Kategori
Cinta & Love Hikmah mother's corner My family PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Topik Penting WRITING. SHARING.

Quaden Bayles : Bagaimana Jika Anak Kita adalah Si Pembully?

Kasus Quaden Bayles benar-benar mengiris hati. Seorang anak usia 9 tahun,  penyandang dwarfisme, tinggal di Brisbane Australia menangis pilu menghadapi bullying tiap hari.

“Stab me!!”

“Kill me!!”

Ia menangis histeris.

Si ibu, yang telah berjuang lama menghadapi bullying terhadap anaknya terpaksa mengunggah video itu dan menuntut keadilan. Ia merasa sudah cukup wacana-wacana tentang bullying tetapi mana bukti pembelaan terhadap korban bullying? Apalagi si kecil Bayles mengidap kelainan sehingga fisiknya sangat berbeda dengan anak seusia. Video Bayles mendapat banyak perhatian dunia, termasuk Hugh Jackman pun memberikan dukungan keprihatinan terhadap kasus Bayles.

Anak saya pernah menjadi korban bullying dan juga pelaku bullying. Bila melihatnya sekarang yang berprestasi, kooperatif, cukup punya banyak teman dan mampu berkolaborasi dengan orang seusia,  lebih tua atau lebih muda; tak ada yang menyangka ia dahulu adalah korban bullying dan kemudian menjadi pelaku bullying yang kasar.

Dukungan terhadap korban bullying mungkin sudah banyak dibahas. Tetapi bagaimana menghadapi anak yang melakukan bullying? Ibu Quaden Bayles menjerit meminta pertolongan dari siapa saja yang bisa memberikan nasihat. Ia bahkan berkata, nyaris putus asa : “Stop memberiku advis yang bagus. Aku butuh lebih dari sekedar nasihat! Aku butuh tindakan nyata!!”

Di bawah ini adalah apa yang pernah kami lalui sebagai orangtua dengan anak yang pernah dibully dan pernah membully anak lain. Kasus setiap anak mungkin berbeda tapi semoga apa yang kami hadapi dapat menjadi pelajaran.

  1. Korban dan pelaku. X pernah menjadi korban bullying dalam waktu lama di sekolahnya. Ia disudutkan karena cara bicaranya yang ‘berbeda’ dan beberapa hal terkait fisik. Awalnya ia hanya terdiam, menangis, memendam perasaan hingga matanya berkaca-kaca dan dadanya terlihat berguncang. Lambat laun setelah ia menemukan keberanian, ia melawan anak-anak.  Sedihnya, ganti ia yang membully teman-temannya. X memukul teman-temannya.
  2. Sikap guru. Pihak sekolah memanggil kami orangtuanya. Langkah pertama ini sungguh bijak, sebab yang harus datang adalah ayah ibunya. Bukan ibunya saja atau ayahnya saja. Suami saya minta izin dari kantor dan kami menghadap pihak berwenang di sekolah. Saya ingat, saat itu kami ditemui oleh pihak otorita sekolah dan guru yang sering menangani X. Sebut saja bu guru Aisyah. Ada perkataan bu Aisyah yang membuat saya demikian sedih dan terpukul, tetapi saya rasa itu adalah keputusan paling bijak yang bisa diambil saat itu.

“Bu Sinta, kami sudah mencoba mendekati X dengan berbagai cara. Tapi sepertinya masih kurang mempan. Ia masih sering memukul teman-temannya. Saya minta izin -dengan sangat terpaksa- saya akan memukul X. Di kaki atau tangannya, tidak di areal berbahaya. Supaya X memahami bahwa kena pukul itu menyakitkan.”

Kami tidak menerapkan pukulan di rumah. Kemungkinan, X tidak tahu seperti apa sakitnya dipukul! Saya bersyukur, bu Aisyah memanggil kami dan meminta persetujuan kami. Awalnya suami saya marah dan tidak setuju. Tetapi saya menenangkannya.

“Sebelum memukul anak kita, sekolah meminta izin pada orangtuanya dulu. Saya pikir itu bijaksana,” kata saya. “Kalau sekolah mau ambil sikap otoriter dan tak peduli, sudah pasti X dipukul langsung tanpa perlu minta izin pada kita.”

Akhirnya kesepakatan tersebut diambil.

Tentu, si X pun diberi peringatan terlebih dahulu oleh bu Aisyah. Lain kali dia memukul temannya di tangan atau kaki (kebetulan X tidak memukul di area berbahaya) , bu Aisyah akan membalasnya dengan pelan. Ini karena teman-teman X sama sekali tak ada yang berani menghadapi kegarangan X.

Alhamdulillah, bu Aisyah tidak perlu mengambil sikap memukul itu sering-sering. Sebab ternyata, para guru dan pihak sekolah terus mencari cara menghadapi bullying termasuk yang dilakukan anak saya, X. Seorang guru yang memukul tanpa sebab, memang tak dibenarkan. Tapi saya pikir, bu Aisyah sudah mencoba segala cara dan saya menghormati keputusannya. Yang sangat penting, keputusan beliau didiskusikan pada kami dan kami diajak mempertimbangkan baik buruknya. Saya tidak meminta sekolah atau guru memukul anak-anak, tetapi saya hanya menceritakan pengalaman pribadi yang ternyata sangat membantu X yang garang untuk lebih memahami bahwa memukul itu menyakitkan! Mungkin, karena kami orangtua nya tidak tega untuk memukul anak sendiri, kehadiran seorang guru dapat membantu.

Kami dapat saja berpikir, “X masih anak-anak. Wajar kan berkelahi? Wajar kan kalau memukul, menjambak, menyakiti? Mana ada anak-anak yang gak pernah berkelahi?”

Tetapi, itu yang ada dalam benak saya. Apa yang ada di benak orangtua lain, ketika anaknya disakiti? Kalau anak saya dipukul anak lain, pasti saya pun ingin ada keadilan. Kalaupun keadilan tidak sepenuhnya bisa ditegakkan, pasti kita ingin ada tindakan.

