Kategori
Hikmah mother's corner My family Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Remaja. Teenager Suami Istri WRITING. SHARING.

#hikmahcorona 1 : Membaca Bersama & Diskusi 6 Buku dengan Keluarga

Setelah agak lama diagendakan, alhamdulillah baru hari ini terlaksana. Kumpul bersama, baca bersama 30 menit di waktu pagi.

“Boleh ebook?”

“Boleh baca jurnal?”

Noooo!

Entah kenapa, kupaksa anggota keluarga untuk baca buku. B-U-K-U aja. Soalnya kalau ebook dan internetnya nyala, bisa-bisa terdistraksi ke hal lain.  Dan, semua harus duduk bersama membaca 30 menit. Sesudah itu share apa yang telah dibaca. Ternyata, membaca bersama itu lebih menarik dibanding membaca sendiri-sendiri. Apalagi setelah itu, kita share apa yang sudah dibaca.

Untuk buku bahasa Indonesia,  bisa dibaca hingga 20 -30 halaman.

Untuk buku bahasa Inggris, sekitar 5 – 10 halaman. Dan kuakui, bahasa Inggrisku kalah jauh dengan anak-anakku. Mereka baca buku bahasa Inggris ya baca aja, sementara aku harus bawa kamus. Dan aku lebih suka kamus konvensional. Sembari baca The Millennial Whisperer, sembari bawa dan buka kamus. Padahal  kosa kata Inggris di Millennial Whisperer jauh lebih sederhana daripada The Telomer Effect dan The New Smart. Rasa-rasanya aku harus ambil kursus bahasa Inggris pada teman-temanku via online sepanjang masa karantina.

Lalu, kenapa harus share yang harus dibaca? Toh aku sudah baca sendiri Pribadi Hebat (HAMKA) dan Korean Cool (Euny Hong); bahkan dua buku itu kubaca berkali-kali.

“Yang kalian baca dan kalian resapi, pasti beda dengan apa yang Ummi pahami. Siapa tahu pemahaman kalian akan melengkapi pemahaman Ummi,” demikian penjelasanku.

Dan ternyata benar. Anak-anakku punya pemahaman sendiri terkait buku yang dibaca mereka.

Si bungsu Nisrina, baca Korean Cool.

“Korea pernah mengalami masa susah juga. Dan dulu, guru boleh mukul murid-muridnya.”

Si abang nomer 3, Ahmad, baca The Telomer Effect.

“Ketuaan bisa disebabkan telomer yang memendek. Elizabeth Blackburn peneliti, Elissa Epel psikolog. Mereka meneliti bagaimana pemendekan telomer ternyata berpengaruh juga pada perilaku, ketuaan dan penimbunan lemak.”

Si abang nomer 2, Ayyasy, baca Pribadi Hebat.

“Kalau 10 kerbau dengan bobot sama, nilanya sama. Tapi tidak dengan manusia. 10 manusia dengan tinggi sama, kekuatan sama, kepintaran yang sama; nilainya tidak akan sama. Aku baru baca beberapa hal. Nilai manusia yang berbeda disebabkan oleh pertama, kecerdikan. Kedua, empati dan moral.”

Si kakak nomer 1, Arina, baca The New Smart.

“Aku baru tahu kalau Intrapersonal Intelligence berbeda dengan Exintential Intelligence,” ia membawahi beberapa poin penting. “Banyak sekali sekolah yang masih addict dengan kemampuan  bahasa dan matematika, padahal harusnya ada kemampuan  lain yang perlu dikembangkan. Orang berhasil karena memiliki lebih dari 1 inteligensi. Kenapa Leonardo da Vinci dikenang? Karena ia seorang ilmuwan dan artis.”

Membaca bersama, membagikan pengetahuan, mendiskusikannya bisa mempersingkat waktu kita untuk memahami satu sumber referensi. Kalau misalnya kita nggak sempat baca 1 buku, kita bisa meminta orang lain membaca dan merangkumnya. Meski tentu, membaca sendiri lebih memuaskan. Mendengar anak-anakku menyampaikan pendapat mereka sendiri terkait buku yang dibaca dan sudah pernah kubaca, memperkaya pemahamanku . Sebab, mendengarkan suara dan  pendapat anak-anak millennial, sesuai dengan buku yang tengah kubaca : The Millennial Whisperer.

Semoga, aku sempat mereview dan meresume buku ini ya 😊

Kategori
15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak Buku Sinta Yudisia Hikmah Karyaku Kepenulisan Menerbitkan buku Nonfiksi Sinta Yudisia Oase WRITING. SHARING.

Apa Bakatmu?

Lama sekali, aku ingin menuliskan buku terkait bakat dan minat anak. Semua bersumber ketika aku sendiri terlambat memahami tentang potensi diriku.

Sejak kecil aku suka berkhayal : menjadi ratu, pasukan paskibraka, penyanyi, wonder woman dan banyak lagi. Sama sekali tak terpikir bahwa kemampuan mengkhayal itu perwujudan dari kreatifitas membuat cerita baru berdasarkan informasi yang sudah ada. Meski sudah suka menulis diary sejak SD, nyatanya aku malah masuk kelas Fisika ketika SMA. Saat itu, kelas di SMA dibagi A1 (Fisika), A2 (Biologi) dan A3 (Sosial). Dulu masih ada kelas A4 (bahasa) tapi jarang juga tersedia. Karena saat itu multiple intelligence belum dikenal, orangtua dan lingkungan mendorongku masuk kelas Fisika. Kata mereka, aku pintar.

Anehnya, aku masuk kelas Fisika tetapi kuliah di Ekonomi Akuntansi. Bayangkan! Sangat jauh panggang dari api hehehe.

Semakin hari aku malah nggak mengerti dengan keinginan dan cita-citaku. Kenapa makin lama nggak suka dengan sains? Gak suka ekonomi? Ketika usiaku menjelang 30 tahun aku coba-coba buat cerpen dan berhasil! Aku ikut beberapa lomba tingkat nasional dan Alhamdulillah, menang. Ketika itulah aku baru mulai sadar : “Oh, aku punya bakat nulis, ya?”

Tidak pernah terpikir menulis menjadi sumber pemasukan.

