Kategori
Covid-19 Hikmah My family Renungan Hidup dan Kematian Survivor Covid-19 Topik Penting

Sakit Covid 19 : Berapa Jumlah Biayanya? Apa Saja yang Gratis?

“Apakah obat-obatan ditanggung? Biaya rumah sakit gimana? Makanan? Laundry?”
Kira-kira begitulah sebuah pesan masuk bertanya kepada saya, tentang prosedur mendapatkan rawat inap Covid. Saya katakan bahwa semuanya gratis dari pemerintah. Bahkan, kami yang sakit ber-7 pun mendapat pasokan makanan 3x sehari. Makanan yang disuplai puskesmas sangat lezat dan memenuhi gizi.


🌀🌀🌀
Prosedur untuk mendapatkan layanan gratis, berdasar pengalaman kami dan kira-kira kalau diuangkan secara kasar :


🟢1. Ada bukti kontak erat positif covid (suami saya positif. Saya minta bukti swab terakhir suami). Alhamdulillah saya, 4 orang anak, ibu saya bisa swab gratis di puskesmas. Katakanlah 1 x swab 1 jutaan, berarti 7 orang = Rp. 7.000.000
🟢2. Puskesmas menanyakan apakah kami butuh support logistic. Kami bilang : ya. Sejak dinyatakan positif, selang beberapa hari kami kemudian mendapatkan kiriman makanan kotak. 3 (sehari) x 6 (orang) X @ Rp. 20.000 = 360.000/ hari. Selama 3 pekan = Rp. 6.480.000.
🟢3. Rawat inap RS. Selama kurang lebih 14 hari kami rawat inap. Katakanlah biaya kamar sehari Rp. 300.000 , obat Rp. 500.000 (injeksi, infus, oral, tindakan dll), makan Rp. 100.000 ; kami bulatkan 1 juta. Berarti 1 orang = @Rp. 14.000. 000. Karena kami rawat inap ber-4 jadi Rp. 56.000.000
🟢4. Rontgen pra masuk RS kurang lebih @100.000 x7 = 700.000 ; selama di RS 3 (rontgen) x 4 (orang) x @100.000 = Rp. 1.200.000
🟢5. Swab di RS 3 (swab) x 4 (orang) x @Rp.1000.000 = Rp. 12.000.000
🟢6. Total Rp. 82. 680.000
🟢7. Pasca itu masih ada pendampingan swab di puskesmas, obat-obatan yang di bawa pulang, dsb. Ada tindakan-tindakan lain seperti injeksi dan oksigen (putri saya sempat sesak napas) , transfuse plasma, dokter kandungan (saya mengalami uterus bleeding), ambulan (saya dibantu LMI utk ke RS). Kurang lebih kalau di total katakanlah Rp. 100.000.000


〰️〰️〰️
Bagi yang dapat layanan RS, belum tentu juga gak keluar uang sama sekali. Saya sendiri tetap harus keluar uang dan ini yang kadang gak terprediksi jumlahnya. Bisa terkuras habis tabungan.

  1. Makanan. Makanan di RS terjamin. Sangat bergizi. Tapi karena perut mual luarbiasa dan indera pencecap gak berfungsi, saya bolak balik minta orang di rumah utk masak. Simple : oseng kacang, sambel, telor ceplok. Kayaknya murah. Tapi setelah dikalkulasi, lumayan membengkak biayanya
  2. Laundry
  3. Layanan online. Sakit covid bukan sakit biasa. Gak ada yg bisa jenguk. Jadi saya harus beli atau minta dikirimin baju dari rumah secara online. Apalagi karena satu rumah positif covid, gak ada yang bisa bantu-bantu kirim barang ke RS
    🟣🟣🟣
    Melihat seperti ini, kesehatan sangatlah mahal. Karenanya, jangan sampai kita kena covid. Kalaupun tersedia uang, belum tentu ada layanan RS. Masih jauh lebih murah kita beli masker dan sabun.
  4. 👉Usahakan sesuai prosedur. Fotokopi KTP- KK selalu tersedia, kemudian catatan kontak erat dengan siapa yang positif covid.
    👉Rajinlah update info dari RT-RW, juga puskesmas terdekat. Tak cukup puskesmas. Catatlah lembaga-lembaga kemanusiaan yang menyediakan ambulan gratis, oksigen gratis dst, logistic dan obat gratis. Saya sempat ngecek di google, 1 butir obat kami ada yang harganya @Rp27.000! Kebayang kalau harus mengkonsumsi 2x sehari selama 2 minggu kan?
    👉Saya sering menyarankan teman & saudara yang terindikasi covid, segeralah lapor puskesmas. Koordinasikan dengan puskesmas. Karena kalau ditanggung sendiri, ya Allah…gak sanggup biayanya.
    •••••

#bantuoksigen #bantusahabat #penyintascovid19 #coronavirus #covid19 bersama Ruang Pelita

(IG @ruang.pelita FB Ruang Pelita)

Pengadaan oxygen concentrate atau tabung oksigen , kode transfer 002
🔹Mandiri 142-00-1673-5556 (Sinta)
🔹BSI 7129-62-4943 (Ahmad)
🔹BRI 317-701-0263-16530 (Nazalia)
🔹BCA 788-0610-281 (Rizky)

Kategori
Covid-19 Hikmah Oase Parenting PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Renungan Hidup dan Kematian Survivor Covid-19 Topik Penting

Mendampingi Anak-anak yang Kehilangan Orangtua karena Covid-19

“Apa yang harus saya lakukan? Teman saya kehilangan orangtuanya yang wafat karena Covid. Kalau ortu sakit lama, tentu bisa menyiapkan diri. Tapi meninggal karena Covid, begitu cepat mendadak. Saya sendiri sering dilanda kecemasan, takut kehilangan orangtua saya.”

23 Juli 2021 mengisi acara kemuslimahan yang diselenggarakan PWK ITS. Mahasiswi penanya tsb, menangis. Ia yang sudah memasuki usia remaja akhir dan masuk ke dewasa awal saja merasa dag dig dug. Takut kehilangan orangtua. Takut kehilangan orang yang dicintainya.

Apalagi anak yang masih SMA. SMP. SD, bahkan TK.

Tak terbayangkan rasanya.

Di hari-hari biasa, kehilangan orangtua akan menghadirkan simpati. Orang-orang mengulurkan tangan, membantu materi, menawarkan menjadi orangtua asuh. Bantuan finansial mengalir, dukungan dari banyak pihak didapatkan : guru-guru, pihak sekolah/kampus, saudara besar, tetangga, handai tolan.

Wafat karena covid?

Bahkan kematian demikian senyap. Pemakaman terasa asing. Anak yang kehilangan orangtua tak melihat orang-orang merawat jenazah orangtua mereka, memandikan, menyolatkan. Tak ada kerabat datang menghibur.

“Duh, ortunya wafat karena covid. Jangan-jangan anaknya juga positif. Gimana mau merangkul mereka? Mau memeluk?”

Bantuan finansial, tentu tak sama seperti hari-hari biasa. Masing-masing orang sedang kepayahan mengurus diri sendiri dan keluarganya. Apalagi jika ada yang sakit, mencari tabung oksigen sudah merupakan perjuangan spektakuler bagi sebuah keluarga.

Kehilangan orangtua karena covid sudah sangat memukul. Sejak divonis sakit, serangkaian protocol kesehatan memang harus diterapkan. Diisolasi, diasingkan, dipisahkan dari orang lain untuk menghindari penularan. Kontak fisik ditiadakan, bahkan kadang komunikasi terputus 100%. Apalagi bisa si pasien harus masuk kamar ICU, tanpa ada kerabat yang menemani. Karena kerabat yang lain juga tengah diisolasi. Ya Allah. Terbayang betapa bingungnya seorang anak yang tetiba menghadapi kenyataan ini.

Dua pekan lalu ia masih memiliki orangtua, lalu tetiba orangtuanya lenyap dibawa ke RS. Tak ada kabar berita, lalu pemberitahuan terakhir orangtua telah tiada. Hanya tersisa makam dengan nisan bertuliskan nama yang tak ingin dipercaya.

Vino bukan satu-satunya.

Saya sendiri mendampingi beberapa anak yang orangtua mereka wafat karena covid. Pikiran saya sebagai psikolog dan konselor terbelah-belah, tenaga pun terbagi-bagi. Namun, segala kendala tak boleh menjadikan kita lalai dari merumuskan langkah-langkah penting. Keputusan besar.

Anak-anak ini adalah asset bangsa. Orangtua mereka syahid dalam wabah (tha’un) dan jelas mereka anak-anak istimewa. Sebagai orangtua, psikolog, penulis dan bagian dari anggota masyarakat, saya terpikir beberapa hal.

  1. Layanan konseling psikologi online untuk anak-anak.

Anak-anak ini pasti kebingungan. Walau orangtua mewariskan harta besar, mereka tetap akan merasa sangat kehilangan. Layanan konseling psikologi yang khusus menangani anak-anak ini perlu segera diluncurkan. Para psikolog dan relawan yang memiliki kepekaan terhadap anak-anak, bisa terlihat di sini.

Hotline , call center, layanan oleh lembaga zakat, layanan komunitas dll dapat menjadi bagian dari solusi ini.

2. Shelter psikologis.

Di barat dikenal foster family dan orphanage; bila tidak ada keluarga besar yang menampung.

Bila kita ingin mengadopsi konsep tersebut, memang perlu menimbang beberapa norma. Dalam Islam misalnya, dikenal konsep aurat sehingga tak bisa menitipkan anak pada foster family jika anak-anak mulai aqil baligh. Namun jika anak-anak belum aqil baligh, masih bisa dititipkan di foster family. Lalu, bagaimana jika kakak adik beda tahapan usia? Tentu ini perlu menjadi pertimbangan. Jangan sampai kakak dan adik dipisahkan, karena mereka telah kehilangan orangtua.

Shelter psikologis bisa berupa Yayasan anak yatim, Yayasan dhuafa atau sejenisnya. Bukan hanya memperhatikan pasokan fisik tetapi juga sangat memperhatikan kebutuhan psikis anak-anak.

Bagi yang ingin tahu seperti apa foster family, saya sarankan menonton film Shazam. Film superhero yang berbeda, karena salah penekanan film ini adalah bagaimana hubungan anak dan orangtua dalam foster family.

3. Dukungan materi

Ada banyak kehilangan dari seorang anak yatim/ piatu. Kebutuhan gizinya, kebutuhan akademiknya bisa terbengkalai. Belum lagi bila si anak ingin sesuatu seperti ingin beli mainan, ingin beli jajan dan kebutuhan sekunder/tersier yang seolah tak penting namun dibutuhkan.

Kebutuhan materi ini juga perlu diperhatikan kita bersama agar anak yatim/piatu tidak kehilangan hak-haknya. Tentu, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara donator dengan kondisi riil di lapangan.

4. Dukungan immateri

Dukungan ini sangat penting dan sering kali melelahkan.

Anak yang menangis dan meratapi orangtuanya terus menerus, bahkan yang histeria dant trauma, tentu membutuhkan pendampingan khusus yang menyita waktu dan energi. Bagi berbagai institusi (Yayasan, lembaga zakat, komunitas) perlu membuat SOP agar dapat mendampingi anak-anak ini secara berkesinambungan. Seringkali, perhatian tertumpah di awal-awal waktu saja karena rasa simpati yang begitu besar. Rasa iba akan kehilangan orangtua dan melihat anak-anak ini seperti anak ayam kehilangan induk.

Seiring berjalannya waktu, perhatian kita pupus oleh agenda lain padahal kebutuhan anak-anak ini terhadap pendampingan justru semakin besar. Apalagi jika anak-anak memasuki masa remaja, atau masuk usia sekolah; masa-masa krisis kepribadian yang dihadapkan pada berbagai pilihan sulit.