3. Mencari teman sebaya. X membaik perilaku garangnya yang suka memukul anak lain, karena bu Aisyah dan guru lain mencari cara untuk ‘menaklukan’ X. Salah satunya mencari sahabat yang bisa menasehati. Saya tahu, X tidak banyak punya teman saat itu. Atau bisa dikatakan ia common enemy karena kegarangannya, meski X sangat pintar  sains dan matematika. Guru pada akhirnya berhasil membujuk AL (samaran) untuk menjadi sahabat X. AL awalnya enggan berkawan dengan X. Ya, siapa yang mau berteman dengan anak pemarah dan pembuat onar? Tapi AL memang punya sifat bijak dan terkenal lemah lembut. AL kemana-mana membuntuti X dan mencoba memberikan nasehat ala anak-anak.

Ada satu kejadian yang saya ingat diceritakan X dan guru.

Momen penting ketika X mencapai titik balik.

X, sebagai pembully, bukanlah sosok yang dicintai. Ia ditakuti, tapi sesungguhnya tak punya teman. Suatu saat, X menyendiri.  AL mendekati, lalu mengajak bicara. Kalau saya ingat ini, betapa berterimakasihnya kami pada AL yang rela bersikap bijak dan dewasa di masa anak-anaknya demi mendampingi X.

“Sebetulnya semua guru dan teman itu sayang kamu, X. Hanya saja kamu suka memukul. Padahal bu Aisyah itu sayang sekali sama kamu. Bu Aisyah sampai nangis memikirkan kamu.”

X tiba-tiba berlinangan airmata, ketika tahu gurunya bisa menangisi dirinya. Tanpa sadar mata X meleleh. Dua sahabat itu berjanji mereka akan menjadi pribadi yang lebih baik. Esok harinya, X benar-benar berhenti memukul!

4. Komite orangtua. Saya panik. Saya sedih.  Saya tertekan. Sekaligus merasa bersalah. Tiap kali datang ke sekolah menjemput, selalu ada anak yang melapor ke saya, “Bundaaa! X mukul si A.” Besoknya, “Bundaaa, X mukul si B. “ Selalu ada laporan begitu nyaris tiap hari. Rasanya wajah ini panas tertampar tiap kali mendengar laporan itu. Tetapi, saya beruntung dan bersyukur sekali pada saat angkatan X, komite orangtua dipenuhi para orangtua yang baik hati dan hangat. Tidak ada orangtua yang menuding, menyindir, memboikot, atau marah-marah ke saya.

Saya minta maaf pada para ibu karena anak-anaknya kena pukul X. Mereka berkata, “nggakpapa, Bu. Namanya anak-anak.”

Saya nggak tahu  lip service atau tidak. Nyatanya, saya tidak lantas malu untuk ikut acara parenting dan komite  sekolah. Hal itu membuat saya lebih semangat dan terbuka untuk menerima masukan. Ketika X bersalaman kepada orangtua bila bertemu saat pulang sekolah, seringkali para orangtua justru mendoakan X ,”X yang sayang sama teman, ya. X anak pintar.”

Saya yakin, doa dari guru dan para orangtua yang mendoakan X kebaikan turut memberikan perubahan dalam diri anak saya.

5. Pihak berwenang dan ahli. Kali ini bukan X, tetapi salah satu anak kami yang lain yang menjadi korban bullying. Sebut namanya Y.  Singkat cerita, Y dan teman-temannya menjadi korban bully sekelompok anak. Tak boleh ke kamar mandi, tak boleh jajan, tak boleh lewat kalau kelompok tertentu sedang ada di sana. Komita orang tua berembug dan berunding. Didatangkanlah pihak kepolisian ke sekolah. Tujuannya bukan mengancam atau menakuti-nakuti. Ternyata masih banyak anak yang tidak paham bahwa bullying dapat masuk ranah kriminalitas. Begitu pihak kepolisian datang, memberikan ceramah dan arahan ke anak-anak, banyak anak tercerahkan bahwa perilaku mereka yang seperti nya bercanda, mengganggu, mengejek anak lain hingga kelewatan itu bila ditarik garis disiplin bisa menyebabkan mereka kena delik kriminalitas. Ternyata, anak-anak perlu diberi penjelasan lebih mendetil tentang apa saja bullying dan ancaman bagi pelaku.

Dari kisah di atas saya mengambil kesimpulan bahwa :

  1. Orangtua
  2. Anak-anak
  3. Guru
  4. Sekolah/institusi
  5. Pihak berwenang/ahli

Harus bekerja sama bahu membahu untuk menangani kasus bullying. Jangan lagi ada kasus Nadila almarhumah, atau Quaden Bayles. Anak- anak pelaku bullying juga perlu diberi arahan tegas. Sebuah video dari Korea yang mengambil social experiment tentang anak perempuan yang mengaku dibully dan mendatangi orang-orang di taman; memberikan gambaran tentang bagaimana sebuah hubungan antar manusia dapat dibangun.

Ada banyak potongan menarik dari adegan tersebut. Bagi saya, yang menarik adalah salah satunya, ketika si gadis SMA tersebut mendapatkan ‘korban’ social experiment anak-anak mahasiswa.

“Dik…kami dulu juga pernah membully teman dan adik kelas kami,” aku mereka.”Aku rasa saat itu aku sangat tidak dewasa. Aku menyesal sekali. Sayang sekali, nggak ada yang ngasih tahu aku. Kalau aku kembali ke masa itu, aku ingin bersikap baik.”

Bukan hanya korban bullying yang perlu didampingi hingga mereka memiliki resiliensi. Pelaku bullying juga harus didampingi dengan kasih sayang dan ketegasan, penjelasan dan informasi, pemberikan kesempatan dan juga ancaman serta sangsi bila mereka masih terus bertindak di luar batas. Saya bersyukur X pernah diberikan batasan dan ketegasan (meski belum tentu orangtua sepakat anaknya boleh dipukul). Pukulan dan nasehat dari bu Aisyah, dampingan dari sahabat AL, dukungan komite orangtua menjadikan X yang korban bullying dan pelaku bullying dapat menstabilkan kepribadiannya yang semula agresif menjadi lebih matang dan berkembang optimal.

Kategori
Game Musik My family Oase Remaja. Teenager Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Orangtua Belajar Game : dari PUBG sampai Alan Walker

 

“Ummi coba nonton K/DA popstar, opening ceremony dari League of Legends,” saran putriku, ketika aku bilang malas belajar game.