Setelah 10 tahun menulis aku semakin yakin bahwa menulis adalah duniaku. Apalagi ketika tes minat RMIB, kecenderunganku ke arah aesthetic dan literasi. Klop dah.Terus terang aku terlambat mengetahui minat dan bakatku. Andai sejak kecil aku sudah tahu bahwa bakat minatmu menjadi seorang seniman, aku mungkin akan kuliah di ISI atau masuk fakultas sastra.

Anak-anak : Mereka harus berkembang lebih baik

Sekarang, aku tak ingin kejadian yang sama terulang.

Jujur, awalnya aku masih terperangkap dalam paradigma lama : anak-anakku harus masuk sekolah yang jurusannya sains. Nanti mereka bisa enak memilih. Toh nggak papa kuliah ekonomi bila berasal dari kelas MIA, bukan?

Tetapi, anak-anak ternyata menderita ketika mereka dipaksa masuk kelas sains padahal dalam diri mereka mengalir jiwa altruist, jiwa seniman, jiwa kebebasan. Perlahan, aku mulai belajar dari sana sini. Kebetulan aku kuliah psikologi saat sudah menjadi ibu, jadi aku mulai dapat membaca walau masih kabur, tentang potensi anak-anakku.

Aku melalap berbagai jurnal.

Artikel.

Majalah.

Buku Indonesia dan Inggris.

Karya antologi putri-putri kami. Kiri : ada karya Arina. Kanan : ada karya Nisrina

Pada akhirnya, aku menyelesaikan membuat buku 15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak ini, sebuah buku yang sudah kuimpikan lama sebagai bentuk curahan perasaan dan pikiranku tentang bagaimana menemukan bakat terpendam anak-anak. Alhamdulillah, putri-putriku suka menulis. Tetapi bakat saja tanpa motivasi besar seperti mobil mewah tanpa bensin!

gundam and my family.JPG
Salah satu putra kami memiliki kesukaan merakit gundam

Kupikir semua anakku berdarah seni. Tetapi ada satu orang anakku yang baru kuketahui usia onsetnya, mahir merakit sesuatu saat SMP. Ia suka menabung dan membeli Gundam/ Gunpla.

Semoga buku ini bermanfaat bagi para orangtua di luar sana yang cemas, ingin tahu, kesal, marah; karena tak kunjung menemukan potensi anak-anak mereka yang sebetulnya memiliki innate talent atau hidden talent rrruaaarrrbiasa!

PO 15 Rahasia.jpg
Kategori
ACARA SINTA YUDISIA FLP Oase

Menuju Munas 4 FLP 2017, November 2017

 

 

 

Tanpa terasa, perjalanan FLP tahun ini telah memasuki masa 20 tahun.

20thFLP (PNG)Banyak catatan pencapaian FLP, sebagaimana banyak pula catatan yang harus dikerjakan oleh organisasi kepenulisan terbesar di Indonesia ini.  Lahirnya penulis-penulis baru mulai usia anak-anak, remaja hingga dewasa; terbitnya beragam buku mulai buku konvensional hingga buku digital; karya-karya yang semakin luas cakupannya mulai puisi, cerpen, novel, buku motivasi, buku referensi, opini, artikel, skenario dan masih banyak lagi.

Apa saja pencapaian FLP selama 4 tahun terakhir? Apa pula catatan yang harus diperhatikan?

 

Lokal, Nasional, Internasional

Penulis-penulis FLP biasanya mengawali dari hobby dan kebutuhan ekspresi diri. Keinginan untuk melihat karyanya dibukukan, membuat penulis-penulis memacu diri menghasilkan kuantitas karya. Lihatlah karya-karya yang tertuang di media sosial mulai facebook, wattpad, hingga blog. Mereka yang rajin mengirimkan karya juga banyak. Pada awalnya mengirimkan karya ke koran-koran lokal seperti media kampus, media sekolah hingga media massa setempat.

Selanjutnya, semakin terasah kuantitas dan kualitas, maka anggota FLP akan mulai menempati karya di level nasional. Media online, media massa, majalah hingga beragam kompetisi berhasil dilalui. Jumlah yang mencapai level nasional sangat banyak; bahkan semakin lama, semakin junior usianya.

Mereka yang merambah dunia internasional pun bermunculan satu demi satu. Bukan  hanya kualitas karya, kualitas tulisan ilmiah, namun juga kiprah yang mengiringi langkah-langkah mereka. Penulis FLP mengisi ruang-ruang literasi dari Sabang hingga Merauke.

Ganjar Widhiyoga dan Yanuardi Syukur , dua orang di antara sekian banyak penulis FLP yang go international

 

 

Registrasi Online

Salah satu hal penting yang ingin dirapikan oleh FLP adalah bab organisasi.

Organisai bertujuan mengatur sekian banyak orang agar seragam visi misinya, agar seragam langkahnya. Mengelola organisasi kepenulisan yang berisi para seniman, sastrawan dan penulis berjiwa kreatif; tentu banyak tantangannya. Pada umumnya, orang-orang imajinatif enggan dibatasi gerak langkahnya. Di FLP, gerak langkah itu bukan dibatasi atau diseragamkan; namun perlu diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia perbukuan agar memiliki daya guna dan daya saing yang tinggi.

Banyak sekali remaja, mahasiswa, karyawan yang ingin menjadi anggota FLP. FLP bukan organisasi ekslusif; namun harus memiliki basis data yang kuat. Berapa wilayah yang tercata? Berapa cabang yang terlibat? Berapa anggota riil yang masih aktif? Berapa anggota pasif yang tidak dapat membantu roda organsiasi tapi potensial di sisi yang lain?

Untuk itulah, registrasi online diadakan.