5. Pembentukan relawan

Kondisi saat ini tak mungkin hanya ditangai satu pihak. Pemerintah akan kewalahan menghadapi berbagai macam dampak pandemic. Ekonomi dan kesehatan yang membutuhkan fokus utama, sudah pasti harus ditangani pemerintah. Anak-anak terlantar seharusnya ditangani negara. Tapi bagaimana bila pemerintah tak cukup punya akses sampai warga paling pelosok, atau warga yang tidak terdata? Psikiater, psikolog, kementrian sosial boleh jadi kewalahan oleh gelombang kasus dan juga burn out.

Relawan-relawan yang merupakan “darah segar” dapat diberdayakan. Mereka bisa jadi pelajar, mahasiswa, fresh graduate, lansia yang masih sehat dan produktif. Orang-orang difabel yang fisiknya terbatas namun memiliki kemampuan untuk mendampingi dengan kesabaran, atau bahkan para veteran covid 19 yang pernah mengalami trauma parah lalu bangkit dan sekarang ingin berbagi kekuatan.

Saya membentuk komunitas Ruang Pelita sejak tahun 2011.

  Akronim dari Ruang Pendampingan Psikologi & Literasi. Selama ini fokus di berbagai acara untuk anak muda yang bertema kekoreaan dan jejepangan. Selama pandemic, Ruang Pelita turut membantu menggalang dana untuk masker, APD, mengumpulkan ponsel bekas. Kali ini menggalang dana untuk #bantuoksigen

Mungkin, tidak banyak yang bisa kami berikan.

Tapi komunitas-komunitas kecil seperti kami yang banyak tersebar di berbagi penjuru Indonesia insyaallah bisa membantu pemerintah untuk mengatasi gelombang pandemic dengan segala dampaknya. RuangPelita ke depannya juga ingin mendirikan shelter psikologis yang dapat mendampingi anak-anak yang trauma karena covid.

Pandemic covid 19 tidak hanya menyisakan tantangan besar di dunia kesehatan dan ekonomi secara global. Permasalahan psikologis merebak di mana-mana. Banyak sekali tenaga kesehatan yang depresi bahkan trauma menghadapi pasien seiring tingginya angka kematian.

Bagaimana dengan anak-anak?

Mereka kerap diabaikan, namun kelompok paling rentan ini sesungguhnya kelompok yang sangat membutuhkan uluran tangan. Dengan tulisan ini saya berharap banyak pihak akan saling bersinergi untuk membantu anak-anak yatim/piatu Covid 19 agar sembuh dari trauma dan bangkit menyongsong masa depan.

#covid19 #coronavirus #survivorcovid19 #penyintascovid19 #helpchildrenofcovid19 #helpchildren

Kategori
BERITA Catatan Jumat Da'wah Islam Dunia Islam Hikmah Mancanegara Oase Renungan Hidup dan Kematian Topik Penting Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Kenya, Namibia, Somalia etc : Afrika & pendidikan ala Wakanda

Selama ini, pandangan mata teralihkan dari Afrika.

Covid 19, locus, kekeringan, kelaparan; membuat Afrika seolah ujung mati dari dunia.

Beberapa waktu lalu, ketika diminta mengisi acara di sebuah institusi tentang menjadi educator atau pendidik di era pandemic ini; saya menelusuri berbagai sumber baik tertulis maupun yang berbentuk video bagaimana menjadi pendidik baik guru atau dosen di era penuh tantangan ini.

Kita akan berpikir bahwa solusi ada di negara-negara maju seperti Eropa , Amerika atau benua Asia. Afrika, yang di hari-hari biasa saja menghadapi situasi kekeringan dan rawan pangan serta konflik berkepanjangan; apakah mungkin mampu bertahan di era “unprecedented times” ?

Jepang, Korea, Jerman, Perancis, Malaysia tentu tak diragukan lagi.

Tapi bagaimana dengan Afrika?

Hatiku tergelitik untuk mengetahui dan benar-benar ternganga, bahwa kita mungkin menganggap sebelah mata pada benua yang disebutkan National Geographic sebagai negeri para Firaun Hitam – para penguasa dunia yang kuat dan kayaraya pernah berasal dari wilayah ini.

Yang unik adalah, kita yang selama ini dimanjakan oleh modernisasi dan fasilitas teknologi lalu tergagap-gagap ketika era lockdown melanda : Afrika tampaknya justru terbiasa menghadapi bencana. Ya, tentu saja mereka kekurangan fasilitas kesehatan dan sarana prasarana lainnya. Namun beberapa negara ternyata tanggap cepat terhadap kebutuhan di dunia pendidikan.  Menelusuri laporan Unesco dan Unicef, ini beberapa di antara terobosan Afrika :

Paul dan Ndapewa adala guru-guru yang mencari terobosan di era Covid sumber Unesco : Learning Never Stops

  1. Orangtua kesulitan memindahkan pola pembelajaran. Stres, ketegangan, kebosanan, akhirnya menimbulkan kerawanan di rumah. Natgeo menyampaikan bahwa alih-alih membuat rumah menjadi homeschooling tanpa persiapan, orangtua lebih baik mengajarkan lifeskill pada anaknya. Kenya, lebih dahulu menerapkannya. Para guru yang terbatas sarana prasarananya, mengajarkan lifeskill bahasa daerah kepada anak didiknya – Swahili. Selain menumbuhkan ikatan pada budaya leluhur, beberapa keahlian pun ikut meningkat. Mengapa kita tidak ajarkan kembali bahasa Jawa secara intensif, huruf hanacaraka; atau bahasa daerah wilayah masing-masing kepada anak-anak kita?
  2. Ndapuwa, seorang guru di Namibia. Menceritakan bahwa ia seharusnya berkoordinasi dengan orangtua lewat grup whatsapp. Tapi, apa mungkin? Hanya ada 2 orangtua yang punya gadget. Ndapuwa kemudian berkata, bahwa ia punya target baru sekarang, selain hanya berkonsentrasi pada anak-anak : mengajarkan orangtua membaca dan matematika. Mengapa kita sebagai orangtua, tidak membuat kelompok-kelompok belajar? Materi belajar anak-anak, bisa kita adopsi.
  3. Sebagian Somalia dilanda konflik. Sebagian warga Somalia menjadi pengungsi ke Kenya. Sebagai negara yang bertetangga dekat, Kenya tidak mengabaikan kebutuhan para pengungsi. Mereka mempersiapkan guru-guru relawan pengajar bahasa Inggris, lewat radio-radio untuk pengungsi Somalia. Mengapa kita tidak terjun menjadi guru bagi para pengungsi di Indonesia seperti Rohingnya atau orang-orang yang terkatung-katung sebagai imigran gelap?

Teringat Wakanda, negeri imajinatif dalam film Black Panther.

Kemajuan bangsanya, kecanggihan teknologinya, keberanian rakyatnya.

Afrika, dulu pernah merajai dunia. Banyak nilai-nilai keluhuran yang dapat diambil dari negeri para Firaun Hitam.

Sejak era colonial dan perang dunia, Afrika menjadi tujuan aneksasi dan kolonialisme. Kekayaan mereka dirampas, terutama hasil tambang. Kemiskinan dan kelaparan menjadi pemandangan yang lazim di benua Afrika. Setiap kali mendengar kata Afrika, pikiran kita akan terhubung dengan virus Ebola, peperangan suku dan padang-padang kering.

Habis ngisi acara tersebut, pikiran saya terus tertuju ke Afrika.

Apalagi, salah satu tokoh yang saya kagumi, pasangan ayah anak Nurmagomedov punya proyek membuat sumur-sumur air di Nigeria. Ayah Khabib , Abdulmanap Nurmagomedov baru saja wafat karena Covid 19.

Berhari-hari mencari-cari, kalau ingin qurban ke daerah Afrika, ke mana ya?

Cari-cari, manakah lembaga yang menyalurkan hewan qurban ke daerah bencana kemanusiaan? Udah beberapa waktu ini menelusuri dan dapatlah LMI – Lembaga Manajemen Infaq di Jawa Timur yang salah satu target penyaluran kurban ke benua Afrika, antara lain Kenya dan Somalia. Selain program ke Palestina dan Myanmar juga ada.

Hayuk!

Wakanda memang imajinatif, tapi negeri Afrika adalah mutiara hitam bagi peradaban dunia. Sudah lama pikiran dan hati saya  tertuju ke sana. Semoga, rangkaian titik-titik peristiwa ini semakin mendekatkan kita satu sama lain sebagai bangsa yang mulia.

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA Karyaku Kepenulisan Menerbitkan buku Perjalanan Menulis TEKNIK MENULIS WRITING. SHARING.

Workshop Menulis Singkat untuk Bunda

Assalamu’alaykumwrwb.

Apa kabar, Bunda-bunda Cantik semua? Semoga sehat walafiat ya.

Era pandemic yang menyebabkan kita #dirumahsaja, seharusnya menjadikan diri lebih produktif. Jadi, jangan biarkan kesempatan lebih banyak di rumah untuk terbuang begitu saja. Tingkatkan skill, bangun network dan carilah kebahagiaan dengan kegiatan baru.

Ruang Pelita akan menyelenggarakan Workshop Menulis Singkat Tahap-1

♥Hari : Sabtu

♥Tanggal : 11 Juli 2020

♥Link : Zoom

♥Waktu : 08.30 – 11.30 WIB

Alokasi waktu :

  • 45’ materi
  • 15’ menit latihan
  • 45’ menit diskusi
  • 15’ menit untuk pembukaan, penutupan, perkenalan

♥Pemateri : Sinta Yudisia (Penulis 60 buku , Psikolog, DP FLP)

♥Biaya : 50K (50% insyaallah untuk warga terdampak Covid 19. Dipersilakan untuk melebihkan donasi bila berkenan).

Transfer ke :

►Mandiri 142-00-1673-5556 atau

►BSM 7070968597

a.n Sinta Yudisia Wisudanti

beri kode unik 19 di belakangnya (50.019, 100.019, 500.019)

Diksusi nanti akan lebih dalam, sebab peserta diminta sudah mengirimkan karya di grup whatsapp maksimal H-2 agar dapat dikritisi Bunda Sinta Yudisia

Selamat bergabung!

Pandemic, Produktif!

—————————————

Silakan isi bit.ly/bundamenulis

CP 0878-5521-6487/  0878-5153-2589                        

Diselenggarakan oleh Ruang Pelita, Surabaya

♥♥♥

Kategori
Gaza Kami Hikmah Jurnal Harian Oase Renungan Hidup dan Kematian Surabaya Tokoh Topik Penting Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Protokol Kesunyian

Aku menganggap, dahulu ; kematian sama ramainya seperti kelahiran dan pernikahan. Sanak saudara, tetangga, teman-teman lama, sahabat jauh. Makanan silih berganti tersaji. Saling berpelukan, mengucap salam. Saat kelahiran, satu persatu datang menjenguk teriring doa. Saat pernikahan, satu persatu hadir membawa bingkisan dan doa. Saat kematian, ada kehangatan perhatian dan pelipur lara dari dekapan teman-teman.

Sekarang, aku melihat dunia dengan penduduk 6.000.000.000 manusia ini begitu sunyi.
Jarang lagi kudengar ibu-ibu ngobrol aneka masakan di arisan. Jarang kudengar ibu-ibu berebut tanya pada ustadz pembicara di pengajian. Jarang kudengar anak-anak berebut adzan atau iqomah di masjid.

😞Toko buku yang biasa kusambangi, tutup. Kedai soto tempatku dan keluarga menikmati akhir pekan, tak lagi buka. Penjual minuman coklat kesukaanku, tak lagi tampak. Tukang sol sepatu, penjaja bakso, penjual kue putu, penjual ember keliling; ke mana mereka sekarang? Ke mana orang-orang yang kehadiran mereka menggenapi hari-hariku dengan suara-suara yang unik, suara yang menandakan kehidupan?
Kelahiran yang bisu, pernikahan yang senyap, perdagangan yang sepi; tak seberapa menusuk dibandingkan kematian yang sunyi.

