Kategori
Hikmah Mancanegara Perjalanan Menulis Travelling WRITING. SHARING.

MUNGKINKAH IMPIAN TERCAPAI KETIKA DUIT GAK ADA?

Ada yang mention ketika aku ngeshare impianku kemarin : “Mbak, aku juga pingin ke sana. Tapi mungkinkah?”
Umroh, al Aqsho, Uzbekistan, Maroko. Ada yangg juga menambahkan impiannya ingin ke Spanyol dan Afrika. Mungkinkah? Bisakah?
Aku nggak tahu.
Sebab keajaiban itu hak prerogatif Allah Swt. Secara manusiawi kita harus nabung. Aku sudah menghitung kalau umroh plus, maka kalau mau berangkat formasi lengkap ber-6 butuh 150 juta umroh plus Uzbekistan. 216 juta plus Turki. 408 juta plus Maroko. Itu seharga mobil dan/atau rumah, kan?😱😨


Kalau nabung, sampai kapan ya?
Pernah nabung, eh, akhirnya kepakai juga.
Aku tentu gak bisa jawab tentang kapan aku bisa berangkat.


Tapi aku pernah ke Maroko 2016 : keajaiban yang gak pernah kubayangkan.
Kupikir-pikir, keajaiban yang Allah berikan bukanlah kebetulan sama sekali.
Aku suka kliping koran, salah satunya masjid-masjid di berbagai belahan dunia. Salah satu masjid yang kukagumi adalah Masjid Kutubiyah. Nggak tau kenapa, kagum aja dengan bentuknya yang tanpa kubah dan warnanya kemerahan. Di sisi lain, aku mengagumi sosok Ibnu Tasfin, penakluk Andalusia. Aku sebelumnya nggak tahu kalau ia dimakamkan di Marrakech, Maroko. Di situlah benang merahnya .


•••••••••••••••••••
🕌Aku berkunjung ke masjid Kutubiyah, masjid yang kusimpan kliping korannya karena mengagumi keindahan dan bentuknya.


✨Aku berkunjung ke makam Ibnu Tasfin karena mengagumi perjuangannya menaklukkan Andalusia.
•••••••••••••••••••

Sejak saat itu aku memiliki keyakinan.
Butuh rizqi untuk mewujudkan impian. Tapi rizqi itu tidak selalu berupa uang. Ada banyak jalan lain : residensi penulis, beasiswa, permintaan menulis biografi tokoh, dan pastinya rizqi-rizqi lain yang aku tak tahu karena keajaibannya tersembunyi di Lauhil Mahfudz.
Tugasku sekarang : buat benang merahnya.

✨✨✨
Salah satu yang aku yakini bisa mengabulkan mimpi fantastis adalah sedekah. Ada peristiwa- peristiwa spektakuler dalam hidupku yang ternyata berkaitan dengan sedekah dalam jumlah tidak biasa.
Sebuah nasehat pernah mampir ke arahku. Menohok!


“Lha, kalau pingin dapat rizqi sekitar 10 juta, infaq 100-200 ribu wajar. Kalau pingin dapat rizqi 500 juta, masak infaqnya cuma segitu?”

Iya ya…kalau pingin dapat rizki ke Maroko, aku harusnya bisa infaq 20 juta, 50 juta. Tapi duit dari mana ya?

Itulah, mengapa aku menjadi relawan ZISWAF saat ini. Aku senang menjalaninya. Membuat flyer, membagikan di medsos. Ngetag orang-orang yang kukenal maupun nggak kukenal, hahaha. Aku mencoba mengajak pelajar mahasiswa untuk infaq – wakaf 10K. Bisa, kok! Ngetag orang, japri orang, tidak selalu membuahkan hasil. Tapi rizqi itu Allah yang me-resume-kan, aku yang mengupayakan.


Aku memang gak bisa infaq 50 juta sendiri. Duitku belum ada segitu.
Tapi dari pada donatur yang menitipkan uang 10K, 20K, 50K; aku yakin nilainya ada yang melebihi 50 juta. Atau bahkan milyaran atau triliyunan! Ketika sedekah itu ternyata bertepatan dengan waktu istijabah. Ketika sedekah itu, disisihkan dari kebutuhan primer tapi mereka mendahulukan kepentingan orang lain. Orangtua yang memotong uang laukpauk anaknya. Pelajar yang memotong kebutuhan kuotanya. Para gadis yang menahan diri dari kebutuhan kosmetiknya. Orang-orang itu berniat dan bertujuan mulia, dan aku ikut menumpang kendaraan barakah itu.
Ketika sedekah itu, insyaallah terselenggara lewat promosi ZISWAFku, maka aku menitipkan pahala dan doa di sana.


Aku menitipkan pahala dan doa pada teman-teman dan orang-orang yang tidak kukenal, yang menitipkan dana mereka ke LMI. Dana yang pasti berasal dari keringat dan jerih payah.
Siapa tahu benang merah itu terjalin di sini. Bersama sedekah bernilai trilyunan itu, doa-doa sepektakulerku yang nggak bisa diukur dengan nalar dan duit orang biasa, dapat terwujudkan atas izin Allah Swt.


