Kategori
Artikel/Opini Hikmah mother's corner My family Oase Parenting Psikologi Islam PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY RESENSI Topik Penting WRITING. SHARING.

Film Cuties (Mignonnes) : Seperti Itukah Keluarga (Muslim) Modern?

Tanyakan pada diri sendiri setelah menonton cuplikan trailer Cuties : seperti itukah gambaran keluarga muslim? Lebih luas lagi, apakah semua keluarga modern pun menyetujui apa yang Amy (tokoh utama, 11 tahun)  lakukan? Cuties tayang di Sundance Film Festival dan rencananya akan edar di Netflix mulai September tahun ini, ditulis dan disutradarai oleh Maimouna Deocoure. Debut Maimouna, langsung menuai kecaman dunia! Bahkan posternya saja langsung dihujat!

Cuties bercerita tentang seorang gadis kecil bernama Amy yang terlahir di tengah keluarga muslim Senegal, imigran di Perancis. Lahir di tengah keluarga muslim yang taat (well…orang akan mengatakan konservatif, orthodox, fundamentalis) membuat Amy tertekan. Amy dipaksa untuk berpakaian, bertingkah laku dengan cara orang muslim yang seharusnya. Padahal ternyata Amy ingin ikut kontes tari modern. Di sinilah konflik dan kritik pedas terhadap film produksi Netflix bermunculan .

Cuties diharapkan akan menjadi film coming of age yang mengesankan. Film coming of age adalah film-film yang menggambarkan masa peralihan dari anak-anak ke remaja yang sering digambarkan sebagai masa penuh konflik, namun juga masa sangat dinamis dan kreatif. Tak lepas pula petualangan-petualangan mendebarkan dalam proses pencarian jati diri. Banyak film coming of age yang laris di pasar : Little Women dan Flip berawal dari buku legendaris. Shazam yang bertema superhero, Princess’s Diary yang melambungkan nama Anna Hathaway dan Parents’s Trap yang melambungkan Lindsay Lohan. Alih-alih menjadi film manis yang mencuri perhatian pemirsa, Cuties justru melukai wajah keluarga muslim dan wajah orangtua keluarga modern pada umumnya.

  1. Gambaran keluarga muslim. Banyak keluarga muslim konservatif. Tapi banyak keluarga muslim yang moderat. Kenapa yang konservatif (plus si ibu memukul/menampar anak ketika anak membangkang bab pakaian) yang diangkat? Apalagi keluarga imigran, Senegal, black moslem , sangat kaku ; benar-benar stereotype keluarga muslim. Memang banyak keluarga yang masih konservatif dan memegang teguh prinsip, tapi untuk dipertentangkan dengan sudut pandang Amy kecil, rasanya kurang bijak. Apalagi penggambaran ibu menampar wajah Amy. Saya banyak mengenal keluarga muslim konservatif, tapi untuk memukul anak di wajah; rasanya digambarkan terlalu berlebihan. Alangkah lebih baik bila dimunculkan perdebatan-perdebantan sengi tantara ibu-anak khas keluarga pada umumnya.
  2. Pilihan tarian. Amy dan teman-teman perempuannya Angelica, Coumba,  Jess, Yasmine, membentuk grup The Cuties untuk kontes menari. Dunia musik dan menari memang dekat dengan anak muda, terutama anak-anak seperti Amy dkk yang beralih dari kanak ke remaja. Tapi tarian twerking? Dengan kostum mini sangat ketat – hotpants dan croptop? Baiklah, kita ingin menampilkan anak gadis di tengah keluarga muslim yang memberontak terhadap nilai yang belum dipahaminya sebagai jalan hidup. Sutradara bisa memilihkan tarian yang lebih “sopan” , dinamis, atraktif untuk anak-anak usia 11 tahun seperti Amy dkk.

Melihat Amy dan teman-teman gadis kecilnya melakukan tarian ala orang dewasa, rasanya risih sekali. Jika dalam kontes menari, Amy dkk ditampilkan mementaskan tarian yang lebih anak-anak dengan kostum yang lebih sesuai untuk usia mereka; maka film ini lebih layak untuk ditonton.

3. Benturan budaya. Islam dan modern dibenturkan sedemikian jeleknya. Tentu, banyak reviewers film yang membela dan sebaliknya, banyak youtubers yang menghujat Cuties. Adegan Amy harus mengenakan busana panjang untuk pesta pernikahan ayahnya yang akan menikah untuk kedua kali ; benar-benar tampak tak manusiawi! Seolah dunia menari twerking dengan kostum pendek itu jauh lebih manusiawi bagi kondisi psikologis Amy dibandingkan dia harus jadi pengiring pengantin untuk pernikahan ayahnya yang kedua! Tidak adakah setting lain yang bisa dipilih? Misal, ayah dan ibu Amy yang hidup sangat sederhana sebagai imigran Senegal di Perancis; sulit untuk membiayai les menari, mendaftar kontes dan menyewa kostum. Uang itu kalaupun ada lebih baik untuk tabungan kuliah Amy kelak.

4. Gambaran keluarga. Kenapa harus keluarga muslim yang menjadi deskripsi keluarga Amy? Tampilkan saja keluarga pada umumnya, tak peduli Jewish or Christian.  Kita akan melihat respon keluarga-keluarga di dunia. Apakah setiap keluarga modern akan mengizinkan anak seusia Amy, 11 tahun , menari dengan gerakan twerking di depan orang dewasa dengan kostum seperti itu? Sangat disayangkan bahwa penulis dan sutradaranya sendiri adalah Maimouna Deocoure yang seharusnya membawa pesan positif yang universal terkait kehidupan kaum muslimin.

5. Rating. Film Cuties kategori TV- MA (mature accompanied/ mature audiences). Berarti untuk orang dewasa, tapi pemainnya anak-anak 11 tahun dengan konstum dan tarian dewasa! Beberapa kritikus dengan pedas menyatakan bahwa film itu mengajak pada sebuah orientasi seksual yang menjadikan anak-anak sebagai pemuas nafsu.

Saya pikir, wajar bila dunia marah terhadap film ini. Sebetulnya, wajar saja banyak gadis kecil yang berpikir & bermimpi , “hei, seperti apa sih rasanya jadi perempuan dewasa?” Mereka membayangkan dalam gaun, kosmetik, sepatu ala orang dewasa. Tapi seorang sineas harus mampu memilah mana yang pikiran, perasaan, perilaku yang harus dimunculkan ke layar lebar. Film akan membawa banyak pengaruh bagi penontonnya.

Bahkan negeri-negara penganut liberalism sekulerisme sendiri merasa jengah terhadap film yang menampilkan gadis cilik dengan kostum ‘sangat terbuka’ dengan tarian yang lebih pantas diperagakan oleh dan untuk orang dewasa. Apalagi keluarga muslim, rasanya perlu ambil suara.

Kalau film ini ditujukan untuk anak-anak, aneh saja adegan dan dialog yang dimunculkan.

Kalau film ini ditujukan untuk dewasa, aneh saja dengan pemainnya yang masih anak-anak dan beradegan demikian.

Beberapa petisi sudah diunggah untuk meminta film ini turun dari layar Netflix. Anda berminat ikut?

https://www.change.org/p/parents-of-young-children-petition-to-remove-cuties-from-netflix/psf/promote_or_share

Kategori
Game Musik My family Oase Remaja. Teenager Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Orangtua Belajar Game : dari PUBG sampai Alan Walker

 

“Ummi coba nonton K/DA popstar, opening ceremony dari League of Legends,” saran putriku, ketika aku bilang malas belajar game.

Sebagai orangtua dan psikolog, mau tak mau aku harus belajar apa yang menjadi hobi, perhatian, kesukaan dari subyek klienku yang didominasi remaja dan orangtua yang mengeluhkan kondisi anak-anak mereka. Membahas dunia anak muda membuatku dapat ‘masuk’ lebih dalam ke inti permasalahan. Misal, konflik harapan akademis orangtua VS anak dapat diredam ketika aku berdiskusi menggunakan cara-cara Rap Mon alias Kim Nan Joon (BTS) merayu mamanya.

K/DA Popstars  dan  Rap Mon (BTS)

Mendalami music dan film, bagiku tak masalah karena dulu sewaktu remaja akupun menyukai dunia ini. Awalnya susah sekali menghafal nama artis, label manajemen, judul lagu, nama fanbase artis Korea dan K-Pop. Bukan hanya karena nama-nama yang masih asing, tapi juga kultur Korea yang sangat berbeda dibanding ketika dulu aku menggandrungi Westlife atau Backstreet Boys.

Game?

