprestasi, yang melanglang buana karena pertukaran pelajar, yang aktif di BEM lalu lulus nilai pas-pasan; orang akan kecewa.

Begitupula, bila mahasiswa biasa dan mahasiswa berprestasi ini berpacaran. Pasti akan lebih banyak dipuji (atau dikecam) yang berprestasi. Mahasiswa biasa berpacaran tak apa, tapi bila mahasiswa aktivis rohis berpacaran; itu baru berita! Dalam kasus berpacaran seperti ini seharusnya para mahasiswa pun belajar mawas diri dan tahu menempatkan diri.

Seorang mahasiswa aktivis rohis, selain karena kedalaman ilmunya tentang agama; juga harus menjaga diri dalam adab pergaulan sebab masyarakat menyorotnya lebih.

“Ih, jilbabnya lebar kok hahahihi sama cowok, pakai cubit-cubitan lagi! Ih, gayanya berjenggot tebal. Tapi menyapa akhwat pakai dear, beib, darling!”

Bermesraan dengan lawan jenis dianggap biasa, tapi jangan sampai orang yang paham agama yang melakukannya.

Contoh lain, apakah harta kekayaan boleh dipamerkan?

Boleh saja. Bahkan, Allah suka melihat hambaNya memperlihatkan karunia yang telah Ia berikan. Namun, tentu kita juga harus mempertimbangkan perasaan orang lain.

Naik mobil Alphard, Lexus, Porche; di jalan raya yang membelah arus Jakarta atau Surabaya tak masalah. Tapi di jalan kampung yang sempit, rumah-rumah berdesakan yang dibangun di lahan pemerintah dengan dinding triplek dan atap seng; rasanya kekayaan itu tak pantas dipamerkan. Lebih baik berganti mobil yang lebih murah atau naik sepeda motor saja. Mengenakan baju mewah dengan perhiasan emas bertahtakan permata, boleh-boleh saja. Apalagi dalam arisan ibu-ibu pejabat yang semua mengeluarkan gaya dandanan khasnya. Namun, gaya itu tak perlu dipertontonkan ketika menghadiri arisan RT yang hanya dihadiri ibu tetangga kanan kiri, banyak yang pensiunan pula.

Begitulah mawas diri dan menempatkan diri.

Sosok individualis harus menyatu bersama sosok sosialis kita. Apalagi bila telah menjadi tokoh tersohor. Kata-kata akan menjadi panutan, gaya ditiru, tulisan disebarluaskan.

“Yah, biarin aja aku mau kawin, cerai sama siapa. Itu alasan pribadiku. Nggak semua orang tahu yang terjadi di tengah keluargaku!”

Betul.

Tetapi jejak kita tetap akan meninggalkan bekas. Bila kita hanya orang biasa, jejak itu akan lekas menguap. Bila kita orang yang ‘luar biasa’ jejak itu akan tertinggal lebih lama. Lebih dalam melukai. Lebih lekat mengendap.

“Oh, jadi pemimpin spiritual boleh juga lah sesekali tersandung. Namanya juga manusia. Jadi motivator itu yang penting kemampuan orasinya, bagaimana cara menggugah. Tentang bagaimana kehidupan dia, hitam putih, mah cuek aja. Perkataan dan perbuatan berbeda gakpapa, yang penting laku di pasaran. Oh, jadi ustadz  itu boleh poligami. Dengan siapapun. Lebih muda, muallaf, tidak berkerudung ternyata gakpapa.”

Tentu, kita berharap di ujung sana adalah hasil kebaikan terbentang. Semoga Agatha Lily semakin kokoh sebagai muslimah sejati dan suatu saat sadar mengenakan hijab. Semoga Mario Teguh mendapatkan kembali nama baiknya demikian pula Gatot Brajamusthi.

Yang tidak dapat diperkirakan adalah bagaimana asumsi dan persepsi dari banyak kepala yang menyaksikan bait demi bait kehidupan para tokoh tersohor tersebut. Mereka yang terkesan dengan kata-kata motivasi Mario Teguh akan terhenyak : tokoh idamannya ternyata tak mampu  mengurai masalahnya sendiri. Para artis yang memuja Aa Gatot, terkesima dengan tuduhan narkoba dan pemerkosaan yang diarahkan kepada guru spiritual mereka. Begitupun Mahfudz Siddiq, akan membuat orang bertanya-tanya akan pilihannya dan sangat kecewa sebab beliau tokoh yang kharismatik di kalangan pemuda.

Bagaimana anak-anak muda kita memandang sosok agamawan, motivator, ustadz dalam menjalani kehidupannya. Kita berharap, bahwa anak-anak muda kita akan mengambil teladan dari tokoh-tokoh yang telah mangkat dan benar-benar meninggalkan jejak keemasan : Rasulullah Saw dan para sahabatnya, juga para ulama pewaris Nabi. Para pejuang seperti Thariq bin Ziyad, Shalahuddin al Ayyubi, al Fatih, Buya Hamka, Muhamamd Natsir, Agus Salim , KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari dan orang-orang sejenis mereka.