Sebagai orangtua dan psikolog, mau tak mau aku harus belajar apa yang menjadi hobi, perhatian, kesukaan dari subyek klienku yang didominasi remaja dan orangtua yang mengeluhkan kondisi anak-anak mereka. Membahas dunia anak muda membuatku dapat ‘masuk’ lebih dalam ke inti permasalahan. Misal, konflik harapan akademis orangtua VS anak dapat diredam ketika aku berdiskusi menggunakan cara-cara Rap Mon alias Kim Nan Joon (BTS) merayu mamanya.

K/DA Popstars  dan  Rap Mon (BTS)

Mendalami music dan film, bagiku tak masalah karena dulu sewaktu remaja akupun menyukai dunia ini. Awalnya susah sekali menghafal nama artis, label manajemen, judul lagu, nama fanbase artis Korea dan K-Pop. Bukan hanya karena nama-nama yang masih asing, tapi juga kultur Korea yang sangat berbeda dibanding ketika dulu aku menggandrungi Westlife atau Backstreet Boys.

Game?

Orangtua banyak mengeluhkan keterkaitan anak dengan dunia ini. Aku merasa : “ah, sudahlah. Nggak perlu belajar game dan seluk beluknya. Dirujuk ke psikolog lain aja kalau nggak cocok. Malas.”

Dasarnya emang nggak suka game, selain Candy Crush dan Luxor (kata anak-anakku : itu bukan game!)

Tapi sudut pandangku mulai berubah ketika sekitar berbulan-bulan lalu putriku mengkoreksiku masalah perkembangan game yang harus diketahui psikolog, terlebih sebagai orangtua. Dan aku terkesima melihat K/DA popstar edisi opening ceremony.

Bukan hanya karena lagu itu dibawakan Madison Beer, Jaira Burns serta anggota (G)-idle yang sedang tenar seperti Miyeon dan Soyeon; tetapi juga karena lagunya yang nge-beat banget, easy listening dan…edisi spektakuler megah  perpaduan entertaintment serta teknologi. Di opening ceremony tersebut, nyaris tak bisa di bedakan 4 penyanyi asli dengan tokoh LOL Akali – Ahri – Kai’sa –Evelynn versi 4 dimensi. Mana manusia, mana animasi benar-benar berbaur jadi satu.

Sejak menonton K/DA popstar opening ceremony, pandanganku terhadap game berubah.

Orangtua tak bisa memandang sebelah mata permainan ini, kita harus belajar agar benar-benar memahami dunia anak, dapat mengevaluasi dan mengontrolnya.

PUBG dan Alan Walker

Tetap saja aku nggak mahir main game. Tapi mulai tahu sedikit-sedikit yang disukai anak-anakku meski mereka bukan gamer sejati. Oh ini yang namanya Skyrim, oh ini Mobile Legend, Seven Knights, Honkai Impact 3rd dan tentu saja PUBG (playerunknown’s battleground).

 

Skyrim dan Seven Knights

“Skyrim bagus lho,Mi, ada unsur sejarahnya,” kata putriku.

Awal aku melihat PUBG langsung pikiranku berkata, “emang pantes disukai anak-anak. Dinamis, energik, memacu adrenalin. Anak jadi merasa berada di dunia yang sangat aktif. Sebuah dunia yang sekarang jarang disentuh.”

Ya.

Mana ada anak main lari-larian sambil bawa senapan pak-pak dor seperti kami dulu di masa kecil. Dunia perang-perangan, benteng-bentengan, hide and seek. Apa yang tidak ada di dunia nyata, sekarang dipindahkan ke dunia maya. Main sembunyi-sembunyian, perang-perangan, mempertahankan wilayah. Bedanya, kalau dulu dimainkan anak-anak; sekarang divisualisasikan dewasa. Dan tahu sendiri ‘kan, mainan orang dewasa? Adegan kekerasannya lebih terasa, senapannya bukan kayu tapi visual senjata senapan mesin.

PUBG-Feature-640x353.jpg
PUBG

PUBG sebetulnya tidak sesadis Resident Evil yang penuh adegan darah.

Tapi menurutku, PUBG tidak cocok dimainkan anak-anak dan remaja.

Kill 1, kill 2, kill 3.

Setiap kali berhasil menembak orang; ada laporan jumlah sasaran. Bagiku, memang ini menjadi addiction tersendiri. Kalau sudah bunuh 10, pingin nambah jadi 20, dst. Tidak ada daran mengalir dan organ tubuh zombie terkoyak yang mengerikan menjijikkan seperti Resident Evil, tetap saja, semangat untuk membunuh itu yang membahayakan.

Tetapi, sebelum melarang, orangtua perlu tahu dulu.

“PUBG menurutku biasa aja,” kata anak cowokku.

“Kamu gak pingin main?”

“Nggak. Aku nggak suka tipe itu.”

“Tapi temanku biasa main,” kata anak cewekku. “Biasa aja.”

Karena aku sudah tahu sedikit, aku bisa berkomentar,” nggak sih. Menurut Ummi gak biasa. Meski gak ada adegan sadisnya, permainan itu mengarahkan membunuh musuh sebanyak-banyaknya. Bahkan yang sudah merangkak tak berdaya, harus dipastikan ditembak supaya mati dan dapat skor. Membunuh, tanpa tahu kesalahannya apa, kan nggak bagus?”

 

Alan Walker?

Nah, kalau kita sudah belajar game, akan berkembang ke dunia sekelilingnya. League of Legends punya lagu khas banget, yang membuat pemainnya merasa jadi hero. Nge-beat, buat bergairah.

PUBG apalagi.

Soundtrack PUBG dibawakan sangat apik oleh DJ Alan Walker dengan lagu-lagu yang punya pesan-pesan tertentu. Untuk PUBG, lagu On My Way yang dibawakan Sabrina Carpenter, Farruko, Alan Walker ini sempat menjadi trending topic nomer 1 di youtube. Fans lagu membuat beberapa versi fanmade seperti Ignite (Alan Walker, Julie Bergan, Seungri) untuk PUBG juga. Bisa dibayangkan, kalau sedang main PUBG, diiringi On My Way dan Ignite, serasa jadi pahlawan masa kini yang dinamis, energik, super keren!