Orangtua banyak mengeluhkan keterkaitan anak dengan dunia ini. Aku merasa : “ah, sudahlah. Nggak perlu belajar game dan seluk beluknya. Dirujuk ke psikolog lain aja kalau nggak cocok. Malas.”

Dasarnya emang nggak suka game, selain Candy Crush dan Luxor (kata anak-anakku : itu bukan game!)

Tapi sudut pandangku mulai berubah ketika sekitar berbulan-bulan lalu putriku mengkoreksiku masalah perkembangan game yang harus diketahui psikolog, terlebih sebagai orangtua. Dan aku terkesima melihat K/DA popstar edisi opening ceremony.

Bukan hanya karena lagu itu dibawakan Madison Beer, Jaira Burns serta anggota (G)-idle yang sedang tenar seperti Miyeon dan Soyeon; tetapi juga karena lagunya yang nge-beat banget, easy listening dan…edisi spektakuler megah  perpaduan entertaintment serta teknologi. Di opening ceremony tersebut, nyaris tak bisa di bedakan 4 penyanyi asli dengan tokoh LOL Akali – Ahri – Kai’sa –Evelynn versi 4 dimensi. Mana manusia, mana animasi benar-benar berbaur jadi satu.

Sejak menonton K/DA popstar opening ceremony, pandanganku terhadap game berubah.

Orangtua tak bisa memandang sebelah mata permainan ini, kita harus belajar agar benar-benar memahami dunia anak, dapat mengevaluasi dan mengontrolnya.

PUBG dan Alan Walker

Tetap saja aku nggak mahir main game. Tapi mulai tahu sedikit-sedikit yang disukai anak-anakku meski mereka bukan gamer sejati. Oh ini yang namanya Skyrim, oh ini Mobile Legend, Seven Knights, Honkai Impact 3rd dan tentu saja PUBG (playerunknown’s battleground).

 

Skyrim dan Seven Knights

“Skyrim bagus lho,Mi, ada unsur sejarahnya,” kata putriku.

Awal aku melihat PUBG langsung pikiranku berkata, “emang pantes disukai anak-anak. Dinamis, energik, memacu adrenalin. Anak jadi merasa berada di dunia yang sangat aktif. Sebuah dunia yang sekarang jarang disentuh.”

Ya.

Mana ada anak main lari-larian sambil bawa senapan pak-pak dor seperti kami dulu di masa kecil. Dunia perang-perangan, benteng-bentengan, hide and seek. Apa yang tidak ada di dunia nyata, sekarang dipindahkan ke dunia maya. Main sembunyi-sembunyian, perang-perangan, mempertahankan wilayah. Bedanya, kalau dulu dimainkan anak-anak; sekarang divisualisasikan dewasa. Dan tahu sendiri ‘kan, mainan orang dewasa? Adegan kekerasannya lebih terasa, senapannya bukan kayu tapi visual senjata senapan mesin.

PUBG-Feature-640x353.jpg
PUBG

PUBG sebetulnya tidak sesadis Resident Evil yang penuh adegan darah.

Tapi menurutku, PUBG tidak cocok dimainkan anak-anak dan remaja.

Kill 1, kill 2, kill 3.

Setiap kali berhasil menembak orang; ada laporan jumlah sasaran. Bagiku, memang ini menjadi addiction tersendiri. Kalau sudah bunuh 10, pingin nambah jadi 20, dst. Tidak ada daran mengalir dan organ tubuh zombie terkoyak yang mengerikan menjijikkan seperti Resident Evil, tetap saja, semangat untuk membunuh itu yang membahayakan.

Tetapi, sebelum melarang, orangtua perlu tahu dulu.

“PUBG menurutku biasa aja,” kata anak cowokku.

“Kamu gak pingin main?”

“Nggak. Aku nggak suka tipe itu.”

“Tapi temanku biasa main,” kata anak cewekku. “Biasa aja.”

Karena aku sudah tahu sedikit, aku bisa berkomentar,” nggak sih. Menurut Ummi gak biasa. Meski gak ada adegan sadisnya, permainan itu mengarahkan membunuh musuh sebanyak-banyaknya. Bahkan yang sudah merangkak tak berdaya, harus dipastikan ditembak supaya mati dan dapat skor. Membunuh, tanpa tahu kesalahannya apa, kan nggak bagus?”

 

Alan Walker?

Nah, kalau kita sudah belajar game, akan berkembang ke dunia sekelilingnya. League of Legends punya lagu khas banget, yang membuat pemainnya merasa jadi hero. Nge-beat, buat bergairah.

PUBG apalagi.

Soundtrack PUBG dibawakan sangat apik oleh DJ Alan Walker dengan lagu-lagu yang punya pesan-pesan tertentu. Untuk PUBG, lagu On My Way yang dibawakan Sabrina Carpenter, Farruko, Alan Walker ini sempat menjadi trending topic nomer 1 di youtube. Fans lagu membuat beberapa versi fanmade seperti Ignite (Alan Walker, Julie Bergan, Seungri) untuk PUBG juga. Bisa dibayangkan, kalau sedang main PUBG, diiringi On My Way dan Ignite, serasa jadi pahlawan masa kini yang dinamis, energik, super keren!

On My WayOn My Way dan Ignite karya Alan Walker

            Lagi-lagi, orangtua perlu belajar tahu siapa DJ tenar dunia seperti Chainsmoker, Zedd, dan tentunya Alan Walker. Khusus Alan Walker, nanti perlu dikupas tersendiri terkait lagu-lagunya dari tema psikologis. Sebagai DJ dengan sosok misterius yang sering menggunakan topeng; followers DJ Walkzz atau Alan Walker ini luarbiasa banyaknya.

Sebagai emak-emak pengamat music, aku sendiri sangat tertarik mempelajari Alan Walker. Siapa dia? Kenapa lagu-lagunya sangat bagus dan enak didengar? Sangat bagus di sini dalam pengertian musiknya ya, bukan isi esensinya. Sebab esensi dari lirik lagu Alan Walker punya sisi darkside yang harus diwaspadai siapa saja.

Sejak kemunculan Faded-nya Alan Walker, aku memang penasaran.

Banyak sekali artis yang one hit wonder. Tapi Alan Walker, di usia 21 tahun sudah mengeluarkan lagu-lagu yang unik dan pasti digemari anak muda : Fade, Sing Me to Sleep, Different World, All Falls Down, Lily, Ignite dan tentunya, On My Way. Semuanya laris manis di pasaran.

On My Way Alan Walker.jpg
Alan Walker yang misterius 

Jadi, pantas saja anak muda gemar PUBG apalagi bila diiringi lagu-lagu Alan Walker.

Permainan ini diharamkan di beberapa wilayah, meski Arab Saudi malah menggelar perhelatan PUBG. Sebagai orangtua, kita harus sangat berhati-hati terhadap paparan teknologi dan informasi yang mengepung anak-anak kita. Belajarlah, bangun komunikasi, dan tunjukkan; sisi mana dari PUBG ini yang berbahaya. Menjalin komunikasi dengan anak akan membantunya mengerti dan membuat imunitasnya berkembang secara alamiah. Memang, kadang kita enggan mempelajari kesukaan anak. Akupun awalnya tak terlalu suka K-Pop, apalagi game. Kalau drama dan film Korea, suka-suka aja karena banyak yang bagus. Tapi karena anak-anakku dekat dengan dunia ini, mau tak mau harus mempelajarinya. Setelah mempelajarinya, kita akan tahu mau ‘masuk’ dari sisi yang mana.

 

 

Kategori
Film mother's corner My family Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Remaja. Teenager RESENSI WRITING. SHARING.

Film Searching : Ketika Sebagian Temanmu di Media Sosial Jahat & Opportunist!

 

“Ummi harus nonton!” anakku mengirim teks. “Aku udah nonton sama temanku di Yogya.”

“Yah…kalau film begitu, Ummi gak ada temannya buat ke bioskop.”

“Ummi harus ajak Abah dan adik-adik buat nonton. Bagus banget! Gimana tentang dunia maya saat ini. Gimana orangtua harus belajar.”

Aku penasaran banget. Film-film psikologis memang sengaja kutonton untuk memberikan pelajaran visual, minimal untukku pribadi seperti film Split yang dibintangi James Mac Avoy. Split hanya kuunduh dari youtube. Tapi begitu lihat trailernya, kurasa Searching adalah film yang harus kutonton sekeluarga dan aku harus mendorong orang menonton film ini juga.

