Kategori
ACARA SINTA YUDISIA Catatan Perjalanan FLP Oase Perjalanan Menulis Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Gabung dan tetaplah bersama Forum Lingkar (Pejuang) Pena : emak dahsyat, bapak hebat, cowok tangguh dan cewek keren

 

Sepekan yang lalu, Musyawarah Nasional ke-4 Forum Lingkar Pena usai diselenggarakan.

Acara empat tahunan yang merupakan  salah  satu hajat meriah FLP ini menyatukan teman-teman pengurus dan anggota FLP dari penjuru Indonesia hingga perwakilan manca negara. Haru tak terkira melihat adik-adik FLP bersusah payah menempuh perjalanan dari tempat tinggalnya hingga menapaki Wisma PU, Bandung.

Acara yang rasanya  teramat singkat itu         tak cukup merangkum betapa heroiknya perjalanan teman-teman semua. Hehehe, kadang terhadap anggota FLP, saya panggil teman. Kadang adik. Campur aduk. Seorang teman dari Sukamara harus menempuh perjalanan ke Pangkalan Bun 2 jam, lalu menuju Jakarta. Dari Jakarta naik kereta api atau travel supaya sampai Bandung. Kalau naik kereta api, berarti dari stasiun masih lanjut naik taksi online ke Wisma PU jalan Riau/RE. Martadinata, Bandung.

Seorang teman FLP, Daeng Gegge Mappangewa harus bersiap jam 15.00 dari Bandung sebelum bertolak menuju Soetta dan naik pesawat pukul 22.00. Terbayagn lelahnya, kan? 3 hari acara Munas FLP bukan berisi acara senang-senang tapi juga rapat sampai larut malam, bahkan pagi!

Seorang teman FLP, mas Ibnu HS, menyempatkan diri mampir ke rumah saya di Surabaya. Pesawatnya bertolak jam 13.00 menuju Pangkalan Bun dan sekitar jam 17.00 baru menuju Sukamara. Dari Bandung-Surabaya sendiri sudah perjalanan yang melelahkan.

 

Ada lagi?

 

Emak-emak rempong yang luarbiasa!

Yang ini, mengalahkan kegagahan Daeng Gegge dan mas Ibnu HS, juga seluruh peserta cowok yang gagah perkasa.

Kalau laki-laki melenggang hanya menenteng tas ransel dan jinijngan oleh-oleh; emak-emak ini luarbiasa! Ampun deh kekuataannya. Yang bisa saya sebutkan hanya sedikit : mbak Sri Widiyastuti dari Bogor, mbak Milda Ini dari Bengkulu, mbak Naqiyyah Syam dari Lampung, mbak Utin Winda dari Sukamara. Mereka bawa tas double, menggandeng anak, menggendong anak, menyusui anak. Dan jangan bayangkan anaknya tenang-tenang aja ikut rapat ya. Si anak ikutan rempong dengan main kesana kemari, rapat dengan sesama teman seumurannya, nangis kalau mamanya ngerumpi dan tahu aja kalau mamanya sedang konsentrasi ke hal lain maka ia akan minta perhatian.

Naqiyyah Syam, Milda ini, Sri Widiyastuti

 

Apakah para emak ini mengeluh?

Sama sekali tidak!

Mereka tetap tersenyum cerah melayani anaknya, berbincang dengan teman-teman yang lain, ikut rapat dan bertukar pikiran, bahu membahu mengerjakan banyak hal.

Apa yang menyebabkan para emak ini begitu perkasa namun juga tampak bahagia?

Analisa saya, FLP merupakan rumah kedua mereka sesudah rumah mereka sendiri yang sementara waktu ditinggalkan di kampung halaman. Di FLP, para emak dan bapak menemukan teman-teman sevisi semisi yang cinta dunia baca, dunia menulis dan sama-sama rela mengorbankan waktu-tenaga-pikiran untuk memikirkan bagaimana organisasi bernama FLP ini punya kontribusi makin luas di tengah khalayak.

Yang perkasa, bukan hanya emak-emak yang bawa anak saja lho.

Afra, bu Dinny, Sinta.jpg
Afifah Afra, bu Dinny, Sinta

Ketua umum terpilih, Yeni Mulati a.k.a Afifah Afra juga seorang emak tangguh. Di belakangnya ada 4 anak menunggu. Dan detik-detik sebelum ia terpilih sebagai ketua umum, putra beliau yang bernama Rama mengingatkan dengan nasehat luarbiasa : Ummi jangan berambisi menjadi ketua. Padahal kita tahu sendiri, Afifah Afra sama sekali tak punya ambisi apa-apa sebagai ketua umum FLP. Mengingat, menjadi ketua umum FLP bukan pekerjaan mudah tetapi masyarakat FLP mayoritas memilih perempuan berkacamata ini sebagai pemegang kemudi kapal FLP.

 

 

Bapak-bapak gagah dan keren

Bukan emak saja yang gagah perkasa, bapak-bapak di FLP pun luarbiasa.

Mereka bukan sekelompok orang iseng, gak punya kerjaan, luntang lantung kesana kemari cari kesibukan. Beberapa di antaranya berprofesi sebagai dosen seperti Irfan Hidayatullah, Ganjar Widhiyoga, Yanuardi Syukur,  Topik Mulyana, Fitrawan Umar dll. Yang lainnya berprofesi sebagai guru dan juga kepala sekolah seperti Gegge Mappangewa, Alimin Samawa, Khairani , Sudiyanto, Danang Kawantoro, Mashdar Zainal dll. Yang pegawai negeri seperti Ibnu HS, Anugerah Roby Syahputra dkk rela mengajukan cuti agar bisa turut memikirkan bagaimana FLP ke depannya. Yang masih mahaiswa dan karyawan; banyak sekali jumlahnya.

Para bapak ini bergabung bersama deretan para emak, para cowok dan cewek heroik yang punya segudang cerita bersama FLP di wilayah masing-masing.

 

Cowok keren di FLP

Di FLP bertebaran para pemuda dan pemudi penuh talenta yang sangat oke baik kiprah dan kecerdasannya. Bagi yang mendamba pasangan dan ingin punya menantu keren; cari saja di FLP. Cowok dan cewek di FLP nyaris tak ada yang cengeng. Hampir tak dijumpai tukang mengeluh dan complainer sana sini. Semuanya berkualitas, dengan kapasitas masing-masing dan keahlian masing-masing. Dengan prestasi, pencapaian dan kreativitas masing-masing.

 

Apa yang dicari di FLP?

Banyak motivasi bergabung di FLP.

Ada yang ingin pintar menulis, berkarya dan  buku-bukunya laris manis terpajang di etalase toko buku. Ada yang ingin cari pengalaman dan punya portofolio bergabung di sebuah organisasi tertentu. Ada yang ingin belajar keislaman tapi dengan cara yang ‘lain’. Bila umumnya mendalami keislaman lewat jalur rohis atau organisasi dakwah di kampus; maka di FLP kita belajar Islam bersama-sama lewat jalur seni sastra. Di FLP kita langsung mempraktikkan adab Islam dan bukan sekedar membahas teori.

Di FLP kita mencoba mengkritik karya orang lain dengan santun, dan kita pun terbuka terhadap kritik.

Di FLP kita mencoba bersikap itqon atau bekerja secara excellent; sebab sebuah buku tak dapat terbit bila penulisnya tidak disiplin dan bekerja keras. Bukan hanya pekerja keras; penulis juga harus menguasai beragam ilmu agar buku yang dihasilkannya berkualitas.

Di FLP kita bermedsos ria, tapi bukan sembarang media sosial yang memposting status-status alay lalu menghujat pihak sana sini. Kita terbiasa mengunggah status yang mencerahkan, memberikan like atau komentar terhadap postingan positif orang lain. Para penulis FLP rata-rata memiliki akun medsos dan blog yang digunakan untuk kepentingan promosi, resensi dan review produk. Dakwah bil qolam bukan hanya mewarnai buku-buku tapi juga mewarnai ‘tinta’ kita di media sosial.

Beberapa orang yang meninggalkan FLP, entah karena studi, pekerjaan atau memang kesibukan di organisasi lain; rata-rata merindukan kembali FLP. Merindukan situasi membahas buku dan dunia seni. Merindukan situasi saling mengkritik dengan santun namun berbasis ilmu. Merindukan kehangatan antar anggotanya yang tulus dalam menjalin persahabatan, bukan kepura-puraan karena menutupi maksud tersembunyi.

Pengurus BPP perempuan

Pengurus BPP FLP, perempuan. Yang laki-laki sedang Jumatan 🙂

Sesungguhnya, banyak sekali hal didapatkan dari FLP.

  1. Teman sesungguhnya. Teman dunia maya kita ribuan. Tapi teman nyata? Di FLP, ketika copy darat dan rapat organisasi, kita memiliki teman yang betul-betul berwujud teman. Bukan makhluk ghaib yang hanay berseliweran di dunia maya.
  2. Inilah kekayaan seorang penulis. Dengan jaringan ia banyak dapat info lomba, info review produk, info residensi penulis, info penerbit, info buku-buku yang harus dilahap dan masih banyak lagi keuntungan yang didapat dengan jaringan. Termasuk ketika punya buku, jaringan ini berfungsi untuk membeli buku kita dan juga memasarkan buku kita.
  3. Ketrampilan. Menulis itu butuh ketrampilan yang harus diasah dari waktu ke waktu. Bergabung bersama FLP membuat saya yang pemahamannya 0 tentang menulis menjadi semakin luwes dalam menghasilkan karya.
  4. Ilmu. Di FLP kita mendapat ilmu gratis yang mahal harganya dari para pakar. Ilmu majemen dan pemasaran saya dapat dari mbak Afifah Afra. Ilmu sastra saya dapat dari kang Irfan Hidayatullah dan kang Topik Mulyana. Ilmu promosi buku saya dapat banyak sekali dari adik-adik FLP yang masih muda-muda, gen millenium zaman now. Ilmu organisasi dari Ganjar Widhiyoga, Nur Baiti, Koko Nata dan Wiwiek Sulistyowati. Ilmu perbukuan saya dapat dari Rahmadiyanti Rusdi dan Ali Muakhir. Wah, itu belum ilmu-ilmu yang lain ya. Masih banyak sekali ilmu yang saya serap dari FLP yang semakin lama membuat saya menjadi penulis penuh semangat. Ilmu per blog-an saya dapat dari Sri Widiyastuti, Naqiyyah, Milda, Zaki Faturrahman, Hendra Veejay dan banyak teman-teman FLP yang sepertinya; tiap bertemu mereka ilmu saya makin nambah dan nambah dan nambah.

 

Dari 4 hal di atas ada lagi  yang bisa didapatkan dari FLP.

Kalau ide buntu dan stag di satu titik, bergabung bersama FLP membuat pikiran kita terbuka. Entah karena kreativitas atau karena guling-guling tertawa. Maklum, anggota FLP adalah pecinta buku yang suka baca sehingga ada saja bahan untuk dibicarakan. Untuk di anekdot-kan. Untuk dikritik. Untuk dijadikan bahan lelucon cerdas.

Aaboy, HD Gumilang, teman-teman FLP yang kocak!

Kreatifitas anak-anak FLP terlihat dari kemampuan mereka mengolah diksi, membuat buku indie, mempromosikan buku sampai menggelar acara-acara. Setiap kali pikiran saya buntu terkait masalah tulis menulis, bertemu anak FLP membuat simpul ruwet terbuka lagi. Mereka akan menyarankan buku ini itu, mendorong mengerjakan sesuatu, memancing kecemburuan saya ketika mereka memamerkan buku-buku terbaru yang terbit . Yang pasti, kritik anak FLP bukan sekedar bilang : karya kamu jelek.

Mereka tahu betul ketika bilang karya saya pantas dikoreksi, maka mereka memberi masukan tentang koreksi tersebut. Di bagian mana. Harus diapakan. Plus saran-saran perbaikan.

Selain hal-hal di atas, masih ada lagi lho yang bisa didapatkan dari FLP.

Mencari menantu idaman? Mencari pasangan idaman?

Mau cari orang kreatif, tangguh dan pantang menyerah?

Cobalah cari di FLP, salah satu gudang kreator masa depan Indonesia.

Kategori
Catatan Perjalanan Film FLP Jurnal Harian Oase

Duka Sedalam Cinta : setiap potongan puzzle, punya tempatnya sendiri

 

Apa yang anda cari ketika menonton sebuah film?

Hiburan, pasti.

Satu energi baru, quote-quote unik yang akan terkenang selalu seperti perkataan Cinta kepada Rangga : “kamu jahaaaat!” yang kerap menjadi meme lucu. Atau cuci mata karena melihat wajah-wajah bening berseliweran? Hm, boleh juga karena ingin menikmati OST keren yang cocok dengan sebuah adegan. Atau justru, ingin mendapatkan asupan jiwa berupa filosofi hidup yang dapat diteguk dari sebuah cerita visual. Ah.

Yang pasti, salah bila kita ingin meneguk semua dalam sekali kesempatan.

Bila ingin mendapatkan hiburan, sekedar tertawa lalu pulang dengan jiwa hampa, tontonlah film komedi. Ingin jantung berdegup loncat-loncat, tontonlah film thriller macam Split atau film horror seperti It. Ingin mendapatkan asupan jiwa dan nasehat-nasehat ruhani tapi bukan di ruang-ruang masjid dan rapat organisasi lembaga dakwah; tontonlah film religi seperti Duka Sedalam Cinta. Ingin tahu kisah keluarga versi layar perak dan bukan sekedar layar kaca, tontonlah Ketika Mas Gagah Pergi dan Duka Sedalam Cinta yang baru tayang Kamis, 19 Oktober 2017.

film DSC.jpg

Pemain Baru yang Segar

Tidak ada yang instan di dunia ini.

Hadirnya wajah-wajah baru di blantika perfilman, memberikan kesegaran. Tujuan dari bibit baru ini agar masyarakat (baca : anak muda) punya role model baik yang lebih beragam. Film-film yang diambil dari novel best seller Habiburrahman el Shirazy seperti Ayat-ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih; berhasil megnantarkan bintang film baru ke tengah khalayak. Anda tentu bisa tebak : Oddie “Azzam” dan Oki Setiana Dewi. Hingga kini, Oddie dan Oki menjadi ikon masyarakat untuk tokoh muda yang good looking dan dapat menjadi teladan baik di bidang akhlaq ataupun di bidang usaha.

Baik Oddie dan Oki tidak langsung mahir beradaptasi dengan kamera.

Hamas Syahid, Masaji dan Izzah Ajrina adalah nama baru di pentas perfilman.

Sebagaimana pendatang baru  yang masih perlu banyak belajar; akting mereka tentu tidak dapat langsung disamakan dengan pendahulunya, Wulan Guritno dan Mathias Muchus. Wulan dan Mathias telah demikian alamiah berperan di depan kamera hingga senyuman, airmata, lekukan wajah dan gestur tubuh tampak begitu wajah dan luwes. Bagi saya, peran yang mengejutkan adalah peran Salim A. Fillah sebagai kiai Ghufron. Ustadz yang satu ini ternyata lihai bermain hehehe…Eh, mbak Asma Nadia pun ternyata cocok memainkan drama ya?

Dari para pemain muda, Aquino Umar yang pantas diacungi jempol. Ia lucu, menggemaskan, membuat geregetan sekaligus memancing airmata tumpah ruah ketika mas Gagahnya meninggal. Izzah Ajrina meski masih kaku dan sedikit medok; terlihat juga cukup luwes. Sayang perannya sedikit. Padahal saya suka model-model busananya hehehe…

Akting Hamas dan Masaji masih perlu dipertajam. Tapi dua cowok ini benar-benar punya potensi menjadi tokoh di masa depan yang menjadi contoh akhlaq baik,anak muda berprestasi,  di samping wajah yang membuat para cewek kya-kyaaa!Seiring berjalannya waktu dan terasahnya pegnalaman, mereka berdua dapat menjadi bintang muda berkelas. Asal, jangan lelah belajar dan tahan terhadap kritik. Berani berakting di depan kamera itu sudah layak diacungi jempol. Kita juga bakalan keringatan, gugup, dan salah berulang-ulang ketika sutradara berteriak : take, action, cut!

Rasanya, hanya Emma Watson si Hermione yang dijuluki artis one-take. Yang lainnya perlu adaptasi berkali-kali dengan kemauan sutradara, produser, kamewaran dan tentu saja audiens yang keinginannya tak ada yang seragam!

DSC CGV.JPG
FLP Surabaya nonton Kamis, 19 Oktober 2017 di CGV Blitz, Ngagel

Perjuangan Bersama

Sebagai arek Suroboyo, saya salut dengan Hamas dan Izzah. Meski adegan Izzah hanya sedikit : saat seminar, di rumah sakit, ketika Gita belajar berjilbab dan di tepi pantai saat akhirnya menjadi istri Yudi dan ibu dari Gagah Kecil (putra almarhum Gita); Izzah berlelah-lelah mencoba berakting di banyak setting. Keindahan Halmahera yang terlihat penonton dan rasanya adem karena kita berada di ruang berAC; buklan demikian halnya dengan yang dirasakan pemain. Hamas dan Izzah harus rela berpanas-panas di tengah alam terbuka. Panas yang puaaaannnnnassss, jare arek Suroboyo. Hamas dan Izzah berada di bawah terik matahari dan harus berkali-kali terpapar panas karena pengambilan adegan tak cukup satu kali. Kebayang sulitnya jadi aktor ya?

Setiap potongan adegan di film itu merupakan hasil kerja keras luarbiasa dari para kru. Kebayang kan, sebuah film bukan hanya terdiri dari pemeran utama, pemeran pembantu saja? Tapi ada figuran, cameo dan lain-lain. Anak-anak kecil yang menyambut kehadiran Gagah dan Gita; para nelayan yang mengerubungi ustadz Muhammad di tepi pantai; para santri di pondok kiai Ghufron. Mereka para figuran yang membuyat film DSC terasa renyah dilihat. Bahkan, keindahan Halmahera menjadi demikian menonjol dan puitis ketika disandingkan dengan Pondok Cinta yang digagas Hamas di tepi Jakarta yang semwarawut.

Selain filmnya sendiri yang dibuat berlelah-lelah, proses pendanaan hingga ditonton bersama pun merupakan kerja bersama yang luarbiasa. Sejak awal, FLP mendukung film ini dengan semangat luarbiasa. FLP mengumpulkan dana crowdfunding hingga sekitar 37 juta, mempromosikan film KMGP dan DSC melalui segala media sosial baik miliki FLP ataupun milik masing-masing anggota FLP.

