Kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga, seringkali tak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Beberapa di antaranya terjadi dalam waktu belasan bahkan puluhan tahun, bahkan menyisakan permasalahan besar yang bahkan tak terselesaikan. Ada yang tegar keluar dari permasalahan, ada yang terseok, ada yang menyerah dan pasrah bagaimanapun endingnya.
Video OSD yang ramai dengan pro kontra (video itu sebetulnya sudah berusia 2-3 tahun lalu, dan baru ramai kini), sesungguhnya menguak kembali pandangan-pandangan kita terkait KDRT. Antara harus sabar atau berani menghadapi situasi, diam terhadap suami atau menentangnya, menyembunyikan permasalahan atau membongkarnya; semua punya persepsi sendiri-sendiri. Yang mencoba bertahan dalam pernikahan karena ingin pahala kesabaran, itu baik insyaallah. Yang ingin melawan kedzaliman karena termasuk jihad fii sabilillah, itupun baik insyaallah.
Saya ingin berbagi cerita tentang mereka yang berhasil bertahan dan berhasil melawan, juga mereka yang gagal bertahan dan gagal melawan. Di sinilah kita merenung, mana kekuatan yang harus dioptimalkan jika ingin memilih salah satu : bertahan atau melawan.
Dimulai dari sebuah fenomena kisah perempuan dengan nama samaran Dea, Lola, Sofia, Mirna
- Dea. Mengalami KDRT panjang. Lalu diam-diam melarikan diri bersama satu anaknya, hanya dengan baju melekat di badan. Perlahan Dea bangkit, bekerja, terseok. Ketika remaja, anaknya memprotes Dea karena Ananda merasa kehilangan sosok ayah
- Lola. Mengalami KDRT panjang. Ia perempuan berkarir yang juga punya trauma kekerasan dalam rumahtangga orangtua. Lola bertahan dalam kesulitan walau dirinya babak belur karena tak ingin anak-anak tak punya sosok ayah
- Sofia. Mengalami KDRT panjang. Ia memutuskan berpisah ketika anak bungsunya berusia SD kelas atas, agar anaknya menjadi saksi dan tidak memprotes ketika orangtua berpisah
- Mirna. Mengalami KDRT panjang. Orangtua Mirna akhirnya turun tangan dan mencari berbagai cara agar Mirna terlepas dari suaminya. Perpisahan terjadi, Mirna terlepas dari KDRT tapi mengalami hantaman psikologis berat karena ia ternyata masih sangat mencintai suaminya
Contoh-contoh lain dari dunia sekitar kita sangat banyak. Bahkan mungkin, di tengah keluarga besar kita ada yang mengalami permasalahan KDRT yang telah terpendam bertahun-tahun. Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa para perempuan itu tidak bisa berpikir logis? Tinggalkan saja lelaki penganiaya seperti itu. Rizqi Allah luas. Jadi, apa yang ditakutkan? Ada beberapa sebab mengapa KDRT menjadi persoalan rumit yang tak mudah diselesaikan seperti sinetron.
- Lelaki yang melakukan KDRT biasanya memiliki gangguan psikologis. Ia tak mudah menerima keinginan istri untuk berpisah. Walau tampaknya sebagai suami ia baik-baik saja, ketika bahasan sampai pada persoalan inti seperti ini : bagaimana pernikahan berjalan seharusnya? Apa yang seharusnya dilakukan pasangan suami istri? Bagaimana suami istri harusnya saling mendukung? Pertanyaan-pertanyaan penting semacam itu tak akan muncul dalam diskusi dengan mudah dan muncul ke permukaan. Pertengkaran, dominasi dan akhirnya salah satu terpaksa diam bila tak ingin pecah pertempuran
- KDRT yang terjadi sekian lama, membuat perempuan pun melemah secara psikologis. Ia rapuh, rentan, sensitif, dan bahkan sulit berpikir jalan keluar. Kenapa? Karena self -esteemnya sudah hancur. Harga dirinya sudah remuk redam. Ketika ada orang yang mengajaknya keluar dari permasalahan, seringkali seorang istri sudah tak mampu menimbang dengan baik. “Nanti apa kata orang? Nanti suamiku bagaimana? Nanti hidupku bagaimana?” Padahal, ia sendiri sedang butuh bantuan tapi pikirannya justru tak tertuju pada menyelamatkan diri sendiri
- Dunia timur mengharuskan memikirkan keluarga besar. Pikiran-pikiran yang berkelindan muncul : “orangtuaku sudah tua. Bagaimana mereka menerima kenyataan anaknya berpisah?”
