Kategori
Artikel/Opini Catatan Jumat Film Hikmah Oase WRITING. SHARING.

Film Hanum & Rangga : Lelaki atau Perempuan yang Harus Mengalah Lebih Dulu?

Ada dua quote yang terngiang (saya nggak bilang  100% setuju ya…terngiang aja) :

Pertama,  ucapan Rangga yang intinya , “apa kamu mau meneruskan karier kamu dan mengesampingkan perasaan suami kamu?”

Kedua, ucapan Hanum yang intinya, “aku ingin mengejar salah satu bintangku. 4 tahun aku mendampingimu, mengorbankan cita-citaku demi kamu. Apa nggak bisa sekali saja  ganti aku yang menggejar impianku?”

Kalau anda perempuan, jadi Hanum, dan sebagai lelaki anda adalah Rangga; mana yang harus didahulukan : karier suami atau karier istri?

Hanum & Rangga 

 

Hidup itu Pilihan

Life is choice.

Menikah dengan siapa, itu termasuk pilihan. Ketika menikah, sepasang lelaki dan perempuan harus siap menanggung pilihan. Mau cepat punya anak, itu pilihan. Mau nggak punya anak dulu, atau sama sekali nggak mau punya anak karena repot; itu pilihan. Selain rizqi dan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, tentu.

 

hanum2-kisah-hanum-dan-rangga-diadaptasi-ke-layar-lebar-700x700
Pujian Hanum kepada Rangga

Kalau simpulnya takdir, selesai semua perkara.

Sekali lagi, di ranah ikhtiar kita diwajibkan berpikir, menimbang, menelaah dan berusaha. Ada suami istri yang melaju kariernya karena komitmen bersama dan sama-sama tak ada kendala. Ada yang salah satu harus mengalah karena memang kondisi mengharuskan demikian. Rangga (Rio Dewanto) , yang tengah mengambil studi disertasi ke Vienna, tentu harus fokus pada studinya. Dari perspektif perempuan; Hanumlah yang harus bersabar dan mengalah demi karier suami.

Saya bisa merasakan kegusaran Hanum (Acha Septriasa)  dan bagaimana semangatnya mendampingi suami meniti karier. Insting perempuan , mau nggak mau memang berada dalam pengayoman dan perlindungan lelaki. Jadi secara naluriah, perempuan bahagia melihat lelaki yang kuat, bertanggung jawab, mampu melindungi dan berada di garda depan. Itulah sebabnya anak  perempuan relatif bahagia punya ayah yang dapat mengayomi, adik perempuan senang punya abang lelaki yang dapat melindungi, istri bangga punya suami yang dapat memimpin. Maka perasaan perempuan terbetik bangga bila suami berada di garda terdepan dalam hidup : bagus kariernya, bagus studinya, bagus kedudukannya, bagus posisinya. Kebanggaan seorang perempuan ini terefleksi dalam pilihannya menjalani hidup : “Majulah Mas, meski aku harus mendorong dari belakang dengan segenap kemampuan. Meski aku harus mengorbankan studiku, karierku dan otakku yang cemerlang. Tapi meski berkorban, entah mengapa aku bangga dan bahagia.” Eh, ini bukan kata Hanum ya 🙂

 

Hanum & Andy Cooper.jpg
Andy Cooper dan Hanum dalam acara meeting.

Ada perempuan yang rela menahan dirinya untuk nggak meneruskan studinya, lantaran suaminya memilih tidak melanjutkan studi, meski otak si perempuan sangat cemerlang. Ada perempuan yang bekerja keras untuk membiayai studi suami. Pokoknya, kasus seperti Hanum yang memilih mengorbankan diri demi suami; nggak kurang-kurang terlihat di sekeliling kita.

 

Lelaki atau Perempuan yang Mengalah?

Sekilas di film Hanum dan Rangga; terlihat Rangga yang sangat mengalah dan memahami Hanum sementara Hanum sangat ambisius menjadi reporter GNTV.

Kisah dibuka ketika Rangga dan Hanum bersiap ke bandara; datanglah Samanta (Sam) yang menawarkan posisi internship 3 pekan bagi Hanum. Awalnya, Hanum ragu antara New York atau Vienna. Apalagi posisinya saat itu sudah bersiap masuk taksi dan sebentar lagi terbang ke Eropa. Kebesaran hati Rangga yang melihat gundah perasaan Hanum, membuat lelaki itu mengambil keputusan membatalkan perjalanan ke Vienna dan memilih tinggal sementara menunggui Hanum menyelesaikan internshipnya.

Di sinilah, keputusan suami dan istri diuji ketahanannya.