Waktu 4 tahun bukan waktu yang singkat, namun juga bukan perkara mudah mendata penulis FLP dari ujung barat ke timur. Sedikit demi sedikit, dengan ketekunan dan semangat persuasif para pengurus Pusat FLP; satu demi satu para penulis FLP mulai terdata lokasinya. Sehingga jumlah penulis FLP bukan hanya perkiraan : 5000-an, 10.000an; namun jumlah digit hingga angka terakhir diketahui. Hal ini bukan saja dibutuhkan dalam perkara material belaka, misal agar tersedia dana memadai bagi perputaran roda organisasi; namun juga dapat memetakan potensi penulis FLP di berbagai level dan jenjang, juga wilayah. Seringkali, pihak pemerintah atau lembaga non profit menghubungi FLP bila berkunjung ke suatu wilayah dan akan menyelenggarakan acara literasi. Anggota FLP relatif mudah digerakkan untuk berkumpul dan menyelesaikan suatu agenda literasi.

logo pake tanggal.png

Munas 4 FLP di Bandung, Jawa Barat

Pilihan Bandung sebagai kota penyelenggara Munas 4 bukan tanpa pertimbangan. Kota ini dapat menjadi magnet bagi para anggota FLP di seluruh Indonesia dan mancanegara untuk turut hadir dan memeriahkan pentas literasi. Munas memiliki agenda utama memilih ketua umum untuk periode 4 tahun ke depan, namun bukan hanya itu. Munas 4 FLP menjadi ajang silaturrahim yang sangat dirindukan, menjadi ajang pembelajaran segala hal, menjadi ajang tukar pendapat dan tentu saja. Penulis sangat menyukai hobby traveling yang akan memunculkan citarasa imajinasinya.

Bandung dan Jawa Barat adalah tempat indah dan nyaman dengan segala keunikan pariwisatanya yang terkenal. Kuliner, fashion, tempat wisata, bahkan agenda politiknya pun dilahap masyarakat Indonesia dengan penuh rasa ingin tahu. Harapan panitia, Munas 4 FLP akan menarik sebanyak mungkin peminat untuk hadir dan turut memeriahkan acara.

Acara Munas 4 FLP ini insyaallah akan diselenggarakan dari tanggal 3 hingga 5 November 2017. Maka bersiaplah untuk ikut berguncang dalam acara dahsyat ledakan literasi!

 

Di bawah ini karya-karya FLP yang telah terbit nasional dan internasional

Kategori
da'wahku FLP FLP Kids FLP Wilayah Jawa Timur Kepenulisan Mancanegara Oase Remaja. Teenager Sastra Islam

Berapa Besar Sumbangsih FLP (Forum Lingkar Pena) bagi Indonesia?

 

 

22 Februari 2017, Forum Lingkar Pena tepat berusia 20 tahun.

flp

Organisasi ini di sebut Taufik Ismail sebagai  ‘anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia’, sebuah ucapan yang layak direnungkan dan dibanggakan bagi segenap anggota serta pengurus FLP di Indonesia maupun perwakilannya di luar negeri.  Dalam angka yang diakhiri dengan imbuhan –an ; anggota FLP mencapai ribuan bahkan belasan ribu dengan buku-buku yang juga mencapai ribuan sejak organisasi ini berdiri di tahun 1997. Jumlah pastinya, haruslah disesuaikan dengan dinamika serta arsip organisasi. Mengingat, menggabungkan anggota yang penuh daya imajinasi dan kreativitas lalu merapikannya dalam struktur organisasi bukannya perkara mudah.

Milad FLP 19, Yogya.JPG
Yogyakarta-Ulang tahun FLP ke 19, 2016

Memandang  konstelasi perbukuan dan dunia sastra, dimanakah letak FLP? Apakah penulis-penulis FLP merupakan seniman serta sastrawan yang berkualitas yang karyanya pantas dibanggakan mulai level lokal, nasional hingga internasional? Apakah karya-karya FLP layak menembus pasar global internasional dan menjadi karya sastra yang mewakili wajah Indonesia?

 

Keberagaman anggota FLP

Salah satu asset luarbiasa dari FLP adalah demikian penuh keragaman corak dari anggota yang tersebar di penjuru Indonesia serta di beberapa titik mancanegara. Usia SD-SMP dikelompokkan sebagai FLP kids, diatas itu bergabung menjadi anggota FLP regular. Setiap cabang dan wilayah punya kekhasan masing-masing yang disesuaikan dengan kultur setempat serta ketersediaan sumber daya. BPP FLP memantau wilayah-wilayah, memberikan masukan serta mengatur seluk beluk keorganisasian.

rohingya-2

FLP kids menampung anak-anak SD –SMP yang sangat menyukai dunia tulis menulis. Mengingat buku-buku karya penulis cilik sangat digemari di seantero Indonesia, penerbit sangat membutuhkan karya-karya bermutu. Lini PECI (penulis cilik Indonesia) dari penerbit  Indiva, KKPK (kecil-kecil punya karya) dari Mizan; adalah beberapa yang sangat giat menerbitkan karya para penulis cilik. Tentu, penerbit memiliki cara tersendiri dalam menyaring tulisan berkualitas yang disukai pasar; namun, FLP pun turut membantu menyuburkan semangat berkarya di kalangan anak-anak Indonesia.

FLP Jombang, FLP Padang, FLP Lampung

 

Bagi remaja, untuk usia SMA dan mahasiswa, FLP menjadi organisasi kepenulisan yang diperhitungkan. Betapa banyak orangtua yang menginginkan anaknya mengembangkan bakat minat dibidang kepenulisan, mengontak FLP pusat atau wilayah dan meminta narahubung dari FLP yang terdekat. Remaja-remaja ini yang memang memiliki hobby membaca pada awalnya, lama-lama ingin mengembangkan diri dengan menulis. Apalagi, pekerjaan menulis sekarang bukan hanya terbatas membuat buku, menerbitkan cerpen, menulis puisi. Penulis sekarang lebih berkembang lagi profesinya mencakup penulis scenario, blogger, penulis lagu, hingga penyedia konten dari media-media online. Remaja-remaja berbakat menemukan FLP sebagai salah satu wadah yang memahami kebutuan mereka, menjadi organisasi yang asyik dan seru untuk membahas seputar dunia sastra terkini. Bukan itu saja, dari ranah kepenulisan, bahasan yang didiskusikan di media sosial dapat berkembang mulai film, music hingga politik. Anak-anak muda di FLP belajar untuk menuliskan opini mereka sendiri, bukan hanya sekedar copy paste, potong-salin. Bukan hanya sekedar broadcast. Anak-anak muda di FLP berusaha menilai sesuatu dari sudut pandang pribadi, dari perenungan dan penafsiran versi sendiri.