DSC FLP Sda.jpg
FLP Sidoarjo yang meriah menonton DSC

Teman-teman FLP di penjuru Indonesia berusaha menunjukkan semangatnya dengan menonton film ini bersama-sama. Terutama di hari pertama. Film akan cepat diturunkan dari layar bila hari pertama dan kedua penontonnya tidak memenuhi kursi bioskop. Setiap kita punya peran dalam berbuat kebaikan. Mbak Helvy dan tim punya peran dalam mewujudkan sebuah film keluarga yang layak tonton bagi segala umur. Kita, sebagai penonton, punya peran untuk mewujudkan film ini laku. Dan , sepanjang proses film ini dibuat hingga hadir di layar perak, tak terhitung lagi banyaknya orang yang berkeringat, bahu membahu, banting tulang bekerja sama agar proyek kebaikan dapat terwujud nyata. Setiap kita adalah puzzle yang membentuk pola besar hingga terbentuk bangunan indah yang sedap dipandang. Setiap kita adalah puzzle yang membuat sebuah karya, dapat dinikmati banyak orang.

 

Keindahan Duka Sedalam Cinta

Kalau sebuah film digambarkan dengan sebuah warna, saya mengambil nuansa biru sebagai warna DSC. Halmahera, digambarkan dari jauh dan dari atas sebagai wilayah yang dipenuhi lautan indah dengan tepi pantai yang memanjakan mata berikut pohon-pohon nyiur yang meliuk. Kotak-kotak rumah kayu, dengan halaman luas (tidak seperti di kota besar yang rumahnya kecil tanpa halaman!), berada di pinggir laut; benar-benar menggambarkan situasi tepi pantai yang melapangkan rongga dada.

Umumnya, kita melihat pesantren berada di tengah ladang hutan atau sawah, sebab para santri biasa dididik kiainya untuk mandiri. Pesantren miliki kiai Ghufron ini berada di tepi laut, jadi tiap hari dapat menikmati sunset dan sunrise dengan bebas. Benar-benar pesantren yang dapat mengobati luka jiwa. Jadi kepingin nyantri di tempat seperti itu hehehehe…

Hubungan Gita dan Gagah juga mengesankan.

Di zaman sekarang, saat sibling rivalry bisa begitu tajam karena diperuncing dengan kehadiran gawai dan beragam permasalahan; hubungan kakak adik yang mesra seperti itu sangat memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang kakak bertanggung jawab pada adiknya. Biasanya, abang sangat sibuk dengan urusan pribadinya : kuliah, having fun, nongkrong sama teman-teman apalagi kalau punya pacar. Adiknya bisa terlupakan. Gagah memberikan contoh pada penonton, seorang kakak harus menjadi contoh kebaikan bagi adiknya. Seorang kakak harus memikirkan masa depan adiknya. Seorang kakak harus berjuang untuk adiknya. Itu filosofi ketimuran yang sangat indah dan penuh makna : yang tua, harus memikirkan yang muda.

Kiai Ghufron dan Gagah, juga contoh anak muda yang mampu menembus batas-batas kesulitan menjadi peluang. Mengagas pesantren di tepi pantai baik pantai Halmahera atau pantai Jakarta yang kumuh, pasti butuh kekuatan tekad dan harus memutar otak; termasuk keberanian menghadapi orang-orang yang tak sepaham.

Adegan yang saya sukaaa banget adalah ketika kiai Ghufron mengajak santri-santrinya untuk menyelam ke laut, mengambil sampah-sampah yang berserakan, hasil karya orang-orang sembarangan yang enggan mengeluarkan sedikit energi, meletakkan sampah pada tempatnya. Minimal, menyimpan sampah itu di tas masing-masing sebelum menemukan tempat pembuangan.

Melihat Duka Sedalam Cinta, membuat saya kembali bermimpi : saya juga haru punya tempat seperti Pondok Cinta milik Gagah. Saya harus bisa mewujudkan mimpi memiliki Islamic Crisis Center. Tempat seperti yang dimiliki Charles Xavier dan serial X-Men dan Gagah, menampung orang-orang istimewa dan menempa keistimewaan mereka menjadi orang-orang berprestasi. Dibutuhkan lebih banyak orang-orang seperti kiai Ghufron dan Gagah, yang berhasil menyulap sebuah lahan tak bermakna menjadi sebuah tempat tujuan yang menjadi sanctuary bagi banyak manusia.

DSC CGV 1.JPG

Sinta Yudisia

Penulis, Psikolog, Ketua Umum FLP 2013-2017

 

Kategori
FLP Kepenulisan Oase Sastra Islam Tulisan Sinta Yudisia

Menuju Munas 4 FLP, 3-5 November di Bandung : Mahabb Adib-Abdillah, Profil Ketua Panitia Musyawarah Nasional FLP

 

Lelaki muda yang kalem ini, punya banyak sekali nama. Kalau anda menemukan nama-nama beragam di dunia pelatihan, kepenulisan maupun spiritual; jangan-jangan ia adalah orang yang sama!

Usianya tak dapat ditebak.

Jangan bayangkan pula bahwa usia lajang membuatnya tak bijaksana. Ia pemuda dengan segudang pengalaman yang membuat orang ingin belajar banyak darinya.

 

Adib Munas 4 FLP.jpg
Kang Adib

Nama Asli dan Nama Lain

Kedewasaan dan pengalaman hidup membuat dirinya tampak jauh lebih matang dari usia sebenarnya. Bernama asli  Abid Ibnu Husen dengan gelar S.Sos. Nama Abid Ibnu Husen  digunakan untuk kehidupan sehari-hari dan berkarya di bidang akademik, dunia pendidikan, dan penelitian. Ia berkarier di bidang pelatihan, pengajaran, seminar, dan coaching ; dengan nama keren tercantum di berbagai media sebagai  Husain Suitaatmadja, CPS®, CPM®, atau disingkat Kang HuSu.

Kang HuSu merupakan member IPSA (Indonesia Professional Speakers Association), founder Roof Creative House (RiCH) Indonesia, dan Leadership &  Literacy Coach. Jadi, kalau kita diisi materi oleh kang HuSu; bawaannya heboh, tertawa berguling, dan seru banget pokoknya!

Eit, kang HuSu bukan hanya mahir bicara tapi juga mahir berdiam diri.

Lho, apa hubungannya?

Kebanyakan orang yang pandai bicara akan sulit menulis; sebab menulis membutuhkan energi kontemplasi, aura dingin serta ketenangan. Kang HuSu ini memiliki kedua-duanya : energi bicara dan energi berdiam.

Catat karya-karyanya!
1. 100 Kiat Praktis Sehat di Usia Senja (Elex Media Komputindo, 2013) – eh, kang HuSu ini masih muda dan single lhooo tapi sudah buat buku bijaksana seperti ini.
2. Hidup Bahagia dan Berkah Tanpa Penyakit Hati (Elex Media Komputindo, 2014)
3. How To Be A Great Man (Caesar Media Pustaka, 2015)
4. Saya adalah Pribadi Multidisipliner (Bitread Digital Books, 2017, coming soon)
5. Taman Cerita, sebagai editor dan mentor kumpulan puisi sahabat disabilitas Bandung yang tergabung dalam Workshop Menulis WOKE dan FLP Jawa Barat (Bitread Digital Books, 2017, coming soon)

 

Nama Sastra

Untuk bidang sastra, film, dan musik spiritual, petualangan, dan kemanusiaan namanya bermetamorfosa menjadi Mahabb Adib-Abdillah.

Ia adalah Ketua FLP Jawa Barat dengan sederet karya (yang di atas ternyata belum selesai bookografinya!):

  1. Ramadhan Terakhir Ludwig, novel spiritual dan keluarga (DIVA Press, 2013)
    2. Seribu Kebaikan Untukmu, antologi cerpen bersama FLP Jatinangor [sekarang Sumedang] (Salsabila, Pustaka Alkautsar, 2013)
    3. Tuhan, Aku, dan Alam, antologi kisah petualangan spiritual bersama Pantera Fisip Unpad (ANDI Publisher, 2014)
    4. Cinta dalam Tumpukan  Jerami, kumpulan prosa (Bitread Digital Books, 2016)
    5. Aneukada: Perempuan, Kopi, dan Syair, kumpulan puisi (Bitread Digital Books, 2017, coming soon)

Aduh, Berapa sih Nama Akang?

Sebagai standup comedian, penulis dan aktivis sosial untuk anak muda dan dunia anak-anak, filmmaker, dan social welfare writer, lelaki murah senyum ini memilih nama  Aaboy.

Karyanya :
1. Novel komedi inspiratif Universitas Jatinangor Oxpord a.k.a UJO (Mahaka Pubilishing, Republika Penerbit, 2013) dan kini sudah mau 4 tahun menjadi komunitas kreatif di Bandung, komunitas berbasis universitas, Kampus UJO.
2. I.B.U. (I Believe U), novel komedi keluarga dan dunia remaja (Indiva Media Kreasi, 2017, coming soon)

Ternyata, kang Husen atau kang HuSu, kang Adib, kang Aaboy atau kang Abid ini punya segudang prestasi, segudang ketrampilan dan segudang karya.

Ehm, kira-kira nanti di buku nikah mau dicantumkan nama yang mana, Akang?

Sinta, adib, milad-flp-ke-20.jpg
Dari kiri  : Adib , Roby, Gol A Gong. Paling kanan Sinta, sebelah kirinya Annisa bitread
Kategori
ACARA SINTA YUDISIA FLP Oase

Menuju Munas 4 FLP 2017, November 2017

 

 

 

Tanpa terasa, perjalanan FLP tahun ini telah memasuki masa 20 tahun.

20thFLP (PNG)Banyak catatan pencapaian FLP, sebagaimana banyak pula catatan yang harus dikerjakan oleh organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia ini.  Lahirnya penulis-penulis baru mulai usia anak-anak, remaja hingga dewasa; terbitnya beragam buku mulai buku konvensional hingga buku digital; karya-karya yang semakin luas cakupannya mulai puisi, cerpen, novel, buku motivasi, buku referensi, opini, artikel, skenario dan masih banyak lagi.

Apa saja pencapaian FLP selama 4 tahun terakhir? Apa pula catatan yang harus diperhatikan?

 

Lokal, Nasional, Internasional

Penulis-penulis FLP biasanya mengawali dari hobby dan kebutuhan ekspresi diri. Keinginan untuk melihat karyanya dibukukan, membuat penulis-penulis memacu diri menghasilkan kuantitas karya. Lihatlah karya-karya yang tertuang di media sosial mulai facebook, wattpad, hingga blog. Mereka yang rajin mengirimkan karya juga banyak. Pada awalnya mengirimkan karya ke koran-koran lokal seperti media kampus, media sekolah hingga media massa setempat.

Selanjutnya, semakin terasah kuantitas dan kualitas, maka anggota FLP akan mulai menempati karya di level nasional. Media online, media massa, majalah hingga beragam kompetisi berhasil dilalui. Jumlah yang mencapai level nasional sangat banyak; bahkan semakin lama, semakin junior usianya.

Mereka yang merambah dunia internasional pun bermunculan satu demi satu. Bukan  hanya kualitas karya, kualitas tulisan ilmiah, namun juga kiprah yang mengiringi langkah-langkah mereka. Penulis FLP mengisi ruang-ruang literasi dari Sabang hingga Merauke.

Ganjar Widhiyoga dan Yanuardi Syukur , dua orang di antara sekian banyak penulis FLP yang go international

 

 

Registrasi Online

Salah satu hal penting yang ingin dirapikan oleh FLP adalah bab organisasi.

Organisai bertujuan mengatur sekian banyak orang agar seragam visi misinya, agar seragam langkahnya. Mengelola organisasi kepenulisan yang berisi para seniman, sastrawan dan penulis berjiwa kreatif; tentu banyak tantangannya. Pada umumnya, orang-orang imajinatif enggan dibatasi gerak langkahnya. Di FLP, gerak langkah itu bukan dibatasi atau diseragamkan; namun perlu diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia perbukuan agar memiliki daya guna dan daya saing yang tinggi.

Banyak sekali remaja, mahasiswa, karyawan yang ingin menjadi anggota FLP. FLP bukan organisasi ekslusif; namun harus memiliki basis data yang kuat. Berapa wilayah yang tercata? Berapa cabang yang terlibat? Berapa anggota riil yang masih aktif? Berapa anggota pasif yang tidak dapat membantu roda organsiasi tapi potensial di sisi yang lain?

Untuk itulah, registrasi online diadakan.

Waktu 4 tahun bukan waktu yang singkat, namun juga bukan perkara mudah mendata penulis FLP dari ujung barat ke timur. Sedikit demi sedikit, dengan ketekunan dan semangat persuasif para pengurus Pusat FLP; satu demi satu para penulis FLP mulai terdata lokasinya. Sehingga jumlah penulis FLP bukan hanya perkiraan : 5000-an, 10.000an; namun jumlah digit hingga angka terakhir diketahui. Hal ini bukan saja dibutuhkan dalam perkara material belaka, misal agar tersedia dana memadai bagi perputaran roda organisasi; namun juga dapat memetakan potensi penulis FLP di berbagai level dan jenjang, juga wilayah. Seringkali, pihak pemerintah atau lembaga non profit menghubungi FLP bila berkunjung ke suatu wilayah dan akan menyelenggarakan acara literasi. Anggota FLP relatif mudah digerakkan untuk berkumpul dan menyelesaikan suatu agenda literasi.

logo pake tanggal.png

Munas 4 FLP di Bandung, Jawa Barat

Pilihan Bandung sebagai kota penyelenggara Munas 4 bukan tanpa pertimbangan. Kota ini dapat menjadi magnet bagi para anggota FLP di seluruh Indonesia dan mancanegara untuk turut hadir dan memeriahkan pentas literasi. Munas memiliki agenda utama memilih ketua umum untuk periode 4 tahun ke depan, namun bukan hanya itu. Munas 4 FLP menjadi ajang silaturrahim yang sangat dirindukan, menjadi ajang pembelajaran segala hal, menjadi ajang tukar pendapat dan tentu saja. Penulis sangat menyukai hobby traveling yang akan memunculkan citarasa imajinasinya.

Bandung dan Jawa Barat adalah tempat indah dan nyaman dengan segala keunikan pariwisatanya yang terkenal. Kuliner, fashion, tempat wisata, bahkan agenda politiknya pun dilahap masyarakat Indonesia dengan penuh rasa ingin tahu. Harapan panitia, Munas 4 FLP akan menarik sebanyak mungkin peminat untuk hadir dan turut memeriahkan acara.

Acara Munas 4 FLP ini insyaallah akan diselenggarakan dari tanggal 3 hingga 5 November 2017. Maka bersiaplah untuk ikut berguncang dalam acara dahsyat ledakan literasi!

 

Di bawah ini karya-karya FLP yang telah terbit nasional dan internasional

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA Catatan Perjalanan FLP Kepenulisan Oase Sastra Islam WRITING. SHARING.

FLP & Penulis yang Sukses di Era Digital

Milad ke-20 FLP yang berlangsung di Bandung berjalan sukses, hangat dan meriah.

Parade penulis senior hingga junior di panggung, memberikan orasi 15 menit yang sangat memperkaya peserta yang hadir, termasuk  saya. Rasa-rasanya ilmu kepenulisan kita masih jauh dari cukup untuk menghadapi tantangan di era global.

Hadir di acara-acara FLP membuat saya semakin bersemangat untuk terus menulis, berorganisasi dan menambah wawasan keIslaman. Bagaimana tidak?

Di era digital, bukan hanya niat yang harus terus menerus diperbaharuai agar senantiasa ikhlas dan tawakal kepada Allah Swt. Kadang, niat baik kita tidak selalu bak  gayung bersambut dengan arus pasar. Akibatnya, tulisan (fiksi atau non fiksi) yang telah susah payah dituangkan tidak laku di pasaran. Bahkan, jeblok, begitu cepat write off. Padahal tulisan tersebut kita tulis susah payah dengan referensi yang  banyak sekali. Sementara mereka yang menulis asal-asalan, mengikuti selera pasar, terkesan menulis apa adanya justru laris manis. Menuai keuntungan material yang besar.

Lantas, apa yang harus dilakukan oleh seorang penulis?

Tanpa mengurangi niat awal dakwah bil qolam, senantiasa menebar kebaikan dan pencerahan dengan pena yang digoreskan, penulis-penulis FLP harus siap go international. Bukan hanya go local dan go national saja.

Simak apa saja yang disampaikan oleh para suhu dunia literasi ini. Jangan lupa untuk terus mengasah kemampuan dan tidak lupa, mental baja!

sinta, irfan,  pks.JPG
Sinta Yudisia, Irfan Hidayatullah dan buku Prejengane Kutho Suroboyo karya FLP Surabaya

Masyarakat Sastra (Irfan Hidayatullah)

FLP telah membentuk masyarakat sastra sendiri yang saling memengaruhi satu sama lain. Masyarakat sastra terdiri dari :

  1. Pembaca
  2. Penulis
  3. Penerbit
  4. Pasar
  5. Kritikus

FLP (Forum Lingkar Pena) awalnya adalah masyarakat pembaca. Setelah menjadi pembaca rutin dan kritis, timbullah keinginan untuk menciptakan karya sastra sendiri. Masyarakat pembaca ini lambat laun menjadi masyarakat penulis. Beberapa anggota FLP pun duduk di penerbitan seperti Ali Muakahir, Koko Nata, Benny Rhamdani. Rahmadiyanti Rusdi, Afifah Afra dan masih banyak lagi. Pasarnya sudah jelas, yaitu orang-orang yang suka membaca buku-buku dengan genre tertentu : genre yang mencerahkan, religius dan tidak meninggalkan gaya khas anak muda.  Dari lingkaran ini muncul pula kritikus sastra yang tumbuh dari kalangan aakdemisi dan sastrawan/ budayawan seperti Taufik Ismail, Joni Ariadinata, Irfan Hidayatullah, Topik Mulyana, dkk.

Masyarakat sastra ini sungguh luarbiasa sebab telah membentuk mata rantai ekosistem tersendiri yang akan saling memberdayakan satu sama lain. Penulis FLP insyaallah tidak akan mati, sebab telah memiliki pangsa pasar tersendiri. Meski demikian tetap saja, setiap penulis harus terus mengasah dirinya akan semakin berkualitas. Apa sumbangsih FLP selain dunia perbukuan? FLP juga memberikan kontribusi secara langsung maupunt idak alngsung kepada dunia sinema. Para penulis yang tergabung di FLP seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Habiburrahman el Shirazy dan banyak lagi rekan-rekan FLP yang giat mennulis scenario film; menjadikan dunia sinema tanah air semakin berwarna.

Industri film yang dikuasai Hollywood (Amerika), sesungguhnya cukup tersaingi oleh industry film dari negara-negara yang ingin maju ke pentas dunia. 5 negara yang menjadi kompetitor Hollywood adalah India, Perancis, Singapur, Korea Selatan dan Thailand. Pemerintah Perancis mensubsidi film-film Perancis agar dapat bersaing dengan film-film lain. Sementara India memasang strategi, para sineas disekolahkan di Amerika untuk kembali ke India membuat film sendiri yang tak kalah menarik dan mewah. Bollywood adalah salah satu industri film yang memiliki warna terendiri, tidak kalah dari Hollywood.

sinta,helvy,212
Helvy Tiana Rosa dan buku 212

Catatan untuk FLP (Helvy Tiana Rosa)

Bunda kandung FLP ini memberikan beberapa catatan penting terkait FLP setelahh memasuki usia 20 tahun. Point penting tersebut antara lain :

  1. Kaderisasi
  2. Kemampuan menguasai media
  3. Kemampuan “menjual diri”

Helvy TR mengutip ungkapan Jamal D. Rahman bahwa FLP telah mampu membuat lingkaran sendiri. Lingkaran itu adalah para pembaca, penerbit,  para penulis dan juga pasar. Lingkaran ini merupakan simbiosis mutualisme yang akan saling menguntungkan satu sama lain.

