Kategori
FLP FLP Wilayah Jawa Timur Perjalanan Menulis

Forum Lingkar Pena (FLP) : antara Literasi, Organisasi, Partai Politik

Salah satu film Ramadhan yang membekas selain film Umar bin Khathab di MNCTV adalah serial lepas di TVRI , serial Nabi Yusuf dan serial Maryam. Selama ini, tiap kali mendengar nama Yusuf disebut yang terlintas segera adalah wajahnya yang rupawan bak malaikat dan bagaimana wanita tergila-gila hingga tak sadar mengiris jemarinya hingga berlumuran darah, tak terkecuali Zulaikha, istri al Azis yang cantik jelita.
Sungguh, kisah Yusuf termaktub secara lengkap dalam QS: 12 sejak beliau bermimpi tentang sujudnya bintang bulan hingga perjalanan beliau di penjara, fitnah wanita, diangkatnya beliau sebagai bendahara Mesir dan pertemuan mengharukan Yaqub dengan putra terkasihnya.
Setiap perempuan hamil berangan-angan memiliki putra setampan Yusuf, sehingga nama Yusuf adalah nama paling populer yang dipersiapkan. Jarang sekali kita –setidaknya saya- mencermati bahwa kisah Yusuf sangat sarat makna. Kisah ini sempat kembali membuat tercengang, terpekur, tafakkur manakala Arab Spring meledak sejak protes self immolation Muhammad Bouazizi menggulung kekuasaan Zen Abidin Ben Ali, Tunisia. Semua penderitaan manusia – terhina, tertuduh, terisolasi, terpenjara, terfitnah sebagaimana Yusuf as bukan berarti Allah tak punya kuasa terhadap dirinya.
Dalam film Maryam, ada satu penggalan yang membuat kami sekeluarga menangis. Apakah karena fitnah terhadap Maryam dan Isa? Bukan. Tetapi bagaimana, begitu mahirnya kaum Yahudi membolak balik opini tentang Nabi, tentang ajaran kerasulan, bahkan tentang Tuhan Sekalian Alam!
Dikisahkan bahwa Nabi Zakaria yang sholih telah beranjak demikian tua. Istrinya hamil diusia tua, saat divonis mandul. Di sisi kisah lain, Zakaria yang sholih dan sederhana , mempercayai kesucian Maryam yang mengandung. Tetapi Zakaria, dengan sedikitnya pengikut, tak mampu meredam gejolak masyarakat yang menuduh Maryam sebagai pezina. Kesedihan Zakaria dan Maryam hanya dapat disandarkan padaNya. Pendeta Nathan, pemuka Yahudi, memberikan orasi demikian menakjubkan yang intinya sebagai berikut :
“Betapa malangnya Tuhan Zakaria dan Maryam! Tuhan yang selalu butuh pertolongan perempuan untuk mengungkatkan kenabian hambaNya. Pertama, istri Zakaria yang mandul dibuat hamil. Kedua, Maryam yang tak punya suami dibuat hamil. Apakah tak ada cara lain untuk menunjukkan kuasaNya selain mengambil pembuktian dengan perempuan?”
Film Maryam, menjadi film wajib tonton keluarga, memberikan makna yang jauh lebih dalam , bahwa peristiwa kenabian dan dakwah, adalah peristiwa mulia, luarbiasa, sarat hikmah yang akan menjadi petunjuk manusia di kemudian hari.

*************

Dalam kisah Yusuf as, kita mungkin teringat akan tukang roti dan tukang pemerah anggur yang berada satu penjara bersamanya. Tahukah, apa makna semua? Saya sendiri terkejut, saat terlambat menyadari, bahwa makna dari kisah tersebut adalah : setiap orang yang kita temui, sejatinya ditentukan olehNya. Orang-orang di jalan, sekolah, kampus, tempat kerja, pasar, tetangga, di dunia maya; mereka akan memiliki posisi kelak sebagaimana Yusuf as dan tukang roti beserta tukan pemerah anggur.
Setiap orang yang kita temui, membawa jalinan kisah tersendiri dalam hidup ini, bagi kita dan alam semesta.
Itulah yang saya rasakan bersama FLP, Forum Lingkar Pena.
Sama sekali tak pernah menyadari, kesukaan sedari kecil terhadap tulis menulis di buku harian, kesukaan membuat cerpen untuk radio, kesukaan membuat puisi dan cerpen; Tuhan memperjalankan saya bertemu teman-teman luarbiasa dalam dunia literasi. Bertemu pendiri FLP, mbak Helvy, mbak Asma Nadia, mbak Muthmainnah. Bertemu senior FLP seperti Teh Pipit, Mas Gola Gong, Mas Boim, mas Ali Muakhir. Bertemu rekan-rekan seperjuangan dalam dunia menulis seperti kang Abik, kang Irfan, mbak Intan, Mbak Afra; bertemu organisatoris andal macam mbak Rahmadiyanti Rusdi, Yons Ahmad, Nurbaiti, Lia Octavia, Adam Muhammad. Bertemu dengan pecinta literasi dari penjuru dunia mulai Canada hingga Sumenep. Bertemu teman-teman yang tanpa nama mereka disebutkan dalam catatan pena manusia, Malaikat Roqib Atid tak akan lupa mencatat bait-bait kehidupan mereka yang berdaya guna bagi masyarakat.