Sebab, bila mengambil panutan tokoh yang masih hidup, percayalah : dunia ini membentangkan banyak keserba-mungkinan. Mereka yang baik bisa jadi tak baik, mereka yang tak baik bisa jadi baik.

Proporsional, mawas diri dan pandai menempatkan diri.

Semoga kunci-kunci ini menyelamatkan kita baik sebagai pelaku atau pengamat. Jadi, wajarlah dalam menghujat seseorang. Sebagaimana wajarlah dalam mengagumi seseorang.

Kategori
Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Radikalisme, Terorisme, Fundamentalisme dalam Media

Ibnu Khaldun, mengemukakan hal menggelitik seputar kekuasaan.

Menurutnya,

“….kekuasaan merupakan kedudukan yang menyenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi, material maupun spiritual, visible maupun invisible sehingga untuk mendapatkannya seringkali melalui kompetisi-kompetisi menggemparkan dan sedikit orang yang mau menyerahkannya. Karena partai merupakan proses awal bagi justifikasi kekuasaan, maka partai acapkali menjadi proteksi, pembela, bahkan klaim untul segala persoalan itu.

Kompetisi kekuatan antarkelompok biasanya tidak dapat dilepaskan dari sikap-sikap arogan untuk memperoleh kekuasaan tersebut, dimana pemegang kebijaksaan dari partai atau kelompok yang berkuasa senantiasa mencari legitimasi kemenangan dari massa dengan berbagai macam manuver siasat atas nama kelompok, profesi bahkan agama….”

Sejarah suatu bangsa, tak luput dari dinamika.
Perputaran masa tak dapat dielakkan ketika sebuah bangsa berkembang dari masa tumbuh, merdeka, membangun, memelihara. Sebagian orang-orang merasa bahwa perjalanan bangsa terbaik adalah ketika tengah tumbuh dan mencari kemerdekaan, sebab ikatan fanatisme baik kesukuan, agama atau ideologi demikian kuat terjalin. Sebagian merasa nyaman saat bangsa mulai membangun, disisi ini kenyaman dan kemewahan hidup mulai dinikmati namun romantisme perjuangan yang penuh kesulitan masih terngiang.

Pernahkah kita mentafakuri perjalanan sejarah bangsa Indonesia?
Alangkah kaya bangsa ini secara jiwa!
Sejak masa raja-raja berkuasa hingga sekarang memasuki abad millenium, demikian beragam kejadian yang dilalui bangsa Indonesia mulai melawan penjajah hingga harus bertikai dengan bangsa sendiri. Masa demi masa perguliran kekuasaan memberikan kekayaan sejarah.

Stigma dan Schema
Stigma adalah label negatif yang melekat pada suatu obyek. Schema/ skema adalah pola otomatis yang muncul di pikiran mendengar atau melihat sesuatu.
Apa yang muncul saat melihat sehelai kain merah?
Skema bahwa pakaian merah akan merangsang banteng atau kerbau mengamuk, sudah lekat di pikiran kita. Skema ini sangat sulit ditepis atau dihilangkan seperti mengenakan pakaian hijau di Laut Selatan, meyakini bahwa polisi menilang betul-betul karena tugas, meyakini bahwa anggota DPR bekerja amanah, meyakini bahwa pegawai negeri tak akan korupsi uang .

Stigma dan skema mirip.
Hanya saja, skema lebih panjang, mirip pola maze yang berputar-putar di kepala sebelum sampai pada sebuah sikap dan perilaku. Skema membuat kita menghindari baju hijau saat bermain ke pantai. Skema membuat kita pakai helm hanya karena polisi. Skema membuat kita menggeneralisir bahwa semua anggota dewan adalah brengsek. Skema membuat kita percaya bahwa semua PNS juga tak ada yang bersih.
Stigma lebih singkat, namun juga punya dampak kejut yang membekas lama.

Kata “pengkhianat” di zaman pendudukan Belanda sangat berbahaya bila melekat pada pribumi.
Salah seorang kerabat di era perang kemerdekaan lampau, sukses menjadi penjahit celana dan berjualan telur asin yang digemari para bangsawan di Yogya yang saat itu memiliki hubungan dekat dengan Belanda. Kerabat tersebut dapat membangun rumah dengan jendela kaca yang saat itu masih sangat jarang. Bisik-bisik tetangga yang tak suka, melabelkan kata “pengkhianat” sehingga kerabat tersebut bentrok dengan beberapa pejuang kemerdekaan.