FLP harus mampu mengakder penulis-penulis baru dan tidak hanya memunculkan penulis senior. Penulis FLP harus terus mengasah diri untuk mampu menguasai media. Meski demikian, banyak penulis FLP yang bagus tidak mampu “menjual diri” karena rasa malu atau terlampau  tawadhu. Maka menjadi kewajiban organisasi untuk mampu memoles penulis-penulis berbakat ini agar mampu muncul ke permukaan.

sinta, maimon, pks, 212
Heboh menjelang foto bersama 🙂

Kiat Penulis Masa Kini (Benny Rhamdani)

Penerbit sesungguhnya terus membutuhkan penulis dan karya-karya mereka. Apa saja syaratnya agar mampu bersaing di era digital?

  1. Penulisnya terkenal
  2. Contentnya bagus

Yang dimaksud penulisnya terkenal bukan selalu penulis senior. Tetapi penulis yang rajin terus mempromosikan karya-karyanya di media sosial. Penulis yang rajin memposting bahwa ia sedang menulis buku berjudul dan bertema X. Penerbitan adalah industry content jadi contentnya tentu harus bagus.  Banayk contoh content yang menarik untuk dijual.

Puisi pendek yang dulu tidak laku, belakangan laku dijual. Buatlah quote-quote dari halaman tersebut untuk mempromosikan karya terbaru.

Ada juga penulis yang beralih profesi menjadi pekerja seni lettering yang karyanya terpampang di dinding –dinding rumah atau bangunan sebagai karya seni.

Penulis seharusnya menjadi trendsetter. Bukan follower.

Follower akan cepat laku namun juga cepat pudar. Sementara penulis trendsetter akan selalu establish, sayaratnya ia harus banyak membaca.

Bagi Benny Rhamdani, gadget tidak selalu bermakna negative bagi penulis bila ia tahu memanfaatkan. Ia bercerita, pernah menemui anak-anak muda yang seolah-olah tenggelam dalam gagdetnya namun sesunggunya tengah menulis di wattpad. Untuk media sosial jangan malu untuk memfollow seseorang agar dapat saling belajar dan saling mempromosikan.

MIlad FLP ke 20
Adib (ketua panitia), Roby (penulis junior FLP), Gol A Gong, 3 peserta yg beruntung, Annisa (bitread), Sinta Yudisia
Kategori
da'wahku FLP FLP Kids FLP Wilayah Jawa Timur Kepenulisan Mancanegara Oase Remaja. Teenager Sastra Islam

Berapa Besar Sumbangsih FLP (Forum Lingkar Pena) bagi Indonesia?

 

 

22 Februari 2017, Forum Lingkar Pena tepat berusia 20 tahun.

flp

Organisasi ini di sebut Taufik Ismail sebagai  ‘anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia’, sebuah ucapan yang layak direnungkan dan dibanggakan bagi segenap anggota serta pengurus FLP di Indonesia maupun perwakilannya di luar negeri.  Dalam angka yang diakhiri dengan imbuhan –an ; anggota FLP mencapai ribuan bahkan belasan ribu dengan buku-buku yang juga mencapai ribuan sejak organisasi ini berdiri di tahun 1997. Jumlah pastinya, haruslah disesuaikan dengan dinamika serta arsip organisasi. Mengingat, menggabungkan anggota yang penuh daya imajinasi dan kreativitas lalu merapikannya dalam struktur organisasi bukannya perkara mudah.

Milad FLP 19, Yogya.JPG
Yogyakarta-Ulang tahun FLP ke 19, 2016

Memandang  konstelasi perbukuan dan dunia sastra, dimanakah letak FLP? Apakah penulis-penulis FLP merupakan seniman serta sastrawan yang berkualitas yang karyanya pantas dibanggakan mulai level lokal, nasional hingga internasional? Apakah karya-karya FLP layak menembus pasar global internasional dan menjadi karya sastra yang mewakili wajah Indonesia?

 

Keberagaman anggota FLP

Salah satu asset luarbiasa dari FLP adalah demikian penuh keragaman corak dari anggota yang tersebar di penjuru Indonesia serta di beberapa titik mancanegara. Usia SD-SMP dikelompokkan sebagai FLP kids, diatas itu bergabung menjadi anggota FLP regular. Setiap cabang dan wilayah punya kekhasan masing-masing yang disesuaikan dengan kultur setempat serta ketersediaan sumber daya. BPP FLP memantau wilayah-wilayah, memberikan masukan serta mengatur seluk beluk keorganisasian.

rohingya-2

FLP kids menampung anak-anak SD –SMP yang sangat menyukai dunia tulis menulis. Mengingat buku-buku karya penulis cilik sangat digemari di seantero Indonesia, penerbit sangat membutuhkan karya-karya bermutu. Lini PECI (penulis cilik Indonesia) dari penerbit  Indiva, KKPK (kecil-kecil punya karya) dari Mizan; adalah beberapa yang sangat giat menerbitkan karya para penulis cilik. Tentu, penerbit memiliki cara tersendiri dalam menyaring tulisan berkualitas yang disukai pasar; namun, FLP pun turut membantu menyuburkan semangat berkarya di kalangan anak-anak Indonesia.

FLP Jombang, FLP Padang, FLP Lampung

 

Bagi remaja, untuk usia SMA dan mahasiswa, FLP menjadi organisasi kepenulisan yang diperhitungkan. Betapa banyak orangtua yang menginginkan anaknya mengembangkan bakat minat dibidang kepenulisan, mengontak FLP pusat atau wilayah dan meminta narahubung dari FLP yang terdekat. Remaja-remaja ini yang memang memiliki hobby membaca pada awalnya, lama-lama ingin mengembangkan diri dengan menulis. Apalagi, pekerjaan menulis sekarang bukan hanya terbatas membuat buku, menerbitkan cerpen, menulis puisi. Penulis sekarang lebih berkembang lagi profesinya mencakup penulis scenario, blogger, penulis lagu, hingga penyedia konten dari media-media online. Remaja-remaja berbakat menemukan FLP sebagai salah satu wadah yang memahami kebutuan mereka, menjadi organisasi yang asyik dan seru untuk membahas seputar dunia sastra terkini. Bukan itu saja, dari ranah kepenulisan, bahasan yang didiskusikan di media sosial dapat berkembang mulai film, music hingga politik. Anak-anak muda di FLP belajar untuk menuliskan opini mereka sendiri, bukan hanya sekedar copy paste, potong-salin. Bukan hanya sekedar broadcast. Anak-anak muda di FLP berusaha menilai sesuatu dari sudut pandang pribadi, dari perenungan dan penafsiran versi sendiri.

Terkadang, di WAG atau whatsapp grup FLP timbul ketegangan ketika membahas politik. Namun uniknya, anak-anak muda ini berusaha untuk terus menajamkan tulisan dengan bersumber pada fakta dan data; serta mencoba untuk berargumentasi dengan tagline sastra santun. Apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, apa yang kita lakukan dan katakan serta tulisan; haruslah dengan kesantunan. Ketika menyerang satu pihak atau mengkritik satu golongan; tidaklah perlu menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Anak-anak muda di FLP tumbuh menjadi generasi yang suka membaca, suka menulis. Maka bila kita membaca tulisan mereka diblog atau facebook, terasa sekali bahwa penulis FLP membawa nuansa yang berbeda. Konyol lucu, menghibur, namun bukan tong kosong.

Kalangan dewasa FLP, terdiri dari lebih banyak ragam elemen. Dosen, guru, karyawan, peneliti, sastrawan, PNS, pengusaha, editor, mahasiswa,  maupun kalangan professional lain. Ada pula kalangan pekerja istimewa yang dikenal sebagai tenaga kerja  Indonesia, yang bekerja di Hong Kong dan Taiwan. Karya-karya mereka telah diakui secara lokal, nasional bahkan internasional. Bagi guru, nama Gegge Mappangewa dari Makassar, Umi Kulsum dari Jombang, dan Khairani dari Banjarmasin adalah beberapa nama FLP yang karyanya berulang-ulang meraih penghargaan. Bukan hanya karya, namun juga kiprahnya di dunia belajar mengajar menjadi teladan bagi sesame guru mupun menjadi motivator bagi siswa. Agaknya, kemampuan mereka menulis menjadi salah satu point tersendiri untuk menjadikan para guru dan anggota FLP ini sebagai sosok teladan.

Di kalangan dosen dan penulis, FLP memiliki nama-nama Helvy Tiana Rosa, Irfan Hidayatullah; keduanya mantan ketua FLP terdahulu. Topik Mulyana, juga salah satu dosen dan pengurus FLP yang tulisannya tersebar di media massa sebagai sastrawan atau kritikus. Dari kalangan peneliti, muncul nama Maimon Herawati dan Ganjar Widhiyoga. Dua orang ini bak suhu kungfu yang akan turun gunung ketika dunia gonjang ganjing dengan segala hiruk pikuk berita hoax. Setiap kali tulisannya diunggah ke media massa, Maimon Herawati dan Ganjar Widhiyoga akan menuai banyak likers (juga haters) dan dishare ke banyak mungkin pembaca. Dari kalangan professional, nama-nama Intan Savitri sebagai ilmuwan psikologi, Yeni Mulati (Afifah Afra) sebagai CEO  ; menjadi referensi berharga bagi pembaca tiap kali mereka menelurkan tulisan baik buku atau sebuah catatan di media sosial. Di kalangan selebritas sendiri, tentu tak asing nama Habiburrahman el Shirazy dan Asma Nadia sebagai penulis-penulis kondang yang memberikan warna luarbiasa bagi dunia perfilman Indonesia.

Adakah kalangan istimewa dari FLP?

Tentu saja, kalangan ibu-ibu. Para ibu disini adalah ibu-ibu yang luarbiasa. Ditengah kesibukan dan tingkah polah mereka yang sangat spesifik sebagai kaum ibu yang cerewet, suka belanja, suka mengomel; para ibu  menelurkan karya-karya yang  sangat membanggakan. Selain buku-buku, penulis perempuan FLP banyak aktif sebagai blogger dan meraih banyak keuntungan baik financial maupun immaterial. Sebut saja Pipiet Senja, Naqiyyah Syam, Gesang Sari, Risalah Husna, Sri Widiyastuti, Puspitasari, Fauziah Rachmawati, Lina Astuti dan masih banyak lagi.

Blogger laki-laki?

Wah kalau ini jangan ditanya, jumlahnya menjamur di FLP!

Ali Muakhir, Koko Nata, Bang Aswi, Rafif Amir, Sokat Rahman, Bang Syaiha, Billy Antoro, Ilham Anugrah yang bila ditotal jumlah blogger FLP, mencapai puluhan bahkan ratusan. Mengapa demikian? Sebab rata-rata penulis FLP memiliki blog yang rutin dipelihara dengan tulisan dan laporan pandangan mata. Para blogger ini bukan hanya sibuk mengejar prestasi di dunia blogging, namun juga aktif dalam profesi masing-masing di dunia nyata.

Selain kelompok di atas, masih ada beberapa golongan di FLP yang demikian unik. Dua di antaranyanya adalah para pekerja serta mahasiswa perantauan di luar negeri.

FLP Hongkong.jpg
FLP Hong Kong

BMI Hong Kong dan pekerja di Taiwan adalah wilayah FLP yang sering menuai kekaguman akibat sepak terjang mereka yang luarbiasa. Bukan hanya mereka hidup di negeri orang, bekerja sebagai karyawan pabrik atau rumah tangga; hidup di level marginal, terpinggirkan dan kadang tidak dihargai secara layak; pada kenyataannya para pekerja Hong Kong dan Taiwan ini merupakan penulis-penulis yang luarbiasa. Sebut saja di antaranyanya Rihanu Alifa, Anna Ilham, Enda Soedjono, Shanna Azzahra, Indira, Ssy Laili. Mereka bukan hanya aktif di media sosial namun juga menulis di koran-koran lokal yang beredar di Hong Kong dan sekitarnya.

Mahasiwa perantauan di luar negeri, pun memberikan contoh luarbiasa bagaimana para pelajar harus membagi dengan bijak antara keuangan untuk mengelola organisasi, membeli buku, dan hidup cukup di perantauan. Bagaimana harus membagi waktu antara belajar, membaca jurnal (tentu dalam bahasa asing!), membaca referensi dan menelurkan buku-buku. FLP Mesir, FLP Yaman , FLP Turki, Maroko, Arab Saudi, Malaysia yang namanya terlalu panjang untuk disebutkan satu persatu. Anggota FLP yang pulang ke tanah air pun terus bergiat menyelesaikan karya seperti Awy Qolawwun yang merupakan jebolan FLP Arab Saudi, Adly el Fadly yang merupakan jebolan FLP Yaman, Irja NAshrullah yang masih aktif di FLP Mesir.

Demikian beragamnya anggota FLP hingga satu sama lain saling memberikan informasi berharga terkait dunia literasi yang tengah berkembang, issue-issue kekinian, berbagi ilmu sesuai dengan kapasitasnya, berbagi informasi lomba dan saling mendorong untuk meraih prestasi. Keragaman anggota FLP ini memperkaya para anggota untuk terus memacu masing-masing individu terus dan terus belajar.

 

Karya-karya yang terus berkembang

Karya FLP pernah dianggap karya kacangan.

Mengingat karya-karya tersebut begitu sederhana, begitu seragam dengan karya-karya sebagian besar anggota FLP, tidak menimbulkan makna yang dalam serta tidak layak untuk disejajarkan dengan karya-karya besar HAMKA atau Pramoedya.

Mengapa dianggap kacangan?

Memang karya FLP banyak yang seragam. Mengingat salah satu pilar FLP adalah keIslaman; banyak anggota FLP yang masih memahami karya Islami haruslah memiliki alur pesantren, masjid, tokoh berjilbab dan berjenggot. Kisahnya seputar mendapat hidayah saat menjadi mahasiswa kampus yang aktif di rohis, menjadi suka al Quran ketika di pesantren, atau mendapat kesempatan studi ke Timur Tengah.

Karya FLP dianggap minim kekayaan diksi serta mudah ditebak alurnya. Awalnya susah, lalu happy ending. Akhir yang mudah sekali diprediksi : menikah dengan sesama orang sholih, berhasil mendapatkan akhwat cantik idaman, lulus beasiswa dengan gilang gemilang, menjadi dosen dan disukai banyak mahasiswa.

Sesungguhnya, karya FLP tidaklah bisa disebut karya ‘kacangan’.

Siapakah HAMKA dan Pramoedya?  Adalah orang-orang yang kenyang makan asam garam kehidupan. Hidup dalam situasi sosial dan politik yang panas, merasakan peperangan dan penjara yang pedih. Sebagaimana kata Nietzche : hanya peperangan yang dapat membuktikan siapa manusia sesungguhnya, siapa binatang sesungguhnya.

Anggota FLP yang masih SMA dan mahasiswa, ibarat anak yang belajar berjalan, masih tertatih-tatih meraba-raba. Mereka seringkali harus menyisihkan uang untuk membeli buku sendiri yang bagi kantong Indonesia relative mahal, mereka juga tidak duduk di bangku fakultas FIB atau jurusan sastra. Mereka adalah anak-anak yang senang membaca, menulis, membaca, menulis. Karya-karya mereka adalah latihan yang sesunggunya. Sejak awal, mereka harus kenyang dengan kritikan pedas dan Alhamdulillah, mereka pantang mundur, terus menulis dan terus belajar. Perubahan-perubahan itu terlihat pasti merayap. Satu demi satu adik-adik FLP meraih penghargaan di tingkat lokal. Baik lokal sekolah, lokal kampus, lokal regional di koran kota. Lalu mulai muncul di koran nasional, di media online nasional, memenangkan lomba yang ringan persaingannya hingga lomba-lomba yang berat persaingannya serta level jurinya.

Adalah tokoh-tokoh FLP seperti Habiburrahman el Shirazy, Asma Nadia, Benny Arnas yang level ketokohannya diakui dunia. Mereka tidak lagi hanya memberikan pelatihan di tingkat Indonesia, namun diminta mengisi acara-acara di berbagai event di mancanegara. Ada banyak potensi di FLP yang insyaallah siap mengekor keberhasilan para pendahulunya seperti Asma Nadia, kang Abik dan Benny Arnas. Mashdar Zainal, salah satu anggota FLP Jawa Timur yang karya-karyanya tembus secara fantastis di koran ‘sulit’ seperti Jawa Pos dan Kompas.

Karya-karya kacangan FLP, akan terasa kacangan bila dikunyah oleh orang-orang dewasa yang level bacaannya sekelas para peraih nobel, pullitzer, dan penghagaan dunia lain : Najib Mahfudz, Amin Malouf, Rudyard Kipling, Orhan Pamuk, Serdar Ozkan, Nicholas Carr. Namun karya-karya ‘kacangan’ FLP akan menjadi kue lezat bagi sesama remaja yang butuh asupan bacaan ringan. Dan, mereka membutuhkan bacaan sejenis yang banyak jumlahnya.

Seorang gadis yang ingin memakai jilbab; akan terinspriasi oleh novel-novel tentang jilbab sekalipun alurnya kacangan, bombastis, tidak masuk akal, tidak relevan bahkan terlalu mengada-ada. Bila ia membaca 5, 10, 20 novel serupa yang menceritakan pengalaman memakai jilbab; bukan tidak mungkin ia pun pada akhirnya mantap berkerudung.

Seorang pemuda yang maju mundur untuk studi di pesantren; ketika membaca buku-buku yang mirip dan terkesan ‘sastra abal-abal’ ; sesuai level usianya yang masih suka menelan hal yang renyah dan ringan; pada akhirnya terdorong masuk ke pesantren dan membuka pintu kesadarannya untuk berjuang mengenyam pendidikan serius serta memangsa kitab-kitab yang jauh lebih berat dari sekedar naskah kacangan.

Anak-anak SD, yang masih suka berimajinasi dan membaca perkara ringan tentang dunia peri, dunia fantasi, kehidupan ala istana dan putri-pangeran; terdorong banyak menbaca buku ‘kacangan’ yang mungkin tidak sekelas Little Women (Louisa May Alcott) ,  Secret Garden (Burnett), Kim (Rudyard Kipling) atau bahkan Toto Chan. Namun, ketersediaan buku-buku ringan ini akan mendorong mereka memangsa buku level lebih tinggi dan pada akhirnya mereka suka mengunyah buku berat dan suatu ketika, menghasilkan karya sastra yang lebih mumpuni di waktu-waktu yang berikut.