Hanum sangat sibuk mencari berita untuk GNTV. Apalagi, atasannya, Andy Cooper (Arifin Putra)  sangat ambisius dan tahu cara mempersuasi serta menekan anak buahnya seperti Sam dan Hanum. Selisih paham dan curiga satu sama lain, menambah intrik. Hanum curiga pada Rangga dan Azima Hussein (Titi Kamal), seorang janda berputri 1 bernama Sarah. Apalagi Sarah sangat menyukai Rangga. Demikian pula, Rangga mencurigai Andy Cooper yang pintar, good looking dan mampu meraih perhatian penuh Hanum.

Konflik muncul ketika Andy menitik beratkan channelnya pada rating dan tayangan kontroversial Hanum menuai 10 juta viewers dalam jangka waktu 2 jam. Meski awalnya Hanum terpaksa mengikuti gaya Andy dalam membuat tayangan, ia pada akhirnya membuat pilihan berbeda. Rating bisa dibangun tanpa harus membuat tayangan termehek-mehek.

Ohya, ada satu lagi perkataan yang saya suka dari Hanum,

“Good news is still good news.”

Awalnya, bad news is good news, right?

Tapi di tangan Hanum yang membuat ide candid camera, terlihat bagaimana masyarakat Amerika tidak semuanya beranggapan Islam itu teroris. Anda pasti pernah lihat tayangan macam begini kan? Setting dibuat asli, ada kamera tersembunyi, ada stimulus kejadian yang memunculkan kejadian yang diharapkan. Ini namanya eksperimen sosial.

Seorang perempuan bercadar antri di kasir. Kasir memaki-makinya dan menyuruhnya balik kebelakang antrian, mempersilakan pengantri lain untuk maju lebih dahulu. Uniknya, justru pengunjung toko yang lain membela perempuan bercadar tersebut. Tayangan reality show yang keren kan?

Insight of Moslem menuai pujian. Ratingnya meningkat dan sebagai hadiah selain bonus yang besar; Hanum diminta live show menggelar wawancara eksklusif dengan berbagai narasumber termasuk istri seorang lelaki yang syahid di Suriah pada saat Memorial Day 9/11.

Karier Hanum yang semakin menanjak mulai menimbulkan kekesalan, kegusaran dan kemarahan Rangga. Beberapa ucapannya yang khas lelaki muncul seperti,

“Apa kamu mau mengesampingkan perasaan suami kamu?”

“Sebagai suami aku nggak memberi kamu izin!”

“Apa kamu meninggalkan tanggung jawab sebagai istri?”

Yah, wajar sih Rangga beranggapan demikian.

Dalam kondisi super sibuk, Hanum selalu menyempatkan diri membuat sarapan meski hanya mie goreng dan telur ceplok (saya nggak mau nyebutin merk yaaa. Tapi ngaku aja, para istri yang lagi super sibuk biasa masakin suaminya mie jenis ini kan?)

 

Istri Melawan Suami

Awalnya sih, sempat rada gimana gitu melihat Hanum gak ngefek blas diancam : “sebagai suami saya nggak ngasih izin kamu!”

Tapi ternyata, istri gelisah lho kalau diancam demikian.

Hanum kalut, pening, pusing dan sama sekali nggak bisa konsentrasi. Dan ternyata, meski kayaknya ia berjalan ngeloyor pergi sembari masang tampang menantang  (Acha Septriasa emang jago mimic, yah!); Hanum ternyata berusaha menyelesaikan pekerjaannya dan mulai menimbang-nimbang.

Jadi para suami, kalau istri terlihat  nyebelin, gak taat, gak nurut, nantang; janganlah langsung dicap durhaka karena pada hakekatnya mereka sedang bertarung dengan diri sendiri untuk mengalahkan egoism. Berhubung  Rangga memberikan contoh bagaimana sebagai lelaki ia mengalahkan egoism dan mempercayai keputusan Hanum; pada akhirnya egoism Hanum pun luntur dan ia memilih mengikuti suami ke Vienna. Posisi puncak diberikan ke Sam, cowok gokil yang sebetulnya sangat bertanggung jawab dan pekerja keras.

 

Film ini sukses membuatku menangis.

Membuat dua putriku menangis.

Yah, kami menonton bersepuluh saat itu dan rata-rata kami mellow banget nonton film ini. Nis, anakku SMA yang duduk di sampingku sepanjang film, berkali-kali tersedu melihat romansa Hanum dan Rangga. Apalagi adegan-adegan ketika Hanum membuka voice recorder dari Rangga. Adegan ketika Rangga yang galau bertemu beberapa pasangan suami istri yang mesra di taman, di jalan, di manapun ia berada.