Stigma apa yang masih lekat dengan PKI?
Kata komunis demikian negatif tak peduli itu berupa kajian ekonomi atau ideologi yang harus ditelaah untuk diambil hikmah, dipelajari agar tak terulang lagi. Di tahun 60-70an, orang lebih takut dianggap PKI daripada diteriaki maling.
Tahun 80-90an, stigma pesantren adalah sekolah buangan, anak nakal yang sudah tak punya harapan masa depan, sakit kulit, kumuh.
“Sekolah dimana?”
“Pesantren X.”
Maka stigma pesantren yang bersarung, bau dan koreng; belasan bahkan puluhan tahun melekat di benak.
Stigma itu berubah di tahun 2000an menjadi menakutkan, lambang kekejaman dan kebengisan. Bagaimana mungkin tempat orang-orang belajar kitab, menghafal Quran, menelaah hadits seketika menjadi tempat brainwashing sehingga orang mudah menyerang sesuatu atas nama agama? Islam dan segala simbolnya menjadi demikian menakutkan. Pesantren merupakan produsen perakit bom dan pemuda aliran radikal. Jenggot, jilbab lebar dan cadar adalah lambang keterbelakangan, fundamentalisme dan sikap intolerant.

Dan, di era media massa, media sosial serta media eletronik mengirim pesan secepat laju cahaya; stigma itu mudah dipindahkan ke kepala-kepala orang lain. Ditanamkan ke dalam hati orang yang menyimpan keraguan serta tak ingin mengambil peran mencari tahu kebenaran alias tabayyun.
Stigma, sekali melekat dapat menyulut kebencian. Meski orang tak punya informasi yang utuh tentangnya.

Film Mystic River, adalah gambaran bagus tentang bagaimana kata “pedofilia” menimbulkan kesalahan fatal. “Pedofilia” menimbulkan rasa jijik, benci, gambaran anak kecil yang menjadi korban perkosaan. Pelaku pedofilia pantas dihukum berat, namun bagaimana bila ternyata masyarakat salah menyematkan stigma pedofilia pada seorang lelaki tak berdosa?
Film The Most Wanted Man pun menggambarkan betapa stigma teroris melekat pada pria muslim, taat ibadah dan kaya raya. Seolah setiap muslim yang memiliki harta berlimpah menggunakan uangnya untuk membeli senjata serta membiayai organisasi terlarang.
Fundamentalis, radikal, teroris bertahun-tahun belakangan melekat pada kaum muslimin. Sikap tersebut bukan hanya milik kaum muslimin. Radikal milik kaum militan manapun yang fanatik terhadap ideologi yang diyakini. Fundamentalis, radikal, teroris pun dimiliki agama selain Islam seperti yang kita tonton dalam film-film karya novelis Dan Brown dalam Da Vinci Code, Angels & Demons.

Arti Kata
Kamus bahasa Indonesia mengartikan radikal sebagai (1) hilang sampai ke akar-akarnya sekali; (dng)sempurna (2) (haluan politik yg) amat keras menuntut perubahan undang-undang, ketatanegaraan, dsb
Kamus bahasa Belanda mengartikan radicaal (radicale) : mendalam hingga akarnya, ekstrim.
Teroris , dalam bahasa Indonesia bermakna orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbunkan ketakutan, biasanya untuk tujuan politik. Terorisme bermakna : praktek-praktek tindakan teror; penggunaan keekrasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Bahasa Belanda, terroris’me berarti cara menakut-nakuti dengan perbuatan kejam.

Kata-kata sensitif seharusnya dihindari oleh media saat tengah melemparkan satu wacana ke tengah masyarakat, apalagi bila menyangkut penduduk mayoritas. Kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas Indonesia akan dihadapkan pada posisi sulit : membela diri dikatakan radikal atau fundamentalis, berdiam diri dan memendam rasa hanya akan menimbulkan pusaran yang meledak sewaktu-waktu.
Banyak hal yang patut dicermati kaum muslimin sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang bermartabat : korupsi, pemerintahan, pakaian, film , pornografi, makanan, hukum dst. Ketika media massa dengan segala kebijakannya tak mampu menyalurkan seluruh aspirasi masyarakat, media sosial dan media online menjadi penyalur aspirasi.

Sebagai contoh, pornografi.
Sebagian pihak beranggapan produk sensual tidak masuk area pornografi, sebab seni menyiratkan banyak hal, ekspresi dan eksplorasi. Pihak lain beranggapan bahwa produk sensual menyuarakan immorality. Ketika media membela satu pihak, sisi yang lain membutuhkan ruang menyuarakan pendapat.

Siapakah yang diizinkan berpendapat?
John Stuart Mill yang dinggap bapak demokrasi mengatakan, jika seluruh ummat manusia berpendapat sama dan hanya satu orang yang berbeda, maka seluruh ummat manusia tidak boleh membungkam satu orang yang berbeda pendapat. Begitupun, satu orang yang memiliki pendapat berbeda –hanya karena ia berkuasa- tak boleh membungkam suara banyak yang dikuasainya (Syah, 2012).