Terkadang, di WAG atau whatsapp grup FLP timbul ketegangan ketika membahas politik. Namun uniknya, anak-anak muda ini berusaha untuk terus menajamkan tulisan dengan bersumber pada fakta dan data; serta mencoba untuk berargumentasi dengan tagline sastra santun. Apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, apa yang kita lakukan dan katakan serta tulisan; haruslah dengan kesantunan. Ketika menyerang satu pihak atau mengkritik satu golongan; tidaklah perlu menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Anak-anak muda di FLP tumbuh menjadi generasi yang suka membaca, suka menulis. Maka bila kita membaca tulisan mereka diblog atau facebook, terasa sekali bahwa penulis FLP membawa nuansa yang berbeda. Konyol lucu, menghibur, namun bukan tong kosong.

Kalangan dewasa FLP, terdiri dari lebih banyak ragam elemen. Dosen, guru, karyawan, peneliti, sastrawan, PNS, pengusaha, editor, mahasiswa,  maupun kalangan professional lain. Ada pula kalangan pekerja istimewa yang dikenal sebagai tenaga kerja  Indonesia, yang bekerja di Hong Kong dan Taiwan. Karya-karya mereka telah diakui secara lokal, nasional bahkan internasional. Bagi guru, nama Gegge Mappangewa dari Makassar, Umi Kulsum dari Jombang, dan Khairani dari Banjarmasin adalah beberapa nama FLP yang karyanya berulang-ulang meraih penghargaan. Bukan hanya karya, namun juga kiprahnya di dunia belajar mengajar menjadi teladan bagi sesame guru mupun menjadi motivator bagi siswa. Agaknya, kemampuan mereka menulis menjadi salah satu point tersendiri untuk menjadikan para guru dan anggota FLP ini sebagai sosok teladan.

Di kalangan dosen dan penulis, FLP memiliki nama-nama Helvy Tiana Rosa, Irfan Hidayatullah; keduanya mantan ketua FLP terdahulu. Topik Mulyana, juga salah satu dosen dan pengurus FLP yang tulisannya tersebar di media massa sebagai sastrawan atau kritikus. Dari kalangan peneliti, muncul nama Maimon Herawati dan Ganjar Widhiyoga. Dua orang ini bak suhu kungfu yang akan turun gunung ketika dunia gonjang ganjing dengan segala hiruk pikuk berita hoax. Setiap kali tulisannya diunggah ke media massa, Maimon Herawati dan Ganjar Widhiyoga akan menuai banyak likers (juga haters) dan dishare ke banyak mungkin pembaca. Dari kalangan professional, nama-nama Intan Savitri sebagai ilmuwan psikologi, Yeni Mulati (Afifah Afra) sebagai CEO  ; menjadi referensi berharga bagi pembaca tiap kali mereka menelurkan tulisan baik buku atau sebuah catatan di media sosial. Di kalangan selebritas sendiri, tentu tak asing nama Habiburrahman el Shirazy dan Asma Nadia sebagai penulis-penulis kondang yang memberikan warna luarbiasa bagi dunia perfilman Indonesia.

Adakah kalangan istimewa dari FLP?

Tentu saja, kalangan ibu-ibu. Para ibu disini adalah ibu-ibu yang luarbiasa. Ditengah kesibukan dan tingkah polah mereka yang sangat spesifik sebagai kaum ibu yang cerewet, suka belanja, suka mengomel; para ibu  menelurkan karya-karya yang  sangat membanggakan. Selain buku-buku, penulis perempuan FLP banyak aktif sebagai blogger dan meraih banyak keuntungan baik financial maupun immaterial. Sebut saja Pipiet Senja, Naqiyyah Syam, Gesang Sari, Risalah Husna, Sri Widiyastuti, Puspitasari, Fauziah Rachmawati, Lina Astuti dan masih banyak lagi.

Blogger laki-laki?

Wah kalau ini jangan ditanya, jumlahnya menjamur di FLP!

Ali Muakhir, Koko Nata, Bang Aswi, Rafif Amir, Sokat Rahman, Bang Syaiha, Billy Antoro, Ilham Anugrah yang bila ditotal jumlah blogger FLP, mencapai puluhan bahkan ratusan. Mengapa demikian? Sebab rata-rata penulis FLP memiliki blog yang rutin dipelihara dengan tulisan dan laporan pandangan mata. Para blogger ini bukan hanya sibuk mengejar prestasi di dunia blogging, namun juga aktif dalam profesi masing-masing di dunia nyata.

Selain kelompok di atas, masih ada beberapa golongan di FLP yang demikian unik. Dua di antaranyanya adalah para pekerja serta mahasiswa perantauan di luar negeri.

FLP Hongkong.jpg
FLP Hong Kong

BMI Hong Kong dan pekerja di Taiwan adalah wilayah FLP yang sering menuai kekaguman akibat sepak terjang mereka yang luarbiasa. Bukan hanya mereka hidup di negeri orang, bekerja sebagai karyawan pabrik atau rumah tangga; hidup di level marginal, terpinggirkan dan kadang tidak dihargai secara layak; pada kenyataannya para pekerja Hong Kong dan Taiwan ini merupakan penulis-penulis yang luarbiasa. Sebut saja di antaranyanya Rihanu Alifa, Anna Ilham, Enda Soedjono, Shanna Azzahra, Indira, Ssy Laili. Mereka bukan hanya aktif di media sosial namun juga menulis di koran-koran lokal yang beredar di Hong Kong dan sekitarnya.

Mahasiwa perantauan di luar negeri, pun memberikan contoh luarbiasa bagaimana para pelajar harus membagi dengan bijak antara keuangan untuk mengelola organisasi, membeli buku, dan hidup cukup di perantauan. Bagaimana harus membagi waktu antara belajar, membaca jurnal (tentu dalam bahasa asing!), membaca referensi dan menelurkan buku-buku. FLP Mesir, FLP Yaman , FLP Turki, Maroko, Arab Saudi, Malaysia yang namanya terlalu panjang untuk disebutkan satu persatu. Anggota FLP yang pulang ke tanah air pun terus bergiat menyelesaikan karya seperti Awy Qolawwun yang merupakan jebolan FLP Arab Saudi, Adly el Fadly yang merupakan jebolan FLP Yaman, Irja NAshrullah yang masih aktif di FLP Mesir.