On My WayOn My Way dan Ignite karya Alan Walker

            Lagi-lagi, orangtua perlu belajar tahu siapa DJ tenar dunia seperti Chainsmoker, Zedd, dan tentunya Alan Walker. Khusus Alan Walker, nanti perlu dikupas tersendiri terkait lagu-lagunya dari tema psikologis. Sebagai DJ dengan sosok misterius yang sering menggunakan topeng; followers DJ Walkzz atau Alan Walker ini luarbiasa banyaknya.

Sebagai emak-emak pengamat music, aku sendiri sangat tertarik mempelajari Alan Walker. Siapa dia? Kenapa lagu-lagunya sangat bagus dan enak didengar? Sangat bagus di sini dalam pengertian musiknya ya, bukan isi esensinya. Sebab esensi dari lirik lagu Alan Walker punya sisi darkside yang harus diwaspadai siapa saja.

Sejak kemunculan Faded-nya Alan Walker, aku memang penasaran.

Banyak sekali artis yang one hit wonder. Tapi Alan Walker, di usia 21 tahun sudah mengeluarkan lagu-lagu yang unik dan pasti digemari anak muda : Fade, Sing Me to Sleep, Different World, All Falls Down, Lily, Ignite dan tentunya, On My Way. Semuanya laris manis di pasaran.

On My Way Alan Walker.jpg
Alan Walker yang misterius 

Jadi, pantas saja anak muda gemar PUBG apalagi bila diiringi lagu-lagu Alan Walker.

Permainan ini diharamkan di beberapa wilayah, meski Arab Saudi malah menggelar perhelatan PUBG. Sebagai orangtua, kita harus sangat berhati-hati terhadap paparan teknologi dan informasi yang mengepung anak-anak kita. Belajarlah, bangun komunikasi, dan tunjukkan; sisi mana dari PUBG ini yang berbahaya. Menjalin komunikasi dengan anak akan membantunya mengerti dan membuat imunitasnya berkembang secara alamiah. Memang, kadang kita enggan mempelajari kesukaan anak. Akupun awalnya tak terlalu suka K-Pop, apalagi game. Kalau drama dan film Korea, suka-suka aja karena banyak yang bagus. Tapi karena anak-anakku dekat dengan dunia ini, mau tak mau harus mempelajarinya. Setelah mempelajarinya, kita akan tahu mau ‘masuk’ dari sisi yang mana.

 

 

Kategori
Cinta & Love mother's corner My family Oase Pernikahan Remaja. Teenager Suami Istri

Pelukan Skin–to-Skin yang Menjadi Obat

 

 

“Ummi, keloni,” rengek si bungsu ketika beberapa waktu lalu sakit.

“Lho, Ummi udah tidur di sampingmu.”

“Tapi belum dikeloni.”

“Ummi sejak tadi tidur di samping kamu, Say.”

“Pokoknya keloni!”

Aku memeluknya dari belakang, merasakan tubuhnya yang panas karena demam tinggi.

Beberapa bulan lalu kami gantian sakit. Dua anakku gejala DB, yang dua lagi flu berat. Disusul suamiku sakit dan yang terakhir  ambruk adalah aku. Emak-emak biasanya terkapar terakhir; ketika semua sudah tumbang, si ibu masih tegar. Giliran yang lain sembuh, tubuhku mulai merasakan sakit.

 

Anehnya, semua anakku yang sudah besar-besar ( 3 sudah kuliah, yang bungsu di SMA) merengek hal yang sama.

“Ummi, keloni…”

Bukannya aku tak mau, tapi bisa dibayangkan repotnya bagaimana! Saat anak sakit; semua butuh dilayani. Makan minum nggak bisa sendiri, otomatis aku suapin. Mandi harus pakai air panas. Bahkan karena sangat lemas, si bungsu pun harus aku mandikan. Makan harus disediakan. Obat harus dituangkan, disuapin. Sedikit-sedikit merengek.

 

Mother and son lay in bed together

“Ummi, sini.”

“Ummi suapin.”

“Ummi temanin.”

Dan yang buat kepala pusing, kalau mereka ingin tidur entah pagi, siang, sore atau malam maka rengekannya adalah, “Ummi…keloni.”

Keloni adalah istilah Jawa. Bukan sekedar berada di samping anak, tetapi menjulurkan tangan memeluk tubuh si anak. Tangan ibu memeluk leher, atau dada, atau pinggang. Pokoknya, posisi anak seperti dipeluk

Awalnya, aku benar-benar jengkel ketika anakku rewel. Apa mereka nggak ngerti? Umminya capek setengah mati! Semua agenda aku tunda. Konsultasi via whatsapp pun harus dijadwal ulang. Cucian baju menumpuk, cucian piring apalagi. Karena khawatir ada gejala typhus, hampir gak ada alat makan yang digunakan bersamaan. Duh, benar-benar hari yang memeras tenaga sampai ke tulang-tulang.

 

 

“Nak, Kamu bisa keloni Ummi?”

Aku tumbang dengan demam lebih dari 39 derajat.

Benar-benar terkapar. Sholat duduk. Obat turun panas biasa tak mempan. Handuk kompresan tak banyak pengaruh. Seluruh persendian ngilu. Kepala sakit luarbiasa, telinga seperti ditusuk. Aku sangat gelisah. Tak ada tempat tidur yang nyaman. Dari kamarku, pindah ke kamar anak-anak. Pindah ke ruang tengah. Pindah ke ruang tamu. Kalau bisa tertidur sekejap, itu sudah sangat lumayan.

Anehnya, aku mulai merengek kepada anak-anak.

“Kalian bisa keloni Ummi?”

Suamiku sudah memelukku, tapi ia juga harus segera berangkat ke kantor. Tinggal anak-anakku. Sejak pagi sampai malam; anakku giliran memelukku. Mengeloni umminya. Tidak cukup hanya ada di sampingku, salah satu anakku harus merangkulkan tangannya ke leherku atau ke pinggangku. Aku harus menggenggam tangan mereka , baru bisa tertidur sesaat.

 

Aku sendiri heran : manjakah aku? Apa karena aku sakit dan selama ini melayani mereka, sekarang seolah aku ganti minta dilayani, diladeni, dimanjakan?

 

 

Obat Kecemasan

Ternyata aku tidak manja, hehehe.