Pendapat Mill telah diterjemahkan ke dalam beberapa kebijakan Pers. Beberapa tata aturan masalah penyebaran informasi terdapat dalam UU Pers no 40/1999. Beberapa contoh pasal sebagai berikut :

PASAL 1
(1)Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
(2)Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.

PASAL 3
(1)Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan, dan kontrol sosial.
(2)Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.

PASAL 4
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, atau pelarangan penyiaran
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum , wartawan mempunyai hak tolak

PASAL 9
(1)Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2)Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.

Pro Kontra Jurnalis dan Media Islam : bolehkah berpihak?

Tidak semua media Islam memenuhi azas jurnalistik yang baik seperti ABC ( accuracy, balance dan clarity) serta cover both side. Akibatnya, berita-berita yang disiarkan pun tidak credible dan sulit dipercaya. Utamanya berita online yang demikian mudah copy paste, tanpa menelisik kebenaran berita apalagi konfirmasi dari pihak pertama. Namun, bukan hanya media Islam saja yang demikian. Media-media yang beredar di tengah masyarakat umumnya memanjakan publik dengan pemberitaan yang digemari.

Jacob Oetama memperkenalkan Insight Journalism ( Jurnalisme Makna) , Martin Bell wartawan perang BBC memperkenalkan Journalism of Attachment dimana jurnalis berhak melibatkan perasaan melaporkan pengalaman subyektif.
Dulu, ketika meliput perang Palestina maka seorang wartawan harus meliput cover both side – harus melaporkan dari dua sudut pandang pihak bertikai yaitu Palestina dan Israel. Sekarang, wartawan boleh melaporkan dari sudut pandang sepihak : Israel saja atau Palestina saja. Tak heran, banyak jurnalis yang melaporkan keberpihakan pada Palestina lantaran hati mereka tersentuh oleh penyiaran informasi yang tidak sebanding. Jurnalis, wartawan, penulis, boleh melakukan pengamatan subyektif dan melibatkan perasaannya, di sisi manapun ia berdiri. Silakan ia empati terhadap perjuangan bangsa Israel, dan silakan pula ia peduli pada perjuangan bangsa Palestina. Dunia tak boleh membungkam Palestina, hanya disebabkan penguasa saat ini adalah bangsa tertentu.

Begitupun media Islam.
Jurnalisme masa depan sesungguhnya bukan hanya sekedar cover one side, cover both sides namun juga cover many sides or multi-angles. Beragam sudut harus ditampilkan saat menampilkan berita dengan tetap mempertimbangkan ABC. Immerse journalism menjadi salah satu genre jurnalis yang digemari , jurnalis yang “berbaur” dengan obyek liputan.

Seorang penulis media online, penyebar informasi, merasakan betul “immerse” menjadi seorang muslim di negara mayoritas muslim ini. Berbeda sedikit dengan arus kebanyakan, semisal pakaian : bergamis, berjubah, berjenggot, bercadar, maka stigma muncul dan melekat sebagai kaum fundamentalis dan radikal. Akibatnya kaum muslimin resah bertindak. Padahal, negara menjamin kebebasan seluas-luasnya bagi mereka yang berpakaian menampilkan dada dan paha.

Pers memberikan kebebasan pada munculnya film, berita yang menonjolkan sensualitas; namun tulisan-tulisan yang mengajak warga muslim Indonesia untuk lebih memperhatikan busana yang dituntunkan oleh agama, mendapatkan sorotan sebagai fundamentalisme.
Apalah lagi tulisan yang berusaha membahas hukum, ketatanegaraan, politik, hubungan bilateral dan multilateral; akan mendapatkan stigma lebih berat dan buruk lagi bagi jurnalis Islami. Bahkan, bila menyoroti hal-hal yang lebih sensitif semacam keberpihakan ekonomi, peperangan, persenjataan, maka stigma terorrisme akan melekat pada penyebar informasi. Padahal sekali lagi, label teroris harusnya melekat secara politik pada pihak berkuasa yang melakukan kekejaman demi memaksakan kehendak, bukan pada penyiar informasi.

Memang, sekian banyak media massa, media online, media sosial, memberitakan hal-hal subyektif yang sangat jauh dari ABC, baik media Islam ataupun bukan.
Bila media Islam yang melakukan one both side, immerse journalisme, dan muatannya dianggap meresahkan; masih ada jalan-jalan bijak yang ditempuh oleh negara.

UU Pers no 40 199 cukup jelas menjabarkan hak tolak, hak jawab, dan sekian pasal yang menyangkut hak serta kewajiban insan pers. Situs-situs Islam termasuk pers yang menjadi kekayaan demokratis negara. Bila dibungkam dan menjadi arus bawah, tentu negara sulit lagi mengendalikannya.

