Kategori
Buku Sinta Yudisia Fiksi Sinta Yudisia Gaza Kami Oase Sastra Islam Sejarah Islam Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Mengutip Sastra Cinta bagi Palestina

 

 

Aku tidak lagi bisa berbual-bual menulis tentang Palestina. Sudah cukup berita mewartakannya. Terlalu sakit jejak yang ditorehkan dalam hati, sementara kita tak bisa berbuat apa-apa selain berduka dan mengutuk.

Hari ini aku ingin berbagi kepada kalian semua dan mereka , kepada anda dan kamu, kepada kita dan kami. Kepada pembaca blog, facebook dan siapapun yang masih dapat mengeja simbol. Palestina akan selalu ada. Dalam debu, dalam batu, dalam angin, di riak ombak dan laut, dalam perundingan-perundingan dan sastra-sastra dunia.

Aku cuplikan, ketikkan ulang, secuil bagian heroik dari buku tentang Palestina yang kumiliki. Secuil ini semoga menggelitik hati, untuk ikut memikirkan sesuatu tentang Palestina.

 

Moonlight on Holy Palestine.JPG
Kisah indah dan heroik

Moolight on The Holy Land Palestine ~ Yahya Yakhlif

 

…….

Di sebuah jalan kecil menuju Jerusalem, kami berhenti di sebuah gerumbulan phon zaitun di pinggir jalan untuk makan dan istirahat. Kapten Ma’moun duduk bersama-sama kami, makan seperti yang kami makan, dan mengobrol bersama. Dia menebarkan optimisme, menginpsirasi kami dengan keberanian dan keteguhan hati, memenuhi jiwa kami dengan kegembiraan karena turut ambil bagian dalam mempertahankan kota suci Jerusalem.

Dia berbicara dengan aksen Damaskus yang elok, dan tak pernah melepaskan kacamata yang membuatnya terlihat lebih menarik dan menjadikan warna kulit Damaskusnya terlihat lebih terang.

“Aku mulai mempercayainya,” kata Najib saat kami kembali ke truk dan iring-iringan melanjutkan perjalanan. Najib minum dari botolnya, lalu bergumam : “Kapan kita akan sampai ke Jerusalem?”

 

………..

Kami menuju ke markas regional untuk istirahat sebentar. Kemudian kapten Ma’moun menerima telegram dari komandan tertinggi dan memanggil kami agar bekumpul.

“Saudaraku,” katanya ,” pertempuran di Mishmar Haemek semakin berat. Musuh telah berhasil menambah kekuatannya, dan kita harus membantu membantu membendung serangan mereka.”

Dan itulah yang kami lakukan, membendung gempuran pasukan Hagannah yang menyerang kami pada sebuah front luas. Sebagian besar pasukan kami dipaksa mundur menghadapi serangan gencar dari pasukan yang lebih superior dalam jumlah dan kelengkapan. Kami berhasil menerobos kepungan atas korp artileri yang terjebak, melakukan tindakan penyelamatan, dan setelah melalui pertempuran yang sengit, kami berhasil mengeluarkan korp tersebut. Kapten Ma’moun, yang memimpin tugas penyelamatan itu tertembak dan terkapar. Akhirnya, pertempuran mereda dan pasukan kami kembali ke posisi semula. Spirit kapten Ma’moun yang syahid terus menyemangati kami layaknya seekor burung hijau. Meskipun dia telah meninggal, kami merasakan kehadirannya hidup bersama kami, dan kami mengulang-ulang kisah tentang keberanian, karakter, dan kesederhanaannya. Komandan tertinggi telah memilih beberapa orang, termasuk Asad Al Shohba, untuk mengawal jenazah kapten Ma’moun ke Damaskus.

Sebuah pertempuran yang sungguh aneh, penuh pelanggaran, berakhir dengan penarikan mundur pasukan dan kamipun tak mendapatkan apa-apa. Aku dipromosikan menjadi komandan peleton. Meskipun demikian, akudikepung oleh perasaan pahit, benci dan malu.

Kami kembali ke posisi semula, di pinggiran al Mansi. Seragam kolonel Nour Al Din masiih tergantung di dinding kamar, namun rompi peluru tak terlihat lagi disitu. Aku lalu teringat Najib, yang mengucapkan salam perpisahannya dan pergi.

Aku pikir berkah Tuhan akan menyertai lelaki pemberani itu,  kemanapun ia pergi. Semoga mimpi-mimpinya dipenuhi dengan rusa, kupu-kupu, dan bunga; dipenuhi dengan pemandangan pohon muknissat al janna ; dan dipenuhi dengan bau orang yang dicintainya, yang telah menginspirasikan hatinya dengan gairah tak pernah padam.

 

A Little Piece of Ground (Bola-bola Mimpi) – Elizabeth Laird

 

Bola bola mimpi.JPG
Anak-anak Palestina yang pembernai tapi konyol, kocak dan lucu setengah mati!