➖➖➖➖➖
🌱🌿Infaq atau wakaf 10K?
Silakan klik bit.ly/LMI_sinta

Kategori
Bunda Cantik. Beautiful Mother Hikmah Jepang mother's corner Parenting Pernikahan PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Suami Istri WRITING. SHARING.

Lulusan Jepang, Dapat Beasiswa, Pintar, Tapi kok…

Sejak gadis berprestasi, punya cita-cita tinggi.

Berkali-kali pula mendapatkan beasiswa ke luar negeri.

Lulusan Fukuoka dari universitas bergengsi.

Apakah ia sekarang kehilangan motivasi?

—–

Kak H , sebut aja demikian. Cantik dan lemah lembut, pintar dan penuh sopan santun. Perjalanan menjadi relawan LMI kali ini mempertemukanku dengan seorang perempuan yang unik. Mahir berbahasa Jepang karena bertahun tinggal di sana (ya iyalah! 2010-2017). Ikut AFS tahun 2003-2004 di Tokyo dan diterima di Universitas Kyushu yang bergengsi di Fukuoka. We-o-we!

Mengambil S2 jurusan Bisnis dan Teknologi dengan penelitian tentang Karakteristik Halal Market di Jepang. Sempat menjadi dosen di sebuah universitas di Bandung tapi kemudian memutuskan : tinggalkan semua dan jadilah ibu rumah tangga.

Whaaat?

Trus, mengandalkan pemasukan 100% dari suami?

Membuang sia-sia bertahun ilmu di Jepang dan berkubang dengan permasalahan rumah?

Apakah kak H ini sebetulnya sedang kelelahan dengan tuntutan beasiswa, kuliah, penelitian, akademis, pekerjaan, plus urusan RT sehingga ujung-ujungnya ingin istirahat dari semua tuntutan itu dan beristirahat dengan dogma “menjadi ibu rumah tangga itu mulia?”

Baiklah.

Jepang dan Ibu

Apa yang anda kenal tentang Jepang? Bunga Sakura, mata uang yen, anime, manga, cosplay? Sebutan otaku atau wibu yang tenar di Indonesia; bagi anak muda. Rata-rata, yang ingin ke Jepang memang membayangkan keserbateraturan kota megapolitan, dan membayangkan mencicipi makanan khas yang restorannya  bertebaran di Indonesia.

Menghormati budaya leluhur adalah ciri khas bangsa ini.

Membayangkan perempuan Jepang akan terbayang AKB 48 , penyanyai YUI atau Utada Hikaru. Tetapi, bukan itu sosok yang ditemui kak H dalam kehidupan sehari-harinya di Jepang. Ia melihat, bahwa di Jepang perempuan sangat bangga menyebutkan dirinya sebagai seorang ibu rumah tangga. Salah satu yang dikenal banyak orang adalah, bagaimana IRT di Jepang menyiapkan bento yang cantik bagi anak-anaknya. Rata-rata tidak ada yang memiliki ART sehingga pekerjaan rumah dikerjakan sendiri. Gak ngebayangin deh; belanja masak nyuci sendiri. Belum ngurus anak-anak dan lain-lain. Walau orang bilang, “ah, di Jepang mah enak! Segalanya serba teratur, serba mudah.”

Emang bener juga sih. Tapi tetap aja, jadi IRT itu di belahan dunia manapun selalu melelahkan. Bagi Kak H, ia terkesan sekali selama tinggal di Jepang. Menjadi istri dan ibu itu dengan label di KTP – Ibu Rumah Tangga bukanlah sesuatu yang pantas membuat hati kecil tak bangga.

Transisi Wanita Karier ke Stay at Home Mom

Satu yang kutanyakan ke kak H saat ia memutuskan tinggal di rumah : bagaimana dengan cashflow keluarga? Apakah finansial cukup? Di satu sisi kita percaya rizki urusan Allah Swt, tapi di sisi lain tentu ada kecemasan terutama bagi seorang istri dan ibu : apakah gaji suamiku cukup? Setelah diposkan ke berbagai tempat ternyata secara nominal emang gak bakal cukup!

Apakah masih bisa pasrah : ah, itu urusan Allah?

Bukankah kita harus berupaya maksimal dengan bekal taqwa dan bertawakal di akhir usaha?

Ternyata, ilmu yang didapat kak H sepanjang ia berkelana ke negeri Jepun tak sia-sia. Apalagi bisnis dan teknologi menjadi keahliannya. Ia tahu, meninggalkan dunia kerja pasti punya resiko keuangan. Ia tahu, walau berupaya pasrah, pasti ada resah. Apalagi, ada anak-anak yang butuh dukungan materi immateri.