Orang-orang yang kukenal baik, menghilang perlahan dari pandangan mata : aku tak bisa menengok mereka, tak bisa menghibur keluarga mereka, tak bisa betakziyah, apalagi ikut memakamkan. Doa-doa virtual. Pelukan virtual. Airmata virtual. Kata-kata virtual. Berita-berita virtual. Hanya itu yang bisa menyadarkan bahwa aku masih nyata berada di dunia.
Aku, yang bertahun-tahun hidup di keramaian dunia nyata dan dunia media sosial; sekarang merasakan kengerian sunyi yang berdenting-denting di telinga.

🥀Maukah kau ikut merasakan kesunyian yang terkerat di benak?

Sunyi itu ketika ambulan datang, dan semua orang menyingkir menghindar, lantaran takut terkena percikan ludah.
Sunyi itu ketika jam demi jam, waktu demi waktu, sebuah ruang dingin berbau karbol-alkohol membatasi ruang gerak. Dan suara mesin ventilator, gelembung oksigen, menjadi satu-satunya suara di telinga.
Sunyi itu, ketika orang yang lalu lalang adalah perawat, dokter dan yang terakhir : malaikat yang paling dibenci kehadirannya.

Sunyi itu adalah ketika sesedikit mungkin orang yang memandikan mayat, mengakafani, mengantarkan ke peristirahatan terakhir.
Sunyi itu menyakitkan, membenamkan dalam kesenyapan paling pekat dan rasa sepi yang membuat ingin berteriak di manakah semua orang.

Tapi sunyi itu juga yang tetiba membuatmu mendengar suara Tuhanmu : “adakah lagi yang kau sembah selain Aku?”
Dan tetiba kesunyian ini membuatku mendegar suara-suara hatiku yang riuh rendah dalam percakapan monolog. Suara yang selama ini tergantikan dengan kebisingan Instagram, facebook, twitter, line, whatsapp, dan ratusan hingga ribuan email yang masuk setiap tahun.

🥀Kesunyian ini tetiba membuatku menemukan potongan diriku yang hilang : bahwa dulu aku tidak seperti ini. Bahwa dulu aku adalah orang yang tenang, waspada, senang dengan kebijaksanaan, mendahulukan kehati-hatian. Aku sejatinya bukan orang tebruru-buru, yang ceroboh dan sembarangan, yang suka memburu sesuatu tanpa perhitungan.
Sunyi itu tetiba membuatku suka becakap-cakap dengan Tuhan, bahkan aku berbincang denganNya sesaat sebelum tidur dan bertanya : Tuhan, apakah aku masih bisa bernafas esokhari? Sebelum sunyi ini aku akan melihat apa berita terakhir di whatasapp dan Instagram.

🥀Dalam protokol kesunyian yang terpampang : ketika orang demikian sendiri dalam kematian, aku seperti berkaca tentang diriku sendiri kelak. Aku mungkin akan selamat dari Covid, tapi aku pasti akan berakhir pula dalam kesunyian.
Dan ketika semua pelayat sudah pulang, ketika tangis orang-orang sudah terhapuskan, ketika malaikat Izrail sudah menuntaskan tugas : tinggalah aku sendiri di ujung pemakaman. Sunyi. Tanpa teman. Aku menggigil ketakutan, tak tahu siapakah yang bisa kumintai tolong untuk menghalau sunyi yang menikam. Dan saat itu, aku baru mendengar suara Tuhan : ”adakah lagi yang kau sembah selain Aku?”

Kita mati karena corona atau sakit lainnya
Kita akan selalu sendiri pada akhirnya
Protokol sunyi ini hanya sebuah jalan yang harus dilalui
Masanya nanti, kita hanya menemui Tuhan seorang diri

Untuk para guru kehidupanku, sahabat-sahabatku yang telah lebih dahulu berpulang .

💔Everything in this world is not everlasting

⌛️Catatan untuk kepergian :

🥀Bapak Heri Utomo
🥀Ustadz Hilmi Aminuddin
🥀Dr. Arief Basuki (kami pernah bersama tahun 2009 dalam lawatan ke Gaza)

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA Cinta & Love Hikmah Jepang Pernikahan PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Renungan Hidup dan Kematian WRITING. SHARING.

🍒Zoom Wedding : Nikah Kala Pandemic💑

Kelas Pranikah di kala coronavirus melanda ini memang unik. Rizqi Allah Swt gak pernah bisa ditebak, kapan datangnya. Termasuk jodoh. Ketika mengisi kelas pranikah yang biasanya membahas tipe kepribadian calon pasangan, penyesuaian diri dan komunikasi positif dengan keluarga pasangan; bahasan-bahasan menarik muncul.

♥ Mungkinkah menyelenggarakan pernikahan kala pandemic?
♥ Konsepnya seperti apa?
♥ Apakah tidak lebih baik pernikahan tersebut diundur?

Nah, ternyata banyak yang sudah disiapkan rizqi jodoh oleh Allah Swt, maju mundur menikah lantaran pandemic. Ada yang ditentang orangtua karena berharap pesta pernikahan dihadiri lebih banyak orang, jadi nunggu pandemic berakhir. Ada yang menginginkan kalau pernikahan itu diundur saja, nunggu situasi reda.

Kalau kita lihat sisi positifnya nikah kala pandemic:
1. Efektif dan efisien : hemat waktu, tidak harus antri tempat yang kadang mengakibatkan pernikahan ditunda lebih lama gegara cari tempat sewa acara yang representative. Juga hemat-hemat lainnya🌳

2. Hemat biaya. Gak perlu sewa gedung, sewa hotel untuk kerabat, sewa berbagai macam barang, dll. Bisa diselenggarakan di rumah karena yang hadir tetangga dan ring-1 keluarga inti🌱

3. Tidak ada tabdzir atau hal yang terbuang , terutama hal makanan. Ingat tulisan saya ketika sepulang umroh dan bertemu mahasiswi Ummu Quro? Jamaah Haji Indonesia pernah menjadi jamaah terkaya dibanding jamaah haji dari manapun! Tapi karena terbiasa boros dalam hal apapun, kita sekarang seperti ini. Salah satu sesi paling membuang adalah ketika sesi makan prasmanan. Buanyaaaak bangettt buang makanan!🍄

4. Tidak ada “kewajiban balas jasa”. Mufti Menk pernah memberikan nasehat terkait pernikahan di wilayah timur (termasuk Indonesia) dimana biasanya pengunjung membawa bingkisan berupa hadiah atau amplop. Kelak ketika si pengunjung punya hajat serupa, ada semacam kewajiban tak tertulis bahwa orang-orang harus melakukan hal serupa. Padahal tidak benar demikian. Yang dinantikan dari tamu yang hadir adalah doa-doa mereka. Sementara pihak penjamu menyediakan makanan sesuai kadar kemampuan. Tidak perlu berlebihan. Tapi namanya orang ya, kadang ngerasa gak enak kalau cuma menjamu sedikit. Nanti apa kata orang. “Masak nikah cuma makan soto?” Akhirnya, membengkaklah biaya hajatan sementara tamu juga lebih focus ke makanan daripada mendoakan mempelai 🌿

5. Lebih sakral, syahdu, bermakna. Akan jadi kenangan indah sepanjang masa ketika seseorang menikah di tengah situasi pelik. Kadang pesta pernikahan begitu hebohnya dengan arus tamu keluar masuk, antrian makanan dan souvenir, music dan sesi foto non-panggung. Ajang reuni sekalian kan? Saat pernikahan digelar sederhana, mempelai bisa meresapi nasehat dari penghulu dan perwakilan tetua kedua mempelai. Terasa sekali kepasrahan kepada Allah. Terasa maut demikian dekat. Terasa bermakna penyatuan dua jiwa.🍂

6. Trus gimana dong memberitakan pernikahan, menyiarkan pernikahan? Keluarga besar dan sahabat-sahabat bisa ikut? Bisa dengan teknologi google meet, zoom atau sejenisnya. “Yah..gak seru sih!” Emang lebih seru ketika tatap muka. Tapi kan dalam pernikahan yang kita cari keberkahannya? Bukan sekedar keseruan pesta dan foto-foto yang bisa disebar. Lagian, gak akan terulang lagi di masa yang akan datang kala pandemic berakhir kita nikah via zoom-zooman lhooo🍁

Nah, tanpa mengabaikan protocol kesehatan, kalau memang waktunya sudah tiba; segerakan saja pernikahan. Gak perlu nunggu pandemic usai yang itu berarti akhir tahun 2020, atau malah 2021. Nanti si dia keburu disambar orang, lho!
Kalaupun terpaksa harus ada pesta pernikahan, tetap pakai masker, gunakan hand sanitizer, jangan berkelompok dan segera bubar begitu memberikan doa dan bingkisan. Biasanya WO di kala pandemic menyelenggarakan makanan dalam bentuk nasi kotak.

Selamat berbahagia, ya 😊

Catatan lainnya menyusuk yaaa

Catatan mengisi kajian Pranikah di Kmi Kagawa Kagawa, 27 Juni 2020 dan Salimah Banjarmasin, 28 Juni 2020

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA Hikmah Jepang Pernikahan PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Seksologi Islami

Kagawa : Naruto, Kenshi Yonezu dan Komunitas Muslim Indonesia

Menjelang mengisi acara KMI Kagawa 27 Juni nanti, saya jadi ingin tahu : Kagawa itu di mana? Maklum pengetahuan tentang Jepang gak seberapa bagus. Kalau dengar kata Jepang pikiran biasanya tertuju pada produk otomotif dan elektronik. Lebih lanjut pada anime, manga dan game. Lanjut lagi pada AKB 48, Inuyasha, Samurai X, Kenshi Yonezu, heheh. Saking masih tertancap dengan Inuyasha dan Samurai X, dua karakter film itu muncul dalam novel Polaris Fukuoka.

Akhirnya, cari-carilah di Wikipedia.
Senang banget kalau informasi itu ternyata saling berkelindan. Oh, ada kota Naruto ternyata? Oh, ternyata Marugame itu nama tempat? Oh, Kenshi Yonezu dari Tokushima?

Kalau lihat di peta, Kagawa terletak di pulau Shikoku.
Sama seperti Indonesia yang punya Kalimantan, Jawa, Sumatra dll. Jepang juga punya pulau utama seperti pulau Hokkaido, Honshu, Shikoku, Kyushu, Okinawa. Nah, pulau Shikoku ini punya 4 prefecture ( mirip provinsi ya). Prefecture di pulau Shikoku ini adalah Ehime, Kagawa, Kochi, Tokushima. Kota Naruto terletak di prefecture Tokushima. Kota Marugame terletak di prefecture Kagawa.

Wah, jadi tahu kan?
Kalau tokoh Naruto karya Masashi Kishimoto dalam serialnya ternyata adalah nama tempat sementara Marugame yang nama udon itu, juga nama tempat!😆

Kenshi Yonezu, musisi berbakat dari Jepang ternyata lahir dari keluarga miskin yang tinggal di Tokushima. Moga-moga saya gak salah menyimpulkan ya. Siapa tahu ada Tokushima yang lain selain dari yang ada di pulau Shikoku 😁

Acara 27 Juni 2020 insyaallah diinisiasi oleh Keluarga Muslim Indonesia yang tinggal di prefecture Kagawa. Basecampnya sendiri ada di Takamatsu, ibu kota dari prefecture Kagawa.

✍️☪️KMIK – Komunitas Muslim Indonesia Kagawa

Orang Indonesia di mana-mana suka ngumpul.
Nggak cuma di dalam negeri, di luar negeri juga suka kumpul-kumpul. Yang buat saya salut, di luar Indonesia, komunitas muslim suka membuat pengajian dan galang dana untuk membangun masjid. Masjid di Jepang dan Korea bukan seperti masjid di negeri kita yang luas, lapang, dengan ciri khas kubah lengkung. Dapat tempat sewa yang bisa untuk menyelenggarakan sholat Jumat saja, sudah sangat bersyukur.