- Stigma janda. Sebagian beranggapan menjadi janda sungguh tak mengenakkan. Lebih baik memiliki posisi sebagai istri dan punya suami, daripada ditanya oleh orang : “Oh, saya seorang janda.” Padahal, menjadi janda dalam agama Islam justru sebuah posisi terhormat yang harus dijamin hak-haknya
- Ketakutan anak-anak tak memiliki figure ayah. “Bagaimanapun, suamiku baik sama anak-anak. Anak-anak juga sayang ayahnya.” Melihat bahwa hubungan ayah anak masih baik, membuat seorang istri berpikir sekian kali untuk melepaskan diri.
- Istri tak memiliki figure kuat selain suami. Tak ada lagi ayah atau saudara lelaki kuat sebagai pelindung, sehingga ia pun tak tahu ke mana harus berlari ketika mengalami penganiayaan
Bagaimana sesungguhnya jika seseorang ingin bertahan dalam kesabaran, atau ingin keluar dari lingkaran? Semua harus bersumber dari kemauan diri sendiri. Sebab, bila berasal dari orang-orang sekitar, hasilnya tidak akan positif.
Mirna misalnya. Orangtua dan saudara-saudaranya tak tahan melihatnya babak belur dipukuli suami. Mereka beranggapan Mirna terlalu lemah hati. Hanya memikirkan suami dan bukan anak-anaknya. Bagaimana tumbuh kembang seorang anak bisa menyaksikan ibunya dipukuli setiap hari? Prosesi melepaskan Mirna dari suami seperti di film-film action. Hasilnya? Jerih payah orangtua dan saudara justru memukul balik Mirna: ia menangis setiap hari, linglung dan selalu ingat suami!
Langkah-langkah bila terjadi KDRT :
- Yakinkan diri sendiri. “Apa sebenarnya yang kumau?” Kalau galau mencari keputusan, perbanyak istikharah. Baca al Baqarah, baca al Quran. Berdoa. Cari nasihat dari para penyintas dan dari konselor pernikahan, juga dari ahli agama. Terutama pakar syariah.
- Ingin bertahan? Perkuat diri. Terus konseling dengan ahli bagaimana cara melepas emosi dengan bijak. Rasa tertekan dari suami bisa berubah menjadi agresifitas pada anak-anak. Singkirkan barang-barang berbahaya yang bisa dipakai untuk melukai. Siapkan kamar khusus tempat perlindungan diri, terutama bagi anak-anak
- Ingin berpisah? Perkuat diri juga. Sebab keinginan pasti pasang surut, mengingat perjalanan berpisah tak akan mudah. Pelajari hukum agama dan hukum perdata. Pelajari juga hukum agama
- Siapkan mental bila terjadi hal-hal tak terduga. Beberapa kasus mengharuskan istri dan anak melarikan diri tanpa membawa bekal apapun. Apalagi bila seorang suami yang KDRT terbiasa mengkonsumsi alkohol dan sedang terlibat perselingkuhan
apa sebenarnya tujuan hidupku? Apa harapanku? Dst
Kisah Sofia yang selamat dari KDRT dan sekarang hidup menjanda dengan anak-anaknya, bisa menjadi gambaran perjuangan seorang perempuan lepas dari kekerasan.
Sofia tahu tak mudah lepas dari suaminya. Ia juga menimbang, berpisah saat anak-anak kecil bisa jadi membuat cerita berbalik di kemudian hari . “Ibumu yang ninggalin ayahmu!” Begitu kekhawatiran Sofia (hal ini terjadi pada Dea). Setiap malam, Sofia menyiapkan mental akan dipukuli suami. Ia bahkan menyiapkan posisi terbaik, bila dipukuli suami padahal sedang hamil!