Demikian beragamnya anggota FLP hingga satu sama lain saling memberikan informasi berharga terkait dunia literasi yang tengah berkembang, issue-issue kekinian, berbagi ilmu sesuai dengan kapasitasnya, berbagi informasi lomba dan saling mendorong untuk meraih prestasi. Keragaman anggota FLP ini memperkaya para anggota untuk terus memacu masing-masing individu terus dan terus belajar.

 

Karya-karya yang terus berkembang

Karya FLP pernah dianggap karya kacangan.

Mengingat karya-karya tersebut begitu sederhana, begitu seragam dengan karya-karya sebagian besar anggota FLP, tidak menimbulkan makna yang dalam serta tidak layak untuk disejajarkan dengan karya-karya besar HAMKA atau Pramoedya.

Mengapa dianggap kacangan?

Memang karya FLP banyak yang seragam. Mengingat salah satu pilar FLP adalah keIslaman; banyak anggota FLP yang masih memahami karya Islami haruslah memiliki alur pesantren, masjid, tokoh berjilbab dan berjenggot. Kisahnya seputar mendapat hidayah saat menjadi mahasiswa kampus yang aktif di rohis, menjadi suka al Quran ketika di pesantren, atau mendapat kesempatan studi ke Timur Tengah.

Karya FLP dianggap minim kekayaan diksi serta mudah ditebak alurnya. Awalnya susah, lalu happy ending. Akhir yang mudah sekali diprediksi : menikah dengan sesama orang sholih, berhasil mendapatkan akhwat cantik idaman, lulus beasiswa dengan gilang gemilang, menjadi dosen dan disukai banyak mahasiswa.

Sesungguhnya, karya FLP tidaklah bisa disebut karya ‘kacangan’.

Siapakah HAMKA dan Pramoedya?  Adalah orang-orang yang kenyang makan asam garam kehidupan. Hidup dalam situasi sosial dan politik yang panas, merasakan peperangan dan penjara yang pedih. Sebagaimana kata Nietzche : hanya peperangan yang dapat membuktikan siapa manusia sesungguhnya, siapa binatang sesungguhnya.

Anggota FLP yang masih SMA dan mahasiswa, ibarat anak yang belajar berjalan, masih tertatih-tatih meraba-raba. Mereka seringkali harus menyisihkan uang untuk membeli buku sendiri yang bagi kantong Indonesia relative mahal, mereka juga tidak duduk di bangku fakultas FIB atau jurusan sastra. Mereka adalah anak-anak yang senang membaca, menulis, membaca, menulis. Karya-karya mereka adalah latihan yang sesunggunya. Sejak awal, mereka harus kenyang dengan kritikan pedas dan Alhamdulillah, mereka pantang mundur, terus menulis dan terus belajar. Perubahan-perubahan itu terlihat pasti merayap. Satu demi satu adik-adik FLP meraih penghargaan di tingkat lokal. Baik lokal sekolah, lokal kampus, lokal regional di koran kota. Lalu mulai muncul di koran nasional, di media online nasional, memenangkan lomba yang ringan persaingannya hingga lomba-lomba yang berat persaingannya serta level jurinya.

Adalah tokoh-tokoh FLP seperti Habiburrahman el Shirazy, Asma Nadia, Benny Arnas yang level ketokohannya diakui dunia. Mereka tidak lagi hanya memberikan pelatihan di tingkat Indonesia, namun diminta mengisi acara-acara di berbagai event di mancanegara. Ada banyak potensi di FLP yang insyaallah siap mengekor keberhasilan para pendahulunya seperti Asma Nadia, kang Abik dan Benny Arnas. Mashdar Zainal, salah satu anggota FLP Jawa Timur yang karya-karyanya tembus secara fantastis di koran ‘sulit’ seperti Jawa Pos dan Kompas.

Karya-karya kacangan FLP, akan terasa kacangan bila dikunyah oleh orang-orang dewasa yang level bacaannya sekelas para peraih nobel, pullitzer, dan penghagaan dunia lain : Najib Mahfudz, Amin Malouf, Rudyard Kipling, Orhan Pamuk, Serdar Ozkan, Nicholas Carr. Namun karya-karya ‘kacangan’ FLP akan menjadi kue lezat bagi sesama remaja yang butuh asupan bacaan ringan. Dan, mereka membutuhkan bacaan sejenis yang banyak jumlahnya.

Seorang gadis yang ingin memakai jilbab; akan terinspriasi oleh novel-novel tentang jilbab sekalipun alurnya kacangan, bombastis, tidak masuk akal, tidak relevan bahkan terlalu mengada-ada. Bila ia membaca 5, 10, 20 novel serupa yang menceritakan pengalaman memakai jilbab; bukan tidak mungkin ia pun pada akhirnya mantap berkerudung.

Seorang pemuda yang maju mundur untuk studi di pesantren; ketika membaca buku-buku yang mirip dan terkesan ‘sastra abal-abal’ ; sesuai level usianya yang masih suka menelan hal yang renyah dan ringan; pada akhirnya terdorong masuk ke pesantren dan membuka pintu kesadarannya untuk berjuang mengenyam pendidikan serius serta memangsa kitab-kitab yang jauh lebih berat dari sekedar naskah kacangan.

Anak-anak SD, yang masih suka berimajinasi dan membaca perkara ringan tentang dunia peri, dunia fantasi, kehidupan ala istana dan putri-pangeran; terdorong banyak menbaca buku ‘kacangan’ yang mungkin tidak sekelas Little Women (Louisa May Alcott) ,  Secret Garden (Burnett), Kim (Rudyard Kipling) atau bahkan Toto Chan. Namun, ketersediaan buku-buku ringan ini akan mendorong mereka memangsa buku level lebih tinggi dan pada akhirnya mereka suka mengunyah buku berat dan suatu ketika, menghasilkan karya sastra yang lebih mumpuni di waktu-waktu yang berikut.