Seorang neurolog pernah memberi nasehat pada seorang klienku yang selalu mengkonsumi obat-obat seperti Sanax dan Alprazolam. Klienku ini memang memiliki riwayat panjang kehidupan yang keras, sekarang sering tak bisa tidur. Apalagi kalau dengar masalah anak-anaknya.

Neurolog tersebut tentu tak ingin meresepkan obat selalu, karena bagaimanapun , ketergantungan itu tak baik. Ada sarannya kepada klienku yang membuatku terkesan.

“Ibu kalau bisa jangan tidur sendiri. Ibu tidurnya ditemani, ya. Sebab, kalau orang sangat pencemas, bahkan waktu tidurpun butuh ditemani.”

Orang pencemas tak bisa tidur tenang. Sebentar-sebentar bangun, oleh mimpi buruk atau oleh kecemasannya sendiri. Ketika ia melihat ada seseorang yang tidur di sampingnya, ia akan berangsur tenang.

 

Panas dan Cemas Bersamaan

Mungkin, itu analogi sakitku.

Saat demamku tinggi, sakitku tak bisa dikatakan rasanya, ada kecemasan luarbiasa yang melanda pikiranku : nanti bagaimana baju kerja suamiku? Bagaimana aku menyiapkan keperluan anak-anakku? Bagaimana klien-klienku? Bagaimana janji-janjiku? Dan kecemasan paling besar yang megnhantui adalah : bagaimana kalau sakitku ini membawaku mati?

Tanpa sadar, sakitku membawa cemas luarbiasa. Meski semua kegiatan sudah diundur, tak dapat dipungkiri, rasa bersalah dan tanggung jawab mengiringi.

Ketika sakitku rasanya sudah tak tertahankan, aku minta suamiku membacakan surat-surat Quran. Matsurot. Anakku menyetelkan rekaman doa matsurot juga saat menemaniku. Dan mereka bergantian memelukku, menciumiku, menggenggam tanganku, menyisiri rambutku. Pendek kata, tubuhku harus dipegang-pegang oleh suami dan anakku.

Maka kemudian perlahan aku bisa tertidur.

Dan seiring kecemasanku menghilang, aku bisa tidur, dan kesehatanku pulih.

Bukan hanya seorang bayi yang butuh pelukan.

Orang dewasa, siapapun dia, ketika sakit fisik dan psikis, ternyata membutuhkan pelukan skin to skin dari orang-orang yang dicintainya.

Aku mulai membiasakan kembali pelukan skin to skin. Ketika anak-anakku pulang dari kampus dan sekolah; entah apa yang mereka alami. Mungkin konflik dengan dosen, teman, atau orang di jalan. Mungkin mengalami bully-ing. Mungkin mengalami frustrasi karena target tak sesuai harapan. Mungkin mengalami kejadian tak mengenakkan sehingga muncul kemarahan dan kecemasan. Biasanya aku cukup cium pipi kanan kiri, sekarang lebih intens. Memeluk, mengusap tangan, menggenggam jemari. Kepada suamiku juga. Siapa tahu, di balik aktivitas sehari-hari yang melenakan, tersembunyi kecemasan yang kronis.

 

Mother and son lay in bed together

https://www.scarymommy.com/lying-down-with-your-kids-until-they-fall-asleep-is-not-bad-habit/

https://muslimdunyaa.com/best-islamic-love-quotes/

 

Kategori
Cinta & Love Jurnal Harian mother's corner My family Oase Pernikahan Psikologi Islam Suami Istri

Suamiku Bisa Berubah!

 

“Pussss?” sapa suamiku.

Aku baru tahu kalau suamiku benar-benar berubah tadi pagi. Sepulang kami dari masjid usai sholat Subuh, aku jalan di belakangnya. Ia berada di depanku, jarak tiga langkah, lalu tampak makhluk hitam kumal berbulu tengah terkantuk dekat tong sampah.

 

Benci kucing setengah mati

Semua anakku suka banget sama kucing. Kucing putih, hitam, kembang telon, abu-abu yang ada di sekitar rumah dan mampir rumah disapa. Dikasih sisa makanan. Dipanggil-panggil. Mau kucing cantik punya tetangga, kucing garong, kucing budukan, kucing maling.

Aku nggak tahu apa penyebab suamiku benci setengah mati sampai ke inti DNA nya sama makhluk berbulu ini.

“Najis!”

“Awas aja kalau sampai nyolong ikan di meja.”

“Bikin plafon bolong kalo lagi musim kawin!”

“Bawa tokso!”

Kalau aku berdalih anak-anak selalu senang hewan peliharaan, suami menolak.

“Semua hewan yang dipelihara anak-anak mati. Ikan, kelinci, burung hantu. Anak-anak belum bisa mandiri melihara hewan.”

Putri bungsuku pernah suatu ketika kudapati pucat ketakutan.

“Aku habis megang kucing, Mi, harus segera cuci tangan…” bisiknya. Memang, kalau ketahuan abahnya, tanpa ampun, anak-anak bisa bungkam diam kena tegur keras dan galak. Aku sendiri nggak tahu, kenapa suamiku benci kucing. Phobia? Enggak juga. Mungkin aja, suamiku takut kucing itu akan mengganggu ikan-ikan kesayangannya. Alasanku juga gak diterima.

“Kalau melihara kucing, bisa ngusir tikur lho, Mas,” aku membujuk.

“Ah, tikus dibunuh pakai racun aja. Lagian tikus sekarang gede-gede, kucing aja malah takut, kok,” tolaknya.

Aku benar-benar mati kutu. Lantaran anak-anakku, 3 suka kucing. 1 aja yang gak suka kucing. Cuma denganku anak-anak bisa berbagi kesenangan mereka terkait kucing.

“Ih, lucunya, Mi…kucing itu. Kucing silang ya?” anakku nunjuk kucing tetangga yang berbulu lebat.

“Mi, lihat nih! Lucunyaaa!” anak-anak hampir setiap hari nge-share video lucu kucing entah dari youtube, line, instagram.

“Kenapa sih Abah nggak bolehin kita melihara kucing,” keluh anak-anakku.

Padahal, bagiku, memelihara hewan banyak sekali manfaatnya. Aku sendiri ikut-ikutan sedih melihat anakku hampir tiap hari dimarahi ayah mereka jika ketahuan bercengkrama dengan kucing-kucing yang entah dari mana datangnya.