Jurus kak H ini bisa banget dipelajari adik-adik Muslimah yang kelak ingin berprestasi di dalam dan di luar rumah. Apakah akan menjalani karir di luar atau di dalam rumah, semua kembali pada pribadi masing-masing. Tapi jika seorang perempuan memutuskan full time Mom, kak H ini bisa dicontoh

  1. Sejak kuliah sudah merintis bisnis. Kak H ini emang kayaknya suka bahasa. Ia merintis lembaga bahasa asing bernama Hikari Language Center. Tampaknya ini menjadi tonggak yang bagus bagi siapapun (khususnya perempuan) bahwa merintis usaha apapun sejak dini, terutama masa sekolah/kuliah akan membuat masa depan lebih cerah. Kelak mau punya pilihan ngantor, part time job, full time mom gak masalah. Karena sejak single udah punya tabungan skill, syukur-syukur tabungan finansial.
  2. Ketika sudah menikah, punya anak, lulus S2; kak H ini melanjutkan secara online kursusnya dengan nama baru Hikari Bridge. Bahasa yang ditawarkan adalah Inggris dan Jepang. Siswanya 400 orang dari berbagai belahan Indonesia (mau ikutan daftar juga ah!)
  3. Ketika ada hambatan finansial, berusaha sedekah meski kondisi sempit. Alhamdulillah…ada aja bantuan dari Allah Swt (setuju, kak H!)
  4. Memantapkan hati bahwa kembali ke rumah bukanlah sebuah bentuk dendam, sekedar ingin istirahat, melemparkan tanggung jawab bahwa : “ah, yg wajib nyari duit kan suami!” Bukan seperti itu. Pendidikan al Quran, golden age yang berharga, ingin menjaga tumbuh kembang anak-anak dengan baik adalah cita-cita kak H untuk kembali ke rumah
  5. Ada salah satu quote menarik dari kak H : skill dan ilmu yang bertahun-tahun dipelajari selama ini hanya untuk mempersiapkan diri bekerja dan menjadi karyawan. (Hm, bener juga. Padahal setelah menikah kita bukan karyawan siapapun tapi justru majikan bagi diri sendiri. Gimana punya mindset jadi pemimpin perusahaan yang memajukan semua stakeholder dan mengatur semua sumber daya baik human resources dan financial resources. Kita kan gak selamanya bisa jadi buruh atau karyawan buat pihak lain, kan? )

Makasih banget atas ilmunya ya, Kak H yang Cantik!

Jadi belajar banyak nih, apalagi kita punya kesukaan yang sama : bahasa 😊

————–

#kisahunik #kisahajaib #relawanLMI #silaturrahim #3

Sedekah mudah, sedekah berkah, semoga harta berlimpah.

Infaq dan wakaf bisa dimulai dari 10K saja, lho!

👉 E-wallet atau transfer bank, klik ini aja https://pay.imoneyq.com/laz/lmi/XW1VX

Kategori
Covid-19 My family Survivor Covid-19 WRITING. SHARING.

#2 : Cepatlah memutuskan! Decide immediately!

Di rumah atau asrama haji? Hotel  atau rumah sakit? Obat tradisional atau farmakologi modern?

Aku sempat kebingungan pada awalnya apakah harus rawat inap ataukah cukup di rumah saja. Mengingat saturasi bagus, tak ada pilek, dan juga tak ada sesak nafas. Tapi kenapa tetiba harus segera dirawat?

FIT dan SEHAT BUKAN JAMINAN

Ketika suamiku dan putraku alhamdulillah berhasil menurunkan berat badan dengan pola hidup sehat, seluruh anggota keluarga ikut melakukannya. Menghitung kalori, memperbanyak sayur buah, workout. Kalau lagi malas, setidaknya pemanasan dan plank menjadi agenda rutin.

Suami terdeteksi positif di Banjarmasin 7 Maret 2021. Ia rajin bersepeda dan cardio tetapi memutuskan segera ke RS walau ada ruang isolasi di bapelkes atau hotel. Begitu dirawat, suami terus mendesak : “beneran nih gak ada yang butuh dirawat di Surabaya?” 10 Maret 2021 bertambah yang positif di rumah karena suami sempat pulang ke Surabaya.

Aku menolak. Kami sehat-sehat semua kok. Di rumah hepi-hepi, masak-masak, beberes rumah, menonton bahkan aku masih bisa mengisi beberapa acara. Bahkan, kami sempat periksa ke RS utk tes darah, rontgen sendirian dan alhamdulillah hasilnya baik-baik saja. Tak ada pneumonia, tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Lalu, buat apa dirawat di RS?

Pihak Puskesmas kooperatif mempersilakan kalau kami mau diisolasi ke hotel asrama haji. Semua gratis : penjemputan, swab, logistic, pengobatan.

“Ah, enakan di rumah.”

“Kalau bosen; bisa ngapa-ngapain kalau di rumah. Kalau gak di rumah, bingung mau ngapain.”

Begitu pendapat beberapa orang terkait pilihan isolasi mandiri (isoman). Alhasil, aku dan anak-anak yang akhirnya semua positif; bertahan di rumah. Perhatian dari teman-teman mengalir. Makanan, buah, obat, suplemen, hadiah-hadiah. Waaah!

MEDIS versus NON-MEDIS

Begitu banyak pihak yang perhatian dan memberikan saran. Deretan obat-obatan dikirimkan ke rumah mulai berbagai jenis madu, propolis, sari kurma, probiotik, qusthul hindi dan rangkaian pengobatan herba yang kurasa harganya mahal-mahal. Masyaallah…aku terharu sekali dengan perjuangan teman-temanku memperhatikan kami sekeluarga.

