Kategori
Cinta & Love mother's corner My family Psikologi Islam

Cinta & Pernikahan Tanpa Dakwah

Suatu ketika putriku bertanya, “ Ummi nggak pernah berantem sama Abah?”
Bohong kalau kukatakan ,” nggak pernah sama sekali!”
Bagaimana mungkin dua orang yang tak pernah saling mengenal sebelumnya, hidup seatap, mencoba senasib sepenanggungan, menghadapi aral melintang menghadang, satu demi satu anak lahir dan besar melalui tahap demi tahap perkembangan ; semua dihadapi adem ayem penuh senyum tawa tanpa sekalipun duka, marah, jengkel, gundah gulana?
Tentu pernah kami saling tersinggung, diam seribu bahasa, mencoba menjaga jarak, sebelum salah satu bersikap rendah hati meminta maaf terlebih dahulu. Tapi apa yang membuat sebuah pernikahan melewati tahun demi tahun, membentur tembok kesukaran, sesaat kapal oleng, dan kami tetap saling berpegangan tangan mencoba bertahan dalam badai?

Tujuan pernikahan

Kalau tujuan berpasangan hanya semata urusan biologis semata, sampai kapan bertahan? Terlebih secara fisik, baik lelaki dan perempuan tak akan mampu terus menerus memiliki hasrat besar. Lebih dari sekedar biologis, fisiologis; maka pernikahan tak hanya didasarkan urusan fisik semata. Wajah boleh ayu tampan setahun lima tahun ke depan, sesudah punya anak satu dua tiga dan seterusnya, digerus permasalahan hidup dan ekonomi; rupawan tak lagi bertahan.
Yang bertahan adalah brain , behavior.
Kemampuan otak mencerna sesuatu, mencoba cari jalan keluar dari setiap masalah; dan bagaimana berperilaku. Akan semakin lengkap dengan egostrength , kekokohan mental yang didasarkan pada prinsip-prinsip Robbani.
Maka, pernikahan yang bertahan adalah yang dimulai, dijalani dan insyaAllah kelak diakhiri dalam rangka pengabdian padaNya.

Obat pernikahan

Sinta Yudisia's family di Tulungagung
Berantem?
Berselisih?
Marah? Jengkel?
Jika bukan dalam landasan dakwah, entah bagaimana kami menjalani kehidupan rumahtangga yang selalu menghadapi satu demi satu aral menghadang. Suatu saat, kami berselisih, saya menangis. Cari-cari suami tidak ketemu, hingga ia pulang ke rumah dalam kondisi tenang. Ternyata,
“…aku seharian di masjid. Tilawah Quran.”
Oalaaaaah.
Mangkel, hehe…tapi bersyukur luarbiasa. Lha kalau suami lagi jengkel malah jalan-jalan ke mall, cucimata, nonton bioskop sendirian, ke café? Bisa-bisa pulang ke rumah tambah tak terkendali.
Maka, kebiasaan ibadah bisa menjadi obat pernikahan. Terbiasa baca Quran bersama, saling mengingatkan puasa sunnah, sholat malam bersama. Suatu saat, kalau sedang berselisih dan saling mendiamkan, masa’ melalui malam dengan sholat qiyamul lail sendiri-sendiri? Malu laaah…apalagi sholat shubuh masing –masing nggak saling menyapa. Rasanya gak oke!
Biasanya, amarah luntur saat menghadapi waktu ibadah yang berikut, seperti harus makan sahur; atau mengingatkan anak-anak untuk baca Quran. Alhasil, kekakuan reda, saling menyapa dan berbincang lagi.
Tak terbayangkan, bila tak terbiasa beribadah bersama-sama, berapa lama kemarahan mengeras dan bahkan tak mampu cair kembali?