 

 

Searching

Membagi Kebahagiaan di Media Sosial

Apa kita sering membagi pengalaman manis di medsos? FB, IG, twitter, dst? Ya. Makan, jalan-jalan, apalagi kalau mencapai prestasi. Pasti akan diunggah. Begitupun keluarga David Kim yang senantiasa mengunggah kisah bahagianya. Cerita dimulai ketika David Kim mengunggah foto-foto bahagianya bersama Pam, istri tercintanya yang cantik dan baik. Apalagi ketika hadir anak perempuan mereka, Margot, maka nyaris semua kehidupan Margo dibagi ke medsos. Lahirnya, ultahnya, sekolahnya sampai les-lesnya. Sejak Margot bayi lho, kisahnya sudah menghuni media social! Sah-sah saja kan?

Termasuk, ketika David Kim harus menghadapi kenyataan pahit : Pam menderita kanker lymphoma dan akhirnya meninggal.

Pembukaan kisah ini begitu sedih. Rasanya berterima kasih sekali kepada media social, seperti facebook karena menjadi alat yang dapat menyimpan semua informasi dan memori terindah ktia.

 

Apakah followers itu teman sejati?

Konflik mulai muncul ketika Margot tiba-tiba menghilang. David kehilangan jejak ketika tiba-tiba Margot yang mengaku kerja kelompok Biologi, tidak pulang ke rumah. Awalnya, orang-orang menyangka hanya sekedar kenakalan biasa. Yah, namanya remaja. Pingin bolos, pingin hang out ke mana, gitu. Atau diam-diam punya pacar yang nggak direstui orangtua.

Perbincanga-perbincangan David dengan Peter, adiknya, membuat kita sebagai orangtua merenung.

“Kamu sudah kontak semua teman-temannya?” tanya Peter.

“Aku sudah kontak semua temannya di facebook!”

“Coba cari teman off-linenya,” saran Peter. Maksudnya, teman yang bukan dari teman dunia maya.

“Aku nggak tahu,” jawab David jujur.

“Yah, kalau kamu saja sebagai ayahnya nggak tahu, who would?” sahut Peter.

Menampar banget.

Who would?

Kalau ayah ibunya aja nggak punya kontak teman-teman off line sang anak, lalu mau mengharap siapa?

searching filmsearching film

Teman Medsos Kadang Jahatnya Minta Ampun!

Ketika David menelepon satu-satu , -bayangkan : teman facebook yang ratusan !- untuk mencari keberadaan anaknya; mulai terkuat sedikti demi sedikit misteri. Nggak ada satupun yang mengaku sebagai teman Margot. Termasuk Isaac, yang ibunya merupakan sahabat baik David dan Kim. Semua mengaku begini.

“Kami nggak terlalu dekat,” jawab teman Margot (lupa namanya) cewek negro yang cantik.

“Soalnya papa mama kami kan teman dekat kamu, Mr Kim.”

“Margot selalu makan siang sendiri.”

David yang nge-blank bertanya dengan pertanyaan ala ortu : tapi kan kalian ngajak Margot belajar kerkel? Ngajak dia jalan-jalan?

“Errrg, tapi kami bukan teman dekatnya.”

Whattt???

Kepanikan David mulai memuncak. Film ini juga mengetengahkan adegan-adegan lucu ketika David nggak tahu apa itu tumblr (dia mengetik searching : tumbler), apa itu YouCast.

Yang buat nyesek banget dan ini bukan yang terjadi di tengah-tengah kita :

Ketika Margot dikabarkan menghilang dan diperkirakan meninggal, teman-temannya mengunggah berita-berita yang jauh dari ekspetasi :

  • Youtuber negro cantik ngaku bukan temannya  mengatakan : “aku ini sahabat dekatnya.” Langsung menuai ribuan views.
  • Aku ini menjadi relawan, kata temannya yang lain.
  • Pray for margot, ayo galang dana!
  • dll

Teman-teman Margo yang nggak mengaku satupun sebagai teman baiknya, tetiba ngaku-ngaku jadi teman baik dan mengunggah status mereka di medsos agar mendapat like dan view banyak berikut dapat duit!

Belum lagi, berita David mencari Margot banyak diunggah ke medsos oleh para relawan yang mencari Margot, baik berupa video atau foto. Dan captionnya, ampun. Bukannya simpati, yang nggak tahu permasalahan malah mengatakan : yah, pasti keluarganya berantakan. Semua berawal dari rumah. Bahkan muncul hashtag  #dadfail. Foto David beredar sebagai foto yang cute tapi jahat. Malah ada orang yang mulai sinis, ngapain juga capek-capek jadi relawan?

Bisakah kita bayangkan perasaan orangtua seperti David?

Pantas saja kemudian David jadi hilang kendali dan memukul seorang pemuda yang diduga menghabisi Margot.

 

Kemana Margo?

Margo diduga jadi prostitutee. Margo diduga jualan narkoba. Margo diduga melarikan diri. Margo diduga terlibat perdagangan illegal. Semua prasangka buruk muncul.

Manisnya, ketika semua orang sudah menyerah bahkan ungkapan belasungkawa muncul, insting David sebagai seorang ayah muncul saat mengenal dari Youcast teman ngobrol Margo bernama fish_n_chip.

Lalu?

Anda sepertinya harus nonton bersama keluarga.

Apa yang menyebabkan Margo dalam bahaya , adalah karena fish_n_chip tahu semua (catat : semua) informasi tentang Margo termasuk  ibunya yang sakit lymphoma. Fish_n_chip mampu menjebak Margo beradasar semua informasi sambung menyambung yang didapatnya dari medsos.

 

 

 

Kategori
Jurnal Harian My family Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY WRITING. SHARING.

Asyik Punya Anak Banyak, atau Anak Sedikit?

 

“Hah? Anakmu 4?”

Dosen saya terbelalak. Beliau tak percaya saya bisa punya anak banyak. Maklum, badan saya kecil mungil.  Waktu melihat ekspresi beliau yang seperti itu, sebetulnya saya ingin terus bilang : “aslinya saya ingin punya anak 6 atau 12 lho, Pak.”

 

Waktu putri sulung saya sekolah di SMP Negeri, dia juga sering menerima ungkapan terkejut dari teman-temannya.

“Hah, Adikmu 3? Banyak bangettt?”

“Padahal temanku ada yang bersaudara 9 ya, Mi, hahaha,” si Sulung tertawa.

“Coba dosen Ummi tau ada orang seperti Ustadzah Yoyoh Yusroh yang putranya 13,” sahutku pula.

moslem family
Happy moslem family!

Anak Sedikit : Pengeluaran Tak Banyak

Orang memilih punya anak 1 atau 2, dengan beberapa alasan. Ada yang alasannya kesehatan. Ada yang alasannya keuangan. Yang alasannya kesehatan; biasanya karena si ibu tak mampu melahirkan banyak. Bolak balik caesar. Yang pertimbangan keuangan, biasanya mengatakan ,

“Yah…tau sendirilah. Berapa harga susu. Berapa biaya sekolah. Berapa biaya anak sakit. Bukannya tak percaya rizqi Allah, tapi sebagai manusia kita juga harus usaha. Kalau puunya anak banyak tapi orang tua nggak mampu memberikan pendidikan dan kesehatan yang layak, akhirnya mereka tidak akan menjadi asset yang  baik juga.”

Begitulah kira-kira.

Saya tak menyalahkan pendapat ini.

Sebab, memang dalam kenyatannya, ada teman-teman yang beranak banyak sudah berjuang sekuat kemampuan untuk memberikan pendidikan dan kesehatan yang layak pada anak-anak. Namun, karena situasi ekonomi dan kebijakan pemerintah  tidak berpihak pada keluarga beranak banyak, akhirnya beban ekonomi dipikul hanya oleh keluarga yang bersangkutan.

 

Anak Banyak : Asset Keluarga dan Negara

Bagaimana dengan orang yang memilih beranak banyak?

Saya salah satunya. Alasannya klise : saya suka keluarga yang ramai, mengingatk keluarga saya dulu hanya 3 bersaudara. Saya punya abang 1, adik 1. Rasanya kok sepiiii kalau semua sudah sekolah dan pulang sekolah. Saya sering keluar mencari teman bermain, tetangga-tetangga sekitar. Saya iri waktu kecil, ada tetangga depan rumah yang punya anak 5. Sebel banget, kalau saya berantem dengan anak tetangga yang seusia; maka kakak-kakaknya akan membela dia sementara saya hanya seorang diri menghadapai konspirasi!  #Jiaaah

Saya bertekad : awas ya, bseok saya mau punya anak banyak! Hehehe.

Menikah, awalnya saya ingin punya anak banyak.

Apalah daya, anak pertama keguguran. Alhamdulillah, anak-anak yang berikut muncul. Hanya saja, kesehatan saya sepertinya kurang menunjang hingga ketika kehamilan ke-5, dokter memutuskan agar saya tidak lagi mengandung.