Ibnu Khaldun menuliskan dalam Muqadimah , Pasal ke-3 dari Kitab Pertama : Pasal 24

“Tindakan Ofensif Membahayakan Kerajaan dan Menyebabkan Kehancuran “

“….Sebab apabila penguasa bertindak bengis dan sewenang-wenang, dengan menerapkan berbagai sanksi berat, dan mencari-cari kesalahan rakyat dan dosa-dosa mereka; maka mereka akan diselimuti ketakutan, kehinaan dan cenderung berinteraksi dengannya dengan kedustaan, kemunafikan dan tipu daya, hingga sifat-sifat buruk tersebut menjadi kebiasaan dan etika mereka. Pandangan mereka pun menyimpang, dan bahkan terkadang mereka mengkhianatinya dalam emdan perang dan pembelaan kerajaan. Dengan begitu, tak ada lagi kekuatan yang melindungi karena rusaknya niat mereka….”

Naudzubillahi mindzalik.
Apabila sifat-sifat buruk menjalari warga Indonesia, tak ada lagi yang berniat melindungi negara ini. Bila rakyat dicengkram ketakutan bersuara; maka rakyat akan mudah berdusta untuk menyenangkan pihak penguasa sebagaimana rumus Ibnu Khaldun. Bila hubungan penguasa dan rakyat tidak fair, maka mudah bagi rakyat untuk membelot serta berkhianat. Apabila terjadi, bukankah kehancuran negara dapat diprediksi?
Mari berdoa dan berharap, Pemerintah melakukan tindakan bijak terkait situs-situs Islam yang merupakan anggota pers Indonesia.

Referensi :
Khaldun, Ibnu. Mukaddimah. Pustaka al Kautsar, 2001
Kamus Umum Bahasa Indonesia
Kamus Belanda-Indonesia
Syah, Sirikit. Rambu-rambu Jurnalistik. Pustaka Pelajar, 2011
—————. Watch the Dog. RM Books. 2012

Dewanpers.or.id

jurnalis iconjurnalis

Kategori
Catatan Perjalanan mother's corner Oase

Ungkapan hati seorang Nenek 73 tahun mengenai sosok Capres Prabowo Subianto

Kekagumanku pada beliau bukan hanya sekarang, bahkan semenjak aku masih menjadi mahasiswi di sebuah Perguruan Tinggi Negeri Yogyakarta.
Kusaksikan semenjak mengemban tugas sebagai prajurit sampai melesat menjadi Danjen Kopassus (yang sebelumnya bernama RPKAD, Pasukan Baret Merah yang saya banggakan itu) karena prestasi-prestasinya, sampai akhirnya menjadi Pangkostrad.
Sering prestasi yang beliau capai dikait-kaitkan dengan opini, “itukan karena beliau adalah menantu Presiden!!!”
Pada pandangan saya beliau adalah seorang gentlemen. Seorang yang selalu “ menggenggam” nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam situasi apapun.
Saya sangat bangga sebagai orang Indonesia yang saat itu memiliki pasukan TNI AD / Kopassus yang sangat ditakuti lawan-lawan negara.
Kekaguman saya semakin bertambah pada saat terjadi peristiwa kerusuhan di tahun 1998 , dimana beliau saat itu ada dalam arus pusaran peristiwa tersebut.
Sebagai menantu presiden ( yang sedang ada dalam akhir kekuasaan) dan sebagai prajurit, yang tugasnya sebagai pembela negara dan pemersatu bangsa (NKRI) dilemma itu tentu saja beliau alami sangat sulit.
Tapi lagi-lagi saya menyaksikan betapa dengan kokohnya beliau masih memegang nilai-nilai kebenaran itu , meski terfitnahkan dimana-mana.
Alhamdulillah saya tidak termakan oleh fitnah itu. Dan saya saat itu tetap yakin bahwa tujuan beliau adalah benar.
Tapi saya sangat sedih ketika beliau diberhentikan (dengan hormat) dari TNI AD. Hakekatnya bersalahkah beliau??? Kalau tindakan-tindakannya saat itu untuk menyelamatkan NKRI? Batinku bertanya.

Tentu saja dengan pengorbanan perasaan yang sangat besar. Beliau hadapai pemberhentian tugas itu dengan tegak, tegar dan percaya diri bahwa beliau sekedar memperjuangkan kebenaran demi NKRI.
Lama aku tidak mendengar kabar beliau. Kabarnya , beliau ada di negeri orang karena penguasa negeri itu adalah sahabatnya (beliau banyak sahabat-sahabatnya).
Beberapa tahun kemudian, kusaksikan dilayar televisi, beliau diangkat menjadi ketua HKTI…aku bertanya : mantan Jenderal, mengurusi tani dan nelayan??? Alangkah mulianya dan merakyatnya beliau!!
Kemudian kusaksikan ada Partai Baru “GERINDRA” di bawah pemimpin beliau. Aku ingin ikut bergabung, tapi aku tahu diri, aku sudah bukan anak muda lagi.
Tapi aku sedih ketika pilpres tahun 2009; beliau “hanya” mencalonkan diri sebagai wakil; padahal saya yakin, beliau lebih hebat dari capresnya. Tapi sungguh ini sebuah hikmah bahwa saat itu yang terpilih adalah bapak SBY.
Dan sekarang beliau menyadari bahwa rakyat Indonesia membutuhkan beliau dan dengan sigapnya layaknya sikap seorang prajurit mencalonkan diri sebagai Presiden.