Sinta Yudisia, FLP Mesir

Bersama FLP, saya memahami betul apa literasi, sebuah dunia yang semula asing; bersama FLP semakin mengasah kemampuan organisasi. Bukan hanya sekedar mengejar-ngejar donasi, tetapi bagaimana dapat mandiri. Bagaimana dapat membuat proposal dan bernegosiasi. Bagaimana dapat merancang acara bedah buku. Bagaimana dapat mengelola FLP hingga berjalan dari tahun ke tahun.
Kisah hidup kita, orang-orang yang ditemui, perasaan sedih akibat terasing, berjalan sendiri, terkubur bersama impian-impian panjang, terpenjara dalam system yang tidak berpihak pada dunia literasi sehingga penulis harus berjuang membesarkan dirinya sendiri dan organisasi yang diasuhnya adalah sedikit dari catatan perjalanan yang –sedikitnya- menyerupai kisah Yusuf as.
Tapi terpikirkah, bahwa setelah masa-masa terpenjara, tiba bagi FLP menjadi bendahara terpercaya yang akan mengelola dunia literasi dengan segala keunikannya : jiwa muda penuh semangat, komunitas 100 cabang sedunia, visi misi Islami universal, tema-tema Islami yang jauh lebih melegenda dan lebih “Canon” ; lebih dari The Phantom of the Opera Gaston Leroux, The Lady of Camellias Alexander Duma Jr, Anthony Cleopatra Shakespear?
Di FLP, kita belajar literasi dan organisasi.
Saat menulis, kita makhluk solitaire, individu, bagai alien.
Saat buku terbit, kita adalah makhluk sangat sosial, dimana karya kita membutuhkan pengakuan, penghargaan dan tentunya reward atas segala jerih payah. Akan tiba masanya sebagaimana para ulama terdahulu, insyaAllah, penulis dibayar dengan emas seberat buku yang dihasilkannya.