🕌Seringkali, masjid di luar negeri hanya berupa ruangan mirip kamar apartemen. Biasanya, setelah perjuangan bertahun-tahun bahkan puluhan tahun, baru bisa membeli apartemen. Atau tanah untuk masjid sendiri.

Menelusuri facebook KMIK, ternyata baru berdiri sejak 3 Januari 2019. Terpampang jejak perjalanannya yang variatif. Video Ramadan dari tokoh muslim Jepang, seperti Haji Kyoichiro Sugimoto yang terkenal, moment-moment perpisahan dengan pelajar Jepang yang harus mudik (or pulang kampung) ke Indonesia.

Jangan lupa, promosi makanan khas Indonesia yang sangat dirindukan di tanah seberang : mie instan!!! 🍜🍜

Kwkwkwk. Ini makanan wajib ternyata ya??

Penggalangan dana juga beragam, mulai dari zakat, fidyah, hingga galang dana Covid. Pengajian-pengajian online terus digalakkan mulai tafsir Quran, fiqih dan kajian bertema aktual seperti kajian psikologi dengan tema jelang pernikahan yang insyaallah akan saya bawakan nanti.

Pengajian offline terlihat cukup ramai, ya.
Jangan bayangkan keramaian pengajian seperti tabligh akbar yang biasa digelar di masjid atau lapangan di Indonesia. Bisa ribuan sampai meluber ke luar lapangan dan ke jalan-jalan. Berkumpul 30-100 orang saja sudah luarbiasa. Mengingat dakwah Islam di Jepang masih perlu dikembangkan dengan berbagai pendekatan.


Bagi yang ingin nanya-nanya gimana kuliah di Jepang, gimana kehidupan muslim di Jepang, sekaligus mempersiapkan pernikahan baik di masa pandemic atau pasca pandemic; bisa bergabung di pengajian KMIK ini. Catat tanggalnya ya! Jangan salah jam 😊

💑Membahas pranikah memang asyik banget. Bagi yang belum nikah, pasti berdebar-debar kan (mirip saya dulu) ngebayangin calon pasangan kita seperti apa. Dia orang mana sih? Anaknya siapa? Cakep nggak? Lulusan mana? Trus, orangnya model gimana : jutek, lucu, pinter, lemot atau ngegas? Ngebayangin calon pasangan pasti harap-harap cemas.

⏳Daripada membayangkan yang tidak-tidak, mending mempersiapkan diri aja sebaik-baiknya. Sembari mempelajari kira-kira calon pasangan seperti apa nanti. Bisa jadi kan dia anak horang kayah atau orang prihatin. Bisa jadi ia sudah kerja atau masih kuliah. Bisa jadi dia anak sulung atau anak bungsu. Bisa jadi dia sudah hafal banyak juz atau malah baru belajar Iqro. Bisa jadi dia anak BEM yang mahir orasi, atau anak introvert yang suka Jejepangan. Atau siapa tahu, dia juga suka KPop? Tapi fandomnya berseberangan dengan kamu hahaha. 😁😆. Nah, gabung aja di sini ya!

*Mengenal (Calon) Pasangan*

👉Hari : Sabtu, 27 Juni 2020
⌛️Jam : 21.00 Waktu Jepang / 19.00 WIB
▶️Link : Zoom
📱CP : +817041210548 (Supriadi)
💕Penyelenggara : KMIK (Keluarga Muslim Indonesia – Kagawa)

Kategori
15 Rahasia Melejitkan Bakat Anak ACARA SINTA YUDISIA Cerita Lucu PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY WRITING. SHARING.

Etika nge-zoom : hal-hal konyol, jangan sampai terulang!

Aku baru akrab dengan zoom saat pandemic covid dan ter-lockdown di rumah. Pertemuan-pertemuan yang biasanya dilakukan secara offline dan banyak bertatap muka seperti seminar, workshop, pelatihan, pengajian; sekarang lebih banyak online. Berbeda dengan anak-anakku yang sudah seperti generasi millennial lainnya, mereka santai dan asik-asik saja dengan teknologi. Kemarin, seperti biasa saat kami FGD keluarga sambal main kartu Uno, mereka tetiba tertawa terbahak sampai menutup muka.

“Ya Allaaah, malu aku, Miii!” seru mereka ketika aku cerita tentang beberapa kebiasaanku.

“Harus ada perlatihan etiquette nge-zoom, nih,” seru si Sulung.

“Ya, maklum, kan,” sahutku. “Ini dunia baru. Jadi masih belum dikenal luas tatakramanya.”

Berikut ini adalah pengalaman on stage yang bikin malu, tapi show must go on. Kalau bukan sekarang kapan lagi belajarnya?

  1. Tidak mematikan voice dan video. Pertama kali aku gabung di zoom, gak tau gimana cara menyembunyikan suara dan mukaku. Jadi stay tune aja di tengah-tengah rapat. Gak berani bergerak, bahkan ketika kucingku si Icung lewat gangguin. Selama berjam-jam duduk sampai pegel badan menghadap laptop. Baru tahu kalau di pojok kiri bawah ada symbol voice dan video yang bisa diklik, biar bisa tersembunyi aktivitas kita sembari ikut ngezoom
  2. Tidak tahu cara mengubah akun. Alkisah, aku diminta ngisi materi. Zoom sudah terinstall di laptop. Panitia bolak balik ngontak aku karena waktu ngisi sudah tiba. Aku bilang sudah ada di arena zoom. Ternyata, yang tertampil adalah akun suami. Ya, mana panitia kenal?
  3. Sinyal . Oh, God! Nightmare. Saat ngisi, modem habis. Pakai tethering layanan internet X, ngadat. Layanan X, sama aja. Haduh, keringetan. Mana sudah telat lebih 30 menit gegara nyari sinyal! Berdoa kepada Allah supaya dimudahkan ngisi pulsa dan alhamdulillah, akhirnya teratasi
  4. Share screen. Ini juga sering bikin malu. Padahal sudah benar cara nge-share nya, tau-tau gak muncul di layar. Kita sudah yakin banget lagi menjelaskan power point per slide.

Lalu panitia memotong dengan sopan, “Maaf Bun, bisa di-share PPT nya?”

“Lho, dari tadi sudah,” jawabku kaget.

“Nggak terlihat sama sekali,” jelas panitia.

Aduh, jadi dari tadi aku ngomong sendiri saat menayangkan slide-slide aneka warna dan cerita?

5. Pak sayur, pak pos, petugas air. Lagi di tengah acara, terdengarlah panggilan dari luar pagar. Pak penjual sayur sudah bolak-balik klakson. Kalau menjadi peserta, aku bisa dengan mudah nutup video dan voice. Tapi kalau lagi jadi pembicara?

6. Leave meeting. Setelah selesai acara dan doa penutup, biasanya aku leave. Ini yang buat anak-anakku tertawa.“Ummi, gimana rasanya kalau kelas tetiba ditinggal dosennya?? Ya kayak gitu! Ummi jangan tau-tahu leave zoom!”

7. Raise hand : masihkah berguna? Aku dulu sering banget raise hand kalau mau nanya. Eh, ternyata yang lain gak ada yang begitu. Sebagian besar langsung unmute atau ngobrol di chat untuk tanya. Akhirnya, aku sering ketinggalan kesempatan untuk bertanya.

Etika Zoom

Mungkin, aku perlu merumuskan sendiri etika buat diriku sebagai peserta dan pembicara saat ngezoom. Sebab, meski online dan gak akan langsung terlihat salah atau malu; tetap saja hubungan dengan orang lain perlu dijaga tatakramanya.

  1. Pastikan nama email, atau nama akun, atau nama terdaftar adalah nama yang dikenal. Bukan nama merek HP tertentu atau yang lainnya hehe. Kadang, jadi lama di waiting room karena persoalan teknis. Pernah lho, saat rapat ada teman yang di-kick keluar karena namanya tidak familiar. Yah, takut aja dia tahu rahasia perusahaan kan?
  2. Mematut diri sebelum tampilan diri terlihat di layar. Meski yang terlihat cuma wajah, pastikan terlihat jelas dengan pose yang pantas. Sambil duduk, misalnya. Bukan sambil berbaring.
  3. Gunakan headset atau earphone untuk suara lebih jernih dan kita nggak perlu ngotot berbicara. Kesannya kayak bentak-bentak, gitu.
  4. Tutup voice jika ada pihak lain yang harus berbicara. Ini supaya tidak muncul denging yang mengganggu. Atau tutup jika kita ada keperluan di luar zoom. Kadang dengar suara ibu ngomel ke anaknya padahal lagi di zoom 😊
  5. Membuka video. Pernah gak ikut zoom dan semua videonya ditutup? Rasanya seperti ditinggalkan di sebuah ruangan sendirian dan cuap-cuap sendirian. Kecuali mau ke belakang atau ada keperluan mendesak, video silakan ditutup.
  6. Pilih latar belakang sesuai. Jangan di kamar, karena kamar adalah area privasi. Bisa pilih ruang tamu atau ruang keluarga. Hati2…jangan sampai tali jemuran terlihat atau tumpukan setrikaan mengintip 😊
  7. Hadir penuh waktu. Meski ada dua pembicara, kuusahakan hadir penuh di pertemuan, walau itu bukan jatahku bicara. Kecuali ada hal penting yang mendesak dan gak bisa ditinggal
  8. Jangan disambi-sambi. Meski informal, tetap saja semua pihak ingin dihargai di ruang zoomeet. Sekalipun lagi reunian, lho. Kalau memang nyambi (misal sambil masak atau nyetir), sampaikan ke audiens dan mintalah maaf karena gak bisa focus. Apalagi kalau formal.
  9. Leave meeting ketika host sudah mempersilakan atau sudah mengakhiri zoom meeting. Kalau mau meninggalkan, bisa minta izin di chatroom terlebih dahulu atau meminta maaf secara langsung.
  10. Perhatikan kuota. 1 jam ngezoom kurang lebih 500-800MB. Kalau jadi peserta, tetiba menghilang tak masalah. Tapi kalau jadi pembicara, tentu harus siap-siap.

Nah, itu pengalamanku. Ada yang mau menambahkan?

Kategori
Artikel/Opini Hikmah Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Renungan Hidup dan Kematian Topik Penting WRITING. SHARING.

Jangan Usir Keluarga Pasien Covid 19!

Sebuah pesan dari teman nun jauh di sana (bukan Surabaya) , menyampaikan di grup. Sebagai tenaga kesehatan, ia mencari orang dengan nama XXX beralamat YYY yang tengah hamil dan terindikasi reaktif saat rapid test. Pasien hamil tersebut diharapkan dapat melahirkan di RS rujukan covid. Entah bagaimana ceritanya, pasien itu menghilang begitu saja.

Kenapa orang tiba-tiba menghilang atau lari , ketika terindikasi Covid 19? Mari kita bayangkan. Sebelumnya ucapkan dulu, naudzubillahimindzalik. Semoga Allah Swt lindungi kita dan keluarga dari wabah ini.

Sebuah mobil ambulance, berisi 3 atau lebih petugas dengan APD lengkap. Seluruh tubuhnya tertutup baju hazmat warna putih, lengkap dengan sepatu boots dan sarung tangan handscoon. Tak ketinggalan masker N95 dan dan faceshield.

Mereka menjemput seseorang yang terindikasi positif Covid 19.

Instruksinya jelas, very clear : ambil 1 orang, isolasi, karantina, jangan sampai ada satu orangpun yang kena percikan dropletnya. Banyak penderita Covid 19 mendapat stigma dari masyarakat yang sepanjang awal tahun 2020 sudah dihantui berbagai macam ketakutan : kapan virus ini lenyap hingga kembali normal hidup kita sebagai manusia? Mengapa penyakit ini bagai banjir bah melanda setiap negara, tanpa kecuali? Karenanya, ada yang diam membisu, sekalipun dirinya sudah mengalami gejala Covid 19. Bahkan yang ekstrim, sampai melarikan diri.