Belajar menulis membutuhkan perjuangan panjang.

Tidak hanya dibatasi oleh bangku kuliah 4 tahun untuk S1, 2 tahun untuk S2. Belum tentu mahasiswa FIB atau sastra mampu menuliskan buku berkualitas bila mereka tidak mau belajar dengan susah payah. Sebagaimana belum tentu mahasiswa S2, S3 dan peneliti dapat menulis karya ilmiah dengan luwes dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Menulis karya ‘kacangan’ kadang merupakan stimulant awal bagi penulis untuk belajar bagaimana menyesuiakan ritme kesibukan dengan target menulis : berapa buku setahun, berapa bulan selesai 1 buku, berapa bab harus dikerjakan 1 minggu, berapa halaman dalam 1 hari dan berapa jam untuk menulis. Ketika ritme menulis ‘kacangan’ ini terbentuk; lambat laun dengan dorongan individu dan organsisasi akan tercapai karya-karya yang semakin berbobot dari waktu ke waktu.

FLP, memang dikenal sebagai pabrik penulis.

Terkesan sebagai organisasi yang mengeluarkan penulis-penulis karbitan, penulis kuantitas bukan penulis kualitas, penulis kualitas pabrik bukan kualitas butik. Meski demikian; segala kritik tentu berharga bagi tumbuh kembang sosok individu dan organisasi. Mereka yang telah bertahun-tahun menulis, tentu harus berupaya meningkatkan kapasitas diri agar karya tulis tidak selamanya kacangan. Bolehlah karya-karya ‘kacangan’ dihasilkan oleh anggota pemula; semakin tinggi level anggota FLP di tingkat madya dan andal; maka proses kreativitasnya harus terus bejalan. Karya yang dihasilkan pun harus semakin berat bobot kualitas, keilmuan, logika berpikir, maupun maknanya.

Proses, adalah bagian yang diakui di FLP.

Tidak ada proses sekali jadi.

Tidak ada proses yang singkat.

Tidak ada proses yang hanya seminggu.

Semua proses, bahkan penciptaan langit dan bumi melalui 7 tahapan di ‘tangan’ Allah Swt . Apalagi proses manusia,  mungkin melalui puluhan, ratusan, ribuan tahapan.

 

FLP dan pasar lokal-global

FLP cukup berhasil menyasar pasar lokal. Terbukti, walau dunia penerbitan pasang surut, penulis-penulis baru di FLP bermunculan mengeluarkan novel dan karya non fiksi.

Anggota FLP yang memiliki basic ilmu syariah seperti Irja Nashrullah, Awy Qolawun, Adly el Fadly suskes menggarap pasar nasional yang membutuhkan buku-buku kajian keIslaman dengan bahasa ringan; bukan bahasa referensial yang cendeung berat.  Afifah Afra, Naqiyyah Syam; sukses menggarap pasar remaja putri dan ibu-ibu. Ali Muakhir, Koko Nata, Sri Widiyastuti sukses menggarap pasar anak-anak. Habiburrahman, Asma Nadia sukses menggarap pembaca perempuan; sementara Benny Arnas dan Mashdar Zainal sukses memanfaatkan ceruk sastra yang jarang digeluti penulis karena effortnya yang cukup besar. Rafif Amir, Gesang Sari, Sokat Rahman, Billy, Aprillia, dkk  dan blogger FLP sukses menggarap pasar online yang celahnya sangat terbuka dan ramai.

Dalam era digital, FLP mencoba beradaptasi.

Kertas-kertas berimbas pada penebangan kayu yang mengancam paru-paru dunia. Disisi lain, orang-orang masih belum terbiasa menggunakan perangkat elektronik untuk membaca buku. E-book sebuah keniscayaan, namun juga cepat memunculkan kelelahan. Apalagi, orang cenderung membuka media sosial ketika berinteraksi dengan gawai dan cepat teralihkan dari niat semula yang ingin membaca buku elektronik. Buku-buku berhana baku kertas masih diminati, walaupun juga, manusia harus dibiasakan semakin efektif efisien dalam bertingkah laku.

Bekerja sama dengan beberapa media online seperti beetalk, bitread dan UC News; merupakan satu langkah FLP memasuki pasar lebih luas. Anggota FLP tidak hanya harus belajar menulis fiksi – non fiksi; tapi juga belajar menulis materi-materi up to date yang diminati masyarakat luas mulai bahasan Donald Trump-Melania, hingga bagaimana hidup awet muda.

 

Apa yang Diberikan FLP pada Indonesia?

Jawabannya adalah Sumber Daya Manusia.

SDM adalah asset sangat mahal yang menghabiskan modal luarbiasa besar. Dalam sebuah perpustakaan di Seoul, terpahat reader is leader. Pembaca adalah pemimpin. Begitupun pemimpin adalah seorang pembaca. Negarawan kita adalah pembaca, penulis dan orang yang tiada berhenti belajar. Bung Karno, bung Hatta, Mohammad Natsir, HAMKA, Ki Hajar Dewantara, adalah para pembaca yang luarbiasa. HAMKA bahkan mewajibkan dirinya membaca buku dalam beragam bahasa untuk menajamkan otak. Pantas saja, Indonesia berhasil melawan kekuatan asing yang luarbiasa tangguh. Mereka memiliki senajta, kita memiliki daya juang.

FLP memberikan pada Indonesia sekian ribu manusia yang suka membaca dan menulis. Mereka bukan hanya orang-orang yang duduk di bangku akedemis; namun juga para buruh dan tenaga kerja marginal. Mereka bukan hanya orang yang terbiasa duduk di belakang meja mengerjakan laporan keuangan, namun juga para ibu yang bergelut dengan harga cabai. Mereka bukan hanya para dosen dan guru, tapi juga para pelajar SD hingga mahasiswa.

FLP memberikan kesempatan berproses. FLP memberikan lingkungan yang nyaman bagi para pembaca dan (calon) penulis. FLP mengasah kemampuan di luar bakat minat yang paling dasar. FLP memberikan para penulis informasi dan jaringan berharga yang harus dimiliki penulis untuk go local, go national, go international. Dalam ranah global dewasa ini, tidak ada seseorang yang dapat berhasil hanya secara individual. Ia butuh dukungan, butuh kelompok, butuh orang-orang di belakang layar.

Di belakang layar FLP; tersebar ribuan anak muda yang namanya tidak tercantum sebagi penulis atau blogger. Mereka adalah para buzzer dan reviewer yang rela mem-boost buku, agenda literasi, kegiatan kepenulisan agar sukses. Mereka adalah pengurus-pengurus FLP Pusat, wilayah, cabang, hingga ranting yang bersedia berpayah-payah menjalankan roda organisasi agar tercipta harmonisasi antara penulis, dunia perbukuan, kalangan media dan penerbitan yang harus terus bersinergi untuk menghasilkan karya-karya spektakuler. Orang-orang di belakang layar inilah yang membantu munculnya penulis-penulis tenar dan popular.

FLP Wilayah Jawa Barat, FLP Wilayah Jawa Timur, FLP Wilayah Riau

Bersama FLP, hadir wajah-wajah muda, wajah-wajah baru penulis; maupun hadir wajah-wajah penulis yang terus bermetamorfosa menjadi HAMKA dan Pramoedya yang berikutnya.

Selamat ulangtahun ke 20, FLP.

Berarti, berkarya, berbagi.

Teruslah berjuang dengan pena!

Kategori
FLP Jepang

Love : when passion meets commitment

Sinta dan Winiez the Chef, food fotografer

BPP FLP di sekretariat Kampung Rambutan
BPP FLP di sekretariat Kampung Rambutan

Kali ini bukan membahas skala cinta Rubin Z, seperti dalam buku Kitab Cinta dan Patah Hati. Tapi teori segitiga Rubin berlaku juga dalam konteks hubungan organisasi.

Malam ini, mata enggan terpejam bertemu teman-teman FLP. Berdiskusi dengan Daeng Gegge, Kokonata, Nurbaiti Hikaru, Winiez, Sudi , Elvira, Fatih dan mbak Anik. Khusus yang terakhir, ia menyiapkan logistik yang terus menerus untuk peserta rapat.

Selain seru oleh guyonan ala penulis, tepat jam 20.00 di lantai bawah, berbekal laptop, catatan dan note di HP masing-masing; pikiran tercurah untuk membahas salah satu agenda ummat yang tak bisa dipisahkan dari kebiasaan ulama : membaca dan menulis.

Pembahasan pertama tentang FSIN Festival Sastra Islam Nasional yang insyaallah akan diselenggarakan di Makassar, 17 Desember 2015 – 20 Desember 2015. Harapannya, menjadi festival sastra Islam tingkat Internasional sebagaimana Ubud Writers and Reader Festival dan Makassar International Writing Festival.

Pembahasan kedua tentang beetalk.
FLP bekerja sama dengan beetalk, chat platform, aplikasi bertukar pesan seperti whatsapp dan line; yang menyediakan layanan diskusi berkelompok. Terdapat grup Forum Buku, Cerpen dan Puisi dimana karya teman-teman FLP dapat dibaca disana.

Pembahasan ketiga, tentang novel yang sedang saya tulis dan diolah bersama teman-teman FLP untuk menjadi salah satu novel semi otobiografis; dengan setting Jepang yang unik dan indah, mengangkat salah satu tokoh muslim yang insyaAllah, kisah hidupnya amazing, kocak, romantis.

Pembahasan keempat, adalah pembahasan yang tidak masuk dalam agenda struktural namun menjadi pembahasan yang menghangatkan hati kami untuk tetap bersama-sama dalam FLP.
Pertanyaan yang sering diajukan kepada penulis FLP : berapa fee seorang penulis? Berapa honor untuk menjadi pemateri, mengisi workshop?

Okelah, seorang penulis setiap huruf, kata dan kalimatnya adalah argo.Ghostwriter, namanya tak boleh muncul sama sekali dalam buku namun jumlah rekeningnya menggelembung. Marketing, mengatakan seorang penulis harus membranding dirinya. Sebagaimana seorang teman marketing menawarkan diri untuk menjadi asisten saya, sebab menurutnya saya memiliki kemampuan di beberapa bidang : psikologi, penulis dan kemampuan membawakan materi.

Daeng Gegge, Winiez, Nurbaiti, Kokonata ternyata memiliki persepsi yang sama .
Sulit, untuk menjadikan sastra ini sebuah tolok ukur yang dapat dipatok dengan materi, khususnya uang. Gak butuh uang? Bukan begitu juga. Tapi ada hal-hal yang tidak dapat diukur dengan uang, khususnya cinta (haha…lebay).

Menulis itu cinta. Membaca itu cinta, makanya jangan tanya kalau ke toko buku bisa kalap dengan isi dompet. Beda kalau mau beli baju masih mikir-mikir : ini mahal apa enggak? Sepatu ini kok ratusan ribu, toh diinjak juga.Tapi kalau ke book fair, bisa ludes isi dompet. Siapa juga sanggup melihat buku-buku ulama yang sangat sulit didapatkan, untuk tidak dipindahkan ke lemari buku pribadi? Walaupun, hampir semua ruang di rumahku penuh berisi buku, rak buku sudah buat berkali-kali, tetap saja masih kurang dan kurang koleksi buku.

Menulis itu cinta. Mengajarkan tentang sastra itu cinta.
Mendengar anak-anak muridku berkata ,” aku mau jadi penulis kayak Bunda Sinta!” merupakan hadiah yang tidak dapat ditukar dengan honor sekali mengajar.
Mendengar anak-anak dan remaja menjadikan kata “Penulis” sebagai salah satu profil cita-cita mereka, luarbiasa.

Menulis itu passion, cinta yang penuh nyala api. Bersama teman-teman FLP kita juga melakukan komitmen. Ups, jangan ditanya apakah ada ongkos untuk rapat? Kami berangkat dengan uang pribadi, bawa makanan sendiri, saling bertukar hadiah malah. Kadang buku, kadang coklat (thanx to Winiez!), bahkan seringkali hanya bertukar doa.
Fee mengisi acara, kadang-kadang masuk ke kas FLP , untuk memutar roda organisasi.

Melihat ketulusan teman-teman FLP mengawal literasi santun ini, teringat akan kata Taufik Ismail tiap kali ia mendengar kata FLP : CEMBURU.
Cemburu, mengapa FLP baru berdiri ketika usianya telah uzur.
Taufik Ismail menambahkan satu kalimat ; FLP, adalah anugerah Tuhan untuk bangsa Indonesia.

Ketika tempo hari berkesempatan hadir di acara 28 Oktober 2015 di gedung MPR dan bertemu Mustafa Kamal, beliau berkata yang kurang lebih mirip dengan yang dirasakan teman-teman FLP : orang-orang sastra, tidak suka berpikir kalkulatis. Angka, matematika. Kadang-kadang, sesuatu perlu ditimbang dengan rasa dan nurani.
Maka, sastra dapat meluruskan apa yang bengkok.
Sastra dapat melunakkan hati yang keras.
Sastra dapat memperindah, ruang-ruang sempit yang menyesakkan dalam keseharian yang pengap dan melelahkan.

Sekretariat FLP
Muswil FLP Wilayah Jakarta sekaligus mencuri waktu rapat dengan teman-teman BPP.
00.29.
Night is still young for a writer 🙂

Kategori
Artikel/Opini Catatan Perjalanan Cerita Lucu FLP Jurnal Harian

Jamuan Pak Walikota : Belimbing Dewa & One Day No Rice

Menenggak sari starfruit dewa, mengunyah kudapan anti-lemak, menghitung berat badan ideal dan impian bersama tentang Indonesia yang kuat dalam segala aspeknya adalah sedikit memory yang tertinggal- suatu senja di Depok.

Pertemuan dengan pak Walikota bukan sesuatu yang diagendakan.

Kami bertemu di pelataran masjid dan beliau mengundang saya serta Nurbaiti Hikaru, rekan FLP untuk ramah tamah saat kepadatan kantor telah mengurai usai sholat Asar. Sempat merasa tak enak hati, bukankah beliau orang nomer satu di Depok, super sibuk dengan sekian banyak agenda? Bertemu dengan seniman backpacker macam kami, seperti menggabungkan  Negara Angin dan Negara Api ( haha…lebay).

Perjalanan Surabaya-Jakarta-Depok  lumayan menguras tenaga. Macet membuat penghuni bumi Ibukota menyusut umurnya dan menguapkan raut muda di wajah. Keringat, penat, segudang agenda yang harus diselesaikan segera. Rasanya, selonjor sebentar, meregangkan otot dan menikmati sajian di ruang pak Walikota cukup menghibur.

Nurbaiti, Sinta, Pak Nur Mahmudi Ismail
Nurbaiti, Sinta, Pak Nur Mahmudi Ismail

Nasi

Anda melengkapi makanan yang satu ini dengan apa?

Sebagai manusia halfblood atau darah campuran, meski bukan hasil sinergi antara vampire-manusia; orangtua saya berasal dari pulau berbeda dan itu menyebabkan selera makan di tengah keluarga kami sangat variatif. Orang Yogya suka manis-manis : gudeg, ampyang, yangko, bakpia, geplak, ronde. Orang Sasak suka pedas-pedas : ayam taliwang, pelecing, serbuk.

Menikah dengan orang Tegal, lidah saya bertambah satu jenis variasi : ikan.

Ikut suami melitnasi Indonesia mulai tinggal di Medan dan terdampar di Surabaya sekarang, maka menu kari berbumbu hingga sayur mayur berkuah kacang atau dikenal sebagai pecel; mudah disantap oleh seantero anggota keluarga.

Syaratnya satu.

Nasi.

Apalagi pesan dari para pinisepuh terdahulu.

Sing penting segone. Yang penting nasinya. Lauknya apa aja, terserah.”

“Kalau nasinya Rojolele, nasi sebakul sama teri dan sambel; majuuu!”

“Beras kawak masih bisa dimakan, tapi dicampur sama C4.”

Pegawai negeri pasti mengalami masa-masa paling romantis ketika mendapatkan beras jatah. Orangtua dan mertua saya yang juga pegawai negeri pun mendapatkan beras jatah tersebut : boleh diambil, boleh dijual. Tapi beras ini jauuuuh dari Rojolele : apek, banyak batu, banyak gabah, berbatu-batu kecil dan…ehm, berkutu. Harus dibersihkan dengan diayak di tampah besar.

Semasa kecil saat di Yogya, Rojolele adalah jenis beras yang hanya dapat dikonsumsi orang-orang kaya karena rasanya yang pulen dan lezat. Masih jelas dalam ingatan ketika antri di warung, saya membeli beras Rp. 400 sekilo, sementara Rojolele Rp. 900.

Tapi sepertinya bukan hanya nasi saja yang menjadi makanan wajib keluarga.

Satu lagi.

Sambal.

Maka saya mengenal beragam cobek dan ulekan mulai sejak di Medan hingga tinggal di Surabaya sekarang. Cobek lonjong dengan ulekan batu mirip telur raksasa, cobek kayu yang biasanya dibeli di Lombok, atau cobek batu seperti yang biasa dikenal. Pendek kata; masyarakat Indonesia menempatkan sambal sebagai pasangan idaman dengan nasi.

Nasi dan sambal?

Sehidup semati.

Maka ketika harga cabe sempat melonjak menyamai sekilo emas (waktu itu emas Rp.100.000 dan harga cabe juga sama), saya sangat merana. Bagaimana mungkin menggantikan pedasnya dengan tomat, paprika atau merica?

Tak Makan Nasi?

 

Ada beberapa peristiwa menarik seputar nasi dalam kehidupan saya.

  1. Menjelang 1998 dan pasca kerusuhan , harga beras benar-benar mengalami penyesuaian baik perkilo atau perliter. Tidak ada lagi beras seharga Rp. 400 atau Rp.900. Harga beras mulai Rp.2000 hingga Rp.3000. Sungguh, sebagai ibu rumah tangga saat itu saya merasa sangat ngeri bila beras mencapai Rp. 5000. Apa-apaan ini? Bagaimana nanti sanggup membagi penghasilan suami yang juga tengah sekolah? Anak-anak masih kecil. Merinding, cemas dan takut rasanya membayangkan harga beras menurut bisik-bisik pedagang akan mampu menembus Rp.10.000

Masak sih…..

Beras yang dulu sekilo Rp. 400 jadi Rp. 10.000?

Berarti kepingan uang 100 perak menjadi tak punya arti lagi.

  1. Menikah dengan orang Tegal, membuat saya mengenal kultur yang berbeda. Tegal terdiri dari masyarakat petani, juga masyarakat nelayan. Membeli ikan segar di pasar atau bahkan di pelelangan ikan untuk mendapatkan ikan berkualitas premium, adalah hal biasa bagi kami. Meski keluarga suami tidak punya balongan tempat tambak ikan atau lahan sawah, teman-teman suami ataupun saudara banyak yang memilikinya. Kaget dan terheran-heran mendapati juragan padi, kayanya….MasyaAllah!