Lalu apa rasanya punya anak 4?

Heroik bangettt laaah.

Inayah, ayyasy, ahmad, nis.jpg
4 anak kecil yang lucu dan heboh!

Sepeda Motor 1

Waktu itu satu-satunya kendaraan hanya sepeda motor. Maklum, suami menempuh studi D4 di Jakarta saat saya hamil anak ke-4. Jadi kalau keluar rumah, suami yang nyetir motor. Saya di belakang. Si sulung dan nomer dua di depan, saya memangku anak ketiga sembari hamil. Untung waktu itu badan suami dan saya masih kurus-kurus, jadi cukup aja motor kecil begitu heheheh.

Punya anak-anak kecil 4 itu antara nangis dan tertawa, bahagia dan jengkel.

Si sulung masih kecil saya titipi sebentar adiknya untuk belanja ke warung sayur. Kalau bawa anak 3 kebayang deh repotnya. Jadi saya titipi dia dengan adiknya. Pulang-pulang heboh.

“Ummiiiii…akuu digigit Mbaaak!” si adek nangis kekejer.

Yah, perebutan barang mainan atau makanan kecil. Si sulung gemes karena adiknya tak mau berbagi, lalu ia menggigit tangannya!

 

Banyak Insiden Menakjubkan

Punya anak 4 itu rempong. Anak 3 masih belum terasa capeknya, tapi 4? Itu benar-benar menguras tenaga. Maka kita harus bisa berbagi tugas dengan suami dan anak-anak. Dan berbagi tugas itu tidak selamanya mulus, sebab terkadang, malah justru semakin menambah ruwet!

“Mbak, tolong adik dimandikan ya,” aku minta si sulung memandikan si bungsu. Sama-sama cewek.

3 menit. 5 menit. 7 menit. 15 menit.

Kupikir main air, main sabun, atau main apalah.

Tahu-tahu!

Si bungsu yang saat itu masih sekitar usia 5 tahun, keluar cengar cengir. Pakai handuk. Si Sulung juga terlihat antara gugup dan tertawa.

“Kenapa?” tanyaku melihat mereka berdua.

“Ini gimana cara melepasnya, Mi?” si Sulung bertanya.

Aku menatap takjub pada rambut si bungsu yang terurai panjang. Ia memang anak cewek yang feminin, memelihara rambut panjang ketika itu. Si sulung mengeramasinya, lalu si bungsu menyisir rambut panjangya di kamar mandi. Rupanya, ia menyisir tak sampai ujung rambut bawah, sudah dikembalikan lagi ke ubun-ubun. 3x diulangi, sisir itu nyangkut,ruwet, uwel-uwelan di pangkal rambut! Kalau di ujung rambut, bisa dipotong saja. Tapi ini di pangkal? Mau dibotakin?

Hari yang sudah full akhirnya bertambah padat dengan upacara melepaskan sisir dari rambut. Kupotong dengan pisau yang dibakar api, kupatahkan kecil-kecil, tetap saja bundel semrawut gak karuan. Akhirnya, rambut si adek terpotong juga…

Si sulung memang suka bereksperimen dengan rambut. Sebelumnya, rambut adik laki-lakinya dipotong seperti di salon; hingga seperti keset . Panjang, pendek, botak tak beraturan.

Alhamdulillah… insiden-insiden yang terjadi tak sampai menimbulkan kecelakaan. Tapi aku sebagai ibu harus ngelus dada, sport jantung, siap waspada ketika salah seorang anak berteriak.

“Miiii!!”

Rasanya jantung ini melorot ke kandung kemih.

Alhamdulillah, bila anak mulai besar

 

Berbagi, Berdiskusi, Cari Uang Sendiri

Kata orang-orang tua, punya anak banyak itu repot pas kecil. Senang pas besar.

Saat anak-anak sudah mulai masuk sekolah usia SD, aku mulai merasakan senangnya punya anak banyak. Mereka dapat disuruh ke warung, buang sampah, membantu mencuci, menyapu dan saling menjaga satu sama lain. Semakin dewasa, saat usia SMP dan SMA; mereka mulai dapat diajak berdiskusi tentang segala sesuatu. Bahkan, mereka seringkali membagi cerita lucu yang membuatku dan suamiku tertawa terbahak. Kadang mereka mengkritik kami.

lukas graham.jpg
Lukas Graham

“Ummi harus dengan lagu Lukas Graham 7 years Old,” kata si Sulung, “Itu bagus banget, cara orangtua mendidik anaknya. Ummi juga harus lihat serial Ted di youtube, ada serial-serial tentang orangtua muslim mendidik anaknya di Eropa. Atau bagaimana cewek mempertahankan hijabnya.”

Si kecil pun sudah mulai berdakwah kepada orangtuanya, “Ummi kurang dengung tuh, baca Qurannya.”

Keempat anak kami, kadang kami minta untuk mengoreksi hafalan orangtuanya.

Apalagi ketika anak-anak mulai berprestasi dan menang lomba; mereka bisa punya uang sendiri.

Rasanya terharu sekali ketika mereka memberikan uang itu ke kami.

“Uang ini dipakai Ummi aja.”

“Ummi pinjam ya?” tanyaku.

“Nggak ussah pinjam, Mi. Buat Ummi aja. Aku juga sudah hutang hidup sama Ummi.”

Duh, kalau sudah begini terharu rasanyaaa.

Kalau ayah dan bunda dan adik-adik yang sudah (siap) menikah; pilih anak banyak atau anak sedikit?

 

 

Moslem family http://www.manchestereveningnews.co.uk/business/business-news/muslim-cleric-tortured-in-libya-for-months-874486

Lukas graham https://www.livenation.com/artists/98423/lukas-graham

Kategori
Jurnal Harian mother's corner My family Oase WRITING. SHARING.

Hari –hari Pertama Berpisah dari Anak : masuk sekolah, mondok di pesantren, berpisah kota karena kuliah

 

Awal si sulung kuliah di kota lain, rasanyaaaa!

Anak cewek, belum terlalu mandiri, punya sakit maag. Melihat kos-kosannya yang minim fasilitas, mau nangis aja rasanya. Saya dulu pernah kos di Jakarta, pergi sendiri bareng teman-teman. Mengalami pahit getir jauh dari orangtua. Pernah nangis juga karena sakit, nggak punya uang, berentem sama teman…hehehe, romansa anak kos-lah. Tapi ketika yang mengalami anak sendiri, kok beda rasanya.

Kos anakku lumayan murah. Aksesnya juga mudah.

Tapi belum ada kasur (ya iyalah). Kulkas, kompor gas, mesin cuci, dispenser; gak tersedia. Aku bayangkan anakku sakit maag yang butuh minuman hangat; pasti sulit sekali buat dia untuk sekedar buat teh panas. Dia cewek tangguh, tapi sekalinya sakit karena datang bulan atau demam flu, bisa buat kelabakan ayah ibunya.

Yah, gimana lagi?

Dia pingin sekali kuliah di bidang sosial. Waktu mau masuk Geografi, ayahnya bilang : Jangan! Musliimah gak cocok disana. Kerja lapangannya di gua-gua berair. Gimana nanti pakai jilbab dan menelusuri daerah seperti itu? Bla-bla-bla. Okelah. Aku manut. Kukatakan pada putriku, jangan masuk kuliah yang kerja lapangannya dan kerja betulannya kelak; berbahaya bagi fisiknya. Maka ia memilih psikologi dan diterima di UGM. Alhamdulillah…kami bersyukur sebab ia diterima di fakultas yang diinginkannya.

Ayah yang belum bisa melepas anak lelakinya foto 1, foto 2

Maunya, Full Fasilitas!

Si bungsu Nis, saat kecil ruarrrr biasa lincah.

Hoby nyanyi, gambar, naik-naik pohon. Pindah ke Surabaya, mengalami gegar budaya dan gegar sekolah. Mau sih masuk sekolah, tapi sakarepe dhewe. Awal aku meninggalkan dia sekolah di TK, rasanya sedih dan gimanaaa gitu. Dia dibiarkan main sendiri di luar, main pasir sendiri dan naik-naik apapun yang dia suka. Sementara teman-temannya main di sentra keilmuan dan berbaris rapi. Sempat berpikir, mengapa bu guru nggak peduli sama Nis?

Tapi setelah kukonsultasikan, Nis memang sengaja dibiarkan pagi hari menghabiskan energi di luar agar ketika masuk kelas sudah dengan kapastias energi yang tidak overloaded lagi. Ah, si kecil yang masih kutimang-timang, kugendong, kuciumi; sekarang sudah harus masuk sekolah dan menghadapi guru-guru serta teman-teman yang mungkin sebagian menjadi sahabatnya. Sebagian menjadi rivalnya. Sebagian menjadi musuhnya.