Puncaknya, ketika Rangga bertemu pasangan kakek nenek yang mesra.

Duileee…ini bikin kantung air mataku kempes!

Pesan film ini : salah satu pihak harus rela mengalah terlebih dahulu agar pernikahan berjalan stabil. Dan yakin deh, pihak suami atau istri akan mengimbali sikap mengalah itu dengan bersikap mengalah pula dilain waktu.

Pesan lain : jangan ragu mempertontonkan kemesraan suami istri di muka umum. Siapa tahu, itu menjadi obat dan penguat bagi pasangan yang sedang galau kwkwkwkw.

 

Kategori
Catatan Jumat Oase Psikologi Islam PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY Remaja. Teenager Sirius Seoul

Psikologi Gaul (1) : Memahami Remaja

 

“Boleh pakai kutex?”

“Kalau tattoo?”

“Pacaran kan nggak papa kalau cuma jalan-jalan.”

“Mau warnai rambut. Asal gak hitam gakpapa, kan?”

“Aku main game kalau lagi bosen. Semua orang ngomel melulu. Yah, namanya bosen gimana!”

“Males sekolah/ngampus. Dikejar-kejar melulu.”

Itu sebagian dari keluhan remaja yang mampir ke agendaku.

Ya, mereka yang dilahirkan tahun  2000an dan lebih muda lagi pasti mengalami clash dengan generasi yang lebih senior. Anggapan para guru dan orangtua bahwa generasi ini lebih nggak bisa diatur, lebih seenaknya aja, nggak mandiri; mungkin sekilas benar. Remaja di usia ini memang ampun banget, bikin cenat cenut kepala dan jantung nyaris meledak saking nahan emosi.

 

          Pahami Tipe Kepribadian

Meski urusan tes kepribadian dan gangguan kepribadian itu adalah wilayah psikolog/psikiater; orangtua dan pendidik perlu tahu garis besarnya. Umumnya kepribadian dibagi 5 wilayah besar : OCEAN – openness to experience, conscientiousness, extraversion, agreeableness dan neuroticm. Dari artinya sudah dapat dikira-kira : O tipe yang suka petualangan dan pengalaman baru, C tipe yang rigid dan disiplin, E – ekstrover, A- tipe sosial yang senang kalau orang lain senang dan N- tipe penggugup.

Susan Cain, membagi kepribadian hanya 2 wilayah besar. Ekstrover dan Introver. Kalau ada perincian, hanya dibagi ekstrover tenang dan esktrover gelisah, introver tenang dan introver gelisah.

Apapun itu, kepribadian anak tidak sama persis dengan orangtua. Kalau mirip, iya.

Anaknya tipe O? Apalagi usia remaja, ya udah deh. Jarang betah di rumah. Senangnya naik gunung, panjat tebing, ikut ini ikut itu. Beda dengan tipe N yang penggugup ketemu orang : ia akan diam tenang di rumah entah baca buku atau ngerjain PR.

Tipe kepribadian ini gak mutlak-mutlak amat.

Bisa jadi suatu saat berubah, dengan asupan informasi, pendekatan kognitif dan disiplin perilaku.

Misal anak introver yang emang sama sekali gak bisa gaul. Maunya sendiri aja. Apalagi kalau IQnya di atas 130 yang sudah masuk ranah gifted, si dia yang senang intrapersonal ini makin menyendiri dengan ide-ide kreatifnya yang gak mudah dipahami orang. Dengan bantuan pendekatan yang komunikatif, introvernya akan lebih stabil dan ia dapat mulai bersosialisasi dengan lingkungan sekitar meski nggak akan berubah jadi ekstrover sejati.

 

          Perbanyak Komunikasi

Setenang-tenangnya seorang anak , sesantun-santunnya; ketika memasuki usia remaja ada yang berubah dalam dirinya baik kematangan kognitif, kematangan emosi termasuk kematangan hormonal. Yang biasanya gak gampang nyolot, kena PMS, sensi deh.

Yang biasanya nurut kalau disuruh-suruh mulai nanya :”Mama kok nyuruh aku terus? Adik gak disuruh!”

Kondisi menjelang dewasa ini kadang berbenturan dengan orangtua dan guru; maka label pembangkang ini cucok disematkan ke remaja.

Seorang remaja mengaku membaca komik sembunyi-sembunyi, sebab orangtuanya akan membuang semua komiknya ke  halaman bila ketahuan.

Seorang remaja, mengeluh sering bolos karena hampir semua guru BK nya menakutkan.

