Ada suami yang mengeluhkan istrinya sekarang sangat khawatir kalau suaminya selingkuh. Sampai-sampai ke manapun suami pergi, dikuntit. Termasuk ke kios terdekat.
Ada jomblo yang curhat, ia dan kawan-kawannya semakin takut menikah.
Ada perempuan-perempuan yang bercerita, mereka semakin geram dengan pelakor.
Ada orang-orang yang mengutuk : writing therapy? Sesudah sakit hati makan royalty? Yang nulis sembuh, yang baca jadi sakit? Gak usah writing therapy! Kalau sakit, sakit aja sendiri!
Novel Layangan Putus dan web series di We TV menuai pro dan kontra. Ada yang terinspirasi dengan ketegaran Kinan, tapi ada pula yang gusar dengan issue perselingkuhannya. Apalagi, sosok Aris menurut Benni Setiawan sang sutradara, dikisahkan manipulative. “Manipulatif” adalah keahlian yang jauh melampaui keahlian berbohong atau berdusta. Dalam hidup, saya pernah bertemu pembohong. Pernah bertemu orang-orang yang manipulative. Percayalah, ngeri kalau bertemu dengan orang manipulative. Teman manipulative bisa memakan kita sampai habis. Pasangan hidup manipulatif? Sengsara sampai ke tulang sum-sum.
Sekalipun aktivitasnya sama-sama menulis (writing); konsep writing therapy dan teknik menceritakan kembali (story telling) – terutama untuk publikasi sangat berbeda.
WRITING THERAPY (WT)
Terapi menulis merupakan salah satu cabang dari art therapy (AT) , digagas oleh James Pennebaker. Apa perlunya? Ternyata tidak semua orang bisa datang ke konselor atau psikiater lalu cerita, “…saya punya masalah berat. Saya cek cok dengan suami, kami bertengkar terus. Capek rasanya. Pingin ada jalan keluar. Apa jalan keluar terbaik? Saya siap dengan segala konsekuensinya.”
Kalau masalah psikologis bisa diceritakan segampang itu, banyak perkara beres.
Kenyataannya, orang yang punya masalah psikologis seringkali punya multiproblems dalam hidupnya. Sejak kecil dianiaya, gak punya rasa percaya diri, keluarga berantakan, gak pernah punya sahabat, gak pernah punya prestasi yang bisa dibanggakan. Hidupnya terombang ambing, lalu dia menikah. Punya masalah? Dia bahkan bingung harus cerita atau tidak! Padahal sudah babak belur.
Babak belur kayak apa?
Sudah menyakiti diri, menyakiti anak. Gak tau pernikahan harus bertahan atau harus terus. Hari demi hari diisi kecemasan sangat yang bahkan, membayangkan kematian jauh lebih manis dari hidup.
Cerita gak gampang. Masih mending kalau dipercaya. Kalau nggak? Kalau malah dikasih nasihat? “Yang sabar ya…yang lebih parah dari kamu banyak. Emang pernikahan pasti ada aja cobaannya.”
Wah, semakin ngerasa kalau diri harus diam seribu bahasa. Kenapa? Karena kalau curhat ujung-ujungnya kita pun akan menyalahkan diri sendiri , “ngapain sih cerita-cerita? Lebay, tau! Kamu aja yang terlalu lemah. Mau diledek cengeng, baperan, kayak anak kecil?”
Di sinilah fungsi writing therapy.
- Mengosongkan emosi buruk yang udah numpuk-numpuk kayak tempat pembuangan sampah akhir. Mana plastik, mana kertas, mana makanan basi; udah kecampur-campur gak keruan
- Mencoba berdiskusi dengan diri sendiri : “Sebetulnya apa mau diriku?”
- Menganalisa perasaan, pikiran dan apa perilaku-perilaku diri sendiri. Baik yang negatif maupun positif
- Menjadi tahap awal proses penyelesaian dengan orang yang bersangkutan. Ingat ya, tahap awal.
Ibaratnya begini.
Saya punya masalah sama Aris. Pingin banget ngomong tapi gak bisa. Gak bisa karena takut dibilang istri gak baik, gampang curiga, selalu nuntut ke suami. Apalagi kalau suami temperamental dan main baku hantam. Tambah gak berani ngomong. TAPI AKU PINGIN NGOMONG! UDAH PENUH DADA & KEPALA, MAU MELEDAK RASANYA. Kepala sakit. Dada sakit. Tubuh sakit. Makan susah, tidur apalagi.
WT mengawali itu semua. Kayak diary. Saya nulis apa aja kecurigaan, perasaan, kekhawatiran, pikiran terkait Aris. Kadang, saking geramnya dengan Aris, saya gak bisa ngomong. Nama Aris gak muncul di WT, yang ada hanya inisial : XXX dengan tinta merah! Bahkan kadang, nama XXX sampai kita urek-urek-urek dengan tinta merah atua hitam sampai kertas bolong!
Begitu emosi tertumpah, lega. Pikiran jernih, mata terbuka. Maka persoalan setahap demi setahap mulai dirancang penyelesaiannya. Buat plan A, plan B, plan C, dsb.
Tapi, WT pun ada aturannya.
- Tidak boleh dipublish
- Dijaga kerahasiaannya, bahkan Aris pun jangan sampai tahu
- WT harus ditingkatkan ke tahap skill yang berikut : asertif, negosiasi, dst. Sebab pada akhirnya, konflik dengan manusia lain harus diselesaikan
- WT tak berhasil? Mungkin perlu dibantu psikiater terkait farmakologi
Banyak testimoni terkait WT ataupun AT. Bahkan, bisa menyelesaikan kasus traumatic. Namun sebagian besar yang saya ketahui, mereka rata-rata mempublish kisah sejatinya terkait perjalanan hidup dengan WT atau AT ketika persoalannya sudah selesai. Sebab, saat proses terapi, psikis sedang rentan. Mempublish, berarti siap dengan konsekuensi. Bisa jadi bukan menuai simpati, malah dimaki-maki.