Hari-hari pertama anakku sekolah di sekolah negeri….rasanyaaaa!

Aku khwatir ia terjebak narkoba, pornografi, pergaulan bebas, tawuran, bolos, keluyurankemana-mana. Maklum, bertahuan-tahun sekolah Islam yang lumayan ketat pengawasannya dengan kurikulum agama terpadu sejak pagi hingga pulang . Nanti gimana kalau tiba-tiba aku diberi laporan yang tidak-tidak terkait anakku? Bagaimana bila ia nggak bisa menolak ajakan buruk temannya? Bagaimana kalau ia difitnah, diperangkap , dikucilkan dan lain-lain?

Ahya.

Inilah realita dunia yang cepat atau lambat harus dihadapi anak-anak.

Dunia bukan hanya lapangan seluas rumah kita, dengan perlindungan dan kasih sayang di setiap ujungnya. Ada penghangat, ada pendingin, ada tempat bertelekan empuk dan segala fasilitas yang mudah diminta. Mereka harus tahu bahwa dunia sesekali keras, kejam, diluar batas, dan mengejutkan.

ibu dan putrinya.jpg
Sedih & bahagia!

Si sulung mulai terbiasa minim fasilitas, mengatur keuangan dan mengatur pola kehidupannya. Sekali ia pernah  masuk rumah sakit karena demam berdarah dan harus mondok di RS PKU di daerah Gamping Sleman. Ia juga bilang kadang-kadang kalau uang menipis, harus berhemat uang.

“Untung Yogya murah-murah, Mi. Nyari warung yang makannya 4000 rupiah masih ada. Nyari laundry yang baru sebulan kemudian diambil dan dibayar, ada. Nyari burjo, yang jual kacang ijo dan mie rebus dengan harga murah, ada. Sampai nyari fotokopi dan internet buat ngeprint murah meriah ada.”

Termasuk nyari wifi ngratis. Dimana mahasiswa cuma beli es teh tapi ngendon jam-jaman buat download jurnal serta you tube-an. Hahahah.

Anakku yang sekolah di negeri juga mulai terbiasa. Ada banyak kisah mengharukan, menggemaskan, dan membuat rasa campur aduk.

Ghasab salah satunya.

“Ummi kan tahu,” kenang si sulung. “Waktu di sekolah dulu, kita diajarkan untuk izin pada orang lain kalau mau pinjam barang. Kalau nggak ghasab namanya. Nah, aku pernah bilang ke guru kalau pensil sama penggarisku hilang, seringkali diambil teman tanpa izin. Ketika kau lapor malah ditegur – kamu kok pelit banget?”

Hah?

Ketika anak kita belajar di sekolah  Islam, iman dan akhlaq menjadi tolok ukur utama : sholat, meminta izin, hormat pada guru, tidak mengambil barang orang lain. Di sekolah negeri yang basis keIslamannya tak terlalu kuat; hal-hal tersebut seringkali diabaikan.

Pernah, anakku mengingatkan temannya untuk sholat Jumat karena di sekolah Islam, saling mengiangatkan adalah hal biasa. Juga teman-teman bersikap positif ketika diingatkan. Maklum, sudah menjadi kebiasaan sekolah Islam untuk watawa shoubil haq, watawa shoubis shabr.

“Cerewet kamu! Banyak bacot!”

Tapi itu yang diterima anakku, dari teman-temannya.

Melihat itu, anak-anakku mulai belajar. Bahwa berada di likungkungan Islami dan sekolah negeri, ada gaya pendekatan berbeda ketika menyampaikan pesan.

 

1001 strategi orangtua

Berpisah dari orangtua pasti banyak pengalaman baru.  Banyak masalah unik yang muncul, yang tadinya tidak terpikirkan. Orangtua pasti harus berpikir keras untuk menyelesaikan masalah yang ada, tanpa menimbulkan masalah baru.

 

sick girl
Rawat inap di RS

  1. Kesehatan. Masing-masing anak kita punya identitas kesehatan berbeda. Ketika si sulung yang punya maag berpisah dari kami, aku belikan termos kecil yang bisa dibawanya kemana-mana dan dapat diisi air panas. Sewaktu-waktu maagnya kumat, ia bisa meneguk air hangat. Awal –awal kuliah; aku mengirimkan makanan kering sebagai stok seperti susu, milo, coklat, energen dan sejenisnya termasuk kue-kue kecil. Ketika ia sudah mulai mengenal lingkungan sekitar; ia bisa menyiapkan makanan sendiri.

 

  1. Relasi dengan orang di sekeliling anak. Guru-guru, teman-teman sekolah, orangtua teman, teman satu kos; haruslah dikenali orangtua. Walaupun tidak dapat menjalin relasi akrab dengan semua pihak; setidaknya jalin hubungan dekat dengan beberapa orang. Aku punya nomer kontak guru sekolah dan teman kos anakku.

Kadang ketika tidak bisa dihubungi aku bertanya :

“Ustadzah, anak saya dimana ya?”

“Mbak Shalihah, si sulung kok nggak bisa dihubungi dari kemarin ya?”

Dengan punya kontak mereka, kita dapat segera mengevaluasi bila sewaktu-waktu terjadi hal-hal diluar kendali. Sakit misalnya.

 

  1. Selain telepon seluler, telepon rumah, media sosial dapat menjadi sarana komunikasi. Instagram, line, whatsapp, facebook dapat menjadi sarana orangtua melacak jejak anaknya.

Aku pernah curiga dengan anak cowokku : kemana dia? Benarkah dia kuliah?

Maka aku cek instagramnya dan alhamdulillah…ia tengah mengerjakan tugas bersama teman-temannya. Sedang cek lokasi lapangan.

teens-are-hiding-their-real-lives-from-nosey-parents-with-fake-instagram-accounts.jpg
Memantau anak  di IG, FB

Saling berteman dengan anak kita di facebook, line dan instagram bisa jadi sarana positif dan negatif. Hahaha

Anakkua pernah ngeshare sebuah meme :

“Akhir dunia! Ibuku punya instagram!”

Aku tertawa, “jadi kamu ngerasa Ummi mata-matai ya lewat instagram?”

Anakku cuma meringis. Mungkin ia merasa dimata-matai tapi bukan itu saja perilaku yang kutunjukkan sebagai ibu yang memang melakukan pengawasan pada anak. Anakku suka menggambar, memposting gambar, membuat grafis berdasar wajah teman-temannya.

“Wah, pas ultah temanmu kamu buat grafis gambarnya sebagia hadiah ultang tahun ya? Ummi dibuatkan yang kayak gitu, dong.”

Media sosial bisa menjadi sarana kedekatan kita dengan anak-anak.

 

  1. Teman satu kos. Kakak tingkat, teman satu angkatan, teman satu daerah adalah orang-orang penting di sekeliling anak kita. Sebagai orangtua , menyimpan nomer HP mereka sangat penting untuk sarana berdiskusi berbagai masalah yang mungkin timbul. Tidak mustahil, anak kita yang masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan sekitar justru menjadi trouble maker atau pemicu masalah. Dengan mendekati pihak-pihak yang dekat dengan anak-anak dan menjelaskan duduk persoalan; orangtua dapat membantu . Tentu bukan mengambil alih tanggung jawab ya.

Misal, si sulung suka sekali berkunjung ke rumah neneknya yang juga ada di Yogya. Kalau lagi betah di rumah neneknya, ia bisa berhari-hari disana dan tidak kembali ke tempat kos. Tentu teman-temannya panik. Apalagi si sulung ini orang yang malas mengontak terlebih dahulu. Maka, aku jelaskan pada kakak pengampu kos bahwa ia ada di rumah neneknya dan pintu rumah kontrakan bisa dikunci ketika jam malam tiba.

Sembari tentu mengingatkan si sulung : “kamu itu mbok ya jangan malas mengontak orang. Ingat, keselamatan kita bisa tertolong karena dikenali orang. Pernah kan Ummi cerita, ada anak kecelakaan dan kebetulan tetangga kita lewat? Langung aja tetangga kita mengenali dan membawanya ke rumah sakit. Kalau bukan tetangga kita yang mengenalinya mungkin sudah fatal akibatnya karena orang sekarang biasanya gak berani ambil resiko; malah takut jadi tertuduh. Dengan kamu ngasih tahu orang-orang terdekat; kalau ada apa-apa (naudzubillah…bukan berharap hal buruk) misal kecopetan atau diserempet orang; teman-teman terdekat bisa tahu”.

Perhatikan latar belakang budaya dan keluarga dari teman satu kos anak kita.