Seorang remaja, mengaku sudah lama tidak kuliah karena ia memiliki ketakutan bertemu orang-orang (anehnya, dampak dari bullying dan parenting orangtua baru tampak jelas di usia remaja).

Tidak ada cara lain kecuali mencoba bersimpati pada mereka : mendengar, mendengar, mendengar. Menyimak, menyimak dan mencoba memahami emosi yang berkecamuk.

BTS- unofficial biography dan Sirius Seoul (kiri). Penghargaan terhadap BTS, Twice, Stray Kids, G(i)-dle (kanan)

 

Aku pernah mengisi sebuah pengajian remaja.

Usai acara, malu-malu 2 orang remaja mendekatiku dan bertanya :

“Kok Bunda tahu BTS?”

“Ya, tahulah,” aku tersenyum simpul.

“Eh, memangnya, bias Bunda siapa?”

“Bunda suka Rap Monster (RM). Dia salah satu idol dengan IQ tinggi, lho.”

Perbincangan pun mengalir.

Suatu ketika, klienku adalah seorang remaja yang mengaku ia sudah nggak sanggup kuliah.

Berjam-jam aku menyimak ceritanya, membuat catatan dan membuat janji untuk bertemu. Ketika aku ke Korea, ia kupersilakan terapi kepada psikolog dan terapis lain tetapi kemudian kembali lagi padaku.

“Bun,” keluhnya, “waktu aku ke terapis lain, ia banyak menasehatiku. Ia malah nggak sabar dengar ceritaku.”

Memberi nasehat, memang selalu ingin dilakukan orangtua seperti kita.

Padahal sebetulnya, dengan membuka sumbatan komunikasi, membiarkan para remaja ini bercerita banyak tentang hidup mereka yang juga jumpalitan ke sana kemari; juga salah satu pintu kestabilan kepribadian mereka dan insyaallah para remaja ini akan dapat diarahkan pada akhirnya.

Suatu ketika, aku mendapatkan beberapa klien yang kecanduan game.

Dibanding demam Japanese wave dan K-Pop yang bagiku lebih menarik, aku relative nggak begitu paham mengapa remaja bahwa orang dewasa addict video game! (Klien-klienku yang adiksi kepada video game sebagian sudah menikah dan bekerja sehingga terganggu urusan rumahtangga dan kariernya!)

Aku bertanya pada anak-anakku tentang video game.

Yang membuatku terperangah, anakku mengajakku menonton you tube, opening ceremony turnamen game.

“Lihat nih, Mi. Supaya Ummi tahu, kemegahan dunia gamers.”

Opening ceremony itu membawakan lagu K/DA-Popstar dengan 4 idol. 2 idolnya adalah G(I)-DLE yang baru saja mendapatkan award sebagai pendatang terbaik di dunia music. Selain lagunya yang easy listening, penonton arena disuguhkan tayangan 3 dimensi (atau 4 dimensi ya?) sehingga mana yang artis, mana yang tokoh LOL (League of Legend) versi animasi campur baur dengan tokoh manusia. Mata kita nggak bisa membedakan mana sosok manusia, mana sosok animasi!

Orangtua yang anaknya terpapar video game, usai menonton opening ceremony LoL ini harus berpikir bijak : apakah anaknya akan menjadikan video game sebagai salah satu cara hidup  seperti Elon Musk si pembuat Tesla, menjadi gamer sejati seperti cewek Surabaya Indri Sherlyana (kata anakku pemenang kompetisi e-sport hadiahnya M bahkan T!) atau mulai berkomunikasi kepada anak untuk mengurai adiksinya kepada video game.

Indri Sherlyana, gamer cewek asal Surabaya; KDA Popstar, Rockman

 

 

 

Sinta Yudisia

Penulis, Psikolog, Emak yang baru belajar apa itu Skyrim, Dota, LoL, Mobile Legend

 

Referensi :

Jawa Pos, 14/10/2018 (Indri Sherlyana)

Jawa Pos, 18/10/2018 (Rockman)

KDA Popstar https://www.youtube.com/watch?v=hif2E1QaDDs

 

Kategori
Hikmah mother's corner Oase Tulisan Sinta Yudisia WRITING. SHARING.

Politik yang Bergairah

 

“Mama kamu nyoblos apa?”

“Partai V. Kalau Mama kamu?”

“Aku X. Kok gak sama ya?”