Begitupun, pihak puskesmas dan dokter memberikan rangkaian resep seperti azytromicin dan oseltavimir; juga berbagai jenis vitamin. Obat-obatan juga dikirimkan ke rumah. Namun, aku tidak punya latar belakang ilmu medis yang memadai. Paling dapat ilmu dari media sosial, situs kesehatan online, atau dari teman-teman dokter yang menerima keluhan via WA. Berbagai saran pun beragam jenisnya.

“Minum segera XXX. Caranya begini- begini.”

“Jangan minum XXX!”

“Minum probiotik jenis ini ya, tiap 2 jam sekali.”

“Wah, jangan minum probiotik. Kan lagi minum obat!”

Aku bingung , siapakah yang harus kuturuti?

Lalu tubuh kami mulai bereaksi terhadap covid. Hari ke-1,2,3 semua baik-baik saja. Tetiba di hari ke-4 dan seterusnya ; mulai ada yang tak beres.

  1. Suhu tubuh naik turun. Berbekal thermometer di rumah, suhu tubuh bisa turun naik tak menentu. Kadang 36,3. Lalu 36,7 . merembat ke 37,6 lalu turun lagi ke 36, naik lagi ke 38. Kalau minum paracetamol dan kompres, suhu turun
  2. Tidur gelisah. Tidur tak lagi nyenyak. Pindah-pindah tempat, bolak balik bangun
  3. Kehilangan selera makan. Kalau masih di rumah, banyak alternatif pengganti makanan. Selama gak doyan makan, setidaknya telur rebus dan minum susu menjadi alternatif asupan. Tapi makin lama, apapun jadi tak selera
  4. Lemas. Bagi yang pernah merasalan typhus dan demam berdarah (DB) pasti akan merasakan lemas yang spesifik.

Untuk emak-emak yang terbiasa otot kawat, tulang besi; sakit sering tak dirasa. Aku sering kena flu tapi cukup tidur full sehari dan makan apapun yang diinginkan; besoknya sudah membaik. Lemas sih, tapi gak banget. Sekarang? Lemasnya kelewatan. Sekedar angkat kertas aja nggak bisa!

Lho, kan wajar sakit covid begitu?

Semua orang juga kok, merasakan hal yang sama. Lemes, agak-agak demam, hilang nafsu makan, susah tidur. Yang penting saturasi bagus dan gak ada batuk yang buat sesak nafas, bukannya oke-oke aja tuh isoman di rumah?

PERHATIKAN CERMAT dari WAKTU ke WAKTU  

Cuma kita yang betul-betul tahu riwayat hidup, riwayat kesehatan, riwayat keanehan-keanehan yang dialami diri sendiri dan anggota keluarga. Sepertinya terlihat sama, tapi belum tentu demikian.

  1. Buatlah pilihan logis rasional, saat masih BISA memilih. Kalau udah sesak nafas, hilang kesadaran, demam kelewat tinggi; pilihan-pilihan bisa jadi sangat terbatas. Pilihan apa? Pilihan RS, misalnya. Mungkin kita mau milih RS yg lebih dekat rumah, yg ada kenalan, yg sudah ada jejak rekam medisnya krn sering periksa di sana. Kalau masih bisa milih, tentu akan enak. Tapi kalau udah kritis, tentu sulit milih-milih
  2. Ah, nanti juga demamnya turun. Ah, nanti juga nafsu makannya pulih. Nanti itu kapan? Dan apa benar bisa pulih dengan sendirinya atau sudah waktunya ditangani dengan serius oleh para ahli? Nanti-nanti bisa jadi kebablasan
  3. Kalau tinggal sendirian, atau tidak ada anggota keluarga terdekat yang dokter/perawat; mending segera ke RS. Suami saya sendiri di Banjarmasin. Saya sendiri, meski punya sahabat2 dokter tentu gak bisa terus menerus konsultasi di WA. Punya oximeter atau thermometer di rumah, gak cukup. Hanya perawat dan dokter di RS (atau petugas kesehatan lainnya) yang punya ilmu dan pengalaman terhadap situasi mendesak
  4. Saya dan dua putri saya masuk period time. Saya pribadi mengalami uterus bleeding krn haidh berkepanjangan dan jumlah di luar kewajaran. Karena perempuan haidh seringkali gak enak badan, who knows dg virus Covid ini makin menjadi-jadi situasi buruknya?
  5. Rumah sakit bikin tambah sakit. Well, ini bukan hotel dan sekarang bukan waktunya pesiar. Kalau di RS gak seenak di rumah, masuk akal sih. Tapi di RS sudah tersedia SDM dan segala macam perangkat yang disiapkan utk kondisi darurat. Di RS berkumpul para ahli di bidangnya yang keilmuan mereka didapatkan lewat jalur ilmiah. Kalau ilmu medis yang kupunya hanya sekedar baca-baca, kan?

Pernah nonton lagu-lagu kocaknya nya dokter Henrik Widegren yang juga musisi? Never Google Your Symptoms adalah salah satu lagu favoritku yang mengajarkan jangan sembarangan cari ilmu via dunia maya. Boleh sebagai langkah awal, tapi segera serahkan pada ahlinya.

——-

QS An Nahl (16) : 43 :

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui

—–

Bagi yang tidak memilih RS dan obat-obat kimiawi; tentu juga tak salah, bila lebih memilih pengobatan tradisional atau herba. Di China dan Korea, pengobatan tradisional menjadi pilihan terpercaya masyarakat karena didukung oleh pemerintah serta keilmuan yang dikembangkan secara terus menerus. Sekarang, Tibbun Nabawi pun menjadi pilihan terpercaya masyarakat.