Mungkin, anak kita akan berbenturan dengan satu dua orang; dengan penjelasan yang masuk akal insyaallah anak akan mencoba berbesar hati dan mengalah ketika terjadi friksi.

  1. Rumahsakit, BPJS, asuransi kesehatan. Ini pengalaman genting yang kubagikan agar orangtua segera tanggap ketika anak mereka sakit.

Aku dikabari oleh kakak kelas si sulung , teman satu kosnya : “Ummi, Arina demam tinggi”. Awalnya kupikir flu biasa tapi setelah diberi parasetamol dan nggak sembuh-sembuh, aku mulai curiga. Langsung kubeli tiket kereata dan berangkat ke Yogya. Disana, anakku sudah terkapar lemas sekali. Aku periksakan darahnya, aku periksakan ke dokter sepsialis; beberapa dokter sepsialis bilang gak ada yang membahayakan. Paling hanya infeksi. Tapi antibiotik dan obat penurun panas sudah gak mempan. Demam anakku tinggi sekali, ditambah ia sangat lemas dan tak doyan makan apapun. Sesaat sebelum kubawa ke Surabaya untuk penangan intensif, sekali lagi aku cek laborat. Hasilnya : positif DB dan haurs segera rawat inap

Saat itu bulan Ramadhan dan sekalipun aku orang Yogya, aku sudah lama tidak tinggal di Yogya. Aku tanya kesana kemari tentang rumah sakit Islam, gak dapat-dapat. Akhirnya aku dapat di RS PKU gamping. Karena trombosit anakku saat itu masih di atas 100, maka anakku gak boleh pakai BPJS. Akhirnya, ia rawat inap lewat jalur umum.

Aku salut ketika di rumah sakit di Yogya, banyak bertemu anak-anak muda yang tengah mengantarkan temannya untuk rawat jalan atau rawat inap, berbekal  BPJS. Anak-anak mahasiswa perantauan, ternyata saling bahu membahu ketika teman mereka sakit. Mereka antarkan ke rumah sakit, asalkan ada BPJS atau asuransi sehingga si teman pun tak kelabakan ketika ditanya pihak rumah sakit.

 

 

 

Kategori
da'wahku FLP FLP Kids FLP Wilayah Jawa Timur Kepenulisan Mancanegara Oase Remaja. Teenager Sastra Islam

Berapa Besar Sumbangsih FLP (Forum Lingkar Pena) bagi Indonesia?

 

 

22 Februari 2017, Forum Lingkar Pena tepat berusia 20 tahun.

flp

Organisasi ini di sebut Taufik Ismail sebagai  ‘anugerah Tuhan bagi bangsa Indonesia’, sebuah ucapan yang layak direnungkan dan dibanggakan bagi segenap anggota serta pengurus FLP di Indonesia maupun perwakilannya di luar negeri.  Dalam angka yang diakhiri dengan imbuhan –an ; anggota FLP mencapai ribuan bahkan belasan ribu dengan buku-buku yang juga mencapai ribuan sejak organisasi ini berdiri di tahun 1997. Jumlah pastinya, haruslah disesuaikan dengan dinamika serta arsip organisasi. Mengingat, menggabungkan anggota yang penuh daya imajinasi dan kreativitas lalu merapikannya dalam struktur organisasi bukannya perkara mudah.

Milad FLP 19, Yogya.JPG
Yogyakarta-Ulang tahun FLP ke 19, 2016

Memandang  konstelasi perbukuan dan dunia sastra, dimanakah letak FLP? Apakah penulis-penulis FLP merupakan seniman serta sastrawan yang berkualitas yang karyanya pantas dibanggakan mulai level lokal, nasional hingga internasional? Apakah karya-karya FLP layak menembus pasar global internasional dan menjadi karya sastra yang mewakili wajah Indonesia?

 

Keberagaman anggota FLP

Salah satu asset luarbiasa dari FLP adalah demikian penuh keragaman corak dari anggota yang tersebar di penjuru Indonesia serta di beberapa titik mancanegara. Usia SD-SMP dikelompokkan sebagai FLP kids, diatas itu bergabung menjadi anggota FLP regular. Setiap cabang dan wilayah punya kekhasan masing-masing yang disesuaikan dengan kultur setempat serta ketersediaan sumber daya. BPP FLP memantau wilayah-wilayah, memberikan masukan serta mengatur seluk beluk keorganisasian.

rohingya-2

FLP kids menampung anak-anak SD –SMP yang sangat menyukai dunia tulis menulis. Mengingat buku-buku karya penulis cilik sangat digemari di seantero Indonesia, penerbit sangat membutuhkan karya-karya bermutu. Lini PECI (penulis cilik Indonesia) dari penerbit  Indiva, KKPK (kecil-kecil punya karya) dari Mizan; adalah beberapa yang sangat giat menerbitkan karya para penulis cilik. Tentu, penerbit memiliki cara tersendiri dalam menyaring tulisan berkualitas yang disukai pasar; namun, FLP pun turut membantu menyuburkan semangat berkarya di kalangan anak-anak Indonesia.

FLP Jombang, FLP Padang, FLP Lampung

 

Bagi remaja, untuk usia SMA dan mahasiswa, FLP menjadi organisasi kepenulisan yang diperhitungkan. Betapa banyak orangtua yang menginginkan anaknya mengembangkan bakat minat dibidang kepenulisan, mengontak FLP pusat atau wilayah dan meminta narahubung dari FLP yang terdekat. Remaja-remaja ini yang memang memiliki hobby membaca pada awalnya, lama-lama ingin mengembangkan diri dengan menulis. Apalagi, pekerjaan menulis sekarang bukan hanya terbatas membuat buku, menerbitkan cerpen, menulis puisi. Penulis sekarang lebih berkembang lagi profesinya mencakup penulis scenario, blogger, penulis lagu, hingga penyedia konten dari media-media online. Remaja-remaja berbakat menemukan FLP sebagai salah satu wadah yang memahami kebutuan mereka, menjadi organisasi yang asyik dan seru untuk membahas seputar dunia sastra terkini. Bukan itu saja, dari ranah kepenulisan, bahasan yang didiskusikan di media sosial dapat berkembang mulai film, music hingga politik. Anak-anak muda di FLP belajar untuk menuliskan opini mereka sendiri, bukan hanya sekedar copy paste, potong-salin. Bukan hanya sekedar broadcast. Anak-anak muda di FLP berusaha menilai sesuatu dari sudut pandang pribadi, dari perenungan dan penafsiran versi sendiri.

Terkadang, di WAG atau whatsapp grup FLP timbul ketegangan ketika membahas politik. Namun uniknya, anak-anak muda ini berusaha untuk terus menajamkan tulisan dengan bersumber pada fakta dan data; serta mencoba untuk berargumentasi dengan tagline sastra santun. Apa yang kita pikirkan, apa yang kita rasakan, apa yang kita lakukan dan katakan serta tulisan; haruslah dengan kesantunan. Ketika menyerang satu pihak atau mengkritik satu golongan; tidaklah perlu menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Anak-anak muda di FLP tumbuh menjadi generasi yang suka membaca, suka menulis. Maka bila kita membaca tulisan mereka diblog atau facebook, terasa sekali bahwa penulis FLP membawa nuansa yang berbeda. Konyol lucu, menghibur, namun bukan tong kosong.

Kalangan dewasa FLP, terdiri dari lebih banyak ragam elemen. Dosen, guru, karyawan, peneliti, sastrawan, PNS, pengusaha, editor, mahasiswa,  maupun kalangan professional lain. Ada pula kalangan pekerja istimewa yang dikenal sebagai tenaga kerja  Indonesia, yang bekerja di Hong Kong dan Taiwan. Karya-karya mereka telah diakui secara lokal, nasional bahkan internasional. Bagi guru, nama Gegge Mappangewa dari Makassar, Umi Kulsum dari Jombang, dan Khairani dari Banjarmasin adalah beberapa nama FLP yang karyanya berulang-ulang meraih penghargaan. Bukan hanya karya, namun juga kiprahnya di dunia belajar mengajar menjadi teladan bagi sesame guru mupun menjadi motivator bagi siswa. Agaknya, kemampuan mereka menulis menjadi salah satu point tersendiri untuk menjadikan para guru dan anggota FLP ini sebagai sosok teladan.