Belajar menulis membutuhkan perjuangan panjang.

Tidak hanya dibatasi oleh bangku kuliah 4 tahun untuk S1, 2 tahun untuk S2. Belum tentu mahasiswa FIB atau sastra mampu menuliskan buku berkualitas bila mereka tidak mau belajar dengan susah payah. Sebagaimana belum tentu mahasiswa S2, S3 dan peneliti dapat menulis karya ilmiah dengan luwes dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Menulis karya ‘kacangan’ kadang merupakan stimulant awal bagi penulis untuk belajar bagaimana menyesuiakan ritme kesibukan dengan target menulis : berapa buku setahun, berapa bulan selesai 1 buku, berapa bab harus dikerjakan 1 minggu, berapa halaman dalam 1 hari dan berapa jam untuk menulis. Ketika ritme menulis ‘kacangan’ ini terbentuk; lambat laun dengan dorongan individu dan organsisasi akan tercapai karya-karya yang semakin berbobot dari waktu ke waktu.

FLP, memang dikenal sebagai pabrik penulis.

Terkesan sebagai organisasi yang mengeluarkan penulis-penulis karbitan, penulis kuantitas bukan penulis kualitas, penulis kualitas pabrik bukan kualitas butik. Meski demikian; segala kritik tentu berharga bagi tumbuh kembang sosok individu dan organisasi. Mereka yang telah bertahun-tahun menulis, tentu harus berupaya meningkatkan kapasitas diri agar karya tulis tidak selamanya kacangan. Bolehlah karya-karya ‘kacangan’ dihasilkan oleh anggota pemula; semakin tinggi level anggota FLP di tingkat madya dan andal; maka proses kreativitasnya harus terus bejalan. Karya yang dihasilkan pun harus semakin berat bobot kualitas, keilmuan, logika berpikir, maupun maknanya.

Proses, adalah bagian yang diakui di FLP.

Tidak ada proses sekali jadi.

Tidak ada proses yang singkat.

Tidak ada proses yang hanya seminggu.

Semua proses, bahkan penciptaan langit dan bumi melalui 7 tahapan di ‘tangan’ Allah Swt . Apalagi proses manusia,  mungkin melalui puluhan, ratusan, ribuan tahapan.

 

FLP dan pasar lokal-global

FLP cukup berhasil menyasar pasar lokal. Terbukti, walau dunia penerbitan pasang surut, penulis-penulis baru di FLP bermunculan mengeluarkan novel dan karya non fiksi.

Anggota FLP yang memiliki basic ilmu syariah seperti Irja Nashrullah, Awy Qolawun, Adly el Fadly suskes menggarap pasar nasional yang membutuhkan buku-buku kajian keIslaman dengan bahasa ringan; bukan bahasa referensial yang cendeung berat.  Afifah Afra, Naqiyyah Syam; sukses menggarap pasar remaja putri dan ibu-ibu. Ali Muakhir, Koko Nata, Sri Widiyastuti sukses menggarap pasar anak-anak. Habiburrahman, Asma Nadia sukses menggarap pembaca perempuan; sementara Benny Arnas dan Mashdar Zainal sukses memanfaatkan ceruk sastra yang jarang digeluti penulis karena effortnya yang cukup besar. Rafif Amir, Gesang Sari, Sokat Rahman, Billy, Aprillia, dkk  dan blogger FLP sukses menggarap pasar online yang celahnya sangat terbuka dan ramai.

Dalam era digital, FLP mencoba beradaptasi.

Kertas-kertas berimbas pada penebangan kayu yang mengancam paru-paru dunia. Disisi lain, orang-orang masih belum terbiasa menggunakan perangkat elektronik untuk membaca buku. E-book sebuah keniscayaan, namun juga cepat memunculkan kelelahan. Apalagi, orang cenderung membuka media sosial ketika berinteraksi dengan gawai dan cepat teralihkan dari niat semula yang ingin membaca buku elektronik. Buku-buku berhana baku kertas masih diminati, walaupun juga, manusia harus dibiasakan semakin efektif efisien dalam bertingkah laku.

Bekerja sama dengan beberapa media online seperti beetalk, bitread dan UC News; merupakan satu langkah FLP memasuki pasar lebih luas. Anggota FLP tidak hanya harus belajar menulis fiksi – non fiksi; tapi juga belajar menulis materi-materi up to date yang diminati masyarakat luas mulai bahasan Donald Trump-Melania, hingga bagaimana hidup awet muda.

 

Apa yang Diberikan FLP pada Indonesia?

Jawabannya adalah Sumber Daya Manusia.

SDM adalah asset sangat mahal yang menghabiskan modal luarbiasa besar. Dalam sebuah perpustakaan di Seoul, terpahat reader is leader. Pembaca adalah pemimpin. Begitupun pemimpin adalah seorang pembaca. Negarawan kita adalah pembaca, penulis dan orang yang tiada berhenti belajar. Bung Karno, bung Hatta, Mohammad Natsir, HAMKA, Ki Hajar Dewantara, adalah para pembaca yang luarbiasa. HAMKA bahkan mewajibkan dirinya membaca buku dalam beragam bahasa untuk menajamkan otak. Pantas saja, Indonesia berhasil melawan kekuatan asing yang luarbiasa tangguh. Mereka memiliki senajta, kita memiliki daya juang.

FLP memberikan pada Indonesia sekian ribu manusia yang suka membaca dan menulis. Mereka bukan hanya orang-orang yang duduk di bangku akedemis; namun juga para buruh dan tenaga kerja marginal. Mereka bukan hanya orang yang terbiasa duduk di belakang meja mengerjakan laporan keuangan, namun juga para ibu yang bergelut dengan harga cabai. Mereka bukan hanya para dosen dan guru, tapi juga para pelajar SD hingga mahasiswa.

FLP memberikan kesempatan berproses. FLP memberikan lingkungan yang nyaman bagi para pembaca dan (calon) penulis. FLP mengasah kemampuan di luar bakat minat yang paling dasar. FLP memberikan para penulis informasi dan jaringan berharga yang harus dimiliki penulis untuk go local, go national, go international. Dalam ranah global dewasa ini, tidak ada seseorang yang dapat berhasil hanya secara individual. Ia butuh dukungan, butuh kelompok, butuh orang-orang di belakang layar.