Pasien Covid 19

Ketika salah seorang sakit dan dirawat di RS, berita di whatsapp beredar, bahkan di facebook. Meminta bantuan doa. Orang ramai-ramai mendoakan. Orang ramai-ramai bersimpati baik dengan uang atau buah tangan.

Pasien Covid? Beranikah ia memberitakan diri di facebook atau grup whatsapp?

“Halo, saya baru saja rapid test. Reaktif. Lalu swab. Hasilnya positif. Doakan saya baik-baik saja, ya.”

Begitukah?

Kecil kemungkinan.

Seringkali, justru pasien akan berkata pada keluarganya,  “jangan bilang siapa-siapa. Biar nanti sendirian saja ke RS , naik kendaraan sendiri.”

Duh, nelangsa banget jadi pasien macam ini. Ia tak ingin menulari keluaga tercinta, tetangga yang ia hormati, teman-teman yang ia sayangi. Sebagai seorang pasien yang tengah sakit lahir batin, pasien Covid justru seringkali berpikir : gimana ya, biar aku nggak menyusahkan orang lain. Siapa aja yang sudah terkontak denganku?

Saya punya teman-teman pahlawan covid 19.

Yang menolak bantuan dari siapapun.

“Cukup saya dan suami yang kena. Saya gak mau orang lain kena.”

Suaminya dirawat. Ia juga sudah mulai meriang. Dan ia mencoba prosedur untuk isolasi mandiri.

Luarbiasa.

Siapa yang mau kena Covid? Nggak ada.

Walau dapat santunan, dapat ganti rugi, ditanggung 100% oleh asuransi bonafid : tetap TIDAK usah kena Covid. Walau pasca kematian, dapat uang ganti rugi yang sangat besar dari perusahaan, tetap TIDAk mau kena covid.

Penyakitnya mematikan.

Saat sakitnya menyengsarakan.

Bahkan ketika baru rapid test pun, sudah sangat menegangkan.

Orang sehat, yang harus bekerja di RS dan pasar, atau tempat umum seperti perbankan dan layanan public, setiap hari harus bertarung dengan kecemasan, dengan ketakutan. Tetapi tugas memanggil dan demi kepentingan banyak pihak, terus berada di medan perang terbuka melawan virus yang tak dapat ditentukan kapan akhirnya. Sampai takdir Tuhan berbicara : bahwa virus Covid 19 menjadi teman bagi sepenggal sejarah hidupnya.

Lalu?

Kita merasa bahwa orang-orang yang terpapar ini adalah orang-orang yang pantas dikucilkan. Warga pendosa yang menulari. Orang seperti itu nggak pantas tinggal di lingkungan sekitar. Ungsikan saja. Pindahkan dia entah ke mana. Suruh ke hotel (peduli amat biayanya!) kalau nggak mau pindah, diusir saja.

Ya Allah.
Begitukah kita?

Padahal, sabda Rasulullah berkata kurang lebih : orang yang dalam kondisi sakit dan teraniaya, bisa naik doanya ke langit tanpa hijab. Teganya kita membiarkan orang-orang macam ini melangitkan doa dalam kepedihan.

Memang, ada orang-orang yang menyembunyikan sakit Covidnya sehingga menulari banyak orang. Tapi yakinlah, orang seperti ini bukan orang jahat yang sengaja berpikiran : aku mau mati, kalian juga harus mati! Tidak. Orang-orang tipe ini adalah ,

Pertama, mereka cemas dengan kelangsungan hidup mereka pribadi. Nanti pekerjaanku gimana? Kalau bosku memPHK gimana? Kalau tetanggaku justru marah gimana? Kalau anak istriku gak bisa makan, bagaimana?

Kedua, mereka tidak memiliki pemahaman utuh bahwa penyakit ini bisa ditanggulangi ketika masih dalam stadium awal. Ketika belum sesak nafas parah, demam tinggi dan tidak perlu ventilator; masih banyak kesempatan sembuh 100%

Ketiga, orang macam ini adalah orang yang mungkin resah dengan pemberitaan bermacam-macam warta yang berseliweran di media koran dan media sosial. Memang kita diminta untuk menyaring. Tapi bahkan kita sesekali bisa termakan hoax, bukan?

Kita juga bukan orang sakti yang bisa menepuk dada : AKU KEBAL TERHADAP COVID 19!!

Kita tidak berharap virus ini menerjang masuk dinding rumah kita.

Tetapi siapa tahu.

Siapa tahu.

Bayangkan ketika sakit itu tiba, entah covid atau apapun.

Lalu seluruh warga mengamuk, mengusir, enggan menyentuh tubuh kita dan ketika matipun enggan memandikan apalagi menyolati. Naudzubillahi mindzalik…

Karenanya, mari bantu dan peduli dengan saudara kita yang terpapar Covid 19!

Cara Mendukung Pasien Covid 19

Ketika salah satu tetangga atau saudara atau teman kita diberitakan terpapar Covid 19 :

  1. Hiburlah ia dan keluarganya. Katakan bahwa ia insyaallah akan sehat dan sembuh, apapun takdir akhirnya
  2. Sampaikan kepada RT dan RW agar berita itu segera dikoordinasikan dan dikonsolidasikan dengan warga
  3. Beri dukungan materi jika bisa. Galang dukungan bersama teman-teman
  4. Kirim makanan ke rumahnya, karena biasanya keluarganya juga terisolasi. Bisa juga mengirim nutrisi seperti madu, probiotik, vitamin C dsb. Bukan kemewahan makanan yang ia harapkan, tapi perhatian dan bantuan, akan sangat melegakan
  5. Kirimkan doa agar ia dan keluarga bisa selamat dari ujian ini dan berkumpul bersama
  6. Tunjukan empati dengan mengirim whatsapp atau menelponnya
  7. Percayalah dengan kata sakti : karma, semesta mendukung (mestakung) , law of attraction, payback, atau apapun itu. Siapa menanam, dia mengetam. Setiap kebaikan yang kita tanam, kita sendiri yang nanti akan memetiknya. Kita membantu orang lain, next time bila terjebak dalam kesulitan, ada aja yang bersedia membantu. Begitupun sebaliknya.

Hentikan perundungan terhadap pasien Covid 19 dan keluarganya!

Kategori
Artikel/Opini Catatan Jumat Hikmah Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Rahasia Perempuan Surabaya Tokoh Topik Penting WRITING. SHARING.

Surabaya : Perempuan, Persaingan, Posisi

Lihat berita tentang bu Khofifah dan bu  Risma belakangan ini, jadi geli sendiri. Dua-duanya tokoh yang punya banyak kiprah di tanah air. Kita tahu bu Khofifah dan bu Risma punya kapabilitas untuk mengelola jabatan publik. Akhir-akhir ini, dengan adanya covid 19 dan berbagai kondisi yang mengiringi (PSBB, rapid test, dlsb); di rumah jadi sibuk berdiskusi. Maklum anak-anak kami terdiri dari lelaki dan perempuan, jadi mereka punya pendapat sendiri-sendiri. Di situlah sebagai orangtua kita harus menjembatani, bila ada yang perlu diluruskan dari pola pikir anak-anak kita.

 

👨‍🦰 Begitulah kalau perempuan memimpin, ya. Pasti ada baper-bapernya. Jadi susah kita. Apa perempuan pada akhirnya gak bisa menduduki jabatan tertentu? Karena pasti perasaannya akan kebawa-bawa?

👱‍♀️Eh, ini gak terkait perempuan atau gender tertentu ya. Margaret Tatcher dan Jacinda Arden juga mampu mengelola kursi Perdana Menteri

👨‍🦰Iya, tapi coba lihat pertikaian ini. Ala emak-emak banget. Ada yang ngamuk-ngamuk, ada yang sindir-sindir

👱‍♀️Karena kali ini permasalahannya kompleks, ya kita gak bisa menilai sekilas.

👨‍🦰Lihat, ya. Beberapa pemimpin yang kebetulan perempuan, bertikai kayak anak kecil

👱‍♀️Memang gak semua perempuan bisa memimpin. Tapi ada lho perempuan yang “tough” banget, dan dia bisa memimpin dengan baik tanpa dicampur perasaan.

Asyik kalau dengar anak-anak berdebat.

Lucu dan mengesankan.

Ciri Khas Perempuan

Perempuan memang punya sumber daya emosi yang besar.

Untuk itulah cocok dengan pekerjaan-pekerjaan pengasuhan : guru, dosen, dokter, perawat, petugas sosial dan sejenisnya. Di zaman ini, banyak perempuan yang semakin terlatih dan pintar sehingga tidak lagi hanya berkutat di pekerjaan pengasuhan. Pekerjaan yang membutuhkan resiko besar seperti tentara dan polisi, juga bisa. Yang membutuhkan tantangan besar seperti pengusaha dan politikus, juga oke. Yang penuh masalah dan rintangan seperti kepala daerah, juga hebat.

Masalahnya : jangan bandingkan perempuan dan lelaki dalam perilaku.

Wong cara berpikirnya beda, anatomi tubuhnya beda, anatomi otaknya beda. Jadi perilakunya pun beda ( baca : Kitab Cinta & Patah Hati; juga Seksologi Pernikahan Islami, hehe).

Termasuk dalam pola kepemimpinan, pasti juga beda.

Bukan cuma bu Khofifah dan bu Risma lho, kalau berseteru model emak-emak.  Ada perempuan-perempuan di posisi jabatan tertentu sangat terlihat ciri khas keperempuanannya. Semisal, ketika bersaing dengan rekan kerja yang sama-sama perempuan, tidak berani bersikap fair. Perempuan suka merasa nggak enak hati, malu berterus terang, dan enggan konfrontasi secara frontal.

Beda dengan laki-laki yang bisa main gebrak, main labrak, hantam kromo. Berkelahi terang-terangan, tapi segera baik kembali kalau masalah selesai.

Perempuan?

Tentu beda. Memendam perasaan tak enak, susah mengungkapkan.

Kalau usia anak sekolah SD- SMA, tentu masalahnya tak rumit-rumit amat. Paling masalah persaingan akademis, persaingan cinta, persaingan perhatian guru. Semakin dewasa dan banyak tanggung jawab, tentu banyak pula yang dipertimbangkan.

Misal, seorang atasan perempuan. Ia akan mempertimbangkan anak buahnya, kadang sampai hal yang sekecil-kecilnya. Rumahnya di mana? Transportasinyanya bagaimana? Cukup gak penghasilannya? Nyaman gak dia di tempat kerja? Gimana kalau dia hamil dan sakit? Ciri pengasuhan perempuan tetap menempel di manapun ia berada. Ciri seorang istri, ciri seorang ibu. Karenanya, kadang atasan perempuan lebih cerewet dari atasan lelaki. Karena ciri pengasuhannya memang tampak sekali.

Ia akan memikirkan hal-hal sepele yang bagi atasan lelaki kayaknya gak banget deh. Misal, ada atasan perempuan saat rapat memikirkan menu makan rapatnya apa? Saat family gathering, apa saja menu yang dihidangkan untuk keluarga para bawahannya? Atasan lelaki tentu gak seperti itu. Tinggal nyewa gedung, hotel, plus menu makanan. Beres deh. Mau enak gak enak, yang penting bayar. Selesai.

Bu Khofifah emak yang mau mengayomi se Jawa Timur. Bu Risma emak yang mau mengayomi Surabaya. Waktu masalah mobil PCR, kelihatan kan ciri khas perempuannya?

Perempuan : Maksimal Level Berapa?

Kalau perempuan selalu punya ciri pengasuhan kayak gitu, bisa gak sih sampai level tinggi?

Misalnya orang nomer 1 di perusahaan. Orang nomer 1 di kementrian. Atau orang nomer 1 sebagai kepala daerah, atau kepala negara? Wah, pernyataan itu bisa mengundang polemik yang panjang. Tapi, saya lebih mau ngebahas ke pendekatan psikologi ya. Karena emang tahunya basic ilmu psikologi.