Ledakan itu, meskipun lebih mirip suara “gedebug”, sempat membuat ketiga anak itu terlompat kaget. Debu beterbangan dari jemabtan di bawah sana. Selama beberapa saat, mereka tidak bisa apa-apa. Setelah debu-debu itu mulai menipis, mereka melihat ketiga tentara itu keluar dari pesembeunyian . Kantong plastik itu sudah lenyap, tapi serpihan plastik dan kertasnya masih melayang-layang di udara, dan akhirnya jatuh ke tanah. Salah seorang tentara menendangi serpihan-serpihan itu dengan kesal. Seorang lainnya menarik tentanra stres itu ke pinggir, lalu membungkuk dan mengambil sesuatu. Dia menunjukkan sesuatu itu pada yang lainnya, meneriakkan kata-kata mirip sumpah serapah, lalu membuangnya. Dia kemudian kembali ke jalan raya.

“Apa itu tadi? Apa yang kamu taruh di dalamnya?” tanya Karim.

Hopper menyeringai senang.

“Batu. Aku tulisi Palestina Merdeka di satu sisi , Matilah Israel di baliknya, dan Pecundang di sepanjang pinggirannya.”

“Oh, Wow! Kereeen..!” mulut Joni sampai menganga saking kagumnya.

“Tapi, mereka kan nggak bisa baca tulisan Arab,” sergah Karim.

“Aku tulis dalam bahasa Inggris, kok.”

Hopper baru saja mengucapkan hal lain ketika suara yang menusuk telinga mulai terdengar. Suara itu mendengung semakin keras.

“Helikopter!” desis Karim. “Mereka menyisir daerah ini. Mereka pasti melihat kita! Kita bakal tertangkap!”

Hopper tidak membuang-buang waktu lagi. Dia langsung mencari tempat berlindung, di atap terbuka itu.

“Di bawah tangki air! Disana!” katanya, “kita harus sembunyi!”

“Nggak ada gunanya,” pikiran Karim berpacu dengan waktu. “Mereka pasti punya alat pendeteksi panas. Mereka pasti menemukan kita. Kita harus masuk ke gedung!”

 

 

 

Jalan jalan di Palestina.JPG
Salah satu buku yang aku suka sekali

Palestinian Walks : Notes on a Vanishing Landscape – Raja Shehadeh

………

Betapa aku iri pada Abu Ameen yang hidup dengan percaya diri dan aman di bukit tempat ia lahir dan mati, yang ia yakin takkan berubah selamanya. Pernahkah Abu Ameen memimpikan suatu hari bukit-bukit bebas tempat ia biasa melarikan diri dari kekangan kehidupan di desa takkan lagi bisa dikunjungi oleh keturunannya? Betapa para pendaki gunung dari mancanegara tak tahu betapa beruntungnya bisa berjalan di negeri yang mereka cinta tanpa amarah, rasa takut, atau tak aman. Betapa berharganya bisa berjalan-jalan tanpa wacana politik berseliweran di kepala, tanpa takut kehilangan apa yang telah mereka cintai, tanpa resah hak mereka untuk menikmatinya akan dirampas. Hanya untuk berjalan-jalan dan menikmati dan menikmati apa yang ditawarkan alam, seperti yang dulu bisa kulakukan.

………

 

Kadang-kadang , ketika bangun pagi dan menatap keluar keperbukitan, aku membayangkan Abu Ameen berdiri di pagi hari di atas qasr-nya jauh di atas bukit. Ia dikelilingi kabut yang memenuhi lembah dan menyamarkan lipatan bukit-bukit, membuat segalanya tampak  licin. Di sekitarnya aku bisa melihat kabut telah sampai ke tiap lipatan dan lekukan lembah, menciptakan danau-danau yang beruap di antara bukit-bukit yang kering dan terpanggang. Ia terus berdiri di ranah yang kini telah terubah itu, mengikuti naiknya matahari di langit, mengamatinya mengisap kabut, mengosongkan danau-danau malam tadi, dan mengembalikan bukit-bukit itu ke keadaan mereka yang lumrah, kering dan bergelombang.

Jika seseorang mencari Abu Ameen, awalnya dia takkan bisa langsung melihatnya, namun begitu kabut mulai memudar dan matahari makin mencerah, muncullah sesosok yang cerlang. Sulur-sulur kabut yang mengelilinginya akan bercahaya terkena sinar matahari. Kerlap kerlip yang berwarna warni akan menerangi tubuhnya, memberinya sayap-sayap seakan ia dapat terbang di atas lembah, sosok yang fana laksana unggas liar atau dewa bukit yang pucat.

Aku sering penasaran kepada Abu Ameen sementara aku berdiri di pagi hari menatap ke pedesaan. Apa yang akan ia katakan jika melihat negerinya sekarang? Akankah jiwanya mendidih dengan amarah pada kami yang membiarkan tanahnya dihancurkan dan diambil alih, ataukah ia hanya akan menikmati satu sarha panjang lagi, membiarkan jiwanya mengembara bebas di atas negeri ini, tanpa kekangan batas-batas, seperti keadaannya suatu waktu dulu?

 

 

Reem ~ Sinta Yudisia

Insyaallah terbit Juli atau Agustus 2017

Reem Cantik Palestina.jpgReem

Oleh Sinta Yudisia| twitter @penasinta| IG : @sintayudisia

I am a writer and psychologist. A mother of 4 children, a wife of incredible husband. I live in Surabaya, and have published more than 70 books. What do I like the most? Reading and writing. Then, observing people. And also, learning new language

3 replies on “Mengutip Sastra Cinta bagi Palestina”

Tinggalkan komentar