Bravo, Pak.
Tentu saja aku memilih capres no 1.
Semoga Allah meridhoi. Amin. Amin. Amin.

Siti , Nenek dari 10 cucu
Lulusan sarjana Farmasi 1973, Yogyakarta

Surat utk prabowo 1

Surat utk Prabowo

Kategori
Cinta & Love mother's corner Tulisan Sinta Yudisia

Mari Berpolitik!

Pernahkah anda mengajarkan si kecil berpolitik?
Bagaimana mungkin mengajarkan anak di bawah umur untuk memilih partai, anggota legislatif dan memahami cara politik bekerja! Tentu, bila makna politik dipersempit sebagai cara seseorang mendapatkan posisi dalam pemerintahan, kita tak mungkin mengajarkan anak SD berpolitik.
time-young-voters

Perilaku seseorang tidak dibentuk hanya dengan sekali kejadian. Mengapa seorang anak takut kecoak dan berseru girang melihat kucing, apalagi gajah dan jerapah? Secara logika, jika takut melihat kecoak, maka akan semakin takut melihat binatang yang jauh lebih besar. Proses berpikir, adaptasi, modelling dan seterusnya membentuk perilaku hingga setelah dewasa pun, kita berseru jijik dan gemas melihat kecoak. Padahal cukup sekali injak, gepenglah ia.

Stereotip tentang polisi pun demikian.
Sejak kecil, ketika si anak susah makan, ibu akan berkata ,”awas, nanti Mama panggilkan polisi!”
Tak cukup hanya itu, si kecil menyerap demikian banyak informasi dari sekitar, ketika percakapan orang dewasa terjadi ,” pakai helm, biar gak ditilang polisi!” atau ,” ah, terobos lampu, gak ada polisi di perempatan jalan kok.”
Sosok polisi yang jahat, nakal, ditakuti menjadi terpatri dalam benak dan demikian sulit bagi kita mengubah citra polisi padahal masih banyak polisi yang baik dan jujur di tengah masyarakat.

Belajar Dialog
Suatu ketika si kecil menangis sesenggukan.
“Aku nggak mau ngomong lagi! Tiap kali berantem, mesti aku yang dimarahin! Aku mau diem aja!”
Rupanya, si kakak yang sudah pintar argumen berhasil menyudutkan si kecil hingga ia yang tak tahu harus bicara apa lagi, hanya bisa menangis. Ada kalimat berbahaya yang diungkapkannya, sebagai makhluk tertindas , “aku nggak mau ngomong lagi!”
Seolah-olah, dalam kondisi kalah dan tak berdaya, pilihan tidak bicara adalah jalan satu-satunya.
“Eh, Nis harus bicara.”
“Nggak mau!”
“Nanti tambah mangkel lho, tuh lihat, karena nggak mau ngomong air matanya jadi bercucuran begitu. Berarti hati Nis marah kan!”
“Nggak mau!”
“Mas tadi ngomong jelek ke Nis ya?”
“Nggak mau! Pokoknya nggak mau!”
“Sini peluk Ummi dulu,” aku menghapus airmatanya dan menenangkan di bahu.
“Aku dibilangin: telingamu buat apa sih? Dikasih tau nggak mau dengar…”

Dan mengalirkan cerita dari mulut si kecil yang bagi kita sangat amat sepele.
Tahukah anda, bahwa tahapan ini kita tengah mengajarkan si kecil berpolitik, sebagaimana kata Charles Blattberg yang mengatakan bahwa politik adalah merespon konflik dengan dialog?
Kita membiasakan di tengah keluarga bahwa yang kecil tak harus mengalah dan bersedia di tindas. Begitupun yang besar, tak boleh sewenang-wenang, boleh berlaku seenaknya sendiri meski ia berada di pihak yang benar.

Belajar Mendapatkan Sesuatu
Si kakak ingin burung hantu.
“Aku mau melihara burung hantu. Pokoknya aku kepingin banget! Aku dah bosan melihara ikan, Ummi.”
Tentu, ayahnya marah. Sebab kami pernah memelihara kelinci, kucing, hamster yang hasilnya…mati semua. Hanya ikan-ikan yang masih bertahan : koki, kuhli, ikan pedang, ikan gelas dsb yang perlahan juga wafat satu demi satu. Tapi alasan si kakak ,” dulu kan aku masih kecil, makanya hewan-hewan pada mati. Sekarang aku sudah besar. Aku mau melihara burung hantu. Seperti Soren, dalam Guardian of Gaa’hole!”