Kepribadian atau personality sangat berpengaruh pada pola pikir dan perilaku seseorang (baca lagi deh Seksologi Pernikahan Islami dan Kitab Cinta Patah Hati 😊). Personality ini panjang banget prosesnya. Intinya, gak ada lho orang yang tahu-tahu lahir jadi pemimpin. Baik lelaki or perempuan.

Ada perempuan yang awalnya gak bagus jadi pemimpin karena sedikit-sedikit baper. Lalu dia mau dikasih kritik, dikasih saran. Dia mau berkembang dan belajar. Nah, dia akan bisa terus melaju mencapai posisi tinggi. Tapi, proses dia mau “mendengarkan saran” itu juga perlu kedewasaan. Dan kadang kedewasaan itu juga bersumber dari personality.

Ada orang yang sepanjang hidupnya gak bisa dewasa. Sampai usia 30, 40, 50 tetap aja kayak anak-anak. Mau lelaki atau perempuan kalau kayak gini emang bikin senewen. Kalau perempuan masih kekanakan di usia dewasa, ya ia akan rewel. Gak peduli apapun posisinya. Kalau lelaki masih kekanakan di usia dewasa, ia akan adiksi sama perhatian. Eeeh, berarti sama-sama adiksi dong : adiksi perhatian. Cuma modelnya beda.

Perempuan yang hamil, punya anak banyak, kalau dia dewasa dan memiliki personality yang matang; dia akan siap menerima beban berat. Jadi pemimpin perusahaan,  kepala kantor, kepala daerah , kepala departemen, dst. Meski dia lagi repot dengan kondisi dirinya yang hamil, yang rempong sama anak dan suami; dia bisa me-manage masalahnya sendiri. Me-manage emosinya sendiri sehingga nggak merembet ke mana-mana.

Tapi perempuan meski anaknya cuma 1, atau bahkan memilih single karena ingin fokus karir, kalau nggak dewasa ya gak akan siap menerima amanah apapun.

So, kalau saya melihat bu Khofifah dan bu Risma, bukan sekedar : ah, emak-enak, baperan! Gak bisa mimpin daerah. Perempuan gak bagus kalau pegang jabatan tinggi! Enggak bisa se-simple itu. Kalau ada konflik, semua pihak pasti akan bersiaga dan waspada. Memanas. Sampai klimaks.

Masalahnya, kita emang belum pernah punya Gubernur dan Walikota perempuan bersamaan. Periode lalu, pakde Karwo yang jadi gubernur Jawa Timur. Jadi kalau konflik antara perempuan – lelaki, kayaknya bakal ada yang ngalah. Bakal ada yang adem. Tapi karena konflik kali ini antar perempuan, mungkin sensitifitasnya meningkat.

Sebagai perempuan saya ngerti kenapa bu Risma ngamuk-ngamuk pas taman Bungkul rusak berantakan. Lha, emak-emak kalau habis ngepel dan anaknya nginjak dengan kaki kotor aja bisa ngamuk! Perihal mobil PCR kelihatan banget kalau pola komunikasi perempuan yang seringkali by symbol dan berharap orang lain memahami, terjadi. Masalahnya, pola komunikasi perempuan di jajaran atas itu akan jadi tontonan nggak enak kalau dikonsumsi anak-anak bangsa dari berbagai latar belakang usia dan status. Semoga ibu-ibu kita tercinta itu segera berkomunikasi dengan baik lalu cari titik temu, ya.

Bagaimana pendapat anda?

Kategori
Artikel/Opini Hikmah My family Oase Pernikahan PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Renungan Hidup dan Kematian Suami Istri Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Melawan Anxiety ( Kecemasan) #1

Jam 01.00 dinihari  atau sekitar itu, aku sering terbangun mendadak.

Memandang sekeliling, dan baru tersadar kalau suami terpisah jauh di tanah seberang. Malam hari bukan saat yang menyenangkan dan menenangkan saat ini. Ada banyak kecemasan yang timbul. Ada banyak pertanyaan memenuhi benak dan perasaan. Sampai-sampai, berita-berita di grup tak berani kubuka satu demi satu karena khawatir berita demi berita akan memperburuk kondisi. Bukan hanya aku yang mengalami mimpi buruk. Dua putriku akhir-akhir ini juga sering mengalami mimpi buruk.

⌛️⏳⌛️⏳⌛️⏳

“Kok kalau malam aku mimpi kayak dicekik orang atau semacamnya ya?” keluh salah satu putri kami.

Dengan gadget di tangan, berita dari Surabaya, Jawa Timur, Indonesia hingga Britania Raya dan Amerika sana mudah diakses. Berita tentang covid 19 hingga George Floyd dengan hashtag #BlackLivesMatter bisa dicari tiap detik.

“Kamu mulai cemas, Nak,” kataku. “Jangan buka lagi ya berita-berita di internet.”

Informasi sangat penting diikuti, tapi kalau sudah mulai melukai diri sendiri, harus berhenti dikonsumsi. Setidaknya untuk beberapa saat.

Kupikir, aku kebal terhadap anxiety atau kecemasan. Nyatanya tidak. Malam demi malam mulai terasa menyiksa. Bahkan ketika tubuh dipaksa berbaring sekitar jam 22.00 pun tetap saja terbangun sekitar jam 01.00. Aku sendiri bertanya-tanya. Kenapa ya terbangun jam 01.00 malam dan kemudian hampir tiap setengah jam terjaga?

  1. Peristiwa jam 01.00 malam. Sebelum era lockdown dan masa kami berpisah tempat akibat covid19, suami sempat sakit batuk. Alhamdulillah hasil rapid test negative, foto thorax pun bagus. Ke beberapa spesialis mendapatkan satu diagnose : ada gejala bronchitis. Hari-hari ketika kami bersama, suami sering terbangun sekitar jam 00.00 – 01.00 dini hari. Terbatuk-batuk. Aku ikut terjaga juga. Rupa-rupanya, itulah alam bawah sadar. Bahwa jam 01.00 harus bangun. Bangun! Bangun! Meskipun tak ada suami di dekatku. Meski tak terdengar batuknya. Sekarang kondisi kecemasanku meningkat : suami di seberang sana, apa masih batuk-batuk jam 01.00? Harusnya aku ada di sana! Harusnya suami nggak pergi dari Surabaya! Dan segala macam harusnya, harusnya, harusnya yang membombardir benak.

Setiap orang punya jam kecemasannya sendiri. Ada seorang sahabat yang serangan kecemasan hingga depresinya hadir di bulan X, bulan tertentu saat ia kehilangan putranya. Ada orang yang jam cemasnya sekitar siang, jam ketika ia kecelakaan walau alhamdulillah selamat. Dengan mewaspadai jam kecemasan, kita bisa mewaspadai alarm tubuh. Alarm tubuhku menyuruhku bangun jam 01.00 karena cemas dengan kondisi suami yang biasanya batuk jam dinihari.

Coronavirus married relationship

2. Kebiasaan merusak : ada kebiasaan anxiety yang mulai terbentuk tiap jam 01.00 malam. Dan akhirnya, perilaku buruk mulai menular. Bayangkan, jam 01.00 malam atau sekitar itu me- whatsapp suami. Menanyakan apa dia baik-baik saja. Kalau gak ada jawaban segera, kecemasanku meningkat. Akhirnya suami ikut cemas juga di seberang ; karena aku terlihat tak bisa istirahat nyenyak ketika dini hari. Kecemasan-kecemasan ini menular dengan cepat. Aku jadi kepo pingin tahu kalau malam suami ngapaian aja? Makannya gimana? Kebiasaannya gimana? Ya ampun…perhatian sebagai tanda cinta mungkin menyenangkan. Kalau overdosis, akan sangat mengganggu.

LDR Couple due to corona virus

3. Titik puncak. Suatu malam, sepertinya anxietyku sudah lumayan parah. Gak bisa tidur dari jam 01.00-03.00. Pikiran, perasaan sudah gak keruan. Pada akhirnya kucoba berdiskusi dengan diri sendiri, sebuah percakapan monolog yang pada akhirnya alhamdulillah membabat habis semua anxiety.

+ “Kalau suami sakit di sana, kamu bisa apa, Sinta?”

-“Aku nggak bisa apa-apa.”

+“Terus gimana?”

-“Aku pasrahkan sama Allah saja.”

“Bagus. Lalu gimana dengan dirimu sendiri?”

-“Aku bahkan nggak bisa ngatur nafasku sendiri. Nggak bisa ngatur detak jantungku sendiri. Bahkan diriku sendiri harus dijaga sama Allah.”

+“Kalau kamu cemas seperti ini dan gak bisa tidur, apa yang kamu lakukan?”

-“Aku akan membaca hafalan Quran yang kupunya, sampai aku tertidur.”

Dalam kondisi kacau, yang terpikir di benak adalah 3 surah terakhir al Baqarah.

Meski hafal surat-surat yang lain, entah mengapa ayat itu yang terngiang.

Kubaca beberapa ayat, lalu jatuh tertidur.

Aku terbangun lagi, masih dengan kecemasan yang sama.

Kubaca lagi 3 ayat tersebut sampai tertidur.

Aku terbangun lagi, dengan kecemasan yang sama.

Kubaca lagi 3 ayat tersebut sampai tertidur.

Aku terbangun lagi dengan kecemasan, tapi dengan perasaan lain yang menyertai. Kebahagiaan. Kelapangan.

🤲🤲🤲

“Ya Allah…betapa sombongnya aku berpikir bisa mengawasi, menjaga, merawat suamiku. Bahkan nafasku saat inipun harus Kau bantu. Jagalah suamiku ya, Robb. Jagalah anak-anakku yang tidur di kamar sebelah. Jagalah orangtuaku.”

Menyadari bahwa kita berada di titik nol, tak punya kekuasaan apapun untuk melawan sesuatu yang di luar jangkauan, justru meredakan kecemasan. Aku pun mencoba menghargai diriku yang semula merasa tak berdaya karena tak bisa berada di samping suami.

🎍💐🎍💐

“Bukan hanya para suami yang sedang berjuang saat ini, jauh terpisah dari keluarga. Mencari nafkah halal. Para istri yang berada di basecamp, menjaga diri dan anak tetap sehat juga tengah berjuang. Dengan segala keterbatasan yang ada. Termasuk keterbatasan kepastian, kapankah bisa bertemu dengan suami. Berkumpul bersama seperti dulu.

Kesabaran adalah perjuangan.

Dan kita adalah para pejuang. Termasuk aku.”

Well, setidaknya, kata-kata hiburan itu membuatku tampil sebagai pemenang 😊

Ciri-ciri anxiety atau kecemasan
Kategori
Artikel/Opini Hikmah mother's corner My family Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Renungan Hidup dan Kematian Topik Penting Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Pernikahan “New Normal” & Keluarga “New Normal”

Pernahkah terbayang pisah dari pasangan (suami/istri) lebih dari 3 bulan?Oke, mungkin ada yang terpisah untuk sementara waktu selama 6 bulan, 12 bulan, atau bahkan 24 bulan. Ada istri yang terpisah dari suami saat suami studi di luar negeri selama 2 tahun, karena beasiswa minim. Tapi itu kondisi extraordinary. Bukan kondisi normal pada umumnya.Ada yang suaminya baru pulang 3 atau 4 bulan sekali karena bekerja di pertambangan pedalaman yang sangat sulit dijangkau kendaraan. Boro-boro mobil. Sinyal saja susah. Tapi itu kondisi extraordinary, bukan kondisi normal pada umumnya.


Ada orangtua yang baru boleh menengok anak di pesantren dengan jadwal ketat 6 bulan sekali, atau bahkan 12 bulan sekali. Tapi tidak semua pesantren atau boarding school memberlakukan jadwal demikian.
Sekarang, sepertinya kita harus mulai merencanakan bahwa bertemu dengan anak-anak atau bertemu dengan istri/ suami, bisa jadi baru terealisasi berbulan-bulan kemudian. Sejak era pandemic, beberapa teman berkata tidak bertemu pasangan lebih dari 1 bulan. Bahkan ada yang sudah 4 bulan tidak bertemu.