Untuk kondisiku, bisa jadi karena cukup kompleks maka pilihan RS menjadi pilihan yang harus disegerakan.

6. Berapa jumlah penderita covid di rumah? Kalau cuma 1-2 orang, sarana di rumah memadai, tentu masih bisa isoman. Orang-orang yg sehat bisa melayani yg sakit. Tapi utk kondisi kami sekeluarga, semuanya kena covid! Hanya ibuku yg berusia 80 th yg alhamdulillah negatif. Kalau aku memaksakan di rumah, bisa-bisa yang masih sehat overload pekerjaan dan over exhausted karena melayani yg udah pada lemah. Kalau ambruk semua? Wah!

Jangan takut untuk memutuskan segera dirawat di RS rujukan Covid 19, bila memang kita mencermati diri sendiri sudah mulai semakin menurun performanya.

——–

Hari ke-13 di RS

Hari ke-18 positif Covid 19

Alhamdulillah, kondisi kami semakin stabil dan sehat . Terimakasih atas semua doa-doa

➖➖➖➖➖

MY ENGLISH’S STORY :

Hurry Up!

You have to decide immediately : is it okay to stay at home, isolation at hotel or right away to hospital?

  1. Make a logical choice. We don’t have several choices in critical condition. So, if there’s still time to make a choice, do it
  2. Sometimes we say to ourselves : the fever will be over. Just take a rest, drink much water. But is it true? Don’t we need more help from doctors and nurses?
  3. If you’re live by yourself – there’s no body else and you don’t have any relative such as doctor or nurse that you can depend on ; please contact hospital and tell your latest condition
  4. I hate hospital. Hospital make me sick much more! Well, of course, hospital is not hotel and we’re not on vacation! But in hospital is available medical resources that could help patient in critical condition
  5. If in you’re family there’s just 1 or 2 people with covid, it’s okay to stay at home. The rest which is still healthy can assist you. But, if the whole family is suffering for Covid 19, hospitalization is the right choice
Kategori
Covid-19 My family Survivor Covid-19 WRITING. SHARING.

#1 Covid 19 – Virus Cerdas yang Memanipulasi Otak Manusia

Aku penyuka sayur. Pecinta buah. Gemar cemilan. Tak menolak madu dan sari kurma. Suka wangi-wangian. Yang terpenting, aku suka minum air putih.

Sampai kemudian Covid 19 menyeruak ke tengah keluarga kami, menginfeksi 6 orang, 4 di antara kami harus dirawat di RS. Terus terang, babak belur fisik dan psikisku menghadapi penyakit yang satu ini. Virus ini pintar memanipulasi otakku!

APAKAH OTAKKU BERKATA BENAR?

Aku dan 2 putriku dirawat di satu ruangan. Meski kondisi 2 putriku juga lumayan payah, mereka masih bisa tertatih membantuku. Kejadian demi kejadian aneh membuatku heran.

  1. Aku benci sekali putri bungsuku membantuku. Ia lucu, jenaka, cepat tanggap, ringan tangan. Tiap kali mendekati, rasanya aku ingin berteriak marah-marah. Kenapa aku ini? Lambat laun kusadari, ia memakali baju yang berbau wangi. Wangi khas pelembut dan pewangi pakaian. Aku benci semua pakaian yang kubawa dari rumah, jilbab, semua yang berbau wangi!
  2. Aku sangat suka sayur. Apalagi sayur yang disajikan warna warni merah, kuning, hijau. Hanya sebentar, karena berikutnya aku membenci semua jenis sayuran. Terutama aroma segarnya yang selama ini membuatku berselera menghabiskan nasi
  3. Kelengkeng is one of my favorite. Segar, manis. Dulu kuhabiskan 1 kg sendirian. Sekarang? Tebak saja.

Oke, baiklah. Kata orang-orang itu hanya masalah selera. Namanya orang sakit, mungkin gak suka masakan tertentu. Kupikir demikian. Lalu hal-hal lain yang aneh pun  terjadi.

4.Dari semua obat, ada 1 jenis obat (lebih tepatnya suplemen makanan) berbentuk permen yang sejak awal kusukai karena rasanya manis segar seperti permen mint. Selalu, suplemen bernama Rillus ini kuletakkan paling akhir di antara obat-obat yg lain. Dengan kasus wewangian dan sayur, aku mulai curiga : jangan-jangan Rillus ini nanti juga akan menerima kebencianku. Tepat! Baru tiga kali minum, aku benar-benar membenci benda bernama Rillus

Okelah.

It’s enough for food and medicine. Mungkin aku muak dengan semua obat, injeksi, infus, suplemen, antibiotic, antivirus dan sejenisnya. Mungkin aku butuh makanan selingan. Lalu suatu hari, aku benar-benar menyadari : ada yang salah dengan otak dan diriku.

5. Air putih. Aku memandang gelas berisi airputih. Minuman yang paling kusukai, lebih dari teh dan susu. Cairan ini sama sekali tak punya rasa, warna, bau. Netral! Lalu aku tetiba membenci gelas, botol, apapun tentang air putih! Aku gak mau minum air putih lagi. Heh, apa yang salah dengan diriku, otakku?