Di kalangan dosen dan penulis, FLP memiliki nama-nama Helvy Tiana Rosa, Irfan Hidayatullah; keduanya mantan ketua FLP terdahulu. Topik Mulyana, juga salah satu dosen dan pengurus FLP yang tulisannya tersebar di media massa sebagai sastrawan atau kritikus. Dari kalangan peneliti, muncul nama Maimon Herawati dan Ganjar Widhiyoga. Dua orang ini bak suhu kungfu yang akan turun gunung ketika dunia gonjang ganjing dengan segala hiruk pikuk berita hoax. Setiap kali tulisannya diunggah ke media massa, Maimon Herawati dan Ganjar Widhiyoga akan menuai banyak likers (juga haters) dan dishare ke banyak mungkin pembaca. Dari kalangan professional, nama-nama Intan Savitri sebagai ilmuwan psikologi, Yeni Mulati (Afifah Afra) sebagai CEO  ; menjadi referensi berharga bagi pembaca tiap kali mereka menelurkan tulisan baik buku atau sebuah catatan di media sosial. Di kalangan selebritas sendiri, tentu tak asing nama Habiburrahman el Shirazy dan Asma Nadia sebagai penulis-penulis kondang yang memberikan warna luarbiasa bagi dunia perfilman Indonesia.

Adakah kalangan istimewa dari FLP?

Tentu saja, kalangan ibu-ibu. Para ibu disini adalah ibu-ibu yang luarbiasa. Ditengah kesibukan dan tingkah polah mereka yang sangat spesifik sebagai kaum ibu yang cerewet, suka belanja, suka mengomel; para ibu  menelurkan karya-karya yang  sangat membanggakan. Selain buku-buku, penulis perempuan FLP banyak aktif sebagai blogger dan meraih banyak keuntungan baik financial maupun immaterial. Sebut saja Pipiet Senja, Naqiyyah Syam, Gesang Sari, Risalah Husna, Sri Widiyastuti, Puspitasari, Fauziah Rachmawati, Lina Astuti dan masih banyak lagi.

Blogger laki-laki?

Wah kalau ini jangan ditanya, jumlahnya menjamur di FLP!

Ali Muakhir, Koko Nata, Bang Aswi, Rafif Amir, Sokat Rahman, Bang Syaiha, Billy Antoro, Ilham Anugrah yang bila ditotal jumlah blogger FLP, mencapai puluhan bahkan ratusan. Mengapa demikian? Sebab rata-rata penulis FLP memiliki blog yang rutin dipelihara dengan tulisan dan laporan pandangan mata. Para blogger ini bukan hanya sibuk mengejar prestasi di dunia blogging, namun juga aktif dalam profesi masing-masing di dunia nyata.

Selain kelompok di atas, masih ada beberapa golongan di FLP yang demikian unik. Dua di antaranyanya adalah para pekerja serta mahasiswa perantauan di luar negeri.

FLP Hongkong.jpg
FLP Hong Kong

BMI Hong Kong dan pekerja di Taiwan adalah wilayah FLP yang sering menuai kekaguman akibat sepak terjang mereka yang luarbiasa. Bukan hanya mereka hidup di negeri orang, bekerja sebagai karyawan pabrik atau rumah tangga; hidup di level marginal, terpinggirkan dan kadang tidak dihargai secara layak; pada kenyataannya para pekerja Hong Kong dan Taiwan ini merupakan penulis-penulis yang luarbiasa. Sebut saja di antaranyanya Rihanu Alifa, Anna Ilham, Enda Soedjono, Shanna Azzahra, Indira, Ssy Laili. Mereka bukan hanya aktif di media sosial namun juga menulis di koran-koran lokal yang beredar di Hong Kong dan sekitarnya.

Mahasiwa perantauan di luar negeri, pun memberikan contoh luarbiasa bagaimana para pelajar harus membagi dengan bijak antara keuangan untuk mengelola organisasi, membeli buku, dan hidup cukup di perantauan. Bagaimana harus membagi waktu antara belajar, membaca jurnal (tentu dalam bahasa asing!), membaca referensi dan menelurkan buku-buku. FLP Mesir, FLP Yaman , FLP Turki, Maroko, Arab Saudi, Malaysia yang namanya terlalu panjang untuk disebutkan satu persatu. Anggota FLP yang pulang ke tanah air pun terus bergiat menyelesaikan karya seperti Awy Qolawwun yang merupakan jebolan FLP Arab Saudi, Adly el Fadly yang merupakan jebolan FLP Yaman, Irja NAshrullah yang masih aktif di FLP Mesir.

Demikian beragamnya anggota FLP hingga satu sama lain saling memberikan informasi berharga terkait dunia literasi yang tengah berkembang, issue-issue kekinian, berbagi ilmu sesuai dengan kapasitasnya, berbagi informasi lomba dan saling mendorong untuk meraih prestasi. Keragaman anggota FLP ini memperkaya para anggota untuk terus memacu masing-masing individu terus dan terus belajar.

 

Karya-karya yang terus berkembang

Karya FLP pernah dianggap karya kacangan.

Mengingat karya-karya tersebut begitu sederhana, begitu seragam dengan karya-karya sebagian besar anggota FLP, tidak menimbulkan makna yang dalam serta tidak layak untuk disejajarkan dengan karya-karya besar HAMKA atau Pramoedya.

Mengapa dianggap kacangan?

Memang karya FLP banyak yang seragam. Mengingat salah satu pilar FLP adalah keIslaman; banyak anggota FLP yang masih memahami karya Islami haruslah memiliki alur pesantren, masjid, tokoh berjilbab dan berjenggot. Kisahnya seputar mendapat hidayah saat menjadi mahasiswa kampus yang aktif di rohis, menjadi suka al Quran ketika di pesantren, atau mendapat kesempatan studi ke Timur Tengah.

Karya FLP dianggap minim kekayaan diksi serta mudah ditebak alurnya. Awalnya susah, lalu happy ending. Akhir yang mudah sekali diprediksi : menikah dengan sesama orang sholih, berhasil mendapatkan akhwat cantik idaman, lulus beasiswa dengan gilang gemilang, menjadi dosen dan disukai banyak mahasiswa.

Sesungguhnya, karya FLP tidaklah bisa disebut karya ‘kacangan’.

Siapakah HAMKA dan Pramoedya?  Adalah orang-orang yang kenyang makan asam garam kehidupan. Hidup dalam situasi sosial dan politik yang panas, merasakan peperangan dan penjara yang pedih. Sebagaimana kata Nietzche : hanya peperangan yang dapat membuktikan siapa manusia sesungguhnya, siapa binatang sesungguhnya.

Anggota FLP yang masih SMA dan mahasiswa, ibarat anak yang belajar berjalan, masih tertatih-tatih meraba-raba. Mereka seringkali harus menyisihkan uang untuk membeli buku sendiri yang bagi kantong Indonesia relative mahal, mereka juga tidak duduk di bangku fakultas FIB atau jurusan sastra. Mereka adalah anak-anak yang senang membaca, menulis, membaca, menulis. Karya-karya mereka adalah latihan yang sesunggunya. Sejak awal, mereka harus kenyang dengan kritikan pedas dan Alhamdulillah, mereka pantang mundur, terus menulis dan terus belajar. Perubahan-perubahan itu terlihat pasti merayap. Satu demi satu adik-adik FLP meraih penghargaan di tingkat lokal. Baik lokal sekolah, lokal kampus, lokal regional di koran kota. Lalu mulai muncul di koran nasional, di media online nasional, memenangkan lomba yang ringan persaingannya hingga lomba-lomba yang berat persaingannya serta level jurinya.

Adalah tokoh-tokoh FLP seperti Habiburrahman el Shirazy, Asma Nadia, Benny Arnas yang level ketokohannya diakui dunia. Mereka tidak lagi hanya memberikan pelatihan di tingkat Indonesia, namun diminta mengisi acara-acara di berbagai event di mancanegara. Ada banyak potensi di FLP yang insyaallah siap mengekor keberhasilan para pendahulunya seperti Asma Nadia, kang Abik dan Benny Arnas. Mashdar Zainal, salah satu anggota FLP Jawa Timur yang karya-karyanya tembus secara fantastis di koran ‘sulit’ seperti Jawa Pos dan Kompas.

Karya-karya kacangan FLP, akan terasa kacangan bila dikunyah oleh orang-orang dewasa yang level bacaannya sekelas para peraih nobel, pullitzer, dan penghagaan dunia lain : Najib Mahfudz, Amin Malouf, Rudyard Kipling, Orhan Pamuk, Serdar Ozkan, Nicholas Carr. Namun karya-karya ‘kacangan’ FLP akan menjadi kue lezat bagi sesama remaja yang butuh asupan bacaan ringan. Dan, mereka membutuhkan bacaan sejenis yang banyak jumlahnya.

Seorang gadis yang ingin memakai jilbab; akan terinspriasi oleh novel-novel tentang jilbab sekalipun alurnya kacangan, bombastis, tidak masuk akal, tidak relevan bahkan terlalu mengada-ada. Bila ia membaca 5, 10, 20 novel serupa yang menceritakan pengalaman memakai jilbab; bukan tidak mungkin ia pun pada akhirnya mantap berkerudung.

