Gary Lineker. Shakira. Muhammad Salah.
Pengetahuanku tentang persepakbolaan tak banyak-banyak amat.
Gary Lineker favorit ibuku, kebetulan dia juga penyuka serial Lima Sekawan Enyd Blyton. Shakira terkenal karena lagunya 𝘞𝘢𝘬𝘢 𝘞𝘢𝘬𝘢 -𝘛𝘩𝘪𝘴 𝘛𝘪𝘮𝘦 𝘧𝘰𝘳 𝘈𝘧𝘳𝘪𝘤𝘢, 𝘰𝘧𝘧𝘪𝘤𝘪𝘢𝘭 𝘴𝘰𝘯𝘨 FIFA 2010. Muhammad Salah, favorit suamiku. Begitu istimewanya dia sampai publik sampai buat lagu tentang Mo Salah.
Tetiba Qatar dan FIFA World Cup 2022 hadir. Jungkook BTS manggung di sana bareng Fahad Al Kubaisi membawakan 𝘛𝘩𝘦 𝘋𝘳𝘦𝘢𝘮𝘦𝘳𝘴, lagu yang asik banget. Membuktikan bahwa Qatar juga tahu apa yang lagi nge-trend di kalangan anak muda. KPop salah satunya.
Sebagai istri dan ibu yang punya suami dan anak cowo penyuka bola, aku ingin melihat piala dunia ini dalam versi kegembiraan dan sportivitas.
Qatar, bagiku sejauh ini alhamdulillah berhasil menampilkan sisi Islam sebagai rahmatan lil alamin. Walau jilbab wajib, gak ada pemaksaan perempuan harus pakai hijab di sana. Perempuan boleh tak berkerudung, asal sopan. Negara Islam yang selama ini digambarkan porak poranda oleh media, membuktikan diri bahwa kemajuan zaman dan berpegang pada hal prinsip bukan sebuah hal yang harus dipertentangkan.
Kamu bisa tetap berteknologi 5.0, 𝘰𝘱𝘦𝘯 𝘮𝘪𝘯𝘥𝘦𝘥, sholat dan tilawah quran. Kamu bisa tetap sorak sorai mendukung tim kesayangan, selfie sana sini, melakukan selebrasi dan tetap menghargai kultur setempat. Melihat bagaimana orang-orang di luar Arab mencoba berpakaian ala lelaki Arab : berjubah, mengenakan 𝘬𝘦𝘧𝘪𝘺𝘺𝘦𝘩/ 𝘨𝘩𝘶𝘵𝘳𝘢𝘩 dengan lilitan 𝘢𝘨𝘢𝘭 hitam di kepala. Bagaimana kita mencoba menghayati budaya Arab tanpa beranggapan mereka bangsa barbar yang hanya tahu berperang.
Sepanjang perhelatan Qatar FIFA World Cup 2022, berbagai diskusi mengalir antaraku dan suami, juga dengan anak-anak. Bagaimana setelah 2 tahun masa pandemic yang luarbiasa menghantam dunia, piala dunia ini hadir dengan segala gemerlap dan tentu saja pro kontranya.
𝟏. 𝐃𝐢𝐬𝐤𝐫𝐢𝐦𝐢𝐧𝐚𝐬𝐢
Pertanyaan sederhana muncul : Indonesia kok gak ikut piala dunia?
Aku baru tahu, bahwa sepanjang penyelenggaraan piala dunia, setiap benua mengirimkan wakilnya. Tebak saja, benua mana yang mengirimkan wakil paling banyak. 2022 ini benua Asia diwakili : Arab Saudi, Iran, Jepan dan Korsel. Qatar boleh ikut karena tuan rumah. Benua Afrika diwakili : Senegal, Ghana, Tunisia, Maroko, Kamerun. Benua Amerika : AS, Canada, Meksiko, Argentina, Uruguay, Ekuador, Costa Rica. Benua Eropa : Inggris, Jerman, Perancis, Belgia, Belanda, Polandia, Kroasia Wales, Serbia, Spanyol, Swiss, Denmark.