Dakwah adalah obat

“Apa sih yang menjadi bahan berantem Abah Ummi?” anakku bertanya lagi.
Apa ya…? Aku mencoba mengingat-ingat. Sepertinya, kami nyaris tak pernah bertengkar untuk urusan ekonomi, bahkan bila terpaksa harus bersabar kami saling mengingatkan untuk tetap banyak berdzikir, sedekah, memperbanyak ibadah. Toh, masih banyak orang yang lebih sederhana dan sepanjang usia harus bersabar.
Seingatku, kami berselisih untuk permasalahan-permasalahan dakwah, terkadang kami berbeda menyikapi. Seperti misalnya suami menegur, tamu-tamu yang datang ke rumah, terkadang kalau curhat bisa berlama-lama. Aku mau bilang apa?
“Lama amat ngobrolnya,” suami keberatan, sebab ia sering kelelahan usai beraktivitas, dan harap maklum ingin gantian dilayani makan, minum dll.
“Lha gimana lagi,” aku menjelaskan,” masa’ harus Ummi usir? Mending mereka curhat kemari kan Mas, timbang curhat ke lain tempat, ke teman-teman mereka yang malah gak ngasih solusi baik.”

Untuk hal ini, akhirnya kami mencapai kata sepakat, bahwa harus ada waktu yang dibagi untuk curhat-curhatan dengan waktu untuk keluarga. Sebab mau tak mau, kami harus memantau hafalan Quran anak-anak, memberikan diskusi kepada anak-anak terkait kisah ulama, tafisr, salafus sholih maupun iptek terkini. Dan biasanya, aku mengiyakan agenda curhat-curhatan saat suami tidak berada di rumah (khusus cewek), supaya ketika ia kembali pulang kami bisa saling memperhatikan.

Begitupun waktu yang tersisa bersama suami, berisi pembicaraan berharga.
“Ada agenda apa malam ini, Mas?”
“Ada rapat nih.”
“Sampai jam berapa?”
“Malam, gak tau jam berapa pulangnya.”
“Ohya udah, berarti aku siapkan kopi panas dan camilan, aku tunggu mas pulang sambil ngetik ya.”
“Oke.”
Di waktu lain,
“Ummi ada acara hari ini?”
Biasanya Jumat, Sabtu, Minggu agendaku malah padat. Maklum ibu-ibu hehe…
“Pagi aku ngisi di sini, siang di situ, malam juga ada. Besok minggu ke luar kota.”
“Ya ampuuuun,” kata suamiku. “Sibuk benerrrr!”
Aku nyengir.
“Ya udah, ntar tak antar jemput ya,” kata suamiku.
Itu artinya pulang ngisi acara kami berdua bisa bercanda di atas sepeda motor sambil menuju…wisata kuliner! Sekedar yang murah tak apa, makan soto dan es teh bersama.
Agenda dakwah kami nikmati bersama, kami syukuri, dan ternyata agenda –agenda dakwah itu yang menjadi obat pernikahan kami.
Aku bercerita pada putri sulungku, Inayah,
“…nggak kebayang ya mbak In, kalau Abah Ummi nggak dijalan dakwah. Paling berantemnya masalah duit, mobil, belum lagi kalau masing-masing jatuh cinta lagi sama orang lain, ada WIL/PIL, naudzubillah.”

Aura di rumah pun berbeda.
Ketika sibuk pilkada dan pemilu, anak-anak menyetel televisi, membaca koran, masing-masing memberikan argumennya terkait berita. Anak-anak punya pendapat tersendiri terkait Palestina, Mesir, dunia Islam, Amerika, Yahudi, harga bawang putih dan politik dagang sapi; juga siapa-siapa saja terkait kasus korupsi. Aku geli sendiri, merasakan aura dakwah berada di tengah pembicaraan kami.
“Ya, bayangkan saja, kalau Mesir kabinetnya 140 orang penghafal Quran, gimana gak tangguh?” kataku.
“Wah, coba kabinet kita kayak gitu,” sahut Inayah.
“Amiiin.”

Hari Sabtu, yang ditetapkan pemerintah sebagai hari libur nasional melengkapi hari Minggu, sama sekali bukan hari libur bagi keluarga-keluarga dakwah.
“Ummi, aku pengajian jam 7!” Ahmad berseru.
“Aku jam 8!” Inayah menambahkan.
“Jam 9 , Mi,” Nisrina si kecil tak mau kalah.
“Masku lagi nggak bisa ngisi,” kata Ayyasy.
“Gimana ini? Ummi mau ngisi acara! Abah ada acara?”
“Nggak ada,” jawab suami, kalau pas nggak ada rapat. Maka Sabtu bukan hari libur bagi suami sebab ia mengantar jemput anak-anak pengajian, menggawangi rumah bila aku harus pulang sore hari, suami memasak makanan istimewa sehingga anak-anak merasa tetap menjadi bagian special bagi kami sekalipun bergantian Abah dan Ummi nya sering tidak di rumah.