Kami ibu-ibu senyum-senyum dengar percakapan anak-anak kecil di sekolah. Anak-anak itu boleh jadi diajak bunda mereka ke bilik suara, melihat tata cara mencoblos dan terjadi diskusi tersebut. Mereka masih kecil-kecil, kadang masih nangis ngosek kalau nggak dituruti jajan. Tapi pemikiran dan diskusi anak sekarang sangat variatif.

Politik, memang selalu menimbulkan polemik. Pro kontra. Serang sana sini. Hasut sana sini. Kalau membayangkan pertarungan politik 2019, lelah rasanya. Tapi politik juga membawa kehidupan yang lebih bergairah dari waktu-waktu sebelumnya.

Masak sih?

Iyalah.

Waktu saya SMP, SMA, apalagi SD; mana pernah ayah sama ibu saya ngomong bab politik. Saya juga nggak tau pilihan politik mereka berdua. Hanya pernah dengar selentingan kalau pegawai negeri harus ada pilihan wajib. Partai saat itu hanya 3 : Golkar, PPP dan PDI. Seingat saya, waktu kecil bahkan menjelang remaja sampai kuliah; gak ada ketertarikan blas buat ngomong politik.

Sekarang beda.

Bicara politik, bahas politik, bukan hanya sekedar di ruang public atau medsos belaka. Tetapi di ruang rumah kami. Di kamar tidur. Di ruang makan, ruang tamu. Kadang-kadang melihat anak-anak saya berdebat dengan argumentasi mereka, lucu aja. Bahasa-bahasa kelas ‘tinggi’ yang dulu saya nggak nyampe, sekarang biasa diperbincangkan anak-anak kita : pemilihan, hoaks, legislative, melanggar hukum, partai politik, pemilu, posisi strategis, dsb.

Bahkan bagi anak-anak yang belum paham betul pilihan politik yang bijak dan baik itu seperti apa, sudah melontarkan pernyataan politik.

“Ummi, aku ini sudah ikut nyoblos enggak?”

“Ih, aku nggak mau milih ketua kelas kayak dia lagi. Egois banget orangnya!”

“Wah, Ummi! Di koran ada Ilhan Omar. Keren ya, dia!”

Tuh, kan. Padahal usianya belum sampai 17 tahun dan belum dapat KTP.

Saya dulu boro-boro mikir nyoblos. Mikir mana partai yang merepresentasikan suara rakyat, ogah.

Bersyukur banget dengan segala kondisi sekarang, anak-anak dapat dewasa secara alamiah. Memang sih, pasti ada hal-hal buruk yang timbul. Mana ada sih di dunia ini, segala sesuatu disantap tanpa menimbulkan dua sisi mata uang? Politik membuat kehidupan bernegara kadang terpecah belah. Tapi, politik juga membuat hidup lebih bergairah. Anak-anak SD dan SMP mulai mikir : milih ketua kelas macam apa ya, biar kegiatan di kelas bisa berjalan? Bapak ibu juga semakin aktif mengkampanyekan nilai-nilai yang mereka yakini. Ada yang bergabung di komunitas pengajian, paguyuban orangtua, komunitas seni dan segala macam. Semakin banyak berinteraksi, semakin banyak kesempatan berdialog.

Bagi saya ini positif.

Kalau dulu saya taunya sekolah, les, belajar kelompok; anak-anak saya mulai ikut ini itu demi belajar politik yang sesungguhnya.

“Di kampus, aku jadi tim media, Mi. Gak bergengsi sih posisinya. Tapi itu yang aku bisa dan aku bekerja sebaik-baiknya. Eh, karena kerjaku baik, teman-teman selalu suka. Aku sampai diperebutkan sana sini jadi tim sukses, lho.”

“Ilhan Omar dari Somalia keren ya, Mi. Udah punya anak 3, lagi.”

Ilhan Omar memang spektakuler. Perempuan asal Somalia ini pernah tinggal di pengungsian Kenya selama 4 tahun dan hidup dalam kondisi serba sulit.

Ada 2 muslimah yang duduk di kursi Kongres saat ini, satu lagi perempuan keturunan Palestina. Ilhan sendiri terpilih menjadi anggota House of Representative, mewakili distrik 5 negara bagian Minnesota.

 

Perbincangan-perbincangan sepele itu sepertinya tak punya muatan apa-apa. Tapi idola, pusat perhatian anak-anak kita, sekarang dimeriahkan dengan panggung politik. Mereka tidak lagi hanya menjadikan fenomena orang keren dari kalangan artis atau selebritas saja. Tetapi orang-orang dari kancah politik pun bisa jadi orang yang keren banget.

Politik, membawa hidup lebih bergairah!

 

 

( Ilhan Omar, Jawa Pos 7/11/2018 dan 11/11/2018)