Di belakang layar FLP; tersebar ribuan anak muda yang namanya tidak tercantum sebagi penulis atau blogger. Mereka adalah para buzzer dan reviewer yang rela mem-boost buku, agenda literasi, kegiatan kepenulisan agar sukses. Mereka adalah pengurus-pengurus FLP Pusat, wilayah, cabang, hingga ranting yang bersedia berpayah-payah menjalankan roda organisasi agar tercipta harmonisasi antara penulis, dunia perbukuan, kalangan media dan penerbitan yang harus terus bersinergi untuk menghasilkan karya-karya spektakuler. Orang-orang di belakang layar inilah yang membantu munculnya penulis-penulis tenar dan popular.

FLP Wilayah Jawa Barat, FLP Wilayah Jawa Timur, FLP Wilayah Riau

Bersama FLP, hadir wajah-wajah muda, wajah-wajah baru penulis; maupun hadir wajah-wajah penulis yang terus bermetamorfosa menjadi HAMKA dan Pramoedya yang berikutnya.

Selamat ulangtahun ke 20, FLP.

Berarti, berkarya, berbagi.

Teruslah berjuang dengan pena!

Kategori
Artikel/Opini Oase

Saya tidak SARA & cinta Cina

 

 

Teman SMP saya banyak yang Cina. Teman SMA, juga. Teman kuliah di fakultas Psikologi tak terkecuali. Sekarangpun teman dan tetangga saya ada yang Cina. Kompleks perumahan kami bersebelahan persis dengan kompleks perumahan lumayan mewah, yang 95% penghuninya Cina.

Kalau beli kain di Pucang, penjualnya rata-rata Cina.  Beli barang elektronik di Hartono atau Hi Tech Mall, atau Marina, rata-rata penjualnya Cina. Beli alat-alat listrik di dekat rumah, seperti kipas angin, setrika, atau colokan listrik; juga Cina.

Di Surabaya banyak warga Cina muslim, yang aktif di masjid Cheng Ho. Sepupu saya menikah dengan orang Cina, yang menjadi muallaf dan menjadi pendakwah Islam. Pendek kata, bertemu warga Cina dalam lalu lalang kehidupan sehari-hari, adalah hal biasa. Di jalan raya, di perdagangan, di kampus, di dunia kerja. Etnis Cina, Jawa, Madura, Arab, India, Batak; campur aduk tak terpisahkan sebagai satu koloni masyarakat Indonesia.

 

Pengagum Cina

Saya sungguh mengagumi budaya Cina. Lewat film-filmnya, terutama.

Ketika remaja, saya dan suami akrab dengan cerita silat berlatar budaya Cina, karya Asmaraman Kho Ping Ho. Film Pemanah Rajawali, Yoko, dan sederet film Cina saya suka. Once Upon a Time in China adalah film favorit saya dan suami, hingga berseri-seri. Laksamana Cheng Ho dan Wong Fei Hung adalah dua tokoh yang sangat saya kagumi, bahkan terbersit impian untuk membuat cerita Fei Hung versi saya.

Tahu Kungfu Hustle kan?

Kami sekeluarga bolak balik nonton film ini. Seru dan keren, kocak lagi!

Red Cliff 1 dan 2, jangan ditanya! Cursed of Golden Flower, Hero, Warrior Heaven and Earth, Painted Skin, The Guillotine, Call for Heroes; film-film Cina ini saya rekomendasikan buat teman-teman yang suka film sejarah. Vicky Zhao, Zhang Ziyi, Chow Yun Fat, Steven Chow, Donnie Yen termasuk bintang film favorit. Belakangan, nama Eddie Peng saya cari-cari di google lantaran aksinya dalam Call for Heroes demikian mengesankan.

Coba tengok rak buku kami.

sam-kok
Dongeng Naga, Sam Kok, dll

Dragon Tales : Sejarah Tiongkok dari Dinasti Tang hingga Dinasti Qing, Kisah Tiga Kerajaan (Sam Kok), Cina Muslim di Jawa Abad XV & XVI, Wild Swan (Jung Chang),  Rahasia Sukses Muslim China ( Wan Seng), Muslim di Amerika dan Cina, Battle Hymne of Tiger Mother (Amy Chua) adalah sedikit dari buku referensi tentang Cina yang kami punya.

Apa yang saya sampaikan ke anak-anak?

“Lihat tuh etos kerja orang Cina! Kalian harus tiru. Mereka hemat dan irit, nggak seperti kita orang Jawa yang suka menghamburkan uang.”

Bahkan saya banggakan teman-teman Cina muslim saya di hadapan anak-anak.

“Kalian tahu kan mas Syauqi dan mbak Levina? Mereka sebentar lagi pindah dekat rumah kita. Tahu nggak apa yang ditanyakan mbak Levina : bunda Sinta, mana sih pasar malam terdekat? Coba lihat, itulah gaya berpikir orang Cina. Bagaimana cara berdagang. Nanti kalau mbak Levina sudah buka toko, kalian belajar kerja sama mbak Levina ya!”

Saya ceritakan kepada anak-anak tentang jalur sutra. 5 kota mega yang pernah menjadi milik kaum muslimin : Xian, Aleppo, Merv, Mosul, Samarkand. Xian berada di Cina. Makam Saad bin Abi Waqqash pun berada di Ghuangzhou , Cina.

Bagi kami sekeluarga, dan saya yakin kaum muslimin pada umumnya, Cina dekat dengan kehidupan kaum muslimin. Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina adalah pepatah masyhur, sebagian berpendapat ini hadits Nabi Saw, sebagian berpendapat ini pepatah para ulama.

Jadi sungguh, Cina, adalah sahabat kaum muslimin. Saudara kaum muslimin. Teman kaum muslimin. Hui, Uyghur, Tajik, Kazakh dan masih banyak lagi adalah suku Cina muslim yang kami cintai.

 

Benci Cina?

Apa kami benci Cina?