Ketika anak bungsunya SD dan sudah mulai bisa berkata, “Kenapa Ibu nggak pisah dari Ayah?” maka Sofia merasa ini waktu yang tepat untuk memulai langkah berikut.
Sofia punya abang lelaki (ini salah satu sisi kekuatannya), ia berkoordinasi. Bahwa ia akan berlindung pada keluarga abangnya dan meminta abangnya yang lelaki nanti berani menghadapi suaminya jika mengamuk. Sofia bahkan meminta maaf kepada tetangga-tetangga abangnya bila prosesi itu akan menimbulkan keributan. Luarbiasa bukan, perjuangan Sofia? Kita terengah mendengarnya.
Proses berliku itu alhamdulillah berujung usai. Sofia resmi berpisah dari suaminya. Ia membesarkan anak-anaknya seroang diri. Di kemudian hari suaminya membaik, dan sekarang sudah berkomunikasi kembali dengan anak-anak walau Sofia tak memikirkan rujuk.
Ketika kita membaca kisah Dea, Lola, Sofia, Mirna; mungkin hanya butuh waktu 10 menit membacanya. Mereka butuh 10 tahun, 20 tahun, bahkan seumur hidup untuk berjuang melawan KDRT.
Sekali lagi, tak mudah menjadi sosok seperti Sofia. Sebab tak semua perempuan memiliki posisi sepertinya yang memang memiliki fisik kuat (tubuhnya tinggi dan terlatih), psikis kuat (Sofia punya tipe kepribadian yang ekstrovert, periang, easy going, cukup tenang) dan seorang abang penyayang yang keluarganya supportif mendukung Sofia.
Lola, memutuskan untuk bertahan.
Ketika teman-teman, saudaranya gemas dengan kesabarannya, ia hanya berkata, “ya, memang ini sudah jalan hidupku. Sudah garis takdirku.” Kita bisa memaklumi Lola, sebab hanya suami satu-satunya relasi terdekat yang dimiliki. Ia tak punya orangtua, satu-satunya saudaranya pun punya masalah keluarga yang sama rumitnya. Sejak remaja, Lola sudah memiliki kepribadian rapuh karena orangtuanya pun hidup dalam KDRT.
Hanya doa-doa yang bisa kita lantunkan bagi para perempuan seperti Lola yang terjebak dalam sebuah perjalanan panjang pernikahan yang kelam.
Sekali lagi, kunci KDRT adalah : apakah sikap yang akan dipilih? Bila pilihan-pilihan itu telah menjadi ketetapan hati, teruslah bermunajat kepadaNya memohon pertolongan jalan keluar terbaik dan dimudahkan urusan. Kisah seperti Lola yang mencoba bertahan dalam kesabaran, ada pula yang berbuah manis. Suami yang akhirnya luluh dan memperbaiki diri.
Dalam kehidupan Dea, Lola, Sofia dan Mirna, tersimpan rahasia-rahasia pernikahan yang hanya mereka yang tahu. Apa yang terjadi sesungguhnya, hanya mereka dan Allah Swt yang tahu. Kita hanya bisa melihat dari luar dan memberikan masukan. Seorang psikolog dan psikiater hanya bisa memberikan dukungan sesuai keputusan klien. Karenanya, agama pun memberikan beberapa pilihan dan semuanya baik bila diniatkan karena Allah Swt.
Allah Swt akan memberikan kekuatan kesabaran bagi perempuan yang memutuskan untuk bertahan. Tapi bila seorang permepuan tak kuat menghadapi KDRT, bukan hal buruk baginya untuk berlari mencari bantuan. Seringkali bahkan stigma bahwa ia membongkar aib suami menjadi ancaman yang mengikat langkahnya. Selama ia benar-benar berniat ingin terlepas dari kedzaliman, berkonsultasi pada pihak ahli, mencari nasihat dari para penyintas; itu adalah rangkaian upaya baginya untuk berjuang di tengah badai.