STORY TELLING
Ada kisah-kisah WT yang diangkat menjadi novel atau film. Based on true story. Inspired by true event. Dalam story telling yang nanti bisa dikategorikan fiksi (novel, cerpen, film, sinetron), feature (kisah nyata yang dikemas dengan bahasa populer), autobiografi (kisah nyata diri sendiri), buku motivasi/ how-to, artikel , penelitian dan lain-lain; pasti ada perbedaan. Pasti ada penekanan. Karena targetnya berbeda. sasarannya berbeda, dan tujuan story telling atau penceritaannya berbeda.
- Penelitian : angka perceraian di Indonesia …%. Perselingkuhan…%. Masalah ekonomi…%
- Artikel : di era pandemic, angkar perceraian meningkat. Diduga penyebabnya adalah himpitan ekonomi dan kebosanan
- Autobiografi : kisah sejati Aris dan Kinan melewati prahara, dituliskan oleh Kinan
- Biografi : kisah sejati Aris dan Kinan melewati prahara, ditulis oleh Sinta (dengan perspektif psikologis, feminism, agama, dsb)
- Novel : kisah awal sampai akhir. Banyak bumbu-bumbunya, jumlah halaman bisa 200, 500, 1000. Banyak tokoh, banyak pengembangan karakter, banyak setting, banyak konflik.
- Film : apa kisah paling menarik Aris Kinan yang bisa diangkat dalam jangka waktu 2 jam?
- Sinetron / web series : apa kisah paling menggedor emosi, sehingga pemirsa bisa teringat terus serial itu, dan menanti-nantinya untuk pekan depan? Yang pasti bukan kisah kesulitan ekonomi, konseling, mendidik anak, kehamilan. Kisah paling menggedor emosi adalah konflik antar manusia, salah satunya : perselingkuhan
WRITING THERAPY & STORY TELLING
Adakah mereka yang menjalani writing therapy karena kasus traumatic, sekaligus membuat story telling mengesankan? Bagaimana jika keinginan penyintas untuk berbagi cerita dengna harapan orang di luar dirinya menjadi mengambil pelajaran, justru yang terjadi sebaliknya?
Film Joker misalnya, film itu bagus bagi kita untuk sadar betapa pentingnya kesehatan mental. Tapi film itu juga yang menginspirasi Kyota Hattori melakukan tindakan kejam di kereta api Tokyo, Oktober 2021 silam. Bukan hanya Joker yang menimbulkan inspirasi kelam. Film Birth on Nation, menjadi inspirasi terbentuknya Ku Klux Klan yang bahkan hingga kini masih terasa gerakannya. Termasuk dalam beberapa insiden Black Lives Matter, gerakan atas tewasnya George Floyd.
Beberapa WT menjadi sumber inspirasi kebaikan . My Journey Through Postpartum Depression dikisahkan dengan cantik oleh Brooke Shield. God’s Call Girl adalah kisah ekstrim Carla van Raay, seorang biarawati yang menjadi PSK. Sejak kecil ia diniaya secara seksual oleh ayahnya, yang kalau kita baca kisahnya, merinding panas dingin –adakah orang seiblis itu, dengan predikat seorang ayah?
Ada juga story telling yang menimbulkan pro kontra.
The Unspeakable Crime of Andrea Yates : Are YouThere Alone (Suzanne O’Malley) , kisah Andrea Yates yang membunuh 5 anaknya. Membuat kita tersadar pentingnya menjaga kesehatan mental ibu, terutama ibu yang memiliki anak kecil. Namun buku itu juga menjadi sumber kritik bagi mereka yang ingin punya anak banyak, yang tidak punya akses kesehatan, yang loyal pada agama tertentu, termasuk mahalnya obat-obat psikiatrik.
Battle Hymne og Tiger Mother karya Amy Chua pun demikian. Ibu macam apa Amy Chua, yang memaksa anaknya minum parasetamol ketika demam, hanya supaya anaknya tak melewatkan waktu les musik? Ibu macam apa yang memaksa anaknya untuk dapat nilai A semua dan hanya mengizinkan satu nilai B untuk mapel pilihan?
Ada 6 milyar manusia di atas muka bumi, dengan 6 milyar kisah hidup. Dengan 6 milyar persepsi. Jangan harap menyamakan persepsi karena latar belakang hidup masing-masing sangat berbeda. Apakah WT mungkin dijadikan ST yang menarik? Mungkin saja. Apakah yang perlu dipilih bagi ST : kisah bombastisnya, kekuatan karakternya, atau solusinya? Tergantung ST yang mana.
Yang pasti, ada sebuah premis dalam dunia kepenulisan.
“Sekali karyamu dilepas ke umum, ia menjadi milik dunia.”
Artinya, WT yang semula disimpan rahasia dan hanya menjadi milik pribadi, tak akan menimbulkan pro kontra. Tentu, tak ada efek luas kecuali bagi si penyintas. Tapi ketika menjadi ST yang dilepas ke umum, ia punya efek luas. Positif dan negatif sekaligus.
Bagaimana mengontrol negatifnya?
Disitulah para kritikus sastra dan orang-orang yang kompeten di bidangnya berperan.
Jadi, apa pendapat anda?