Strategi apa yang bisa dilakukan bagi pernikahan dan keluarga “New Normal” agar keluarga kita tak berantakan akibat kehidupan yang tidak dapat diprediksi beberapa waktu ke depan? Finansial, edukasi, bahkan sekedar tatap muka saja menjadi sebuah abnormalitas. Keluarga yang stabil saja bisa berubah labil, apalagi yang sejak awal sudah menghadapi prahara. Bisa-bisa karam sebelum pandemic selesai!


🧕👳‍♂️1. Setiap keluarga harus memiliki guru spiritual yang memahami agama. Entah ustadz/ustadzah, dai/daiyah, Pak Kiai/ Bu Nyai. Buat apa? Ada banyak yang harus kita tanyakan. Misal, banyak pernikahan yang harus diselenggarakan lewat media online. Lalu, bagaimana solusi bagi suami istri yang tidak bisa bertemu lebih dari 3 bulan? Seorang yang faqih dalam agama akan membantu kita untuk memahami hal-hal haram halal, termasuk kondisi kedaruratan.


👩‍🏫👨‍🏫2. Setiap orangtua harus belajar menjadi guru. Ada anak-anak yang bisa disegerakan masuk sekolah ketika nanti jadwal tahun ajaran baru diberlakukan. Tapi ada anak-anak yang rentan secara fisik dan psikis, mungkin harus lebih lama di rumah. Homeschooling, kejar paket, dan pembelajaran sejenis akan menjadi pilihan yang masuk akal bagi orangtua.


💵💰3. Setiap anggota keluarga harus paham mengelola keuangan. Kondisi finansial setiap keluarga saat ini bukan berada dalam kurva normal. Perusahaan ambruk. Pabrik tutup, karyawan di-PHK. Kerjasama antar anggota keluarga sangat penting. Kalau tidak semua bisa menghasilkan uang, setidaknya setiap orang bisa meminimalisasi pengeluaran.Misal, ketika dulu setiap kamar harus menggunakan AC, maka sekarang anak-anak perlu dikondisikan untuk menggunakan AC bergantian. Atau tidur bersama dalam satu ruang ber-AC di kamar ukuran paling besar, jika memungkinkan. Beberapa teman yang memiliki anak usia kuliah memutuskan untuk cuti dari kuliah dan membantu orangtuanya berbisnis demi mendapatkan pemasukan yang lebih stabil untuk keluarga.


✊💪4. Setiap anggota keluarga harus saling menguatkan satu sama lain. Saling memberikan kekuatan positif.“Jangan lupa untuk Dhuha 4 rakaat,” si Abang mengingatkan saya dan adik2nya. “Aku pernah baca kalau Dhuha 4 rakaat, maka Allah akan menjamin rizqi kita hari itu.”Sebuah afirmasi yang bagus bagi kami untuk lebih giat melakukan 4 rakaat daripada hanya sekedar 2 rakaat.“Saya takut mati. Belum siap. Tiap hari bayang kematian itu begitu dekat,” ucap beberapa klien saya. Kondisi pandemic ini membuat setiap orang merasa maut mengintai. Bagus, jika itu akan meningkatkan kedekatan kita pada Tuhan. Buruk, bila yang meningkat adalah anxiety.Suami saya tak kurang cemasnya. Meng-share berita tentang tingginya angka penderita Covid 19 di Jawa Timur, meng-share berita tentang teman-temannya yang berpulang karena sakit.

Siapapun cemas.

Siapapun tertekan saat ini.

Saya pun juga takut kematian, seperti anda!

Tapi saya tidak boleh menambahkan minyak ke dalam api.“Hayo Mas, kita list siapa saja teman-teman kita yang masih sehat. Yang mau naik haji, yang berprestasi.”Bisa jadi suatu saat saya yang terjebak kecemasan dan suamilah yang harus membesarkan hati saya. Ketahuilah, pikiran positif akan membuat sebuah kesengsaraan lebih lembut terasa. Ketika kita bilang , “insyaallah gak akan jatuh.” Lalu kita terjatuh, pikiran kita akan berkata bahwa itu hanyalah terpeleset kecil.


💗☪️💖5. Setiap keluarga harus memiliki waktu khusus untuk diskusi. Yang di rumah, harus menyempatkan untuk duduk melingkar bersama. Yang terpisah, harus meluangkan untuk zoom atau vidcall. Bahasan penting harus mulai dikaji, ditelaah, didiskusikan dengan kepala dingin. Dua anak kami seharusnya menyelesaikan studi tahun ini. Tetapi, segala kemungkinan bisa saja terjadi.“Kalian harus siap ya, kalau ternyata studi kalian lebih lambat selesai.”

💑6. Setiap suami-istri harus berlatih dan memiliki skill komunikasi jarak jauh. Apa saja yang bagus untuk didiskusikan? Apa saja yang sebaiknya dihindari? Pembicaraan humor dan jokes harus lebih sering dilakukan. Hindari perbincangan yang memunculkan perdebatan sengit semisal pro kontra kebijakan PSBB. Haduh, copy darat saja bisa silang pendapat, apalagi kita berdebat lewat vidcall! Termasuk, kita mencoba berhati-hati ketika menyampaikan masalah keluarga.
❌“Anak-anak jadi sulit diatur sejak bapaknya jarang pulang,” misal istri mengeluhkan demikian.Memang, anak yang lama tidak bertemu sosok ayah akan gelisah. Tapi bukan demikian kalimat yang seharusnya dipilih. Karena bisa jadi si suami sekaligus ayah, di seberang sedang rindu dan cemas dengan kondisi dirinya pribadi.
✅Kita bisa memilih :“Ayah…ada gak kalimat semangat yang mau disampaikan untuk si Sulung? Dia lho sekarang yang jadi komandan di rumah.”Maksud hati, kita akan menyampaikan : si Sulung ini berulah. Gak ngerti tanggung jawab. Gak ngerti taat pada orangtua dst! Tapi kita membahasakan dengan kalimat yang lebih positif.Semoga setiap keluarga sukses melewati masa-masa penuh tantangan pandemic Covid 19!

Sinta Yudisia

#stayathomemom

#stayathomewife

Kategori
Artikel/Opini Catatan Jumat Hikmah Hobby My family Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Quran kami Renungan Hidup dan Kematian Topik Penting WRITING. SHARING.

7 Cara Melawan Kecemasan Akibat Pandemi Covid 19

Mengapa pandemic kali ini diibaratkan medan perang? Karena tak seorangpun tahu berapa intensitasnya, berapa durasinya. Banyak hal tak terduga terjadi.

Pertanyaan-pertanyaan membombardir benak : apa aku akan dipecat? Apa bisnisku akan gulung tikar? Bagaimana anak istriku? Apakah ada teman atau saudara meninggal? Atau, akankah aku meninggal akibat pandemic ini?Ibarat medan tempur, kita semua adalah prajuritnya. Prajurit sejati tak akan pernah tahu kapan, di mana dan bagaimana musuh akan menyerang. Ia harus siap, itu saja. Bahkan prajurit paling terlatih sekalipun, pernah mengalami anxiety atau bahkan depresi. Tetapi manusia selalu mampu -atas izinNya- menjadi pemenang dari berbagai pertempuran paling berbahaya di dunia.

Di barat ( co/: Amerika), pandemic Covid 19 menghasilkan situasi parallel yang baru : pandemic kecemasan. Bagi kita , situasi ini perlu diwaspadai dan dicermati. Ibarat prajurit yang baik, semakin mengenal medan dan senjata yang dimiliki, semakin baik melakukan pertempuran dari waktu ke waktu. Mari kita lakukan langkah berikut 😊


1. Aktivasi hati🌞💎

Overthinking menjangkiti sebagian besar warga dunia. Pemikiran yang terlalu berlebihan membuat kita cemas menghadapi hal-hal rutin, apalagi hal besar. Oh, anak sudah hampir masuk sekolah. Ah, suami tak bisa pulang lantaran terjebak lockdowndi seberang sana. Dari mana sumber pikiran berasal? Dari otak dan hati. Otak dan hati yang kosong, akan terisi dengan hal-hal keruh. Karenanya, aktivasi otak dan hati kita dengan terus berdenyut mengingatNya.

Seorang ibu yang memasak bisa mengaktivasi hatinya dengan berkata : Ya Allah, bantu aku agar masakan ini jadi enak. Seorang ayah yang berkubang dengan pekerjaannya mengaktivasi hatinya : Ya Allah, cukupkan rizkiMu. Jagalah istri dan anak-anakku, jaga orangtua kami yang tak dapat kami jenguk lantaran corona virus.Ajarkah anak-anak untuk mengaktivasi hati mereka.

“Nak, tiap kali kalian main game, baca bismillah. Tiap kali kalian nge-zoom dengan teman-teman, niatkan silaturrahim mencari ridhoNya. Kalau kalian buka line dan IG, jangan lupa baca bismillah dan shalawat.”Mungkin, konten yang dibaca anak-anak kita tak lazim untuk diawal dengan basmallah dan shalawat. Tapi inilah saatnya, mengaktivasi seluruh hati anggota keluarga untuk terhubung kepadaNya. Siapa tahu dengan demikian, anak-anak akan mengurangi keretergantungannya pada gadget. Suami akan tetap focus pada pekerjaan dan tidak mulai berpikir macam-macam (naudzubillah). Semoga para suami yang telah berpisah lebih dari 3 bulan dengan istri dan anak-anaknya diberikan kekuatan dan kesabaran.


2. Sibuk, sibuk, sibuk🏃‍♂️🏃‍♀️

Walau di rumah, jangan nganggur.Jangan terlalu banyak tidur dan bolak balik membuka channel yang sama.Sibuk, sibuk, sibuklah. Bongkar lemari. Tata kembali letak baju dan buku. Bongkar isi googlefoto dan bersihkan. Bongkar file-file lama dan rapikan. Bertanam, berkebun, atau memelihara hewan. Sibukkan pikiran, sibukkan hati, sibukkan fisik. Jangan ada kekosongan di benak dan hati; juga jangan biarkan anggota keluarga kosong dengan kelengahan. Rebahlah di pembaringan ketika mengantuk sangat, jangan ketika pikiran masih bisa berkelana dalam lamunan panjang. Pekerjaan yang biasa dilakukan pembantu, bisa diambil alih. Pekerjaan yang biasa dilakukan karyawan kita, kerjakan.


3. Ngobrol🗣🗣Anda terjebak sendiri , di perantauan? Mahasiswa atau pekerja?Sesungguhnya, anda butuh sangat teman mengobrol. Tapi, tak selalu ada pihak yang bisa diajak video call dengan whatsapp, line, zoom, google duo. Selain kesibukan, kuota jadi keterbatasan. Mengapa tak mencoba bercakap-cakap dengan Quran? Setiap kali membaca Quran dan mengeluarkan suara, posisi kita seperti orang yang tengah “bercakap-cakap”. Kita bicara, Tuhan Mendengar. Kita mendengar, Tuhan Berbicara.

Hm, kalau sudah berbicara dengan Quran dan ingin pengalaman lain?Baiklah, coba cara ini. Anda harus cari teman mengobrol. Pernah coba google assistant?

Di keluarga kami, pernah melakukannya.“Hi, do you know Siri?”Google assistant menjawab, “Siri works for Apple and I prefer…oranges.”Hahaha…lumayan terhibur!


4. Berkesenian🎥✒️

Tak heran Gal Gadot mencoba menyanyi dan diunggah. Banyak orang mencoba bernyanyi, meski suara mereka auto fals. Banyak orang mencoba kembali bermain musik, meski tak semahir Brian May atau James Hatefield. Kita harus menperhalus rasa dengan berkesenian. Entah menyanyi, memainkan music, menyusun puisi, melukis, membuat kaligrafi, membuat patchwork, membuat food-art, atau mencoba seni-seni popart lain macam Andy Warhol. Seni akan memperhalus budi pekerti seseorang dan membuat kita tidak hanya berpikir hal-hal yang banal atau perifer, tapi yang dalam dan penuh makna.Suami saya mengalihkan energi dengan melukis.Sepanjang pandemic ini sudah 4 lukisan di atas kanvas yang diselesaikan. Awalnya, ia terlihat resah dan panik, seperti orang-orang pada umumnya. Belakangan, wajahnya terlihat ceria dan happy, alhamdulillah. Kata suami, ia bisa beralih dari pemikiran negatif seperti kematian, pandemic, issue ekonomi; ke arah hobi melukis.