Padahal kalau kontestan dari Asia dan Afrika ditambah, boleh jadi beberapa negara Eropa tersingkir.
Lihat bagaimana Jepang mengalahkan Jerman dan Spanyol, bukan?
Permainan Tunisia dan Kamerun juga gak bisa dianggap remeh.
Yah, dari event-event besar dunia kita jadi tahu bahwa bangsa Asia dan Afrika masih dipandang sebelah mata. Walau dilarang bicara tentang rasialisme, kenyataan rasis seringkali masih terjadi di sekitar kita. Itulah sebabnya, aku senang sekali ketika Jepang dan Korsel lolos 𝘳𝘰𝘶𝘯𝘥 𝘰𝘧 16. Semakin membuktikan bahwa Asia semakin punya posisi dalam berbagai kancah dunia, dan suatu saat Indonesia membuktikan insyaallah.
𝟐. 𝐒𝐩𝐨𝐫𝐭 𝐢𝐬 𝐬𝐩𝐨𝐫𝐭
Biasanya kalau nonton perhelatan olimpiade atau piala dunia, bagi orang awam sepertiku, bagian-bagian ini menjadi titik tekan :
• Mascot
• Warna warni kostum budaya lokal
• Gaya selebrasi
• Upacara pembukaan dan upacara penutupan
• Siapa artis, atau pemain artis yang muncul
Demikian juga dengan Qatar WC 2022. Mascot Laeeb yang lucu, bagaimana upacaya pembukaan yang meriah, tangisan supporter pemenang dan mereka yang kalah. Bagaimana kehadiran Neymar, Messi, Cristiano Ronaldo, dan yang sering menjadi 𝘵𝘳𝘦𝘯𝘥𝘪𝘯𝘨 𝘵𝘰𝘱𝘪𝘤 di twitter : Haji Muhammad Son alias HM Son.
Lalu dalam kemeriahan tersebut, pembelaan terhadap aksi sebuah gerakan muncul.
Sejatinya, aku ingin dalam WC Qatar kita merasakan kemeriahan dan sportivitas, tanpa kampanye apapun yang mencederai keinginan kita untuk menonton sepakbola.
Lho, emang gak boleh ya?
Aku ingat, bahwa sebuah perhelatan olahraga, sebetulnya merupakan gelaran akbar yang akan digunakan untuk menunjukkan jatidiri manusia sesungguhnya.
Konon, negara yang menang sepakbola adalah negara yang memang bisa bekerja sama dalam tim dengan baik. Olahraga juga menunjukkan bagaimana kualitas negara tersebut. Kita melihat pada akhirnya, negara Afrika yang sering dipandang sebelah mata, ternyata membuktikan keunggulan : Senegal, Maroko, Ghana, Kamerun. Apa sih yang terbayang kalau dengar kata Afrika? Kelaparan, perang saudara, pelanggaran HAM. Dengan olahraga, mereka membuktikan bahwa Afrika bukan hanya melulu tentang keterbelakangan.
Jepang dan Korsel membuktikan 𝘴𝘱𝘰𝘳𝘵 𝘪𝘴 𝘴𝘱𝘰𝘳𝘵. Mereka totalitas banget dan berhasil membuktikan diri sebagai negara yang mampu bersaing dengan negara-negara Eropa yang selama ini dianggap maju dalam segala aspeknya.
𝟑. 𝐈𝐦𝐩𝐞𝐫𝐢𝐚𝐥𝐢𝐬𝐦𝐞 𝐨𝐟 𝐕𝐢𝐫𝐭𝐮𝐞𝐬
Selama sekian abad, bangsa Asia dan Afrika dijajah oleh bangsa Eropa. Nilai-nilai kebajikan Eropa dianggap lebih tinggi. Eropa lebih manusiawi, Eropa lebih menjunjung tinggi martabat manusia, Eropa lebih menjunjung tinggi harkat martabat perempuan. Lihatlah Asia dan Afrika. Perempuan yang mengurus keluarga, punya anak banyak, mengurus orangtua yang lansia, berkorban bagi keluarga besar; adalah perempuan-perempuan yang tertindas haknya.