Kitkat.jpg

Kenapa berubah?

Memelihara hewan, khususnya kucing, menurutku banyak manfaatnya.

  1. Anak-anakku jadi lebih bagus afeksinya terhadap sesama saudara, dan nggak menghabiskan waktu dengan gadget mereka
  2. Anak-anakku belajar tanggung jawab mulai beli makanan, ngurus pasir, ngurus kotoran
  3. Anak-anakku jadi lebih tertib dan disiplin
  4. Anak-anakku jadi lebih happy, relaks dengan hewan peliharaan

Tapi gimanaaaa? Ayahnya sama sekali benci kucing, hiks.

Denganku anak-anak kadang memendam marah dan tangis.

“Abah kenapa sih, kebangeten banget! Masak melihara kucing 1 aja nggak boleh.”

Sebagai ibu yang baik (jiaaah) aku nggak mungkin bilang, “emang ayah kalian galak! Gak bisa kompromi!”

Kukatakan begini, “eh, Abah itu senang hewan lho! Sejak kecil Abah melihara ikan, merawat burung yang jatuh dari pohon. Tapi Abah kalian itu tanggung jawab. Nggak pernah kakek nenek ikut repot ngurus. Coba kalian sendiri yang merayu Abah pelan-pelan.”

Anak-anak dan aku mencoba mengubah persepsi kepala suku kami.

Caranya?

  1. Anak-anak dan aku nge-share video lucu tentang kucing.
  2. Cari informasi tentang toksoplasma
  3. Cari informasi tentang najis kucing
  4. Cari informasi tentang kisah ulama atau sahabat terkait kucing.

 

Suamiku awalnya kukuh. Tapi lambat laun, terbuka kesempatan dengan syarat. Anakku benar-benar mau tanggung jawab. Ketika kesempatan itu datang, anak-anakku mencoba sebaik-baiknya. Beli pasir, beli wadah untuk pup-pipis, beli makanan kucing. Tak lupa, anak-anak juga berlatih untuk nggak gampang jijik ketika si kucing muntah. Anak-anak juga, meski repot dengan urusan sekolah dan kuliah, bekerja keras untuk menjaga rumah dari najis.

Kulihat, si kakak memberi komando.

“Kamu pulang jam berapa? Bisa beli makan?”

“Kamu bisa beli tissue basah sama tissue kering? Buat ngelap kalau makanan kucing jatuh berceceran.”

Dan ternyata…si kucing itu lucu luarbiasa. Mengeong, naik kursi, mengejar-ngejar siapapun yang tengah berjalan. Termasuk mengganggu suamiku…hahah. Suamiku yang tadinya sebel sekali, akhirnya perlahan suka. Bahkan mulai cerewet kalau anak-anak lalai.

Hingga sekarang, suamiku malah sering celingak celinguk kalau sedang naik kendaraan. Ketika kucing melintas lari .

“Ih, lucu ya, Mi. Kucing kampung yang lewat.”

Suamiku juga suka bercanda dengan anak-anak terkait kucing.

Hingga Subuh pagi tadi, ia menyapa kucing bulukan budukan kampungan yang tengah termenung di tepi sampah, “Pussss.”

Alhamdulillah…ternyata, bukan hal mustahil mengubah suami.

Butuh waktu, kesabaran, doa, kelapangan hati, usaha dan juga keberanian untuk bersitegang hehehe Kalau hal itu baik untuk diperjuangkan, kenapa nggak dilakukan? Aku merasa yakin, bahwa persepsi suamiku perlu diubah lebih kooperatif. Kucing memang kadang meninggalkan jejak najis, bawa toksoplasma, suka mencuri. Tapi semua bisa diatasi dengan kerjasama antar keluarga. Apalagi, bila dibandingkan manfaatnya, luarbiasa. Bukan hanya pengusir tikus dan pembawa keceriaan, tetapi jadi pengasah afeksi anak-anak dan penyebab makin sedikit interaksi dengan gadget!

 

Kategori
Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Tulisan Sinta Yudisia

(3) Ayah atau Bunda yang Lebih Berperan?

Wahai, Ibu!
Ibu, center person, sudah menjadi rahasia umum merupakan sumber mata air bagi anak-anaknya. Mata air kasih sayang, mata air keilmuan, mata air ketenangan. Keterlibatan ibu merupakan keharusan bagi perkembangan anak yang membutuhkan II(instrumetnal involvement) dan MAI (mentoring advising involvement). Pasangan ayah ibu yang mampu melibatkan diri dalam II- MAI, sungguh menyempurnakan tumbuh kembang anak.
Satu lagi tugas penting ibu adalah EI (expressive involvement) yang membuat anak memiliki karakter spiritual, emosional seimbang, sosial, fisik, juga kemampuan bersenang-senang. Ibu yang berhasil menghadirkan sosoknya secara utuh akan membuat anak memiliki karakter di atas, meski bukannya menafikkan kehadiran ayah.
Pernahkah kita melihat anak yang sangat serius, tak dapat ‘tersenggol’ sedikit, cepat marah, segala sesuatu harus perfek dan diukur bagai standar hitam-putih?

Kemungkinan, kehadiran ibu kurang optimal. Ibu yang terlalu sibuk, ibu yang terlalu menegakkan disiplin tanpa menyadari ada hal-hal yang dapat disepakati secara fleksibel , ibu yang hanya mampu menyuruh-nyuruh dan memberi hukuman.
Karakter spiritual utamanya dibangun oleh ibu, meski moralitas harus dibangun oleh ayah-ibu. Keseimbangan emosional memerlukan hadirnya ibu, maka, anak yang sangat tantrum dan emosional seringkali hanya dapat ditenangkan dengan dekapan ibu. Kemampuan anak berinteraksi sosial juga perlu mendapatkan asuhan sang ibu, begitupun perkembangan fisik dan hal yang sering terabaikan namun amat sangat penting di dunia milleinium dewasa ini : kemampuan enjoy, fun, pleasure, menikmati leisure time. Anak-anak sekarang cepat stres hanya karena perkara sepele, semisal tak memiliki gadget yang sama dengan teman, atau tak memiliki teman main. Anak-anak cepat stres karena tugas sekolah, macet lalu lintas, persaingan antar teman, atau tak masuk dalam satu peer grup dengan teman sebaya.
Betapa banyaknya yang masih dapat dinikmati dalam hidup!
Tak punya gadget? Masih ada buku, lompat tali, bola, menanam pohon, memelihara kucing dan ikan, atau cooking class! Ditolak peer group di sekolah? Bukannya masih ada teman-teman anak tetangga dan teman bermain di masjid kompleks?
Ternyata , kedekatan anak dengan ibu, memiliki satu karakter ajaib yang diperlukan anak-anak dewasa ini : mampu melihat dunia dari kacamata riang gembira! Ah, tak apalah tak terpilih olimpiade matematika, bukankah masih ada lomba melukis dan lomba macapat? Ah, tak apalah sang ayah sibuk sepanjang hari, bukankah ada ibu yang dapat diajak bermain dakon dan bekel?