Naudzubillahi, tentu tidak! Perasaan saya demikian dekat dengan orang-orang Cina ketika berkesempatan datang ke Hong Kong beberapa kali, meski kata orang Mandarin dan Canton berbeda. Toh tetap Cina juga. Saya sholat di masjid Wanchai, Ammar Saddick, bertukar salam dengan warga Cina muslim. Saya mengagumi pasangan-pasangan tua Cina yang makan di kedai masjid Wancai. Pasangan-pasangan tua Cina demikian setia satu sama lain…ah.

Di rapat RT, beberapa tetangga kami Cina dan kami ngobrol dengan santai terkait masalah syukuran, 17 Agustusan, sampah, paving block dll.

Apakah kami benci orang selain muslim?

Naudzubillahi, sungguh Allah Swt membenci orang yang dzalim dan tidak adil. Bila kaum muslimin bersikap tidak adil terhadap non muslim; sudah jelas, Allah dan RasulNya menjadi  wali bagi orang non muslim yang teraniaya. Maka, ketika terjadi proses pemurtadan terhadap satu wilayah misalnya, bukan kebencian terhadap non-muslim yang muncul. Sebaliknya, kaum muslimin merasa prihatin.

“Yah, gimana lagi. Orang-orang non muslim lebih peduli. Mereka memberi santunan beras, sembako, bantuan pendidikan dan lain-lain. Pantas saja saudara muslim yang miskin menjadi pindah keyakinan.”

Hampir tidak pernah dalam bahasan-bahsan kami muncul kebencian dengan niat mengenyahkan satu agama lain keluar Indonesia, hanya karena mayoritas warga Indonesia muslim. Ketika meletus anti Islam di negara lain, penindasan dan pembunuhan seperti warga Rohingya, tidak serta merta kaum muslimin di Indoensia membenci agama Buddha. Tidak serta merta mengusir warga Cina yang mayoritas berlainan keyakinan dengan kaum muslimin, walau warga Cina sebagian beragama Buddha, dimana para biksu dan warga Buddha di Myanmar menindas kaum muslimin.

Sungguh, kebencian, pengusiran, ejekan, hasutan; bukan menjadi ciri masyarakat muslim. Bila terjadi pemurtadan, pada dai berbondong-bondong turun ke desa menyadarkan dan membantu menyediakan sarana prasarana. Bila terjadi kegaduhan di luar negeri yang menyudutkan masyarakat muslim; kaum muslimin lebih memilih berdemonstrasi dan menggalang dana bantuan.

 

Bila Ahok Muslim

Bahkan, kaum muslimin masih menyelipkan doa-doa terbaik yang dapat disampaikan. Ketika pak presiden Jokowi terkesan tebang pilih, masih ada yang berdoa : semoga pak Jokowi semakin bagus pemahaman keIslamannya. Ketika Ahok menggodam masyarakat Indonesia dengan al Maidah 51 ; masih ada kaum muslimin yang berdoa : ya Allah, semoga Ahok menyadari kesalahannya dan menjadi muslim!

Kaum muslimin mengkritik, menegur Ahok bukan lantaran ia Cina dan non muslim.

Bukan!

Begitu banyak gubernur dan pejabat muslim yang salah pun diseret ke pengadilan. Begitu banyak pula pejabat dan petinggi yang non muslim di meja hijaukan. Siapa berbuat salah, muslim atau non muslim, tetap harus diadili.

Bila Ahok muslim dan menghina al Quran, tetap saja tuntutannya sama.

Kali ini kaum muslimin bersuara sepakat sebab beliau adalah seorang pemimpin ibukota yang menjadi cermin Indonesia. Jakarta, cermin Indonesia, sedang menghadapi pilkada. Dan kita tercengang betul ketika sang pemimpin menggunakan ayat al Quran dengan cara tak terduga.

Bagi warga muslim, yang jarang sholat dan paling bermaksiat sekalipun, yang masih terbata baca Quran dan tidak mampu mengeja al Fatihah; kitab suci al Quran selalu diletakkan di bagian terhormat dalam bilik rumah : di ruang tamu, di rak buku, di posisi tinggi. Menjadi mahar, sebagai penanda suci sahnya hubungan lelaki perempuan. Menjadi alat sumpah, yang dipegang saksi dan hakim serta penegak hukum di sidang. Menjadi simbol penguat, bagi para pejabat yang akan diambil sumpah jabatan.

 

Provokator & Penunggang Massa

“Awas kaum muslimin ditunggangi!”

“Awas ada provokator!”

“Nanti diobok-obok biar timbul kerusuhan!”

“Kalau sudah gempar, negara lain akan turun tangan ikut campur!”

Ya.

Kaum muslimin selalu serba salah.

Mau bersuara, dibilang SARA.

Mau mengkritik agama lain atau etnis lain, dibilang perkara sensitif.

Mau berdemo, diancam provokator dan kerusuhan massa.

Akibatnya, kaum muslimin benar-benar takut dan galau ketika ingin mengkritik sesuatu yang bersinggungan dengan agama. Takut fundamentalis. Takut radikal. Takut fanatik. Kaum muslimin Indonesia menyerah dan mengalah begitu saja ketika kerat demi kerat kemerdekaan beragama diserahkan pada pihak lain. Pariwisata diisi dengan hal yang bertentangan dengan agama, yah, biarkanlah, toh ini bukan negara Islam. Panti pijat, bar, karaoke, minuman keras, narkoba, pornografi merayap dengan pasti; yah, gak bisa dong tegas-tegas. Ini kan bukan negara Islam. Pemimpin dan kebijakan tak berpihak pada Islam; yah, demikianlah, kan ini bukan negara Islam.

Sekali saja, kaum muslimin benar-benar ingin bersatu padu membela agama. Membela kalimatullah yang telah ditafsirkan beda. Bukan karena pelakunya etnis tertentu. Bukan karena pelakunya non muslim. Tapi karena benar-benar ingin bersuara; agar warga muslim Indonesia yang mayoritas ini menjadi tuan di tanah sendiri. Membela agama dan kitab suci, dengan cara terhormat dan ksatria. Semoga setiap pihak menyadari bahwa kaum muslimin selalu ingin menyelesaikan perselisihan dengan cara hikmah.

 

Sinta Yudisia

Ibu dan Penulis

Surabaya