Apalagi bila memiliki selipan beras atau tempat serta mesin yang melepaskan bulir beras dari kulitnya. Wuaah, dapat dipastikan kaya 7 turunan. Kalau ada keturunan juragan beras yang miskin, mungkin ia keturunan ke 8.

  1. Sewaktu Habibie menjadi presiden, ada hal menarik dari pidato kenegaraan beliau lewat televisi. Masih ingat betul apa yang disampaikan oleh salah satu tokoh Islam favorit saya ini. Habibie mencanangkan gerakan puasa Senin Kamis untuk menghemat bahan pangan berupa beras. Angka pastinya lupa, namun bila seluruh masyarakat muslim Indonesia melakukan puasa Senin Kamis, negara akan lebih ringan dalam mengupayakan ketersediaan bahan pangan. Pidato Habibie disambut cemoohan saat itu . Ya. Bangsa Indonesia di masa Habibie masih jauh dari nilai-nilai Islami.
  1. Senja bersama pak Walikota Depok yang mendapat banyak penghargaan. Nasi menjadi salah satu diskusi kami. Betapa nasi yang selama puluhan tahun menjadi santapan lezat keluarga, harus diwaspadai. Penyakit diabetes, ketergantungan pada satu-satunya bahan pangan sehingga negera juga terpaksa mengimpor, termasuk ketidakmampuam individu yang berdampak pada policy negara untuk mengalihkan konsumsi.

Beras, Nasi atau Kenyang sih?

Bicara nasi beras butuh diskusi dan kalkulasi panjang.

Paradigma orang Jawa yang mengatakan, “durung mangan nek ora mangan sego.” Belum makan kalau belum menyantap nasi.

Makan bakso, mie, pizza, kolak singkong, pisang goreng, ditambah jus aneka rasa tetap saja belum makan! Akibatnya masyarakat Indonesia mengenal makan bukan hanya 3 makan utama : pagi siang malam. Cemilan juga penuh aneka rupa. Nasipun, komposisinya tidak seimbang.

Nasi sambal, teri atau ikan asin sudah cukup!

Padahal  makan nasi butuh sayur berlimpah dan protein memadai.

Akibat tak dapat menghindari nasi dari beras, Indonesia terpaksa mengimpor beras dari Vietnam ( 443,6), Thailand (238,4), India (150,5), China ( 8,624) , Pakistan (2,601). Angka tersebut dalam ribuan ton , Pembaca!

Impor!

Dari Vietnam yang merdeka sama-sama 1945.

India yang punya simbol keputusaasan : Bengali dan Kalkuta, masih disibukkan oleh gerakan separatis.

China yang punya penduduk 1 M.

Pakistan yang sering diguncang terror bom.

Jadi, Indonesia ada dimana dalam peta dunia?

Beras bagi era Soekarno, Soeharto dan pasca keduanya

Tulisan ini tidak membahas politik dan karya ilmiah secara mendalam.

Soekarno terkenal dengan pidato-pidato yang membangkitkan semangat nasionalisme namun juga menimbulkan banyak keresahan. Ibu saya, usia 74 tahun, masih ingat apa yang diteriakkan oleh Soekarno.

“Ganyang Malaysia!”

“Makan t***s!”

Semua dengan sudut pandang agar Indonesia sama sekali tidak bergantung pada kekuatan asing. Cukup sudah dijajah oleh Belanda dan Jepang; lebih baik mandiri dan percaya pada kekuatan sendiri meski pahit.

Namun rakyat Indonesia sudah sangat kelaparan. Propaganda Soekarno memang membangkitkan kecintaan pada tanah air sekaligus  kemiskinan yang mengancam keutuhan bangsa.

Soeharto memiliki kebijaksanaan yang memihak petani hingga kita mampu swasembada beras. Pada akhirnya,  ide-ide Seharto tentang intensifikasi, ekstensifikasi pertanian membutuhkan suntikan dana dari luar yang membuat kita terpuruk (lagi).

Jadi?

ODNR (One Day No Rice) yang digaungkan pemerintah Depok atas prakarsa Nur Mahmudi Ismail pernah digagas Habibie namun gaungnya belum cukup terlihat. Nur Mahmudi berusaha lebih mem’bumi’kan impian akan masyarakat yang mandiri dalam hal pangan. Setiap Selasa, pemerintah Depok berusaha disiplin dan terus mencanangkan gerakan mengganti nasi (beras) dengan bahan baku lain.

Ditilik lebih jauh, bahan pangan masyarakat Indonesia bukan hanya beras.

Jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, gembili, talas, gaplek, tiwul, gatot dan aneka ragam penghasil karbohidrat lainnya. Bertumpu hanya pada padi saja tidak bijak. Indonesia yang tidak lagi swasembada beras terpaksa impor.

Orang Yogya terbiasa mengkonsumsi gatot, tiwul, gaplek sebagai kudapan. Makanan yang sering dinisbatkan dengan golongan masyarakat tidak mampu ini seharusnya menjadi bahan pangan alternatif. Orang Madura dan Jawa Timur mengenal nasi jagung. Orang Sasak/Lombok mengenal baik bahan baku singkong dan ubi kayu. Pisang? Hampir di belahan manapun dari bumi Indonesia mengenal buah yang ranum dan bergizi tinggi ini.

Dalam buku ODNR buah pikir Nur Mahmudi Ismail, kerja mengenalkan kembali pada bahan pangan alternatif harus dilakukan bersama-sama. ODNR menggerakkan petani dan dan pedagang makanan, komunitas-komunitas, pengusaha. Sebagai walikota Depok, Nur Mahmudi menjadikan ODNR bagian dari program pemerintah. Bahan pangan alternatif juga harus terus diteliti, dikembangkan, disempurnakan agar masyarakat semakin menerimanya sebagai pengganti nasi.

Kerja Depok di bawah pimpinan Nur Mahmudi Ismail tidak hanya menggaungkan ODNR. Produk-produk bumi diolah seperti belimbing dewa yang disajikan dalam bentuk minuman jus siap saji. Ubi kayu atau singkong diolah menjadi MOCAF atau (modification cassava flour) bahan baku alternatif pengganti tepung terigu yang gandumnya tak dapat tumbuh di Indonesia.

Belimbing Dewa
Jus Belimbing Dewa

Masyarakat Indonesia yang tahun 2011 berjumlah 243 jtua jiwa, bila menghemat beras satu hari saja dengan gerakan ODNR; pemerintah menghemat 11,05 juta ton beras atau setara Rp. 80,65 triliyun rupiah. Produk beras juga terigu impor dapat dialokasikan kepada petani-petani lokal non beras sehingga terjadi harmonisasi antara kehidupan pedesaan dan kehidupan perkotaan.

Angka fantastis.

Harapan-harapan yang masih harus diuji dengan kesungguhan setiap elemen bangsa. Apakah ODNR gagasan Nur Mahmudi Ismail dapat terus bergulir?

Jika orang menjadi sadar soal alternatif-alternatif yang konstruktif, bersamaan dengan kemunculan mekanisme untuk merealisasikan alternatif-alternatif tersebut, perubahan positif akan mendapat dukungan yang luas.

Demikianlah pendapat Noam Chomsky, peraih Gold Medal for Peace with Justice 2011 ketika ditanya apakah ada cara untuk mengubah perilaku masyarakat bila telah  menerapkan pola yang salah.

Ingin langsing, sehat, lebih bugar?

Coba saja ganti menu nasi , sehari saja, dengan bahan pangan alternatif.

Boleh sukun, singkong, pisang, gadung, gembili, talas, jagung dst.

Kalau sudah lebih terbiasa, menu nasi seminggu dapat dikonversikan dengan menu yang lain. Hm, pantas saja para pegawai di lingkungan pemerintah kota Depok bertubuh bugar, berukuran standar dan tidak kelebihan kuota 🙂

Sinta Yudisia

22 Agustus 2015

 

Referensi :

Chomsky, Noam. How the World Works. Bentang. 2015

Ismail, Nur Mahmudi. Revolusi Mindset ; One day No Rice. GIP. 2014

Majalah Tempo, terbit 27 April- 3 Mei 2015

Kategori
FLP

FLP dan 18

Konon, orang-orang yang dilahirkan di bulan Februari, cocok menjadi seniman. Sifat sensitif, suka segala sesuatu yang berbau artistik, imajiner, pengkhayal tinggi. Profesi yang cocok adalah artis, penulis, pemusik, atau pekerja seni yang lain. Mungkin itu sebabnya, beberapa nama di FLP yang lahir di bulan Februari seperti mbak Afifah Afra atau Rihanu Alifa, senang berkiprah di dunia kepenulisan.

Boleh jadi, kita percaya prediksi zodiac.
Bahwa orang yang lahir di bulan tertentu, disebabkan pengaruh posisi bulan dan matahari, cairan-caiaran dalam tubuh bereaksi membentuk pola tertentu dan memengaruhi pembentukan karakter.

Pertanyaannya : apakah semua orang yang lahir di bulan Februari dapat menjadi seniman?

FLP : Forum Motivasi

Semakin lama, semakin menyadari, bahwa minat dan bakat tanpa motivasi dan stimulasi sama seperti kecantikan seorang gadis yang dipulas buram dalam rambut acak-acakan, wajah kusam, baju kumal. Potensi cemerlang tak berarti apa-apa, tak memunculkan produk yang mampu dilihat dunia.
Ditakdirkan lahir di bulan Februari bukan serta merta mahir merangkai kata.
Mengolah ide.
Membangun alur.
Merangkai kalimat, menyusun bab demi bab, menemukan judul menarik, mendapatkan penerbit berjodoh, berpasangan dengan editor andal, diterima pasar, laris manis, terkenal, meraup royalti dan roadshow kesana kemari.

Hidup mengajarkan, bahwa dalam setiap pencapaian, dibutuhkan tahap demi tahap latihan. Kadang, lelah rasanya ditolak sana sini. Jangankan penerbit nasional, media lokal bahkan media kampus saja menolak! Alasannya beragam. Padahal setengah mati kita menghasilkan sebuah tulisan sejumlah 10 halaman kuarto. Bolak balik baca referensi. Editing di sana sini. Ganti judul berkali-kali. Tetap saja, cerpen, artikel, opini atau apapun yang kita tulis dianggap sampah oleh oranglain.

Jikalau berjalan sendirian, mungkin sudah jauh-jauh hari patah di tengah jalan.
Urung jadi penulis.
Lebih baik banting stir ke pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.
Tapi disinilah kita.

Bersama FLP, Forum Lingkar Pena.
Bersama teman-teman yang punya semangat sastra yang sama. Mengerjakan kebaikan itu tidak sama seperti orang yang menggali tanah untuk menanam pohon cangkok, lalu mendapatkan harta karun emas batang satu kilogram. Menjadi penulis ibarat prajurit Thalut. Perjalanan panjang, terseok, menemukan sungai-sungai yang memukau namun belum diizinkan untuk meneguk air sebanyak mungkin bila belum sampai tujuan.
Bersama FLP, kita menemukan teman-teman dengan semangat sastra yang sama.
Saling menguatkan ketika naskah tertolak.

“Wah, gakpapa! Semangat ya!”
“Aku dulu juga puluhan kali ditolak, tapi pekan kemarin Alhamdulillah tembus resensi.”
“Aku juga tembus…hehe, Surat Pembaca sih!”
“Kamu tulis aja di blog. Jangan dibuang cerita-ceritamu.”

Pendek kata, FLP membersamai kita menemukan kekokohan dalam detik-detik kegagalan. Begitu banyak teman di FLP yang (dianggap) gagal, tapi terus berkarya, berkarya, berkarya lalu di kemudian hari satu demi satu bukunya terbit.

Awalnya antologi.
Awalnya indie.
Awalnya koran lokal.
Awalnya resensi.
Lalu, semakin matang dan lapang dada itu terbangun, Allah SWT bukakan pintu-pintu rezeki. Bersama FLP, kita mendapatkan motivasi untuk terus berproduksi, bermental baja, jauh dari kata menyerah apalagi putus asa, dan insyaallah, semoga dijauhkanNya dari sikap sombong, ujub, riya’, sum’ah.

Siapa sih penulis terkenal, jika tidak dibantu editor, penerbit, pembaca, pasar dan resensor? Semua yang dicapai alah keringat, doa, sujud yang panjang, dan harapan yang tiada putus padaNya. Seorang penulis adalah pembelajar sepanjang hayat. Maka seniman haruslah orang-orang dengan mental beton namun hati selapang samudra, selembut gumpalan awan. Bersama FLP kita akan menemukan teman-teman yang memacu dirinya berprestasi, namun juga saling memberikan motivasi bahwa kita tidak hanya akan berhenti di sini.
Di titik ini.

FLP dan 18

FLP adalah organisasi. Organisasi adalah kumpulan orang-orang. Orang-orang tidak sama dengan 1 orang. Bila seorang anak manusia berusia 18 tahun, ia telah beranjak dewasa. Namun FLP, sebagai organisasi tak dapat disamakan dengan anak remaja yang telah mampu berjalan, berdiri tegak bahkan bertualang kesana kemari.

Sebagai sebuah organisasi yang menaungi puluhan cabang serta ribuan anggota, beragam latar belakang hadir bersama FLP. Orang-orang Februari atau non- Februari. Penulis dan bukan penulis. Pembaca dan bukan pembaca. Pelajar atau non pelajar. Mahasiswa atau non mahasiswa. Karyawan atau non karyawan. Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan yang lainnya. Indonesia dan yang bukan di Indonesia. Merawat rumah sebesar FLP bukan hal yang mudah, namun juga bukan mustahil untuk meraih keberhasilan bersama.

18 tahun FLP berdiri.
Jika tolok ukur keberhasilan adalah buku, FLP banyak melahirkan ratusan buku.
Jika tolok ukur keberhasilan adalah jumlah penulis, FLP banyak melahirkan penulis.
Namun bukan hanya produk materi yang ingin dihasilkan FLP. FLP ingin menjadi bagian dari perjalanan Indonesia, meraih predikat bangsa yang bermartabat, cerdas cendekia dan santun penuh etika.

Syukur Alhamdulillah, FLP tersebar di kalangan pemuda-pemdua yang paham agama sehingga cabang di Saudi Arabia, Yaman, Pakistan, Mesir berdiri serta menghasilkan karya tulis agama yang bukan hanya memberikan petunjuk, namun renyah dalam penyajian hingga masyarakat awam tertarik membaca dan memahaminya.

Syukur Alhamdulillah, FLP tersebar di kalangan warga Indonesia yang bermukim di Hongkong, Taiwan, Jepang, Amerika sehingga tulisan-tulisan yang dihasilkan adalah bagaimana tetap menjaga jati diri keIslaman di tengah masyarakat non muslim. Bagaimana tetap bekerja, berkarya, di tengah himpitan kesulitan yang pada dasarnya mengasah sebuah batu menjadi berlian.

Syukur Alhamdulillah, penulis FLP melanglang buana belajar di negeri orang hingga ke Inggris dan Turki sehingga informasi-informasi tentang dunia Islam terkini dapat hadir langsung dari orang pertama. Berikut informasi seputar dunia yang sangat dibutuhkan bagi segenap anggota FLP untuk lebih mempertajam kualitas kepenulisan.

18 tahun FLP berdiri.
Insyaallah kita akan tetap bersama hingga di angaka 20, 30, atau bahkan 100 tahun.
Membersamai bangsa Indonesia, ummat muslimin sedunia, bahwa aktivitas membaca dan menulis bukan hal asing bagi para ulama dan cendekia. Bahwa setiap muslim, akan menjadikan Nun dan Iqro, sebagai pembiasaan sehari-hari dalam memahami agama. Dalam menjalani kehidupan.

Nun dan Iqro.
Semoga, setiap anggota FLP semakin bijak dalam berucap lisan dan tulisan dalam segala ranah kehidupan.
Selamat Hari Jadi FLP yang ke 18.
Salam Pena.
Salam Sastra Santun.

Sinta Yudisia
Ketua Umum FLP 2013-2017

Sinta Yudisia Milad FLP 18

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA FLP Sastra Islam

Setelah 17 Tahun Menulis : 2 M, Angka 0, Popularitas

Milad FLP ke 17 yang dilaksanakan di Surabaya kali ini, dimeriahkan dengan seminar, launching Rumah Cahaya, Launching 17 karya FLP, Launching website FLP.
17 tahun menjadi bagian dari literasi Indonesia, FLP ingin terus belajar dan berbagi tentang seribu satu kisah ajaib seputar dunia literasi.

FOTO PROFIL
tumpeng Milad FLP 17

Menulis, bukan pekerjaan yang memiskinkan.
Tengoklah pak Dukut Imam Widodo, meski beliau tidak menyebutkan angka pasti di depan bilangan 0, tetapi beliau mengatakan bahwa untuk 1 buku beliau dibayar sejumlah uang yang angka nominalnya memiliki jumlah 0 delapan. Wah berapa kira-kira? Bahkan, suatu ketika beliau dibayar dengan jumlah angka 0 sembilan!

Terkesima.
Itu perasaan yang muncul kala sebagai penulis, karya kita tersendat di ide, teknik menulis, bahkan berkali-kali tertolak di media massa dan tangan penerbit. Memang, manusia tak boleh iri pada keberuntungan orang lain tetapi kita ingin belajar bagaimana para penulis-penulis andal ini berkarya.

Dukut Imam Widodo
imam widodo-ahmad khusaini 2
Penulis ini membuat audiens histeris. Bagaimana tidak? Beliau membagikan buku-buku eksklusif macam Soerabaia Tempo Doeloe, Soerabaia the Old Time, Malang Tempo Doeloe dan alhamdulillah, saya pribadi mendapatkan Sidoarjo Tempo Doeloe . Masing-masing buku tersebut kurang lebih harganya @500.000!
Pak Dukut memberikan beberapa nasehat :
1. Penulis harus bisa “menjual diri”
2. Penulis jangan menerbitkan buku pakai uang sendiri
3. Sebagai penulis, jangan malas mencari referensi. Pak Dukut bahkan suka menulis detail-detail yang sulit sebagai satu tantangan. Beliau suka menulis bertema sejarah
4. Jangan khawatir kehabisan ide, sebab beliau melazimkan sholat malam dan berdoa ,” Gusti Allah, beri saya inspirasi.” Subhanallah, kata beliau, inspirasi yang datang membanjir sampai-sampai beliau kewalahan; lalu beliau menuliskan ide dalam kertas-kertas kecil.
5. Carilah teman “yang benar” bukan asal teman. Artinya, bila ingin menjadi penulis yang kompeten, berteman lah dengan teman-teman yang akan mendukung cita-cita ke arah itu, misal berteman dengan sesama penulis, wartawan, sastrawan, seniman, dll.