Sepanjang jalan , rasanya aku bersyukur atas ritme ini, merasakan karuniaNya atas hari demi hari yang penuh gairah bersama dakwah.
Bila, ada perselisihan terkait dakwah, saat aku sebagai perempuan terkadang cemberut, rewel, ingin perhatian lebih, ingin dimanja, tak mau kompromi dengan agenda suami yang padat dan ia pulang ke rumah lelah. Suamiku –tipe lelaki rasional dan easy going- berkata,
“…aku ingin Ummi mendukung dakwahku. Bukankah itu juga yang kulakukan untukmu?”
Tak terbayangkan, bila dakwah tak menjadi bagian dari perjalanan cinta kami, juga pernikahan dan keluarga kami.

Kategori
da'wahku Oase

Surat Umar bin Abdul Aziz, Khalifah Bani Umayyah, kepada pejabatnya

Tercatatlah Khalifah Umayyad, Umar II, yang tak jauh berbeda dengan khalifah kakek buyutnya, Umar I. Hati Umar II atau Umar bin Abdul Aziz demikian lemah lembut, bahkan ia memerintahkan para pejabatnya untuk bersikap lemah lembut pada non Muslim. Surat edarannya kepada para pejabatnya berbunyi :

“Berikan perhatian kepada kondisi (orang-orang yang bukan Islam), yang dilindungi dan perlakukanlah mereka dengan lembut. Bila ada di antara mereka mencapai usia tua dan tidak mempunyai sumber penghidupan, andalah yang harus mengurus keperluan hidupnya. Bila orang itu mempunyai saudara mintalah agar orang ini mengurusnya…”

Surat yang lain Khalifah Umar II berbunyi :

“Murnikan daftar-daftar yang ada dari pengadaan kewajiban yang tidak perlu (yakni pajak yang dikenakan secara tidak adil) ; dan pelajari arsip yang lama juga. Bila telah dilakukan tindakan yang tidak adil, baik terhadap orang yang beragama Islam maupun yang tidak beragama Islam, pulihkanlah haknya. Bila ada di antara orang yang menerima perlakuan tidak adil itu yang meninggal dunia, berikanlah haknya kepada ahli warisnya.”

Kategori
Oase

Quote tentang Menulis

Membaca dan menulis membutukan etos, komitmen, konsistensi
(Jean Paul Sartre)

sartre

Kategori
ACARA SINTA YUDISIA Catatan Perjalanan Gaza Kami ~RINAI~ Sinta Yudisia

#Rinai : antara FLP, Palestina, Psikologi

Dibawah ini rangkuman wawancara dengan mbak Vika Wisnu, Sindo Trijaya FM, Kamis 28 Februari 2013 (maaf jika ada yang terlewat atau khilaf). Semoga bermanfaat ya 

Sindo trijaya FM, Sinta Yudisia, Vika, Rinai

Apa sih isi Rinai?
Fiksi documenter, tentang relawan perempuan yang berusaha memberontak kungkungan adat Jawa di belakang dirinya. Salah satu “rebellion” nya adalah dengan pergi ke kancah konflik. Juga merangkum kehidupan sehari-hari masyarakat Gaza, Palestina; anak-anak di sana.

Rinai itu siapa?
Rinai adalah tokoh utama dalam novel “Rinai”. Sengaja memilih nama-nama yang sangat Indonesia sekali, kecuali untuk kisah-kisah ber setting asing (missal The Road to The Empire, Takhta Awan – tentu, harus nama Mongolia)

Bagaimana mendapatkan informasi tentang Palestina?
Kebetulan tahun 2010 berangkat ke Palestina bersama BSMI- Bulan Sabit Merah Indonesia. Saat itu gerbang Rafah belum dibuka seperti sekarang, masih di bawah kepemimpinan Husni Mubarak.

Bagaimana akses ke Kementrian Perempuan dan Kementrian Budaya?
Saat berada di Gaza, diundang ke kementrian tersebut. Di kementrian Budaya, bahkan disambut oleh seorang penyair yang bersenandung tentang Tanah Air dan Ibunda!