Seorang pemuda yang maju mundur untuk studi di pesantren; ketika membaca buku-buku yang mirip dan terkesan ‘sastra abal-abal’ ; sesuai level usianya yang masih suka menelan hal yang renyah dan ringan; pada akhirnya terdorong masuk ke pesantren dan membuka pintu kesadarannya untuk berjuang mengenyam pendidikan serius serta memangsa kitab-kitab yang jauh lebih berat dari sekedar naskah kacangan.

Anak-anak SD, yang masih suka berimajinasi dan membaca perkara ringan tentang dunia peri, dunia fantasi, kehidupan ala istana dan putri-pangeran; terdorong banyak menbaca buku ‘kacangan’ yang mungkin tidak sekelas Little Women (Louisa May Alcott) ,  Secret Garden (Burnett), Kim (Rudyard Kipling) atau bahkan Toto Chan. Namun, ketersediaan buku-buku ringan ini akan mendorong mereka memangsa buku level lebih tinggi dan pada akhirnya mereka suka mengunyah buku berat dan suatu ketika, menghasilkan karya sastra yang lebih mumpuni di waktu-waktu yang berikut.

Belajar menulis membutuhkan perjuangan panjang.

Tidak hanya dibatasi oleh bangku kuliah 4 tahun untuk S1, 2 tahun untuk S2. Belum tentu mahasiswa FIB atau sastra mampu menuliskan buku berkualitas bila mereka tidak mau belajar dengan susah payah. Sebagaimana belum tentu mahasiswa S2, S3 dan peneliti dapat menulis karya ilmiah dengan luwes dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Menulis karya ‘kacangan’ kadang merupakan stimulant awal bagi penulis untuk belajar bagaimana menyesuiakan ritme kesibukan dengan target menulis : berapa buku setahun, berapa bulan selesai 1 buku, berapa bab harus dikerjakan 1 minggu, berapa halaman dalam 1 hari dan berapa jam untuk menulis. Ketika ritme menulis ‘kacangan’ ini terbentuk; lambat laun dengan dorongan individu dan organsisasi akan tercapai karya-karya yang semakin berbobot dari waktu ke waktu.

FLP, memang dikenal sebagai pabrik penulis.

Terkesan sebagai organisasi yang mengeluarkan penulis-penulis karbitan, penulis kuantitas bukan penulis kualitas, penulis kualitas pabrik bukan kualitas butik. Meski demikian; segala kritik tentu berharga bagi tumbuh kembang sosok individu dan organisasi. Mereka yang telah bertahun-tahun menulis, tentu harus berupaya meningkatkan kapasitas diri agar karya tulis tidak selamanya kacangan. Bolehlah karya-karya ‘kacangan’ dihasilkan oleh anggota pemula; semakin tinggi level anggota FLP di tingkat madya dan andal; maka proses kreativitasnya harus terus bejalan. Karya yang dihasilkan pun harus semakin berat bobot kualitas, keilmuan, logika berpikir, maupun maknanya.

Proses, adalah bagian yang diakui di FLP.

Tidak ada proses sekali jadi.

Tidak ada proses yang singkat.

Tidak ada proses yang hanya seminggu.

Semua proses, bahkan penciptaan langit dan bumi melalui 7 tahapan di ‘tangan’ Allah Swt . Apalagi proses manusia,  mungkin melalui puluhan, ratusan, ribuan tahapan.

 

FLP dan pasar lokal-global

FLP cukup berhasil menyasar pasar lokal. Terbukti, walau dunia penerbitan pasang surut, penulis-penulis baru di FLP bermunculan mengeluarkan novel dan karya non fiksi.

Anggota FLP yang memiliki basic ilmu syariah seperti Irja Nashrullah, Awy Qolawun, Adly el Fadly suskes menggarap pasar nasional yang membutuhkan buku-buku kajian keIslaman dengan bahasa ringan; bukan bahasa referensial yang cendeung berat.  Afifah Afra, Naqiyyah Syam; sukses menggarap pasar remaja putri dan ibu-ibu. Ali Muakhir, Koko Nata, Sri Widiyastuti sukses menggarap pasar anak-anak. Habiburrahman, Asma Nadia sukses menggarap pembaca perempuan; sementara Benny Arnas dan Mashdar Zainal sukses memanfaatkan ceruk sastra yang jarang digeluti penulis karena effortnya yang cukup besar. Rafif Amir, Gesang Sari, Sokat Rahman, Billy, Aprillia, dkk  dan blogger FLP sukses menggarap pasar online yang celahnya sangat terbuka dan ramai.

Dalam era digital, FLP mencoba beradaptasi.

Kertas-kertas berimbas pada penebangan kayu yang mengancam paru-paru dunia. Disisi lain, orang-orang masih belum terbiasa menggunakan perangkat elektronik untuk membaca buku. E-book sebuah keniscayaan, namun juga cepat memunculkan kelelahan. Apalagi, orang cenderung membuka media sosial ketika berinteraksi dengan gawai dan cepat teralihkan dari niat semula yang ingin membaca buku elektronik. Buku-buku berhana baku kertas masih diminati, walaupun juga, manusia harus dibiasakan semakin efektif efisien dalam bertingkah laku.

Bekerja sama dengan beberapa media online seperti beetalk, bitread dan UC News; merupakan satu langkah FLP memasuki pasar lebih luas. Anggota FLP tidak hanya harus belajar menulis fiksi – non fiksi; tapi juga belajar menulis materi-materi up to date yang diminati masyarakat luas mulai bahasan Donald Trump-Melania, hingga bagaimana hidup awet muda.

 

Apa yang Diberikan FLP pada Indonesia?

Jawabannya adalah Sumber Daya Manusia.

SDM adalah asset sangat mahal yang menghabiskan modal luarbiasa besar. Dalam sebuah perpustakaan di Seoul, terpahat reader is leader. Pembaca adalah pemimpin. Begitupun pemimpin adalah seorang pembaca. Negarawan kita adalah pembaca, penulis dan orang yang tiada berhenti belajar. Bung Karno, bung Hatta, Mohammad Natsir, HAMKA, Ki Hajar Dewantara, adalah para pembaca yang luarbiasa. HAMKA bahkan mewajibkan dirinya membaca buku dalam beragam bahasa untuk menajamkan otak. Pantas saja, Indonesia berhasil melawan kekuatan asing yang luarbiasa tangguh. Mereka memiliki senajta, kita memiliki daya juang.

FLP memberikan pada Indonesia sekian ribu manusia yang suka membaca dan menulis. Mereka bukan hanya orang-orang yang duduk di bangku akedemis; namun juga para buruh dan tenaga kerja marginal. Mereka bukan hanya orang yang terbiasa duduk di belakang meja mengerjakan laporan keuangan, namun juga para ibu yang bergelut dengan harga cabai. Mereka bukan hanya para dosen dan guru, tapi juga para pelajar SD hingga mahasiswa.

FLP memberikan kesempatan berproses. FLP memberikan lingkungan yang nyaman bagi para pembaca dan (calon) penulis. FLP mengasah kemampuan di luar bakat minat yang paling dasar. FLP memberikan para penulis informasi dan jaringan berharga yang harus dimiliki penulis untuk go local, go national, go international. Dalam ranah global dewasa ini, tidak ada seseorang yang dapat berhasil hanya secara individual. Ia butuh dukungan, butuh kelompok, butuh orang-orang di belakang layar.

Di belakang layar FLP; tersebar ribuan anak muda yang namanya tidak tercantum sebagi penulis atau blogger. Mereka adalah para buzzer dan reviewer yang rela mem-boost buku, agenda literasi, kegiatan kepenulisan agar sukses. Mereka adalah pengurus-pengurus FLP Pusat, wilayah, cabang, hingga ranting yang bersedia berpayah-payah menjalankan roda organisasi agar tercipta harmonisasi antara penulis, dunia perbukuan, kalangan media dan penerbitan yang harus terus bersinergi untuk menghasilkan karya-karya spektakuler. Orang-orang di belakang layar inilah yang membantu munculnya penulis-penulis tenar dan popular.

FLP Wilayah Jawa Barat, FLP Wilayah Jawa Timur, FLP Wilayah Riau

Bersama FLP, hadir wajah-wajah muda, wajah-wajah baru penulis; maupun hadir wajah-wajah penulis yang terus bermetamorfosa menjadi HAMKA dan Pramoedya yang berikutnya.

Selamat ulangtahun ke 20, FLP.

Berarti, berkarya, berbagi.

Teruslah berjuang dengan pena!