* Ada lelucon teman FLP , yang mengatakan. Yah, penulis FLP bisa saja penghasilannya 0 delapan atau sembilan, tapi di depan belum ada digit angkanya alias masih 0 yang panjang sekali. Atau penulis dengan dengan penghasilan 2 M! Bukan 2 milyar tapi 2 huruf “m” dengan akronim makasih mbak/makasih mas 
* Jangan iri dengan keberhasilan pak Dukut sebab perjuangan beliau mengumpulkan referensi dari satu kota ke kota lain, mengumpulkan berkas, manuskrip berusia ratusan tahun…subhanallah. Pantas bila sponsor tak ragu memberikan nikai cek dengan 0 delapan atau 0 sembilan.

Sirikit Syah
sirikit syah
Ibu lembut dari dua orang putra putri ini telah melanglang buana ke Iran, Amerika, Australia, dll sebagai sastrawan dan pakar media. Tulisannya yang sesekali bernada tegas, tetap memiliki unsur estetika tinggi.
You can’t judge a blank paper.

Demikian nasehatnya.
Bagaimana mungkin kita merasa minder, takut salah, takut dikritik, takut gagal dan tidak menang sementara yang dinilai hanyalah sebuah kertas kosong. Maka mulailah menulis dan bacalah tulisan itu. Sebelum kita menulis, maka tak ada apapun yang dapat dinilai dari kita.
Fiksi adalah refleksi dari hal nyata. Orang kadang tak mampu meresapi sebuah berita aktual terkait peperangan, issue agama, atau persoalan humanistik lainnya tetapi lewat fiksi, jauh lebih meresap. Tulisan-tulisan bu Sirikit demikian menohok. Salah satu contohnya, cerpen berjudul Ibu Kandung , refleksi keresahannya di tahun 80-90an saat issue bayi tabung merebak. Tulisan itu mempertanyakan : siapa ibu si jabang bayi sebenarnya?
Buku beliau Rambu-rambu Jurnalistik , Watch the Dog : Catatan Jurnalisme , menjadi buku referensi wajib bagi saya pribadi saat menulis artikel dan opini untuk media massa.

Zawawi Imron
zawawi imron
Penulis yang akrab dipanggil Abah ini , berhasil membuat peserta menitikkan airmata dengan puisinya Ibu. Sastra, di masa depan , adalah tulisan-tulisan yang membawa pada perenungan. Sudah masanya, menurut beliau, seorang penulis bukan hanya menulis demi materi belaka.
Abah Zawawi Imron adalah yang paling senior dari semua, paling sepuh, berjalan dengan tongkat. Melihat fisiknya, orang akan menduga betapa rapuh ia dan terbata dalam berkata-kata.
Namun, tidak, justru sebaliknya. Peserta dibuat terperangan dengan leluconnya, dibuat terkesima dengan muatan-muatan filosofis dalam kalimat-kalimatnya, dan terakhir dibuat terisak tersedu mengingat ibunda masing-masing ketika beliau membacakan puisi Ibu. Saya, bu Sirikit, mengusap mata usai beliau membawakan demikian bergemuruh puisi itu.
…….
Ibu, bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan teduh, tempatku mandi, mencuci lumut
…..
Ibu, kalau aku ikut ujian, lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu Ibu, yang akan kusebut paling dahulu
……
(bahkan saat menuliskan, berkaca mata ini)

Sebagai anak muda, atau mengaku berjiwa muda, kalah rasanya dengan kekuatan beliau dalam berkata-kata. Namun, sama sekali bukan hanya sebab pengalaman beliau unggul. Beberapa filosofii berikut pantas terpatri dalam benak jiwa para penulis muslim.
* Kalau muda tidak mau berjuang, angkat takbir 4x. Innalillahi. Artinya, bila anak muda tidak mau bersungguh-sungguh, berjuang mencapai sesuatu, termasuk bersusah payah menulis dengan segala kepayahan, kesulitan, pengorbanan, ketabahan, daya juang; maka ibarat ia jenazah yang ditakbirkan 4x. Bagi yang merasa penulis muda, tak ada kata malas untuk mencoba dan terus berlatih mencapai apa yang terbaik
* Berpikirlah dengan jernih, agar kebaikan datang kepadamu. Hati yang bersih, sumber karya sastra.
* Tidak berpikir adalah haram!
* Quran bukan karya sastra tetapi energinya dalam dunia sastra bagai magma yang meledakkan. Quran membawa energi yang melebihi karya-karya sastra sepanjang masa.
* Uang, adalah konsekuensi logis ketika berbuat baik. Jangan takut dengan uang, ia pasti akan datang ketika kita telah berupaya dengan sebaik mungkin.

Helvy Tiana Rosa
Helvy-Tiana-Rosa-300x176
Bunda pendiri FLP ini memukau pula dengan ilmu dan puisinya.
Apa yang disampaikan bunda Helvy :
1. Tulisan dapat mengubah dunia, sebagaimana Uncle’s Tom Cabin
2. Toni Morrison berkata ; bila engkau berjalan-jalan ke toko buku dan tidak menemukan buku yang kau inginkan untuk dibaca, mengapa tak kau tulis sendiri
3. Penulis Toto Chan hanya menulis buku itu, tetapi menjadi duta PBB untuk anak-anak kemudian
Di luar seminar, bunda Helvy memberikan wejangan kepada teman-teman FLP

* Ada karya sastra serius, ada karya sastra populer. Apa bedanya? Sastra serius menyebabkan perenungan, sastra populer menimbulkan perubahan.
* Sudah saatnya FLP go international sehingga dibutuhkan kurator yang menangani khusus masalah penerjemahan karya-karya FLP.
* Sesungguhnya, istilah sastra serius atau sastra populer , hanya diperkenalkan bagi kalangan akademisi. Bagi insan umum, semua tulisan adalah karya sastra; Lupus _ Boim Lebon, Ayat-ayat Cinta – Kang Abik ; begitupun semua karya anak FLP adalah karya sastra

Sinta Yudisia
sinta n yeni n Rinai

Sebagai ketua umum FLP, kembali visi misi CAHAYA PELITA BERSAMA digaungkan kembali. Karena terbatasnya waktu, tidak dapat disampaikan 10 program unggulan FLP.
1. CA , rumah cahaya. Alhamdulillah dilaunching Rumcay Depok, Lampung, Aceh, Banjarbaru, Sumatera Utara. Tidak mungkin seorang penulis ingin karyanya dikenal tanpa peduli dunia literasi di sekelilingnya. Menulis, menulis, menulis terus; lalu siapa yang baca? FLP peduli dengan menumbuhkan minat baca di kalangan kanak-kanak, anak, remaja hingga dewasa sehingga program Rumah Cahaya menjadi program unggulan utama FLP periode ini.
2. HA, agen perubahan. Penulis FLP harus menyadari, dirinya adalah salah satu dari rangkaian besar dan terstruktur agent of change. Berbekal ajaran-ajaran ketulusan Zawawi Imron, profesionalitas Dukut Imam Widodo, refleksi isi Sirikit Syah, semangat kebersamaan Helvy Tiana Rosa ; maka penulis FLP senantiasa menjadi corong perubahan dimanapun ia berada.
3. YA , 100 karya pertahun. Gerakan perubahan, sesekali membutuhkan gebrakan yang massive. Penulsi-penulis FLP yang berjiwa muda akan selalu giat menulsikan gagasan-gagasannya baik dalam bentuk blog, twitter atau membuat buku antologi, buku fiksi-non fiksi yang terus menerus diterbitkan setelah melalui uji seleksi.
4. LI, portal literasi. Di era globalisasi, sekat-sekat wilayah bahwan negara menjadi demikian bias; FLP harus turut berkontribusi dalam gerakan kemajuan literasi. Bila produk karya selama ini mengandalkan hard copy, maka sudah waktunya buku-buku electronic book diperkenalkan, demikian pula karya-karya bagus dapat ditampilkan via media sosial dan mendapatkan tanggapan luas.
5. SA, soliditas organisasi. Adakah orang yang sukses sendirian? Presiden membutuhkan tim sukses, artis membutuhkan manager, seorang penulis pun tak dapat bergerak sendirian. Untuk mendukung karya-karyanya meluas, dikenal, dikonsumsi dan diapresiasi; dibutuhkan kerja bersama, berjamaah. Jaringan FLP yang meliputi penulis, pembaca, penerbit, distributor hingga penjual adalah matarantai yang terus menguat dari waktu ke waktu.

17 tahun FLP menulis dan berkarya bersama Indonesia.
Terus berbakti, berkarya , berarti.
Mengedepankan karya sastra yang santun , edukatif, memuat nilai-nilai Islami Universal. Karya santun adalah karya yang tidak mengunggulkan pribadi, dengan menjatuhkan oranglain, meninggikan diri dengan mencaci pihak lain. Sastra santun adalah sastra yang arif dengan kebaikan-kebaikan; tanpa mengurangi estetika dan kejenakaan, agar mudah menyentuh sisi manusiawi insani.
Go international?
Sudah waktunya.
Komunitas penulis muslim terbesar di Asia Tenggara, bahkan mungkin di dunia ini, insyaallah ke depan akan memimpin festival-festival literasi muslim tingkat dunia. Memimpin dunia perbukuan dengan karya prestatif dan kompetitif. Memimpin dunia dengan kerja-kerja profesional dan solid.
Tiba masanya, Indonesia menjadi mercusuar dunia.
Bangsa yang besar, tak akan mengabaikan refleksi filosofi dan pemikiran. Bangsa yang unggul, maju pula semua sektor kehidupan, termasuk seni sastra. Dalam sejarah panjang peradaban manusia, Dhuha al Islam, masa puncak kejayaan Islam ditandai pula dengan melesat dan terhormatnya kedudukan para sastrawan penghasil puisi, prosa, maupun kritik sastra.
Jika Indonesia menjadi mercusuar dunia, maka –sebagaimana Zawawi Imron mengatakan- para prajurit nurani akan menjadi salah satu ujung tombaknya. Prajurit nurani adalah para penulis, dan FLP dengan khidmah dan bangga, akan menjadi salah satu ujung tombak mercusuar dunia.

Kategori
FLP Tulisan Sinta Yudisia

Penulis Miskin & Hina

Apa definisi kesuksesan, kemenangan atas pertarungan hidup?
Rumah 500 m2 , mobil Alphard, umroh berkali-kali, keliling Eropa, berlibur ke mancanegara, memiliki perusahaan beromzet milyar atau triliyun?
Tanpa menafikan bahwa elemen di atas boleh saja jadi tolok ukur kesuksesan; rasanya terlalu sempit untuk memaknai capaian keberhasilan hanya dari persepsi materi.

Ada seorang supir taksi yang hidup di rumah sederhana, anak-anaknya tak mampu melanjutkan kuliah, tapi dengan sepenuh sadar supir taksi itu bekerja hanya demi upah kecil bagi hasil 20% yang halal. Ia tidak mau melaju di jalan-jalan tertentu tengah malam, sebab tempat tersebut biasa sebagai tempat transaksi seksual para pelanggan hotel bintang lima. Supir taksi tersebut berkeyakinan, ia harus memberikan asupan halal pada keluarga sekalipun konsekuenasinya mereka harus hidup prihatin.
Kisah lain, seorang supir taksi yang merasa harus melindungi keluarganya hari fitnah. Putrinya menjadi pramugari, selang tak beberapa lama ia meminta putrinya keluar sebab hati kecil sebagai ayah menolak, “aku tak ingin anak perempuanku pergi melanglang jauh-jauh, aku tak punya kemampuan mengawasi, pakaiannya pun aku tak suka.”
Apakah para supir taksi tersebut termasuk kategori orang-orang yang gagal? Insyaallah tidak. Kehidupan mereka mungkin tidak membaik secara ekonomi, tetapi secara ego strength , mereka mencapai resilience – daya tahan , daya lenting terhadap benturan.
rumi
Kesuksesan Penulis Muslim
Buku best seller, cetak ulang belasan atau puluhan kali, diterjemahkan ke beragam bahasa, diundang bedah buku kesana kemari…difilmkan, dimusikalisasikan. Ah, siapa penulis yang tak ingin seperti ini? Royalti mengalir lancar, tawaran menulis dan mengisi acara datang bertubi. Tiap kali melihat ATM…hmmmm.
Itukah satu-satunya tolok ukur penulis sukses?
Kalau demikian, maka deret penulis sukses terisi oleh nama-nama berikut : Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Pipiet Senja, Afifah Afra, Azzura Dayana, Intan Savitri, Maimon Herawati, Habiburrahman el Shirazy, Gol A Gong, Boim Lebon, Benny Arnas, Mashdar Zainal, Ali Muakhir, Gegge Mapangewa.

Dimana tempat kita, para penulis pemula?
Atau para penulis yang bukan pemula (bukan pula senior sebab bukunya tak terbit-terbit)?
Sekian banyak menulis di blog, belum juga banyak pengunjungnya.
Sekian banyak kirim cerpen, belum satupun tembus (akhirnya hanya ditampilkan di blog pribadi atau website milik teman)
Sekian banyak ikut lomba, belum ada yang tembus.
Sekian banyak ikut antologi, hanya terjaring sesekali.

Makna Sukses dan Menang secara Hakikat
Dalam QS 48 : 1-2 , Allah SWT berfirman tentang kemenangan nyata yang diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. Indikator kemenangan dan kesuksesan Nabi memang salah satunya berupa penaklukan-penaklukan Islam, baik yang terwujud saat beliau masih hidup atau sudah wafat. Tetapi kesuksesan yang dicapai oleh Nabi bukan sekedar penaklukan Arabia, benua Afrika, pasukan-pasukan yang merambah ke seantero dunia.
“Sungguh Kamu telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang, serta menyempurnakan nikmatNya atasmu dan menunjukimu ke jalan yang lurus.”
Ada tiga hal inti surat tersebut :
1. Ampunan
2. Kesempurnaan nikmat Allah  Islam
3. Petunjuk Allah

Lalu, apa korelasinya dengan seorang penulis?

Pencarian Sejati Para Penulis
Percaya atau tidak, orang-orang yang memiliki tingkat depresi tinggi konon kabarnya penulis, lalu artis. Hah? Bukannya menulis sebetulnya merupakan salah satu healing therapy?

Virginia Woolf, Charles Dickens, Leo Tolstoy, Amin Malouf, Rudyard Kipling, Nagouib Mahfoudz dan yang lainnya sejatinya orang-orang yang sibuk mencari hakikat kehidupan. Dalam perenungan yang dalam, para penulis bisa menemukan jati dirinya, atau malah sebaliknya. Semakin tenggelan dalam dunia imajinasi yang menyeret mereka menjadi manusia bipolar, unipolar, atau bahkan skizofren!
Dalam sejarah Islam, tak ditemukan penulis yang berakhir mengenaskan.
Setiap penulis muslim haus ilmu, rakus akan pencarian makna. Betapa akhirnya, para penulis muslim macam Ibnu Sina, Sayyid Quthb, Muhammad Iqbal memulai penanya dengan keresahan akan Islam yang ditinggalkan dan ingin menyempurnakan dunia dengan ilmu yang mereka punya.
Rahmat dan ampunan Allah SWT, adalah harapan paling tinggi kaum muslimin. Dan bersamaan dengan goresan pena kita, yang berlembar-lembar, berat, memusingkan macam novel ataukah goresan ringan status di FB dan twitter, tak ada yang lain harapan selain menerima ampunan dan rahmatNya. Tentu , harapan royalti atau honor tetap mengiringi, tetapi bagi seorang penulis muslim tetap harapan yang terbesar adalah barakahNya di tiap tulisan, tercurahnya rahmat dan ampunanNya.

Maka, sangat baik bila penulis muslim mengiringi tulisan dengan dzikrullah termasuk istighfar. Masih ingatkah kisah tukang roti yang mengimpikan pertemuan dengan Imam Ahmad bin Hanbal, dan tukang roti itu punya kebiasaan membaca istighfar? Tak ada keinginan yang luput, sebab ia yakin dengan istighar doa terampuni, dan kesucian hati menjadi penyebab terkabulnya doa.
Sungguh , bagi penulis muslim ada harapan akan rahmat, ampunan, barakah dari Nya yang akan melingkupi setiap naskah, setiap kalimat, setiap kata dan huruf.
Itulah kemenangan sejati.
Meski tulisan itu tak tembus Kompas atau Republika, meski hanya terpampang di blog dan FB, meski pengunjung tak sampai 10 orang ; namun dari para pengunjung yang membaca merasakan hawa ketaatan. Merasakan siraman. Dan mencapatkan pencerahan, lebih daripada ketika mereka membaca buku-buku best seller.
Katakan, siapa yang sukses sebetulnya?

Ampunan dan Nikmat Sempurna
Sesudah ampunan dalam kesuksesan dan kemenangan Nabi, ada nikmat yang sempurna, yaitu Islam.
Mungkin analogi ini agak kelewatan, tapi saya bersyukur atas nikmatNya. Ketika kepepet, sholat malam, tilawah, sedekah, dzikir menjadi berlipat. Ibaratnya, dalam kondisi stress kita butuh katarsis dan pelepasan emosi paling dahsyat hanya saat munajat.
Saat kepepet butuh dana, ingin ikut lomba menulis, maka semakin mepetlah kita dengan Ilahi Robbi. Banyak berdzikir, sebisa mungkin membantu orang, sholat sunnah. Saat-saat “peperangan” menghadapi kesulitan kehidupan, Islam adalah nikmat yang luarbiasa.
Demikian banyaknya orang mengalami kebuntuan tanpa jalan Islam.
Ketika sukses merasa yakin itu ansich usahanya, ketiga gagal ia melabelkan kegagalan pada diri sendiri atau malah orang lain. Baik sukses atau gagal, ia selalu cemas. Sementara seorang penulis muslim, dengan nikmat kemenangan dan kesempurnaan Islam, selalu terus melaju dalam amal kebajikan walau sukses atau gagal dalam pandangan manusia. Ketika menang lomba atau tembus media, tidak lantas berhenti. Ketika dipuja dan dinobatkan sebagai penulis terbaik, tidak hanya berbangga. Pun, ketika dikritik pedas atau bukunya jeblok di pasaran tidak lantas ingin mengundurkan diri dari ranah kepenulisan. Ia terus melaju bersama keyakinan, bahwa Islam senantiasa menggaungkan amar ma’ruf nahiy munkar dengan cara yang kita bisa.
Ketika berhasil atau menang lomba/tembus media; insyaallah bukan kesombongan yang muncul, tetapi rasa syukur akan putaran rizqiNya.
Ketika gagal meraih impian, tiada kata putus asa, hanya prasangka baik bahwa Allah SWT sedang menunda, menyiapkan, membalas dan melipatgandakan berita bahagia.

Jalan Keluar Masalah
Adakah di antara kita yang semakin “bodoh” usai menulis?
Petunjuk, ilmu pengetahuan, peristiwa insight adalah pengalaman yang sangat mahal harganya. Manusia rela melakukan hal-hal diluar nalar untuk mencapai peak experience : keliling dunia, menyelam ke danau terdalam di dunia, naik ke puncak tertinggi.
Petunjuk bagi hidup manusia , adalah pencapaian luarbiasa.
Dalam cerita-cerita silat zaman dahulu, para petarung rela berbulan-bulan bertapa demi wangsit.
Demikianlah, kehidupan penulis adalah menjaring kebajikan satu demi satu, penggal demi penggal.
Salahs atu tanda kesuksesan, kemenangan sesuai QS 48 : 2, adalah teraihnya perunjuk berharga bagi kehidupan.