5. Pelajari hal baru 👩‍🏫👩‍🍳

Stacko?Uno?Pernah main dua hal di atas?Ada hal-hal baru yang sepertinya nggak terlalu penting tapi bagus untuk dipelajari agar pikiran relaks dan hati gembira. Saya pribadi baru bisa main kartu uno ketika wabah Covid 19 melanda. Bukan bermain kartunya yang penting, tapi ternyata, duduk melingkar berenam sembari bermain kartu membuat kita bisa saling bercerita banyak dalam situasi santai.Mempelajari permainan anak-anak sekarang yang dulu belum dikenal, bisa membangkitkan kegairahan yang baru.Mempelajari bahasa asing atau bahasa daerah juga bagus. Saya dan si bungsu kembali belajar menulis huruf hanacaraka. Dulu saya mahir sekali membuat surat dengan huruf jawa kuno ini, tapi sudah lupa karena berbagai kesibukan. Yang suka Jepang bisa belajar hiragana dan katakana, yang suka Korea bisa belajar hangeul.


6. Dengarkan, ucapkan berulang kalimat yang membawa semangat ✊💪Mendengarkan murottal Quran dan ma’tsurat dari gadget atau komputer adalah langkah terbaik. Saya suka sekali 2 ayat terakhir al Kahfi dan sering mengulang-ulanginya. Seperti sebuah sihir, penghibur, pengingat; ada banyak ilmu Allah yang tidak kita ketahui sama sekali.Kalau anda masih suka mendengarkan lagu-lagu, pilih yang membangkitkan semangat. Jangan yang justru mengulang-ulang kepedihan : patah hati, memory masa lalu yang menyakitkan, kegagalan.

Fight Song (Rachel Platten) bisa membuat lebih semangat terhadap kegagalan. Ulangi kalimat :

I only have one match

But I can make an explosion.

Ya, kita mungkin mengalami banyak kegagalan di era pandemic. Tapi ada masanya suatu saat kita akan membuat ledakan dahsyat dengan prestasi positif yang mencengangkan!

Double Knot (Stray Kids) juga bagus didengar.

Stand up wherever you go

You’ll make it with no trouble..

Cause my life is a five star movies

I am not done yet so

My life, your life are five star movies!


7. Carilah nasehat 💞

Kala kegundahan sudah terlalu parah, kecemasan menggerogoti, anxiety dan depresi menjadi penyakit; tak ada salahnya segera mencari nasehat. Nasehat-nasehat bijak dari guru agama bisa menjernihkan hati. Saya suka mengulang-ulang iklan Zain Ramadan 2020 . Salah satu kalimat yang saya suka, sebuah nasehat berharga :Pandemic ini pasti akan meninggalkan kitaTapi Tuhan tak akan pernah meninggalkan hambaNya

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA Anak Menulis BUKU & NOVEL Fiksi Sinta Yudisia Kepenulisan Menerbitkan buku Novel Perjalanan Menulis PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY TEKNIK MENULIS WRITING. SHARING.

Pelatihan Online Menulis Novel Tahap-1

Tema : Menulis Novel Bersetting Kuat

Suka Korea, Jepang, Eropa atau Timur Tengah? Ingin punya novel sesuai imajinasi berlatar negara yang kita impikan?
Hayuuuk, gabung di kelas online penulisan novel bersama Sinta Yudisia (penulis, psikolog, DP FLP) . Novel-novelnya yang berlatar belakang berbagai negara telah meraih penghargaan tingkat nasional.

🏅🏅🏅
~The Road to The Empire (Mongolia) IBF Award terbaik 2009
~ Reem ( Maroko) IBF Award terbaik 2018
~ Polaris Fukuoka ( Jepang) nominee IBF Award 2018
~ Lafaz Cinta (Belanda) , best seller
⏳Waktu : Sabtu, 2 Mei 2020
⏰Jam : 09. 00 – 11. 00 WIB
✍Fasilitas :
-Materi dalam bentuk pdf

  • Webinar (Zoom meeting/ hangout/ dsb), yang akan diberitahukan oleh admin
    👨🏻‍💻👩🏻‍💻Peserta : remaja usia SMP, SMA dan Mahasiswa
    💴Biaya :
    Dipersilakan infaq dengan kelipatan Rp. 20. 000, beri kode unik 19 di belakang (Misal Rp. 80.019). Seluruhnya insyaallah akan disalurkan untuk donasi Covid-19 berama Ruang Pelita ( Ruang Pendampingan Psikologi & Literasi) Sinta Yudisia yang telah menyalurkan dana puluhan juta rupiah untuk dhuafa dan APD ke berbagai RS Surabaya.

👉🏻Mandiri : 142-00-1673-5556
👉🏻BSM : 7070-968597
An. Sinta Yudisia Wisudanti

▶ mengisi link bit.ly/pelatihannovel
~~
Sinta Yudisia adalah penulis & psikolog. Telah menulis dan diterbitkan 22 novel, 21 antologi, 10 buku non-fiksi, 6 buku cerita anak, 5 kumcer, 2 buku duet. Mengikuti SFAC ( Seoul Foundation for Arts & Culture) dalam program writer’s residence tahun 2016 & 2018

~
Didukung oleh :
👷‍♂‍👷‍♀‍Ruang Pelita Surabaya
Kiky 0856- 0612- 5200
Putri 0822- 2183-8498

Kategori
Artikel/Opini Cinta & Love Hikmah Karyaku My family Oase Perjalanan Menulis PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Quran kami Referensi Fiksi Renungan Hidup dan Kematian Topik Penting Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Aku Pernah Merasakan Keajaiban Surat Al Kahfi💔

Pernahkah dikhianati oleh sahabat sendiri?
Ditipu hingga belasan bahkan puluhan juta?
Aku pernah merasakannya. Salah seorang yang kuanggap teman baikku, sahabatku, ternyata menipu sebuah institusi hingga puluhan juta rupiah padahal aku yang memperkenalkan teman baikku pada institusi tersebut. Sudah kulacak bukan hanya lewat whatsapp bahkan kudatangi hingga ke apartemennya di Jakarta. Tapi ia lenyap menghilang begitu saja. Ternyata bukan hanya menipuku, ia juga menipu banyak sekali teman-temanku yang lain.

💔😭
Terus terang, aku tak sampai hati mencaci-maki dan mendoakan yang jelek-jelek, mengingat ia single parent sejak lama. Aku masih berprasangka baik bahwa ia terjebak hutang piutang dan masalah besar sehingga harus menipu sana sini. Meski dari beberapa temanku sudah keluar kata-kata sumpah serapah dan mendoakan ia sejelek-jeleknya, aku hanya bisa berharap suatu saat ia sadar dan mengembalikan semua uang yang dilarikannya. Ia sudah membuat derita banyak orang, tentulah hidupnya sekarang juga sangat menderita; gak usahlah ditambahi lagi dengan doa yang jelek untuknya. Aku tak pernah percaya ada orang yang bisa hidup bahagia di atas derita orang lain! Mungkin ia bahagia dan tertawa, tapi yakinlah hanya sebentar saja.

🧐🧐
Kita pasti pernah mengukur diri sendiri, bukan?
Kalau telat bayar infaq apalagi zakat; ada saja musibah menimpa. Aku pernah menunda-nunda infaq; sepeda motorku bocorlah. Rusaklah. Pompa air meledak. Anak sakit. Pokoknya, keluar uang lebih banyak. Ketika kurenungkan; sayang-sayang uang buat infaq akhirnya malah keluar banyak.
Persepsiku, bakhil infaq saja sudah diperingatkan olehNya. Apalagi memakan uang orang lain , terlebih uang institusi ZISWAF, tentulah merasakan banyak peringatan dari Allah Swt.
Hari-hari awal aku sadar kalau ditipu, rasanya dunia runtuh.
“Masa’ sih? Dia kan sering main ke rumah? Dia kan pernah nginap di rumah? Kami dekat, sering ngobrol. Apa kebutuhannya, kita bantu.”

🏴‍☠️🏴‍☠️
Tidak percaya bahwa seorang sahabat baik bisa menipu sedemikian rupa!
Kalau dibilang nangis, sudah lewat. Marah, ngamuk; sudah nggak bisa dilakukan. Saking getirnya hanya bisa mengucap istighfar. Semoga aku sekeluarga dapat ganti rizqi lebih baik, semoga Lembaga ZISWAF yang ditipunya semakin banyak donatur, dan semoga ia sekeluarga diluruskan kembali oleh Allah Swt.

💗💕🕌🕋
Saat-saat sedih itulah, aku memperbanyak sholat sunnah dan baca Quran. Entah mengapa salah satu surat favoritku adalah al Kahfi. Suatu saat, saking sedihnya aku tertidur. Dalam mimpi, aku melihat ibuku memakai mukena, memelukku dari belakang.
“Al Kahfi,” bisiknya di telingaku.


Aku terbangun.
Terheran.
Bukankah aku sering baca al Kahfi? Bukankah aku senang dengan surat al Kahfi? Meski tak dibilang sangat menguasai tafsirnya; aku tahu isi surat al Kahfi tentang pemuda Kahfi, kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidir, juga kisah Dzulkarnain beserta Yajuj Majuj.

💤💤
Kenapa aku mimpi ibuku, mengenakan mukena, memelukku dan berbisik al Kahfi? Aku mengikuti makna mimpiku, sebab kata Ibnu Khaldun, mimpi yang teringat terus saat bangun tidur tanpa susah payah diingat merupakan ilham Tuhan. Aku membaca al Kahfi berikut artinya. Aku lupa, entah saat itu Jumat atau tidak.

1️⃣8️⃣ : 8️⃣8️⃣
Kubaca satu demi satu artinya, hingga sampai ke ayat yang ke- 88

وَاَمَّا مَنْ اٰمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهٗ جَزَاۤءً ۨالْحُسْنٰىۚ وَسَنَقُوْلُ لَهٗ مِنْ اَمْرِنَا يُسْرًا ۗ
wa ammā man āmana wa ‘amila ṣāliḥan fa lahụ jazā`anil-ḥusnā, wa sanaqụlu lahụ min amrinā yusrā
Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.” ( 18 : 88)
Entah mengapa mataku dan hatiku terpaku pada ayat ini. Kucari-cari tafsirnya, yang kuingat adalah, bahwa setiap berbuat kebaikan kita akan mendapat balasan. Dan kita bisa meminta balasan pada Allah Swt sebesar kebaikan yang kita pernah lakukan.

Aku berdoa pada Allah, seolah pamrih dengan kebaikan yang pernah kulakukan meski sedikit. Aku tahu, kebaikanku, amalku, pahalaku jauh dari layak. Untuk membayar nikmatNya saja tak akan pernah mampu kulakukan. Tetapi, entah mengapa saat itu aku ingin menagih padaNya. Mungkin, menagih hiburan atas kejadian buruk.

Setelah kejadian itu, betapa banyaknya nikmat Allah Swt yang dicurahkan kepadaku. Banyak sekali nikmat-nikmat rahasia yang tak dapat kuperinci satu persatu. Mulai dari novel-novelku yang alhamdulillah lancar terbit, lolos di SFAC (Seoul Foundation for Arts and Culture) dll.

Ohya, karena demikian terkesan oleh surat al Kahfi, secara special surat ini kucantumkan di salam novel 💗Reem💗 yang diterbitkan Pastelbooks, lini Mizan di tahun 2017. Sudah baca, belum? 😊

( renungan di masa pandemi corona virus / covid 19)