BAGAIMANA AKU MENGENDALIKAN OTAKKU?

Aku bersyukur, dokter dan perawat di RSHU ini sangat informatif dan kooperatif. Apapun keluhan kami, mereka memberikan penjelasan dan diskusi panjang lebar. Awalnya aku enggan menceritakan masalahku pada dokter spesialis paru yang mendampingi kami.

“Manja amat!”pikirku. “Aneh dan apa kata orang nanti?”

Tapi akhirnya kuutarakan dan sungguh mengejutkan apa yang beliau sampaikan.

“Memang ini fase terberat dari pasien-pasien saya,” jelas dokter. “Bagaimana virus ini mempengaruhi reseptor, terutama indera. Apapun yang dikatakan oleh virus ini ini : LAWAN!”

Di psikologi, kami  mempelajari bahwa indera, persepsi dan otak sangat berkaitan erat. Lisan kita mengucapkan sesuatu berulang, itu bisa menjadi skema otak, dan otak akan berjalan sesuai skema. Mata dan telinga pun demikian. Aku mulai mencermati, setiap kali aku bilang dan berpikir tentang sesuatu yang kuinginkan, maka sehari berikutnya otakku langsung berkata : itu hal yang kubenci!

Aku bawa buku-buku ke RS, sehari membaca, esoknya aku membenci semua bukuku.

Aku suka Maher Zain, sehari kudengarkan, esok sudah kubenci suaranya.

Aku sayur semacam acar, hanya sehari, berikutnya aku membenci rasa dan baunya.

Awal dirawat kami membawa beberapa bungkus pop mi, siapa tau butuh panas-panas. Malam hari, kumarahi putriku karena membuatnya, “jangan dekat-dekat Ummi! Benci baunya!”

Aku memesan makanan, esok hari bahkan hingga hari ini, makanan jenis itu sangat kubenci!

VIRUS YANG BERBEDA

Kupikir, aku akan tinggal di RS 3-4 hari seperti dulu ketika aku dan anak-anakku pernah dirawat karena tipus dan/atau demam berdarah. Masih kuingat, infus yang hanya sebentar lalu 3 hari setelahnya membaik lalu menyantap makanan apapun dengan lahap. Seperti raja ratu di RS karena apapun dilayani tinggal makan tidur.

Ini hari ke -11 kami dirawat di RS.

Tubuh kami membaik. Namun setelah beberapa hari belakangan aku menyadari kami harus bertempur habis-habisan dengan cara virus mengendalikan otakku. Tapi bagaimana aku bisa makan, minum, kalau otakku menolak memasukkan apapun ke tubuhku?

  • Kucemati diriku, otakku (mungkin dikendalikan virus) memproses informasi 24 jam. Ini hanya dugaanku ya. Maka, ketika aku memesan makanan pada orang rumah, “tolong Ummi dibuatkan oseng kacang,” maka masakan itu harus sudah selesai kumakan segera. Lebih dari itu, aku akan kadung membenci makanan tersebut dan sulit memakannya
  • Nasi. Aku benci betul jenis makanan ini. Maka nasi harus kupindah-pindah cara memakannya. Kadang di mangkuk plastik, di tutup, bahkan makan dg menutup mata!
  • Obat. Kupotong-potong jadi beberapa bagian agar tidak tampak bentuk aslinya
  • Air putih. Kupindah-pindah tempat minumku. Botol kecil , botol besar, gelas disposable, gelas bekas pudding.
  • Karena kucermati proses informasi mulai menengar, membahas, memakan, dll sekitar 24 jam; aku dan anakku membahas sekilas. “Besok mau makan apa?” Kami mengucapkan 1-2 kalimat masakan yang kami inginkan. Lalu diam. TIDAK MEMBAHASNYA LAGI. Misal ingin oseng terong, bahas sekali. Sampaikan ke orang di rumah. Lalu segera memakannya ketika masakan itu tiba di RS. Atau jika kami pesan gofood, tidak membahas masakan itu terlalu banyak. Sehingga otak ini tidak memproses informasi terlalu sering yang kemungkinan, virus itu membaca apa maksud kami.

Baik, virus Covid 19. You’re great!

Kamu makhluk Allah Swt. Kamu  membuat kami membenci apa yang baik, tapi disitulah letak perjuangan kami menaklukanmu.

——————–

Atas : hari Rabu, 17 Maret 2021, saat pertama aku dilarikan ke RS Husada Utama , Surabaya

Bawah : saat menerima transfusi plasma utk mempercepat kesembuhan

————————-

Sejak awal positif aku ingin menuliskan pengalaman penting ini, tapi mungkin, baru di hari ke-17 aku mulai mampu menggerakkan jari jemariku.

Hari ke-11 dirawat di RS

Hari ke -17 positif Covid 19

(Catatan Covid 19 ke-1)

Kategori
Catatan Jumat Cinta & Love Oase Quran Kami Suami Istri WRITING. SHARING.

Sembuh Setelah Bercakap-cakap dengan Quran

Beberapa waktu lalu, saya mendapatkan pengalaman luarbiasa yang kisahnya langsung saya share kepada anak-anak, dan merekapun terkesima. Kisah ini saya dapatkan ketika akhir tahun 2019 berkunjung ke kampung halaman suami, Tegal.