Menjadi penulis , kita sadar, tak ada sesuatupun yang instant. Tak ada keberhasilan hanya dengan angan-angan, kata-kata jika atau andai, ketiadaan schedule, apalagi minimnya ambisi. Bukankah petunjukNya ini sangat bermanfaat untuk mengasah karakter kepribadian kita yang semula santai, tanpa target, menjadi seseorang yang tough, resilient , punya target tertentu dalam hidup sembari terus melangkah mendekatkand iri padaNya?
Setiap usai menulis, rasanya bukan semakin kosong pikiran dan perasaan, tapi semakin berisi bejana. Memang, ada rasa letih, jenuh dan mungkin jengkel atas deadline serta tuntutan penulis. Bersamaan dengan hal tersebut, kecerdasan kita semakin meningkat. Saat harus menulis novel sejarah, kita harus membuka banyak buku referensi sejarah dan otobiografi. Saat us harus menulis artikel, opini, kita harus membuka berita-berita aktual dari koran atau berita online. Saat harus menulis kisah hikmah atau tema-tema keagamaan, kita harus membuka kitab-kitab para ulama, minimal tafsir Quran terjemahan Departemen Agama.
Usai menulis, kepandaian dan pengetahuan akan bertambah.
Itulah kemenangan, kesuksesan sejati seorang penulis muslim : mendapat ampunanNya, mendapatkan nikmat Islam, dan memperoleh petunjukNya dalam mencari solusi-solusi dalam kehidupan dunia yang berujung pada kebahagiaan di akhirat.

Jadi,
Penulis muslim, di strata mana pun mereka, baik pemula, madya ataupun andal, bukanlah penulis miskin yang hina. Engkau sesungguhnya penulis kayaraya yang bermartabat!

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA FLP Sastra Islam

Sastra Islam (Jogja Muslim Festival)

Quran bukan karya sastra tapi membawa pengaruh besar pada dunia sastra.
Dalam sejarah, sejak Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, maka setiap orang membicarakannya. Membantah tentangnya. Mendiskusikannya. Menjelaskannya. Membelanya. Di kemudian hari, Quran disalin, diperbanyak. Sebagian berusaha meniru dan memalsukannya. Sebagian besar menghafalkan dan memelajari isinya, bersyair dengannya, membuat prosa dan sajak yang dipelajari dari cara Quran membuat rima.
childrens3
Maka , tak ayal lagi Quran membawa pengaruh amat sangat besar bagi sastra di dunia Islam dan merambah hingga seantero dunia. Bersama Quran pula, bagai diaspora menyebar talenta, intelektual, semangat belajar, menimba ilmu, menuliskan dan menyebarkan ideologi serta karya sastra. Bahasa Quran terserap menjadi bahasa-bahasa bangsa seperti Turki Utsmani, Farisi Firdawsi, Sanskerta menjadi Urdu, Bantu menjadi Hausa di Barat dan Sawahili di Timur (Afrika).
Warisan besar sastra Arab, sastra Islam ini menghubungkan dengan arus intelektual dunia, menumbuhkan kreativitas dan ratusan ribu atau bahkan jutaan karya tulis!
Beberapa jenis karya Islam yang dikenal adalah khutbah, risalah (esai atau surat) , maqamah ( kisah pendek tentang hero), qishshah (kisah pendek moralitas), qashidah (syair), maqalah ( esai berisi satu gagasan).

lossy-page1-220px-Scheherazade.tif
Ada beberapa periodisasi sastra Islam :
1. Shadr al Islam, Zaman Kesederhanaan (622 – 720 M)
2. Dhuha al Islam, Periode Pertengahan atau Zaman Tawazun (720 – 972 M)
3. Klimaks, Zaman Abbasiyah akhir, zaman Saj’ dan Badi’ (972 -1203 M)

Penjelasan :

1. Shadr al Islam, Zaman Kesederhanaan ( 622-720 M)
• Hadits, risalah, khutbah, surah Nabi
• Pepatah, perumpamaan, al Amtsal
• Khuthab : risalah, pidato, pesan, wasiat para khulafa urasyidin dan pemimpin awal

2. Dhuha al Islam, Periode Pertengahan atau Zaman Tawazun (720 -972 M)
• Abdul Hamid bin Yahya, ahli essay ( 766 – 750 M), memperkenanlkan simetri sastra. Abdul Hamid juga memperkenalkan para penulis untuk menuliskan setiap karya dengan komposisi awal basmalah, hamdalah, shalawat Nabi Saw
• Abu Amr Utsman al Jahizh (767 – 868 M) , tajam kritiknya, menulis 160- buku. Al Jahizh memperkenalkan : keselarasan ungkapan dengan makna, al bayan/penjelas, ringkas dan apa adanya , al iftinan / karya artistik
• Abu Hayyan at Tawhidi (987 M) ; memperkenalkan tulisan dari buku harian, pertemuan demi pertemuan, juga penggabungan filosofi dan gagasan sufi.

Untuk zaman Dhuha Al Islam , syair seperti puisi mendapat tempat yang berlum pernah terjadi sebelumnya. Penyair-penyair berkelimpahan harta dan kedudukan.
 Basysyar bin Burd (w.784M) , seorang anak haram budak, yang dibebaskan karena ke fasihannya.
 Al Hasan bin Hani Abu Nuwas (w.811 m) ; membebeaskan syair dari isi, artikulasi, gaya bahasa
 Ismail Abu al Al Atahiyah (w.827 M) , penjual pot bunga keliling yang menantang sekelompok anak muda yang sedang membaca syair, untuk menggubah 2 atau 3 bait
 Habib Abu tamam ( w.847 M) , penyedia air di masjid Fustath (Kairo Lama), berekalana ke Baghdad dan memperoleh kemasyhuran di sana.
 Da’bal al Khuzai (w.861 M), penyair yang ditakuti pangeran dan pejabat karena satirenya. Syairnya dapat menghancurkan reputasi
 Syair Sadif menyebabkan pemimpin Abbasiyah yang tengah berjaya memusnahkan istana Umayyah
 Syair Malik bin Thawq dan Rabiah menyebabkan pembatalan hukuman mati atas diri mereka

3. Klimaks, Zaman Abbasiyah akhir, zaman Saj’ dan Badi’ (972 – 1203 M)
• Muhammad bin Yahya as Shuli (w.947 M) , menulis disiplin sastra
• Ali bin abdul Aziz al Jurjani (w.1001 M) , menulis Al Wasathah sebagai perantara media pemerintah dan masyarakat
• Abu Hilal Al Askari ( w.1004 M) , menuliskan al Shina’atayn ( Dua Keahlian – keahlian Sastra dan keahlian Memerintah)
Pada zaman inilah Saj dan Badi mencapai puncak perkembangannya. Jenis karya di zaman ini :
– Korespondensi kekhilafahan
– Esai sastra
– Maqomat

*******
rumi
Pertengahan periode Abbasi ( dari kekhalifahan al Mutawakkil) hingga berdirinya Al Buwayhi (946 M), penyair tidak lagi mendapat perlindungan dari khalifah.
Baru ketika Turki Saljuq 1056 M, prestasi di semua bidang intelektual dan spiritual bangkit kembali.
o Hakim Abul Hakim Firdausi at Tusi , Ferdowsi ( 940 M – 1020 M) , Shahnameh
o Umar Khayyam – Ghiyāth ad-Dīn Abu’l-Fatḥ ʿUmar ibn Ibrāhīm al-Khayyām Nīshāpūrī (18 Mai 1048 – 4 Desember 1131) , Rubaiyat
o Jalaluddin Muhammad Rumi (1203-1274 M), Matsnawi
o Ibnu Batutah ( 25 Februari 1306 – 1369 M), Rihlah
o Ibnu Khaldun ( 27 Mei 1332 M – 19 Maret 1406 M) , Al Muqaddimah
o Kisah One Thousand and One Night Stories, Scheherazade / Shahrzad : Alibaba, Aladdin, Abu Nuwas, dll

**************

Pak Ahmad Thohari menyampaikan beberapa intisari penting substansi Sastra Islami :
1. Lillahi ma fissama wati wama fil ardh
Ayat ini banyak termaktub dalam al Quran ( seperti 2 : 284) ; segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah makhlukNya. Adalah milikNya. Pak Ahmad Tohari pernah diprotes dari kalangan pesantren terkait karyanya Ronggeng Dukuh Paruh. Kata mereka , “ngapain nulis kisah tentang Ronggeng? Kenapa nggak nulis kisah tentang santri aja?”
AT beranggapan, Ronggeng juga bagian dari lillahi maa fissama wati wa ma fil ardh , yang kehadirannya menjadi ayat bagi segenap manusia yang lain.
Penjelasan AT sedikit banyak mewakili perasaan saya pribadi, ketika menulis Existere dan saya beberapa kali diundang mengisi pengajian di lokalisasi. Beberapa orang mencibir sinis , “ngapain dakwah di lokalisasi? Kaya’ gak ada tempat lain buat didakwahi!”

2. Titik dzulumat dan titik Nuur.
Sungguh, penjelasan ini benar-benar memukau hati saya, sampai saya tulis dengan spidol hijau, saya ingat-ingat, saya sampaikan lagi ketika giliran saya mengisi. Dan tetap membekas hingga kini saya menuliskannya kembali.
Si Ronggeng ingin menjadi ibu rumah tangga. Ronggeng adalah perbuatan nista, ibu rumah tangga adalah perbuatan mulia.
Kehidupan sebagai ronggeng adalah kehidupan seseorang saat berada adalan titik dzulumah , sementara kehidupan sebagai ibu rumah tangga adalah kehidupan mulia yang berada pada titik nuur.
Proses seseorang untuk sadar, merangkak, tertatih, merambat, berjalan hingga berlari dari titik dzulumah hingga titik nuur ini adalah proses luarbiasa dari seorang manusia. Menjadi ekwajiban bagi penulis muslim untuk dapat menghadirkan kisah-kisah yang menginspirasi masyarakat agar tergerak untuk bangkit dari titik dzulumah menuju titik nur.
Bukankah itu salah satu kalimat terindah dalam Islam : minadzulumati ilaa nur?

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA FLP

FLP Medan : ukhuwah, naskah yang “FLP banget!” sampai kode etik

Selalu saja, setiap saya berkunjung ke suatu tempat, bertemu adik-adik FLP, rasanya semangat saya di-charge dan saya justru banyak menimba ilmu dari mereka. Berkaca. Bercermin. Menimba keikhlasan dan ketulusan adik-adik FLP yang belum dapat menikmati royalti, belum dapat menikmati honor menulis dan pembicara seminar. Belum dapat menikmati kebahagiaan travelling dan tetap berkutat pada dunia kecil FLP ranting, FLP cabang, FLP wilayah yang seringkali demikian sederhana serta serba terbatas.
Inilah hasil rangkuman diskusi kami, di rumah salah seorang pengurus. Seperti biasa, kelengkapan organisasi FLP ada di ketua, sekretaris, bendahara, kaderisasi. FLP wilayah Sumut juga memiliki Humas.
Ketua (Fadhli): mengorganisasi masalah dan orang-orang, harus mampu menfasilitasi para penulis produktif dan orang-orang yang masih belajar cara berorganisasi.
Sekretaris (Nurul dan Ririn) : masih harus belajar mem –filing arsip-arsip FLP. Sekretaris juga membantu kerja bendahara, terutama membuat proposal.
Bendahara (Fitri Amaliyah) : mencatat keuangan, mencari sumber-sumber dana juga. Fitri yang mahir membuat puisi juga membantu meng edit karya teman-teman.
Humas (Lailan) : silaturrahim dengan tokoh-tokoh sastra, dengan harian semacam Analisa dan Waspada, silaturrahim ke sekolah-sekolah.
Kaderisasi (Dewi) : mengkader kepenulisan anggota, mengontak anggota dan pengurus.
FLP Medan di Rumcay
Ada beberapa hal yang cukup unik menarik di FLP Medan :
1. FLP Ukhuwah Kaderisasi : Dewi mengakui ia belum mahir mengelola divisi kaderisasi. Apalagi jobdesk divisi kaderisasi adalah mampu mengkader atau menghasilkan anggota-anggota yang siap berkarya, berorganisasi, memiliki wawasan keislaman yang cukup. Dengan keterbatasan yang ada, kaderisasi menekankan pada satu hal simple tapi bermakna : FLP ukhuwah. Bagaimana antar anggota FLP memiliki ukhuwah yang erat, sehingga bila satu merasa sakit yang lainnya ikut merasakan. Mungkin hal kecil ini cukup menyentak, bahwa ukhuwah Islamiyah adalah salah satu hal yang mampu mengeratkan antar anggota FLP.

2. Karya : Fitri membantu mengedit karya-karya anggota. Beberapa di antaranya demikian bagus, tetapi ciri khas ke “FLP” annya nyaris kabur atau bahkan hilang sama sekali. Ciri ke “FLP” an yang dimaksud adalah nilai-nilai Islami. Seperti seseorang yang membuat novel tentang hubungan cinta sejenis. Diceritakan dengan amat sangat vulgar dan tidak memiliki ending persuasif ke arah kebaikan. Visi misi FLP sejak awal memang mencantumkan bahwa karya FLP harus memuat nilai Islam yang Universal. Apa yang menjadi kaidah dalam agama Islam, hendaknya menjadi rambu-rambu bagi penulis juga. FLP berkeinginan karya anggotanya mencerahkan ummat, memberikan manfaat baik moril maupun materil, membawa keberkahan. Karya yang mencerahkan akan membawa kebaikan bagi penulisnya juga, tentu saja.

3. Kode etik : usulan Fadhli menarik juga, bahwa FLP sebaiknya menyusun Kode Etik. Saya pribadi teringat Kode Etik Psikologi yang mencantumkan penjelasan tentang profesi psikologi, bagaimana hubungan psikolog dengan klien, apa saja ranah yang dapat digeluti psikolog, bagaimana hubungan antar psikolog dsb.
Kode Etik Penulis FLP dapat saja berisi tentang penjelasan profesi penulis, batasan-batasan, hak dan kewajiban, bagaimana hubungan penulis FLP dengan pihak luar, bagaimana menghormati sesama profesi penulis dan seniman, bagaimana mengatur hubungan antara anggota FLP.

4. Omong-omong Sastra : setiap bulan berkumpul komunitas sastra dari beragam jenis di Medan. FLP ikut bergabung dan duduk sarasehan di sana. Mungkin belum dapat menghasilkan pemikiran arus utama (mainstream) tetapi setidaknya dengan muncul dan ikut terlibat, akan turut memberikan sumbangsih.

5. Rumah Cahaya : rumcay Medan terletak di Sei Deli, di belakang gedung-gedung bertingkat, di kawasan yang lumayan kumuh. Rumcah lumayan representatif dalam jumlah ruangan sebetulnya, hanya situasinya memang memprihatinkan. Rumcay ini sumbangan dari seorang simpatisan FLP, boleh digunakan dalam jangka waktu tak terbatas. Ke depannya rumcay ini dapat lebih difungsikan. Dengan berbekal proposal dan kreativitas, rumcay dapat diperbaiki sehingga nyaman sebagai pusat kegiatan FLP Wilayah.

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA Catatan Perjalanan FLP Tulisan Sinta Yudisia

FLP Yogya : Jogja Muslim Festival

Ini salah satu FLP paling kreatif di Indonesia dan Dunia.
21 Desember menyelenggarakan Jogja Muslim Festival bersama dengan beragam komunitas seni yang lain seperti ANN – asosiasi nasyid nusantara. Salah satu pengurus FLP Yogya menjelaskan, bahwa Jogja Muslim Festival, diharapkan menjadi festival tahunan yang akan merangkum semua seni Islam. Di hari saya menyampaikan Sastra Islam bersama pak Ahmad Thohari, Jomfest menyelenggarakan pertunjukan teater hingga malam hari.
Sebagai kota yang dikenal sebagai Kota Pelajar, Kota Pariwisata, atau Kota Budaya; wajar bila Jogja harus aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan berbasis seni. FLP sebagai organisasi kepenulisan yang merupakan bagian dari seni sastra, menjadi penggagas dan penyelenggara acara.
Jogja Muslim Festival
Dalam talkshow Sastra Islam, pak Ahmad Thohari menyampaikan hal-hal yang sangat substansial terkait Sastra Islami. Perlu digaris bawahi, Sastra Islam dan Sastra Islami memungkinkan memiliki penafsiran yang berbeda. Sastra Islam boleh jadi lahir dari dunia Islam, tapi belum tentu Islami. Sastra Islami boleh jadi lahir dari penulis-penulis Islam atau tidak, tetapi memiliki nilai-nilai moral yang sangat sesuai dengan ajaran Islam yang Madaniyyah Universal.
Pak Ahmad Thohari menyampaikan beberapa intisari penting substansi Sastra Islami :

1. Lillahi ma fissama wati wama fil ardh
Ayat ini banyak termaktub dalam al Quran ( seperti 2 : 284) ; segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah makhlukNya. Adalah milikNya. Pak Ahmad Tohari pernah diprotes dari kalangan pesantren terkait karyanya Ronggeng Dukuh Paruh. Kata mereka , “ngapain nulis kisah tentang Ronggeng? Kenapa nggak nulis kisah tentang santri aja?”
AT beranggapan, Ronggeng juga bagian dari lillahi maa fissama wati wa ma fil ardh , yang kehadirannya menjadi ayat bagi segenap manusia yang lain.
Penjelasan AT sedikit banyak mewakili perasaan saya pribadi, ketika menulis Existere dan saya beberapa kali diundang mengisi pengajian di lokalisasi. Beberapa orang mencibir sinis , “ngapain dakwah di lokalisasi? Kaya’ gak ada tempat lain buat didakwahi!”

2. Titik dzulumat dan titik Nuur.
Sungguh, penjelasan ini benar-benar memukau hati saya, sampai saya tulis dengan spidol hijau, saya ingat-ingat, saya sampaikan lagi ketika giliran saya mengisi. Dan tetap membekas hingga kini saya menuliskannya kembali.
Si Ronggeng ingin menjadi ibu rumah tangga. Ronggeng adalah perbuatan nista, ibu rumah tangga adalah perbuatan mulia.
Kehidupan sebagai ronggeng adalah kehidupan seseorang saat berada adalan titik dzulumah , sementara kehidupan sebagai ibu rumah tangga adalah kehidupan mulia yang berada pada titik nuur.
Proses seseorang untuk sadar, merangkak, tertatih, merambat, berjalan hingga berlari dari titik dzulumah hingga titik nuur ini adalah proses luarbiasa dari seorang manusia. Menjadi ekwajiban bagi penulis muslim untuk dapat menghadirkan kisah-kisah yang menginspirasi masyarakat agar tergerak untuk bangkit dari titik dzulumah menuju titik nur.
Bukankah itu salah satu kalimat terindah dalam Islam : minadzulumati ilaa nur?