*********************

Di FLP, penulis belajar banyak hal.
Menulis fiksi non fiksi. Fiksi dapat meliputi puisi, cerpen, cerbung, novelette maupun novel. Non fiksi, penulis belajar membuat opini, artikel, surat pembaca. Eileen Rahman, narasumber EXPERT di rubrik Karir Kompas, pernah menulis hal menarik. Dalam dunia global seperti sekarang, dinding pembatas seringkali tertembus oleh interaksi kecanggihan teknologi. Orang membawa pekerjaan ke rumah : penulis menulis sembari mengajari anaknya belajar, editor mengedit karya sembari memasak, illustrator menemani istri mengobrol. Orang membawa pekerjaan rumah ke kantor : ibu menanyakan kemajuan prestasi si anak lewat email kepada guru, ayah mengadakan janji dengan konselor saat memimpin rapat, ayah dan ibu mengadakan janji akhir pekan lewat media sosial yang terkontak dengan anggota keluarga yang lain.
Batas-batas itu semakin cair, meski tetap harus memperhatikan profesionalisme. Dunia maya, menguntungkan, sekaligus sekali waktu berbalik menyerang bagai boomerang.
Di FLP, banyak manusia tergabung. Yang pandai baca Quran, yang belum bisa baca Iqro. Yang punya twitter, yang belum bisa meng- email. Yang sudah punya buku, yang masih tersendat buat outline. Yang beranak banyak, yang masih jomblo keren. Yang Muhammadiyah, NU, salafi, jamaah tabligh atau dari jamaah lain. Yang partai X,Y, Z atau golput.
Seringkali dalam diskusi karya, teman-teman saling menyerang.
“Dakwah jangan masjid dan jilbab doang dong!”
“Yang pakai jilbab penulisnya aja, karyanya tetap harus universal.’
“Eh, kita kan nulis ada idealismenya?”
“Biarin karyaku nggak laku, yang penting dapat pahala.”
“Lho, penulis juga harus bicara entrepreneur, gak bisa kejual bukunya, gimana bsia bertahan di dunia literasi?”
“Literasi sudah masuk dunia hiburan, jadi harus menyesuaikan…”
Diskusi seru, hangat, kadang saling memojokkan.
Tapi di rumah ini, di FLP, dengan denyut literasi, kita menemukan cara menyatukan kembali langkah kita yang sesekali berlawanan arah. Bahwa kita mencintai negeri ini, bahwa kita ingin indeks pendidikan dan kualitas manusia Indonesia meningkat, salah satunya dengan kegemaran membaca. Apalagi jika diikuti dengan kesukaan menulis, alangkah bermartabatnya!
Jika ada orang yang berpikir pragmatis, bahwa ia bergabung dengan FLP supaya lekas tenar dan terbit buku, silakan. Jika orang berpikir bergabung di FLP agar memiliki skill di duunia kepenulisan, mengingat menulis dapat dilakukan siapa saja dan menjadi penghasilan passive income, silakan. Sepanjang tetap taat pada aturan, visi misi FLP.
Beberapa teman FLP memang demikian bergairah dengan ritme dakwah tertentu. Apalagi dunia literasi membutuhkan mental baja, daya tahan beton, daya lenting bagai pegas sehingga jika terinjak, justru melesat bebas ke angkasa! Di titik ini teman-teman biasanya membutuhkan penguatan ruhani, yang mereka dapatkan di majelis-majelis pengajian, di luar lingkaran FLP.
FLP sendiri sering dikaitkan dengan partai politik tertentu, melihat kinerja teman-teman.
Lebih banyak berjilbab, mengusung tema universalitas Islam, bekerja tanpa imbalan memadai; sering dianggap duplikasi atau analog dari partai X. Memang, ada teman-teman FLP yang berafiliasi kepada partai X dan sebagaimana kata Eileen Rahman, batas-batas pijakannya mencair. Selama ia professional, tak mengapa.
Di milis FLP sendiri, ada teman-teman yang bergitu bersemangat membahas partai dan admin dengan bijak memutus diskusi bila dianggap sudah lewat dari jalur literasi.
Siapapun kita, bila berada di ranah seni, sastra, literasi, maka tema yang diusung memang jauh lebih universal dibanding sekat kepartaian. Bila seseorang telah menisbatkan dirinya dengan partai tertentu, hendaknya ia jauh lebih menjaga diri, karena bila ia mencoreng nama baik maka rusak nama FLP sekaligus rusak nama afiliasinya.
Dalam produk tulisan sendiri, teman-teman FLP yang menyukai ranah nonfiksi akan mencoba gaya jurnalistik yang cover both side, tidak menyebarkan hate speech , tidak sekedar cloning dan copas, mencoba untuk menuliskan versi pendapatnya sendiri. Dalam tulisan, idealism penulis akan tampak jelas, terutama ranah non fiksi. Data dan fakta yang diajukan, akan merujuk pada lembaga dan seterusnya dapat ditelusuri. Teman-teman mahasiswa yang mulai melek politik akan mencoba menuliskan suksesi kampus, tema sosial semacam pronografi dan harga bawang merah bawang putih, hingga pesta demokrasi 2014. Semuanya belajar dengan gaya sendiri, versi visualisasi sendiri. Ada yang terlihat netral, ada yang terlihat sangat berpihak.
Di FLP, ranah literasi, kita mencoba membudidayakan menulis.
Menulis adalah tahapan yang lebih jauh dari membaca, sebab kita telah membaca, merenungkan, memaknai, menafsirkan ulang, menginterprtasi dan mencoba memproduksinya versi gaya alamiah kita sendiri.
FLP adalah payung besar yang menaungi siapapun yang bergiat di dunia literasi, tak peduli apapun afiliasinya. Mari bekerja sama atas hal-hal yang kita sepakati, dan menghargai apa yang menjadi titik perbedaan masing-masing.

Oleh Sinta Yudisia| twitter @penasinta| IG : @sintayudisia

I am a writer and psychologist. A mother of 4 children, a wife of incredible husband. I live in Surabaya, and have published more than 70 books. What do I like the most? Reading and writing. Then, observing people. And also, learning new language

6 replies on “Forum Lingkar Pena (FLP) : antara Literasi, Organisasi, Partai Politik”

Subhanallah mbak, tulisan bergizi yang membuat saya langsung berkaca-kaca. Ya, ada beban sangat besar yang harus kita angkat dari sebuah organisasi bernama FLP ini. Terkadang, saat lelah bertandang, saya merasa putus asa dan ingin pergi. Namun, betapa telah begitu banyak yang saya dapatkan dari organisasi kepenulisan ini. Betapa luas peluang berbuat kebaikan di bangunan bernama FLP ini.
Bahkan, ketika sedang narsis, saya sering menghubungkan, bahwa FLP ini memang terlahir untukku *hehehe* mengingat tanggal lahirnya hampir sama denganku. Eh, dengan mbak Sinta juga ya…
I love you, Mbak Sinta … mari berpadu, satukan kekuatan dalam menyunggi amanah berat ini.

Suka

Iya mbak. Beberapa hari yang lalu saya sms tapi jarang dibalas mungkin lagi sibuk. Bagaimana saya bisa mengikuti kegiatan-kegiatan di FLP khususnya di Surabaya? Terima kasih sebelumnya.

Suka

assalamuallaikum mbak sinta , nama saya ghina saya ingin bergabung dengan FLP surabaya apakah mbak bisa kasih tau alamat kantor cabang yg ada di surabaya. terima kasih

Suka

Tinggalkan Balasan ke sintayudisia Batalkan balasan