Apa goal dari buku Rinai?
Agar kita mencintai tanah air Indonesia. Mereka yang tanahnya sudah hancur saja, masih mencintai negaranya, apalagi kita yang diberikan olehNya tanah subur. Juga, agar kita mensyukuri betapa makmurnya Indonesia. Di Palestina, seringkali menyaksikan pohon dan bangunan hancur lebur, sementara di sini kita bisa menyaksikan beringin dan akasia rimbun.

Alangkah bahagianya bisa belanja di Indonesia pakai rupiah (jangan tanyakan kursnya pakai dollar!) sementara di Gaza masih pakai shekel, mata uang Israel. Bayangkan bila kita harus belanja di Indonesai pakai gulden atau yen! Sedih kan?
Kita juga belajar menghormati bendera merah putih, yang bisa berkibar di tanah air kita sendiri. Di Palestina, mereka berjuang agar bendera bangsanya bisa berkibar di tanah airnya sendiri.
Kita juga belajar dari Palestina, betapa mereka punya harga diri. Nggak gampang jadi pengemis, peminta-minta. Filosofi mereka : anda bisa miskin, boleh mengemis 1-2 bulan. Tapi kalau sampai bertahun-tahun mengemis, itu bukan miskin tapi pekerjaan! Di Gaza, kita akan menemukan anak-anak dengan kondisi fisik tidak lengkap, mereka masih berkeliling berjualan shai-teh.
Perempuan bersuaha eksis dengan bekerja, menghasilkan sesuatu dengan tangan mereka sendiri dan tak melulu mengandalkan bantuan orang. Mereka memang punya tradisi beranak banyak, tetapi meski kondisi perang, anak banyak, para perempuan tetap berambisi kuliah terus hingga S3!

Apa arti FLP bagi karya-karya anda?
FLP – Forum Lingkar Pena adalah organasisai yang tidak hanya berisi penulis tapi semua insan yang peduli pada dunia literasi. Ada pembaca, kritikus di sana. Teman-teman FLP –utamanya yang berbasis ilmu sastra atau FIB biasa mengkirtik karya saya : oh, tokoh anda kurang begini Mbak…setting, alur harusnya begini.

Sindo Trijaya FM, Sinta Yudisia

Bagi saya itu masukan yang luarbiasa, ketika karya kita dikritik!
FLP adalah organsiasi non profit yang telah memiliki sekitar 100 cabang dan ranting di Indoensia dan mancanegara. Kami baru saja ul ngtahun ke 16pada 22 Februari kemarin, insyaAllah akan menyelenggarakan Munas FLP di Bali Agustus 2013 nanti.
Di FLP selain belajar menulis kita juga belajar berorganiasi.

Siapa yang membuat anda terus berkarya?

Klise jawabannya : suami dan anak-anak. Anak saya adalah kritikus yang andal dan pedaaas!

Sindo trijaya FM, Sinta Yudisia, Inayah

Siapa penulis yang menginspirasi?
Kalau dari luar , Amin Malouf, Nagouib Mahfoudz. Dari Indonesia ada mba Helvy, mb Asma nadia, Mbak Afifah Afra (lho koq perempuan semua…?)
 Sebetulnya saya mau bilang kalau semua teman-teman FLP sangta menginspirasi saya, ingin menyebutkan nama satu demi satu tapi waktunya nggak cukup.

Apa aktivitas harian anda?
Pekerjaan utama adalah ibu dan istri, ingat ini adalah karir juga, bayarannya adalah cinta! Saya mengajar kelas menulis di SDIT al Uswah, masih menyelesaikan studi Psikologi di Universitas 17 Agustus 1945 Surbaya, mengisi training dan motivasi kepenulisan, menulis dll

Apa hambatan utama penulis?
Kemalasan!
Malas adalah musuh terbesar, tapi harus dilawan. Kalau lagi malas , saya biasanya baca buku-buku biografi seperti Helen Keller misalnya. Ia yang buta, bisu, tuli, harus berkomunikasi pakai alphabet manual saja tetap bisa menghasilkan buku. Kita yang lengkap jasmaninya apa lagi