Kukatakan pada si ayah bahwa kita tak boleh mengebiri begitu saja keinginan seseorang. Justru kita harus bantu, sejauh mana ia mampu mewujudkannya, dengan cara yang realistis.
“Oke. Kamu boleh searching di internet, cari berapa harganya, apa makanannya, bagaimana cara memeliharanya.”
Si kakak rajin mencari di internet, kaskus dan bermacam-macam situs. Ia mendapatkan informasi berapa harga burung hantu sepasang, berapa harga jangkrik, berapa harga glove atau sarung tangan hantu. Si celepuk atau burung hantu ini hanya melek di malam hari, bisa disuapi di waktu malam. Jadi si kakak bisa merawatnya sepulang sekolah.
Semua informasi siap. Tempat membeli sudah diketahui.
“Jadi, kapan kita beli?” kata si kakak.

Itulah. Permasalahan terakhir adalah permasalahan budget. Harga 500 ribu lumayan mahal untuk memelihara hewan. Berbeda dengan koki mutiara yang hanya 25 ribu dapat beberapa buntal.
“500 ribu, Mas? Bagaimana kalau kita mencicil? Kamu menyisihkan dari uang sakumu?”
Kalau ia mau tidak jajan, jalan kaki, tidak boros uang, mungkin sebulan bisa menabung 50 ribu dan dalam setahun ke depan bisa membeli si Celepuk. Atau,
“perbanyak sholat. Banyak menghafal Quran. Ummi sering dapat rezeki mendadak lho dengan banyak berdoa.”

Anak-anak sering kuceritakan keajaiban doa safar, keajaiban sedekah, dan bagaimana ketika memohon bersungguh-sungguh; impian dapat terkabul. Impian yang kecil sekalipun.
Apa yang dipelajari kakak dalam proses membeli burung hantu itu adalah proses yang digambarkan Harold Laswell tentang politik : siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Kita mengajarkan anak-anak yang lebih besar untuk menghormati yang lebih kecil, mengajarkan mereka untuk bertahap memperoleh sesuatu. Tak ada yang instan, semua harus di program dengan baik, butuh step by step meraih apa yang diinginkan.

Belajar Memimpin, Belajar Dipimpin
Dua kakak telah duduk di bangku SMA.
Belajar organisasi, belajar interaksi. Pembentukan karakter di masa ini sungguh-sungguh punya relasi dengan dunia politik. Suatu ketika kami dipanggil sekolah karena ananda tidak mengumpulkan beberapa tugas. Masa sih? rasanya, putri kami termasuk orang yang perfect dalam urusan akademik.
Ternyata, si kakak putri punya tugas kelompok dan ia menjadi ketua. Akibat karakter perfectnya, ia tidak bisa mendelegasikan tugas.
“Soalnya si ini gak punya laptop, si ini gak ada bukunya, si itu bla bla bla…”
“Kak,” tegurku. “Sekalipun papermu nilanya 100 atau A, tapi kamu kerjakan sendiri, percuma. Biar saja teman-temanmu sulit baca referensi in English, hanya bisa copy paste, gak bisa bikin struktur kalimat yang bagus dan seterusnya; lalu nilai paper kalian hanya dapat 70 itu jauh lebih baik. Karena saat ini kamu sedang belajar berkelompok, bekerja sama. Kecuali kalau tugas individual, kerjakan ngotot dapat 100 ya nggak masalah.”
Di lain pihak, si kakak yang satunya, mau aja diminta mengerjakan beragam hal.
Urunan ini, urunan itu. Beli ini, beli itu. Kerjakan ini, kerjakan itu.
“Lha, kok kamu capek banget sih kayaknya di organisasi X.”
“Aku kan nggak bisa enak-enakan, meski aku cuma dapat seksi gak penting, Mi.”
“Tapi kamu harus bisa memilah, mana yang harus ditaati. Nggak semua permintaan kakak kelas dituruti kalau itu di luar budget, di luar kemampuan.”
Kukatakan, dalam rapat-rapat, si kakak jangan hanya jadi pendengar saja.
“Kamu sekali-sekali mengajukan pendapat, usul. Suatu saat, kakak yang harus bisa me- manage teman-teman. Jangan hanya bersedia jadi pelaksana. Makanya, ayo belajar berpikir.”

Belajar politik ala Confucius, bahwa politik berarti kecukupan makanan, kekuatan militer, mendapat kepercayaan rakyat. Terlibat dalam organisasi sejak masih SMP atau SMA dalam OSIS atau kegiatan ekstrakurikuler lainnya, bertanggung jawab pada salah satu seksi, menjadi ketua panitia atau ketua organisasi berarti belajar politik ala Confusius – meraih kepercayaan orang lain , menjaganya.