sex-education-1-728
Dulu, masih ingatkah kita, bahwa seorang ibu adalah bagian dari teman bermain. Bermain masak-masakan, bermain jual-jualan, bermain gunting menggunting kertas. Wahai, Ibu, marilah libatkan diri dalam expressive involvement agar anak-anak tetap memiliki batin yang senantiasa ceria di tengah dunia yang serba cepat dan serba canggih.
Kita boleh tak setuju pada pendapat Sigmund Freud terkait basic instinct, tapi kita akan setuju dengan pendapatnya yang satu ini : sebagian besar penyimpangan pada manusia, bersumber dari ketidakhadiran sang Ibu.

 

Bagian 3 dari 3 tulisan

Sinta Yudisia
April 2016

Kategori
Jurnal Harian mother's corner Oase Pernikahan PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY

(2) Ayah atau Bunda yang Lebih Berperan?

O, Ayah!
Penelitian di atas tentu masih melibatkan peran bunda, sesuatu yang tak disanggah lagi. Namun hadirnya ayah ke tengah anak-anak sungguh semakin menakjubkan! Tahukah kita, bahwa seorang ayah yang memiliki keterlibatan hangat dalam keluarga, maka anaknya akan lebih lancar membaca dan mengerjakan matematika sejak usia 8 tahun di sekolah dasar? Bila kehadiran ayah tampak nyata di rumah, tanda-tanda kemunculan conduct disorder alias gangguan perilaku yang seharusnya muncul sejak usia 10 tahun, dapat diminimalisasi?
Maka bila kehadiran ayah adalah nihil, atau sosoknya raib dari rumah; tidak saja anak-anak mengalami hambatan pelajaran namun juga mengalami hambatan dalam berperilaku.
Ayah dibutuhkan dalam 2 hal keterlibatan : instrumental involvement dan mentoring-advising involvement.
Wahai ayah, berusahalah untuk bertanggung jawab dan disiplin terhadap segala sesuatu sebab ternyata tanggung jawab ini berada di pundakmu. Jangan lempar handuk sembarangan, lepas kaos kaki sesuka hati, piring kotor dibiarkan, dan meninggalkan semua tinggalan pekerjaan tanpa dirapikan ulang. Hal-hal kecil melatih ketrampilan. Seorang ibu yang merapikan rumah masih belum cukup membangun karakter disiplin dan tanggung jawab dalam diri anak-anak; ayah harus melengkapinya. Memunculkan gairah anak untuk memilih karir tertentu dalam hidupnya, pun hasil peran sang ayah.

Paul Jobs, seorang tukang kayu. Setiap kali menukang, membuat pagar dan lemari, ia menyiapkan meja kecil dan palu kecil bagi putranya, Steve. Sembari menukang, ia berbicara pada putranya, “Steve, dalam membangun sesuatu yang terpenting bukan apa yang tampak. Lihat lemari ini, yang paling penting adalah sisi belakangnya. Kokoh!”

Jobs
Steve Jobs

Steve bukan menjadi tukang kayu. Tapi filosofi Paul Jobs melekat kuat ketika ia menciptakan computer dan perangkat lain : yang tidak tampak, ternyata bagian yang paling penting. Dunia mengenalnya sebagai Steve Jobs, information technology entrepreneur. Bahkan segala perihal tentang dirinya tak hanya berbau teknologi; buku, film, caranya presentasi, menginspirasi banyak orang.
Instrumental involvement, penting dalam perkembangan etik dan moral. Ingatlah, bahwa spiritual kadang-kadang tidak serta merta memunculkan sisi etis dan moralis. Ingat kasus Jim Baker dan Jimmy Swaggart? Seorang anak yang rajin sholat dan baca Quran terkadang masih suka bersikap kasar dan berkata menyakitkan, ayahnya yang dapat membantu sang anak menemukan sifat etis dan moralis dalam dirinya.

Gandhi
Mahathma Gandhi

Anda tahu Mahathma Gandhi?
Ketika mencanangkan gerakan Ahimsa dan Satyagraha di India, ia tidak memerintahkan anak buah atau seluruh pengikutnya melakukan aksi tertentu. Gandhi tahu, Kasturbai, istrinya dan anak-anak sekian lama hidup dalam gaya Eropa : roti , garpu dan pisau. Gandhi tahu, tak mudah mengubah keluarga, masyarakat, apatah lagi India. Maka yang dilakukan Gandhi sebagai suami dan ayah adalah meninggalkan cara makan Eropa, beralih makan menggunakan tangan. Gandhi mencuci kakus dan mengosek kamar mandi, sesuatu yang tak akan pernah dilakukan kalangan Brahmana dan Ksatria! Gandhi menggunakan sari, menanggalkan dasi dan jas.
Ajaib.
Gandhi berhasil seorang ayah yang konsisten menginspirasi anak, istri, keponakan, tetangga hingga seluruh negeri dan wilayah protektorat Inggris lainnya. Gandhi berhasil melawan hegemoni Inggris dengan segala derivatnya : politik, militer, ekonomi, hingga budaya. Inilah peran ayah dalam menginspirasi sisi etis dan moralis bagi anak-anak dan keluarga.

Wahai, Ayah!
Anda tak perlu rendah hati ketika hanya berprofesi sebagai pegawai rendah, atau pengusaha dengan gaji kecil.
“Ah, bagaimana mungkin ayah sepertiku dapat menjadikan anak-anaknya sebagai orang-orang sukses?”