Namanya bu Nuning.

Mbak Nuning & suaminya, pak Imam

Saya biasa memanggilnya dengan  nama mbak Nuning. Seorang ibu luarbiasa yang tak pernah lepas senyum terpahat di bibir meski kesulitan hidup bertubi-tubi, berton-ton menghimpit. Kalau saya buat rekap kepahitan hidup;  mungkin sepanjang beliau benafas, lebih besar bobot susah daripada senangnya. Ajaibnya, di setiap benturan kesulitan, selalu ada peristiwa luarbiasa yang membuat kita tergetar : Maha Besar Allah menitipkan sebagian ayat-Nya ke dalam kehidupan hamba-hamba pilihanNya.

Beberapa waktu lalu mbak Nuning bercerita, ia mengalami stroke. Separuh tubuhnya lumpuh, saraf mulutnya pun lumpuh total. 2 bulan ia mengalami stroke parah dan saya tak bisa bayangkan bagaimana ia jalani kehidupan sehari-hari. Bayangkan, suaminya sakit dan mbak Nuning yang selama ini merawatnya. Suaminya juga pernah stroke dan hingga saat ini masih membutuhkan pendampingan. Kalau istri juga ikut-ikutan sakit, bagaimana nasib roda kehidupan mereka? Meski ada asuransi kesehatan, tentu tak dapat menutupi semua keperluan hidup dan sakit. Apalagi beli obat yang di luar tanggungan BPJS. Untuk makan sehari-haripun mereka seringkali harus bersabar dengan kondisi yang ada. Lumpuh? stroke? Tak bisa bicara? Ya Allah…

Dokter saraf yang baik hati menangani, memberikan dorongan pada keluarga mbak Nuning.

“Meski saraf mulutnya sudah hampir 100% kena, Ummi tetap harus diajak bicara,” kata dokter saraf, berpesan pada anak-anak mbak Nuning. “Pokoknya diajak bicara aja, diajak aktivitas semampunya.”

Kita tentu tahu, stroke butuh penanganan cepat dan tepat. Obat yang bagus, terapis andal, kontrol rutin. Tetapi semua biaya itu tak ditanggung asuransi, kan? Transportasi PP ke rumah sakit tentu biaya tersendiri, belum lagi yang lain-lain.

Mbak Nuning & suami yang insyaallah selalu harmonis, dalam segala kesulitan yang menghimpit

Masyaallah, meski hidup dalam kesulitan, Allah Swt memberikan mbak Nuning anak-anak yang sholih sholihah. Anda mungkin pernah melihat orang bisu atau tuli berbicara. Bahasanya aneh, bukan? Suaranya lantang, berteriak-teriak memekakkan telinga, kadang buat lawan bicara deg-degan atau malah kesal karena komunikasi tak nyambung. Begitulah mbak Nuning ketika mengalami stroke dan lumpuh mulutnya.

Salah seorang putranya  memberikan semangat dan nasehat, “Ummi, Ummi memang harus terus belajar bicara. Ngajak orang bicara. Tapi lihat kan? Orang yang diajak bicara Ummi kadang kesal. Malah nggak suka karena Ummi ngomongnya gak jelas, sembarangan, orang juga nggak ngerti-ngerti apa yang Ummi bicarakan.”

Kurang lebih demikian kata si putra.

“Tapi Ummi harus terus ngomong, terus bicara, terus latihan bersuara. Daripada Ummi ngajak ngomong orang dan orang malah jengkel, kesal, marah; mending Ummi ngajak omong Al Quran saja,ya.”

Demikian bijak saran  putra mbak Nuning.

Dulu, penelitian S1 saya tentang tunarungu. Anak-anak yang tak bica mendengar dan biasanya kesulitan bicara ini, memang suaranya sangat keras menggaung kemana-mana. Kadang orang yang diajak bicara sering tak sabar dan meminta mereka lebih baik pakai bahasa isyarat. Itu juga yang terjadi pada mbak Nuning. Ia tak dapat bicara, seperti orang bisu gagu karena stroke yang menyerang saraf mulutnya. Tetapi ia harus bicara kalau ingin sembuh. Dan, tak semua orang mau diajak bicara…

Mbak Nuning menuruti saran si putra. Setiap hari ia mengajak bicara Quran, bahkan sehari bisa 8 juz dibacanya Quran dan diajaknya bicara layaknya orang bercakap-cakap.

Saya nggak akan promosi suatu barang.

Tetapi demikianlah ceritanya.

Seiring mbak Nuning terus mengajak Quran ‘bicara’ ada orang yang membawakannya british propolis dan obat ini memang membantunya untuk sembuh. Mbak Nuning bukannya menganggap british propolis woooww banget. Bukan demikian! Tetapi katanya, “ karena saya bicara dengan Quran, ada aja cara untuk sembuh. Salah satunya orang mengantarkan british propolis itu.”