Mendorong Anak-anak Berpolitik
Politik tidak hanya sekedar pencoblosan saat pemilu. Politik tidak hanya sekedar hingar bingar kampanye. Politik bukan cukup pasang baliho dan spanduk. Belajar politik, terutama bagi anggota keluarga dapat dilakukan dimana saja, dengan media apapun yang dimiliki.
Ketika menonton film Korea bersama anak-anak, itu adalah ajang politik keluarga. Kami terharu bersama, menangis menikmati penggal I am a King atau Masquerade; kisah tentang orang biasa yang memiliki wajah mirip dengan raja, lalu bertukar tempat karena satu insiden. Bagaimana raja dan putra mahkota yang pengecut, belajar banyak dari rakyat yang pura-pura menjadi raja. Seorang rakyat terkadang memiliki keberanian dan kebijaksanaan yang tak terbayangkan. Saat berhadapan dengan menteri yang korup dan ditakuti, sang raja berkata,
“ …karena orang-orang seperti engkaulah, Joseon ditindas oleh kerajaan Ming!”

Menonton Tae Guk Ki , Berlin’s File , The Man From Nowhere atau serial the Great Queen Seondeok ; menikmati tayangan music Korea, melihat jajaran restoran Dim Sum di pinggir-pinggir jalan kami bertanya-tanya : bagaimana mungkin dalam jangka waktu tak kurang dari 20 tahun Korea Selatan merangsek seperti ini? Merajai dengan makanan, film, musik, budaya, barang elektronika dsb?
Budaya adalah produk masyarakat. Bersama budaya ada seni sastra, seni musik, seni teater dan drama, film, kuliner dll.
Saya berpesan kepada anak-anak,
“suatu saat kalian harus buat film serial sebagus the Great Queen Seondeok. Ada banyak peristiwa sejarah yang bisa difilmkan kolosal dan spektakuler , perang Badar dan perang Uhud, misalnya. Atau kisah Walisongo, perang kemerdekaan, perang Diponegoro dan sebagainya.
Kalian harus bikin grup musik yang mengangkat tema batik. Lihat, budaya Korea dengan oplas nya begitu diminati anak muda.”

Setiap pulang dari perjalanan, saya bercerita tentang daerah tersebut kepada anak-anak. Betapa di Gaza, Palestina yang terblokade, angkutan umum terdiri dari mobil bagus dan nyaman. Betapa Gaza berusaha mandiri dengan apa yang dimiliki, tidak melulu bergantung pada bangsa asing.
“Suatu saat nanti, Anak-anak, kalau kalian memimpin, semoga kalian membawa Indonesia lebih baik. Membawa Indonesia seperti yang diimpikan Sayyid Quthb : akan ada sebuah negeri yang menjadi mercusuar dunia. Negeri muslim yang kaya.”

Jadi, berpolitiklah dari sekarang.
Jangan bekukan politik hanya di era 5 tahunan, dalam kotak-kotak kepentingan. Jangan termakan propaganda dan tendensi media tertentu. Kita bangun politik mercusuar, dari rahim rumah-rumah kita. Anak-anak bangsa yang bijak bestari, berani bersuara, tangguh dalam pentas dunia, cerdik mengelola masalah, pandai menemukan solusi.

Menjelang 2014, bentuk persepsi anak-anak dengan informasi yang membangun character building. Jangan biasakan caci maki, jangan biasakan stigma. Katakan bila kita memilih seseorang, kita harus tahu kredibilitasnya, harus tahu apa program kerjanya. Mungkin anak-anak belum tahu betul tentang politik, sebagaimana filosofi politik ala Plato dan Aristoteles. Tapi kita bisa bangun pemahaman mereka tentang politik, sebagaimana Sultan Murad saat mendidik al Fatih, the Conqueror – tentang Konstantinopel.

Mari ajarkan anak-anak berpolitik.
“Nak, Indonesia ini kaya. Negeri ini milik kalian. Suatu saat nanti, ketika kalian besar, kalian yang akan mengelolanya. Maka, belajarlah dari Umar, saat memimpin ia masuk ke pasar dan blusukan hingga daerah-daerah. Belajarlah dari Abubakar. Belajarlah dari Shalahuddin al Ayyubi.”

Anak-anak kita belum faham betul tentang partai.
Tapi anak-anak mulai belajar untuk bersuara, menyatakan pendapat, berdialog dengan baik, tidak pragmatis. Dan, karakter kepemimpinan termasuk pemimpin politik, kita bangun di sini, dalam ruang-ruang rumah kita. Di Quran yang dihafalkan. Di meja makan. Di kamar. Di depan televisi. Di halaman-halaman buku yang dibaca dan didiskusikan bersama.