Thatcher
Margareth Tatcher muda

Alfred Roberts, si tukang sepatu, bangga pada kecantikan Margareth dan Muriel. Khusus Margareth, sejak kecil si cantik nan cerdas ini memikat khalayak bukan hanya karena kecerdasan superiornya, tapi juga kemampuan orasinya. Menyaksikan putri perempuannya punya banyak bakat sementara dirinya hanya seorang tukang sepatu, Alfred Roberts rajin menulis surat untuk putrinya, mengatakan kebanggaan dan harapannya. Alfred tak pernah putus asa, mendorong putrinya untuk terus meraih yang terbaik dalam pendidikan. Sama seperti Paul Jobs, Alfred Roberts meletakkan dasar-dasar fundamental bagi karir putrinya yang terkenal sebagai Wanita Besi, Margareth Tathcher.
Para lelaki di atas membangun karakter anggota keluarga mereka dengan memenuhi kaidah instrumental involvement sehingga anak-anak menemukan keberhasilan karir, memahami jalan etis dan moral, disiplin dan bertanggung jawab dalam kehidupan.

Mentoring advising involvement, adalah keterlibatan (ayah) untuk membangun kompetensi, kemampuan untuk menjadi mentor bagi orang lain serta mendukung perkembangan intelektual. Keterlibatan ayah ternyata sangat penting bagi perkembangan akademis anak-anak di sekolah. Ayah yang terlibat dalam pendidikan bagi anak-anak, membentuk karakter keluarga yang dapat welas asih kepada sesama. Bila, kasih sayang dari ayah cukup, anak-anak tak akan haus dahaga mencari sumber perhatian di luar yang seringkali tampak dalam perilaku agresif, impulsif , hiper sensitif. Kehadiran ayah dalam edukasi anak-anak juga membantu kompetensinya , perkembangan intelektual dan akademisnya. Sosok ideal person ayah menjadikan anak-anak punya semangat untuk mencanangkan cita-cita tinggi : menjadi presiden, menjadi pengusaha sukses, menjadi menteri atau ahli agama serta cita-cita mulia lainnya.

Sinta Yudisia, Bagian ke-2 dari 3 tulisan

Kategori
Jurnal Harian mother's corner Oase Psikologi Islam PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY

Ayah atau Bunda yang Lebih Berperan? (1)

images (51)

Amerika, pernah menjadi Negara dan masyarakat religious hingga sekitar tahun 70-80an. Beberapa skandal menggoyang sendi Negara sehingga khalayak bertanya-tanya : apakah benar agama tepat dijadikan sebagai patokan?
Televangelist Jim Baker dan Jimmy Swaggart adalah salah contoh sedikit dari kasus yang menggemparkan. Keduanya, yang dikenal sebagai pengkhutbah dan rajin muncul di acara televisi, terbukti melakukan affair dengan rekan kerja dan juga PSK. Gary Hart, salah satu tokoh kharismatik dari kubu Demokrat tertangkap basah bersama aktris sexy berambut pirang : Donna Rice. Amerika gempar, tak hanya kalangan agamawan, negarawan pun jatuh karena perempuan.
Tak cukup sampai disitu.
Serial keluarga yang laris manis seperti Family Ties dan The Cosby Show, hanya indah di layar kaca. Film-film tersebut dianggap tidak mencerminkan dinamika keluarga yang sesungguhnya. Meredith Baxter, yang berperan sebagai Elyse Keaton, ibu dinamis dalam keluarga harmonis; dalam kehidupan nyata mengalami perceraian berkali-kali dan pada akhirnya memproklamirkan diri sebagai lesbi. The Cosby Show mengalami hal yang sama. Lisa Bonet, salah satu pemerannya memainkan Angel Heart yang sensual bersama Mickey Rourke, menimbulkan gelombang protes besar di Amerika. Mengapa PH tak selektif memilih artis?
Sejak decade 80an, Amerika berkembang ke arah kehidupan individualis yang materialistis. Agama dan harmonisasi kehidupan yang tampil indah dalam media-media; perlahan ditinggalkan.
Bagaimana dengan Indonesia?

Keluarga Indonesia
Berbeda dengan Amerika yang tidak lagi mempercayai institusi agama dan keluarga, Indonesia masih beranggapan dua entitas ini sebagai sumber kekuatan. Sekalipun para pengkhutbah di televisi mendapatkan pujian dan hujatan, agama tetap suci dari tuduhan. Yang salah hanya para pelaku.
Begitupun keluarga. Betapapun para pelaku sinetron yang memerankan pasangan harmonis amburadul kehidupannya di luar sana, masing-masing kita masih tetap percaya dan berusaha membangun keluarga yang kokoh kuat.
Sesungguhnya, pada peran siapakah yang sangat penting dalam keluarga? Ayah ataukah Bunda? Kalaupun kita beranggapan peran Ayah dan Bunda sama pentingnya,sama kuatnya, di sisi mana mereka harus menyadari peran utamanya?
Sekali lagi, keluarga adalah benteng dari setiap anggotanya. Seorang ayah merasa tentram berada di tengah keluarga. Seorang bunda merasa nyaman di tengah keluarga. Anak-anak merasa senang, bahagia, bangga di tengah keluarga. Bila ada di antara kita yang gelisah di tengah keluarga sendiri,perlu dicatat. Apakah keluarganya yang salah, atau diri pribadi yang bermasalah.
Mari kita lihat penelitian yang ingin mengetahui sejauh mana pengaruhnya terhadap anak-anak akan keterlibatan orangtua dalam kehidupan mereka. Penelitian ini untuk mengungkap tiga dimensi keterlibatan orangtua : EI , II. MAI. EI adalah expressive involvement, keterlibatan dalam perkembangan spiritual, emosional, social, fisik. Juga kemampuan untuk membangun relasi, kemampuan untuk dapat bersenang-senang . II instrumental involvement adalah keterlibatan yang diperlukan dalam perkembangan untuk membangun tanggung jawab dan kemandirian, etik dan moral, perkembangan karir, disiplin, bertanggung jawab pada pekerjaan rumah dan sekolah. MAI atau mentoring advising involvement adalah membangun kompetensi, kemampuan untuk menjadi mentor bagi orang lain serta perkembangan intelektual.

Sinta Yudisia

Bagian 1 dari 3 tulisan