FLP Yogya
TEKNIS MENULIS dan KEBERHASILAN
AT menyampaikan, novelnya berjudul Kubah yang terbit 1980, mendapat penghargaan 1981 sebagai novel terbaik. Sebelumnya, AT senang menulis cerpen hingga berpuluh-puluh karya, disimpan saja. Beliau menyampaikan, saat menulis Kubah, berarti beliau telah mengasah diri dengan menulis puluhan cerpen meski itu tak diterbitkan.
Jadi, para penulis memang harus berlatih. Itu kuncinya!
FLP Yogya kali ini memiliki panglima Solli Murtyas. Anak-anak buahnya seperti Asti Ramdani, Santi, Lina, Rima, Taufik, Dwi, Rifki ( atau Rizki?) dll. FLP Yogya lah yang membuat modul Kaderisasi dan membuat buku raport anggota FLP. Modul Kaderisasi FLP Yogya telah dapat dinikmati oleh FLP cabang dan wilayah lain, direkomendasikan oleh BPP FLP Pusat sebagai salah satu buku panduan FLP yang memuat kekaryaan, organisasi dan keislaman.
Kembali ke Jogja Muslim Festival, semoga menjadi kegiatan tahunan yang semakin berkibar. FLP Yogyakarta menjadi lokomotif kebaikan yang produk-produknya akan senantiasa diikuti oleh teman-teman lain, memberikan manfaat luas bagi dunia seni, pendidikan, maupun disiplin ilmu yang lain.
Makalah saya tentang Sastra Islam dapat dilihat di https://sintayudisia.wordpress.com

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA FLP Tulisan Sinta Yudisia

Uraian Pidato Perdana Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) 2013 – 2017

Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.
Ba’da tahmid dan shalawat.
Teman-teman FLPbisa!, kawan literasi semua, Alhamdulillah MUNAS 3 FLP berlangsung lancar dalam limpahan perlindungan, ramhat, barakah dan rizqi Nya. Berikut saya sampaikan uraian pidato perdana ketua umum FLP 2013-2017 , yang disampaikan pada Sabtu malam 31 September 2013. Pidato singkat ini sudah saya sampaikan, kali ini dilengkapi dengan uraian. Semoga pidato ini memberikan manfaat ilmu, pencerahan bagi kita semua.

sertijab munas 3 flp  (1)

Pidato kali ini berisi 5 point penting :
1. Doa
2. Ketum FLP terdahulu & tim
3. Pergantian pemimpin
4. Kesempatan belajar & beramal
5. Perbedaan

1. Doa
Doa adalah intisari ibadah. Doa adalah senjata orang-orang yang yakin dan percaya. Secara pribadi saya punya buku list doa, baik berisi daftar doa keinginan saya pribadi maupun nama-nama orang-orang yang saya doakan. Semoga ini bukan berarti riya, tetapi sharing kepada teman-teman tentang betapa ajaibnya doa. Betapa doa ini juga seringkali kita tinggalkan.
Mendoakan diri sendiri dan orang lain secara definitive, memiliki makna keseriusan dan kedekatan. Bila kita ingat, atau sesekali melihat film klasik tentang kerajaan zaman dahulu baik di Indonesia , China, Jepang, dll, rakyat yang menghadap raja mereka seringkali berkata ,

“Salam untuk Yang Mulia. Semoga berlimpah kejayaan, kekayaan, keturunan, memiliki nama besar, “ dst, dsb.
Lagu kebangsaan negri William-Kate adalah God Save the Queen. Tuhan menyelamatkan sang Ratu.
Setiap doa yang berisi kebaikan akan menuai kebajikan. Itulah yang diingatkan oleh Aa Gym kepada kita. Seringkali, saat benci melanda kita mudah mengumpat baik kepada pemimpin, artis, koruptor dll dengan mengatakan, “dasar pemimpin kotor! Dasar artis porno! Dasar koruptor najis!” Jarang diantara kita yang lantas mendoakan –meski hati kita benci setengah mati-
“semoga Pemimpin kita diberikanNya hidayah, kekuatan mengemban amanah.”

Andaikan, 10 juta dari 260 juta rakyat Indonesia setiap hari mendoakan pak SBY usai sholat Shubuh misalnya, apalagi ditambah sholat malam dan dhuha, akan lebih baik. Silakan kritik tetap berjalan, oposisi tetap bersuara, hukum harus ditegakkan, tetapi…jauh di ruang rahasia, dalam malam rahasia, dalam hubungan rahasia kita dengan Sang Maha Pencipta, kita tetap mendoakan siapapun orang yang membutuhkan. Siapa tahu. Orang yang buruk, celaka, tersesat akan mendapatkan jalan terang dan suatu saat menolong kita di saat dibutuhkan.

Begitupun saya.
Saya seringkali tidak bisa menolong seorang teman yang membutuhkan bantuan : minta bantuan uang, minta diterbitkan karya, minta dicarikan jodoh, minta dicarikan pekerjaan. Tetapi bukan lantas ketika kita bilang “tidak bisa” maka sudah tertutup kemungkinan menolongnya. Lewat doa, di waktu istijabah, dengan khusyuk dan airmata tulus, cinta kita kepada seseorang akan meluncur lewat lorong-lorong rahasia.

“Ya Allah, jadikan saudara-saudaraku dalam dakwah kepenulisan ini tetap istiqomah : mb HTR, Asma Nadia, Intan Savitri, Irfan Hidayatullah, teh Imun, Kang Abik, Mulati Yeni, Azzura Dayana, Benni Arnas, Gegge Mapangewa, Sutono, Luthfi Hakim, Gol A Gong, Halfino Berry, Ali Muakhir, Benny Rhamdani , Yons Ahmad…dst”
“Ya Allah, jadikan saudara saudari kami yang masih sendiri, mendapatkan jodoh yang mulia dari sisiMu…(menyebut nama).”
“Ya Allah, jadikan saudara-saudara kami yang belum memiliki keturunan, mendapatkan anak-anak yang sholih dan sholihah…(menyebut nama).”
“Ya Allah, jadikan saudara-saudariku ini yang tengah menghadapi cobaan berat, mendapatkan pertolonganmu…(menyebut nama).”

Dan doa-doa yang lain.
Nama yang kita sebut, bukan hanya mereka yang berjasa dalam hidup kita, tetapi mereka yang sedang mengemban amanah, mereka yang sedang menjalankan tugas, bahkan mereka yang kita benci setengah mati! Saya pernah mendoakan beberapa orang yang selalu punya friksi, dan usai mendoakan mereka hati terasa damai. Esok hari, ketika bertemu, fikiran lebih jernih, hati lebih lapang dan tidak emosional. Saat ia masih bertingkah buruk, maka hati saya berkata,
“…tunggu, akan kuadukan kau pada Tuhanku. Akan kudoakan kau , semoga menjadi lebih baik dari hari ini.”

Saya mungkin tidak selamanya berjalan lurus, naudzubillah. Maka, tolong, doakan sang pemimpin ini dalam perjalanan 4 tahun ke depan. Siapa tahu, saat kelelahan mengemban amanah maka pijar-pijar doa yang membentang dari Sabang hingga Papua, daris atu benua ke benua lain, akan menguatkan langkah rapuh seorang manusia.

2. Ketum FLP terdahulu & tim
Mbak Helvy menghantarkan FLP menjadi lokomotif literasi. Kang Irfan menghantarkan FLP menjadi komunitas yang lebih solid dan religius. Mbak Intan Savitri menghantarkan FLP lebih matang mengelola organisasi dan peluang-peluang bisnis. Di belakang mereka, berdiri sekian banyak orang yang membantuu membesarkan organisasi. Tak mungkin para ketum mengurusi agenda Munas – misalnya- sendirian mulai dari mempublish acara hingga mencari dana.

Ada mbak Rahmadianti Rusdi yang terkenal kepiawaiannya sebagai SekJend.
Ada Nurbaiti Hikaru yang terkenal sebagai seksi danus. Ada Kokonata dan Denny Prabowo sebagai tim Rumah Cahaya.
Di Munas kali ini , humas diampu oleh Yons Ahmad yang mengelola website hingga souding keluar. Diluar nama yang bisa diingat, satu acara melibatkan demikian banyak relawan yang siap bekerja dengan visi misi tertentu. Saya hanya sempat bertemu dengan beebrapa panitia FLP Jakarta : Pita, Yusi, Wiwik, Ali Musafa, Lukman “are you ready?” , Ilham, Vira, dll. Panitia FLP Bali : Wiwid, Mike…dll.
Selalu ada kelebihan dankeekurangan dalam diri seseorang. Nobody’s perfect. Karena itu, kekurangannya dapat ditambal dengan kerja tim. Sebagaimana Abubakar ra yang lemah lembut didampingi Khalid bin Walid ra yang keras, Umar bin Khathab ra keras didampingi Abu Ubaidah Ibn Al Jarrah yang lembut.

Maka, saya dengan segala kekurangan yang ada insyaAlalh dapat bekerja optimal saat dibantu oleh tim yang solid, amiin.

3. Pergantian pemimpin
Pergantian pemimpin dibutuhkan untuk revitalisasi dan bukti keberhasilan suatu organisasi mengkader anggota. Hal yang lumrah saat pemimpin dipergilirkan dari satu orang ke orang yang lain; dari satu kaum ke kaum yang lain. Siapa tahu Munas 2017 dipimpin oleh pak Khairani – Banjarmasin, atau Fadhli – Medan, atau Ganjar/Solli Yogyakarta, atau Fakhrul- Makassar (Papua) , atau Alimin – NTB, atau Doddy – Padang, atau Fauzul Ilmi – Lampung (?) – atau Benny Arnas (Linggau), atau Syahrizal/Lukman Hadi – Jawa Timur, atau Yanuari Syukur – Maluku Utara, atau Bang Aswi/Wildan – Jawa Barat.

Siapapun kita harus siap memimpin, atau memikul amanah seiring usia kedewasaan dan kematangan. Bila semakin bertambah usia kita tidak memasuki tahap Generativity atau tahap keinginan untuk melakukan sesuatu dalam lingkup sosial – ada yang salah dalam perkembangan kepribadian kita. Usia matang ditunjukkan dengan keberanian menghadapi masalah, menghadapi peluang, menghadapi tantangan.
Jadi, siapkan dirimu menjadi pemimpin di masa yang akan datang!

4. Kesempatan belajar & beramal
Saat suatu amanah ditawarkan, kita seringkali dihantui hadits yang kuranglebih demikian, “ bahwa pemimpin yang adil akan masuk surga, pemimpin dzalim akan diharamkan aroma surga. Pemimpin adil termasuk dalam 7 golongan yang dilindungi Allah SWT di yaumil akhir nanti.”

Hadits ini demikian populer sehingga mengabaikan hadits-hadits yang lain, yang kurang lebih makna-maknanya sebagai berikut :
“1 hari pemimpin yang adil >>> 60 tahun ibadah orang biasa.”
“Allah menyukai manusia yang terlibat urusan-urusan besar, bukan sekedar perkara remeh.” (salah satu urusan besar adalah perkara ummat)
Memang, mengerikan bila pemimpin menjadi dzalim, karenanya dibutuhkan kerja tim yang saling mengingatkan dan menguatkan agar dampak weapon effect tidak menimpa pemimpin. Secara manusiawi pemimpin akan menjadi otoriter akibat hal-hal yang melekat padanya : pujian, rasa segan, peluang financial, status, dan hak prerogative.

Menjadi pemimpin, menerima amanah, adalah mengambil peluang-peluang untuk belajar banyak hal sekaligus mengamalkannya : bagaimana membagi waktu hingga detik, bagaimana mengatur jadwal, bagaimana berusaha menata emosi, bagaimana mencoba mendengar dari bawah hingga ke atas, termasuk bagaimana meningkatkan kapasitas diri dalam segala hal.

Menjadi pemimpin dan timnya adalah kesempatan untuk beramal besar.
Saat Munas kemarin, ketika kita tertidur nyenyak dan makan lahap, tidakkah terpikir berapa besar pahala sie konsumsi dan sie akomodasi? Mereka bukan saja membantu musafir, mujahid; di setiap nasi yang kita telan ada jerih payah panitia yang insyaAllah tak akan luput dari pencatatan Roqibun Atiid. Setiap nasi yang meluncur, setiap detik yang berlalu, setiap detak yang berjalan adalah puji-pujian bagi setiap pelaku kebaikan : semoga dilipat gandakan oleh Allah keberkahan hidupnya. Maka, siapa yang tidak tertarik untuk bersama-sama memikul amanah?
Ketika hati dukalara akibat kesulitan financial, atau jodoh, atau keturunan, atau tipu muslihat , atau perilaku manusia dan instansi; manusia dapat mengadu kepada TuhanNya dengan bekal segala pengorbanan yang ia punya. Tidak untuk bersikap pamrih, atau balasbudi pada Tuhan; tentu kita masih ingat peristiwa orang-orang sholih yang terjebak dalam gua dan menyebutkan satu demi satu amal yang pernah dilakukan. Subhanallah, batu besar bergeser dan mereka terlepas dari kesulitan.

Saya pribadi, seringkali berani menerima amanah dakwah sebab merasa tak punya amalan berarti untuk menagih janji pada Tuhan. Pada saat-saat sulit, kritis, seringkali doa terlontar,
“Ya Allah, tidaklah kuhabiskan uangku untuk maksiat di jalanMu, maka bukakan pintu-pintu rizqi. Ya Allah, tidaklah kuhabiskan waktuku untuk maksiat di jalanMu, maka jagalah keluargaku, anak-anakku, suamiku. Ya Allah, tidaklah kuhabiskan hidup ini untuk menentangMu, sementara aku demikian kesulitan membagi waktu, membagi jadwal, maka penuhilah hajat-hajatku, bantulah aku…”

Ya.
Menerima amanah memang berat, tetapi insyaAlalh bersamanya ada pertolongan Allah terentang. Maka, bagi teman-teman yang bersemangat membantu tim FLP 2013 -2017 ke depan, fastabiqul khoirot! Ayo, bergabung bersama gerbong literasi, mencerahkan ummat ini.
“Saya mau jadi tim humas!”
“Saya mau jadi tim dana!”
“Saya mau jadi tim divisi kritik sastra!”
Untuk sementara ini, belum tersedia gaji pagi para penggerak FLP. Tapi jangan khawatir. Ketika kita berdakwah, melakukan kebaikan, kita tetap bisa meminta gaji.
“Ya Allah, aku bekerja padaMu. Maka gajilah aku dengan yang jauh lebih hebat dari manusia menggajiku. Mereka hanya bisa menggajiku 500rb, atau 1 juta, atau 1M. Tapi Engkau sanggup memberi lebih.”
Tentu, ke depan, FLP ingin mampu memberikan uang lelah kepada teman-teman sebagai pengganti bensin dan pulsa, seiiring kemapanan organisasi ini mengelola setiap perangkat-perangkatnya, termasuk perangkat bisnis usaha sehingga dapat menyediakan dana cukup bagi roda organisasi.

5. Perbedaan
Ada banyak kepala
Ada banyak pengalaman
Ada banyak pikiran.
Pernahkah anda makan sarapan pagi bersama ayah ibu dan saudara-saudara, atau suami dan anak-anak , semuanya senang memakan telur ceplok? Selalu ada yang suka ceplok,dadar, scrabble, rebus, tak suka kuning telur, atau bahkan tak suka telur.
Dalam 1 keluarga ada perbedaan. Dalam 1 RT ada perbedaan. Dalam 1 RW ada perbedaan. Dalam 1 kelurahan ada perbedaan. Apalagi dalam 1 organisasi yang melintasi budaya, geografis, perbedaan latar belakang, usia, pendidikan, dan segala macam hal yang mewarnai karakter manusia.

Perbedaan madzhab, partai politik, kebiasaan, tentu bukan menjadi alasan bagi kita untuk enggan berinteraksi sosial apalagi enggan berbagi ilmu dan pengalaman. Dalam Forum Lingkar Pena, kita akan bertemu madzhab Syafii, Maliki, Hanafi, Hanbali. Dalam FLP kita akan bertemu garis kanan, garis tengah, garis kiri. Dalam FLP ada yang berjilbab lebar berjubah, ada yang memakai rok dan syal modis, ada yang memakai celana jins dan kerudung kaos. Di FLP ada yang suka murottal, ada yang suka nasyid, ada yang suka dangdut, ada yang suka music rock dan klasik. Di FLP ada yang halus, ramah , lemah lembut ; ada yang konyol, kocak dan lucu; ada yang kaku, sangar, judes, jutek. Ada beragam partai, ada beragam afiliasi pada figure tertentu.

Tak akan pernah manusia memiliki satu pemikiran.
Tetapi itu sudah final dalam Quran QS 49 : 13 , bahwa selamanya manusia akan berbangsa-bangsa. Bersuku-suku. Dengan tujuan untuk saling mengenal, bekerja sama, saling memahami.
Di FLP, kita akan belajar dengan kehalusan sastra, kedalaman makna, kekayaan diksi, kebijakan filosofi bahwa setiap yang terjadi dalam hidup ini adalah proses panjang yang membutuhkan perenungan dan ketika manusia berhasil menafsirkan, akan muncul beragam interpretasi.

Dalam literasi, kita mencoba memaknai semua dengan kehalusan budi pekerti, dan menampilkannya dengan keindahan kata. Dalam literasi, kita persedikit fitnah, hate speech, cover one side.
Dalam Forum Lingkar Pena, kita akan belajar menyayangi dan menghormati, apapun perbedaan kita. Tak ada tempat untuk kedzaliman, kekejian, kejahatan. Ketika kita dilanda benci dan kerisauan, kita akan memilih qoulan kariman, qoulan layyiinan ; kata-kata paling baik dan paling istimewa untuk dilontarkan yang muncul dari kedalaman sanubari terdalam, sanubari yang senantiasa dihiasi lantunan doa-doa keramat dan jalan rahasia menuju Tuhan.
Kenapa kata terbaik, kalimat terindah?
Sebab kita adalah sastrawan.
Kamu, aku, kita, adalah bagian literasi. Dan, puisi indah ini untuk kita.

“(mesin ketik) adalah sesuatu yang mirip denganku : terbuat dari besi
Namun mudah rusak di perjalanan
Dibutuhkan kesabaran dan budi bahasa yang besar
Serta jemari yang lembut, untuk menggunakan kami”
(Friedrich Nietzche)

Kita akan menggunakan kata-kata paling berbudi, untuk merengkuh perbedaan manusia.
Selamat bergabung dalam gerbong kebaikan literasi . Engkau adalah gerbong yang menghubungkan masa lalu dan masa depan ( Syaikh Ahmad Ar Rasyid).

Sinta Yudisia
Ketua Umum FLP Pusat 2013 -2017