British propolis, salah satu cara mbak Nuning untuk sembuh

Ketika saya bertemu mbak nuning akhir Desember lalu, saya sama sekali nggak nyangka ia sempat stroke selama 2 bulan. Terkapar lumpuh dan bisu. Inti kisah beliau yang saya simak betul-betul : “Kalau tak ada orang yang bisa diajak bicara, bicaralah dengan Quran. Nanti, Quran akan membantu mencarikan jalan kesembuhan –dengan izin Allah- lewat jalan yang dibukakan oleh seseorang atau sebuah peristiwa.”

Semoga, kita bisa rutin mengajak Quran berbicara ya?

“Kalau tak ada orang yang bisa diajak bicara, bicaralah dengan Quran. Nanti, Quran akan membantu mencarikan jalan kesembuhan –dengan izin Allah- lewat jalan yang dibukakan oleh seseorang atau sebuah peristiwa.”

#jumatbarakah

#jumathikmah

#energiquran

Kategori
Mancanegara Oase WRITING. SHARING.

Arab, belajarlah bangkrut dari Indonesia : catatan kecil dari Ummul Quro University

 

(Tulisan ini telah dishare di facebook, lebih 1000x)

 

Umroh, 2018 – Sungguh kejutan tak terduga, ketika sahabat saya, putri Kyai Syamsul Arifin dari pesantren Banyuanyar- Pamekasan mengajak hadir ke salah satu acara munaqosyah di Ummul Qura University, Makkah. Munaqosyah di Ummul Qura adalah ujian mempertahankan penyusunan thesis dari seorang mahasiswa.

Bergetar hati ini ketika menginjakkan kaki di universitas, tempat Imam Saud al Shuraim dan imam Abrurrahman As Sudais menyelesaikan studi. Inilah universitas yang melahirkan para pemikir tingkat dunia, yang ternyata bukan hanya menghasilkan ahli agama tetapi juga pakar sains dan ilmu sosial.

Taqi, Sinta, Amani.JPG
Taqi, Sinta dan Amani

Sebuah kisah indah meluncur dari Taqiyyah Arifin, putri Kyai Samsul Arifin yang tengah menyelesaikan studi magister syariah di Ummul Qura. Nasihat ini ia rangkum dari seorang dosennya, duktur Faizah yang merupakan salah satu ahli edukasi, pengajar dan pemikir kebanggaan dari Ummul Qura. Beliau suatu hari memberikan ceramah di hadapan para mahasiswa Arab, Indonesia, dan mahasiswa berbagai belahan dunia yang lain.

“Dahulu, kafilah haji Indonesia adalah kafilah terkaya. Tidak ada peziarah yang lebih kaya dari kafilah Indonesia. Mereka memakai alat tukar emas! Setiap kali bertransaksi, orang-orang Indonesia menggunakan emas,” jelas duktur Faizah. “Tetapi sekarang lihatlah, orang Indonesia menjadi pembantu di negeri kita. Wahai kalian mahasiswa Arab, belajarlah dari Indonesia!

Kalau kalian tidak belajar, bisa jadi anak cucu kalian akan berbalik, menjadi pembantu di Indonesia. Apakah kalian tahu, apa yang menyebabkan Indonesia bangkrut seperti sekarang?”

Para mahasiswa menanti dengan tegang, tenang, hening, hanyut dalam irama nasihat duktur Faizah.

Duktur Faizah melanjutkan, “Israf.  Bersikap berlebih-lebihan. Itulah yang membuat Indonesia bangkrut. Lihat orang Arab sekarang, beli baju satu, lalu dibuang tak dipakai lagi.”

Tergetar hatiku mendengarnya.

 

Israf.

Betapa banyak di kondangan pernikahan, orang ambil makanan lalu menyisakan sayur, daging, nasi? Padahal ia bisa mengambil secukupnya.

Israf. Betapa banyak baju menumpuk di lemari, padahal Marie Kondo dari Jepang yang terkenal dengan metode Konmari menjelaskan : jangan simpan dan tumpuk barangmu yang hanya akan membuatmu menderita!

Israf. Betapa berlebihan kita membuang waktu untuk bersenang-senang, sementara saudara-saudar kita yang berasal dari Nigeria, Uganda, Mali berupaya menghafal Quran meski derita kelaparan dan perang saudara mengintai.

Israf. Betapa berlebihan kita membuang uang, sementara saudara-saudara kita dari pelosok jauh Srilanka, Bangladesh, Myanmar bahkan bertelanjang kaki dan tidur di pelataran masjid; semata-mata ingin berumroh menapak tilasi semangat juang Ibrahim as dan Muhammad Saw.

Israf. Betapa senangnya kita berlebihan dalam perkara sunnah, lalu mengabaikan yang wajib, dan merasa sudah unggul dengan segala yang kita punya, yang sudah kita lakukan.

Israf.

Dan nasihat akhir duktur Faizah sungguh meremas, mengiris, mencincang hatiku.

“Jangan pernah mengeluh atas hidup kalian yang penuh derita, sebab memang tidak ada keberkahan di sana!”

Kenangan di Az Zahir, apartemen mahasiswi Ummul Qura, Makkah ~ Sinta Yudisia

 

 

 Taqi dan Sinta di areal Ummul Qura

 

Asrama putri Ummul Qura, bagian muka Ummul Qura dan beberapa peraturan di Ummul Qura

 

 

Catatan umroh bersama @hasanahtoursurabaya