Lihatlah Asia dan Afrika. Kalau ada anak yang harus mengurus orangtua dan menjadi generasi 𝘴𝘢𝘯𝘥𝘸𝘪𝘤𝘩, itu bukan cerminan generasi maju yang harusnya bebas merdeka.
Jadi, konsep kebajikan ala Eropa adalah bebas, merdeka, bahagia. Walaupun itu harus mengorbankan orang lain, termasuk keluarga dan lingkungan. Di Asia dan Afrika, seseorang diajarkan bahwa kebahagiaan itu harus tetap mempertimbangkan kebahagiaan orangtua yang telah merawat anak-anak. Kebahagiaan adalah juga bagian dari keluarga besar, sehingga kita diajarkan untuk tolong menolong. Bukan ‘lo,lo, gue,gue’.
Memang, ada masanya menjadi orang Asia itu tertekan karena sulit mengemukakan pendapat melawan orantua dan keluarga besar. Namun tak selamanya orang Asia merasa tertekan dan terbelakang! Di belakang keberhasilanku berdiri pengorbanan suami, anak-anak, orangtuaku, saudara-saudaraku, tetangga-tetanggaku.
Gelaran Qatar World Cup 2022 ini terlihat sekali gelombang imperialism baru.
Pokoknya, kalian harus tunduk pada bangsa kulit putih!
Kalau mereka bilang 𝘤𝘩𝘪𝘭𝘥𝘧𝘳𝘦𝘦, kalian harus ikut. Kalau mereka bilang, mejikuhibiniu, kalian harus oke. Kalau mereka bilang satu cinta, kalian harus ikut. Kalau kalian nggak ikut, maka itu adalah pelanggaran HAM.
Di dunia timur, keluarga adalah bagian paling utama. Pasangan (suami/istri), orangtua, anak, tetangga, keluarga besar adalah bagian dari denyut nadi kehidupan. Jadi, kalau kami disuruh menyingkirkan itu semua demi gaung satu cinta, demi gaung kebebasan tanpa anak; maafkan, kami tak bisa.
Penjajahan itu sudah berakhir.
Asia sudah merdeka. Afrika demikian juga. Tentu, masih ada negara-negara terjajah yang sedang berjuang menuju kemerdekaan. Dan Qatar, ingin mempersembahkan sebuah simbol kemajuan, nilai-nilai prinsip, kesetaraan dan bagaimana membangun hubungan manusiawi tanpa harus menjajah bangsa lain dengan penindasan gaya lama atau gaya baru.
𝟒. 𝐓𝐞𝐠𝐚𝐤 𝐝𝐢 𝐀𝐭𝐚𝐬 𝐏𝐫𝐢𝐧𝐬𝐢𝐩
Sebagai seorang ibu, aku mengkhawatirkan gelombang imperialisme gaya baru yang melanda dunia, termasuk anak-anak kita. Qatar menjadi contoh unik dan luarbiasa bagi anak-anakku.
Kadang aku bertanya, bisakah kami tetap mempertahankan konsep keluarga, di saat gelombang mejikuhibiniu demikian derasnya?
Kadang aku bertanya, apakah generasi saat ini hanya terpukau dengan hallyu dan wibu-otaku?
Qatar WC 2022 menjawab sebagian besar kekhawatiranku.
Kita bisa tetap tegak pada prinsip walau arus luar demikian deras dan biarkan waktu membuktikan, siapa yang fokus pada prestasi dan kerja keras, tak perlu repot-repot menggaungkan propaganda.
Selain gandrung pada KPop dan Jejepangan, anak-anakku pun menyaksikan bahwa wilayah Asia Afrika, memiliki kemajuan menakjubkan. Termasuk Qatar yang selama ini mungkin hanya dikenal sebagai negara para Emir dan tempat bermukimnya ulama dunia– allahumma yarham syaikh Yusuf Qardhawi.
Qatar membuktikan sisi modern, kekuatan prinsip, keramahan, kekayaan budaya; dapat terus berjalan bersama.
Semoga kita semua bisa suatu saat berkunjung ke Qatar, ya.