Masjid adalah wilayah magis.
Harafisy (orang-orang terbuang) karya Naguib Mahfudz , menjadikan masjid sebagai satu titik penghubung penting terciptanya rangkaian kejadian. Masjid adalah tempat Syaikh Afra Zaydan menemukan seorang bayi terbuang yang kelak dinamakan Asyur Abdullah. Masjid adalah sebuah tempat yang kelokan, jalur, jalan, bau tanah,dan suara langkah kaki demikian dikenali bahkan oleh orangtua buta seperti syaikh Zaydan. Masjid, dapat dikenali oleh seorang renta yang bahkan tak punya indera penglihatan.
Itu sebabnya, tiap hari, jantung tua Zaydan, berdegup kencang dalam rindu dan was-was mencermati waktu sholat tiba. Rindu yang tak dimengerti menyelimuti hati, bahkan ketika ia tak tahu berapa jumlah pilar dan bentuk kubahnya. Masjid membuat kaki tuanya bergegas,menapaki gang-gang kecil dan ia akan tiba di sebuah wilayah makrokosmos, sesaat tiba di gerbang bangunan suci rumah ibadah. Wilayah yang membuat seorang manusia merasa demikian kecil, namun juga penuh energi.
Masjid adalah wilayah yang dirindukan kaum muslimin, ketika mereka pergi ke luar negeri.
Masjid adalah entitas magis , yang saya cari-cari produk unggulannya –adzan– ketika tiba di Hongkong. Ya, mana ada? Aneh sekali melewati hari-hari dalam desis kereta cepat di lorong perut Cause Way Bay, tarian laser di Avenue Star, jeritan takjub para wisatawan naik trem menuju puncak the Peak untuk menyaksikan Hongkong di waktu malam hari ~ tanpa mendengar kumandang adzan yang biasa dibawakan serak lelaki 70an tahun atau suara cempreng anak-anak di masjid depan rumah.
Tak ada kemeriahan tanpa adzan.
Tak ada pagi hari yang ritmenya menakjubkan tanpa diawali gaung adzan.
Hidup seakan berada di dunia outerspace Galactica atau dunia statis kaum Elf di Lord of the Ring : sepi yang mati, tanpa peringatan 5 kali sehari untuk bermunajat sejenak.
Jika masjid yang bayangannya demikian kabur membuat syaikh Afra Zaydan diliput rindu setengah mati hingga setiap pagi, dengan tongkatnya mengetuk-ngetuk dinding gang mencari jalan selamat menuju jamaah sholat, apatah lagi kita?
Indah lengkuh kubah, hamparan karpet, mimbar tempat tetua berbagi mauidzah hasanah, gemericik wudhu dan aura dingin surgawi lantai masjid.
Itulah sebabnya, bertahun lalu, seorang pemuda yang bertualang menimba ilmu di negeri bunga Sakura; merasakan kerinduan yang sama seperti yang dialami syaikh Afra Zaydan. Kehidupan metropolis ultra modern tak dapat memenuhi dahaga paling rahasia seorang hamba : saat munajat kepada RobbNya. Tekad bulat membuatnya menempuh upaya-upaya heroik untuk membangun sebuah masjid di wilayah yang sama sekali tak mengenal Islam sebelumnya.
Seperti apakah Masjid Fukuoka ?
Samakah dengan Masjid Ammar & Osman Ramju Sadik, Wanchai, Hongkong? Atau lebih mirip masjid Khulafa Rasyidin di Jabaliyah, Gaza? Kecil dan unik seperti masjid terapung Ar Rahman Palu?
Simak catatan perjalanan ini seterusnya.
Enjoy the journey to enlightment
🙂
10 replies on “Masjid Fukuoka: Satu Titik Wilayah Makrokosmos”
Mba Shinta lagi di Jepun, ya, Mbak?
SukaSuka
InsyaAllah ke Jepang 3 Oktober dek, doakan ya… 🙂
SukaSuka
Ah, asiknya. Semoga lancar, Mbak, perjalanannya. 🙂
SukaSuka
Jazakumullah khoiron katsiro…doakan barakah ya dek 🙂
SukaSuka
Iya, Mbak. Insya Allah barakah dan menularkan semangat untuk segera bisa kesana juga. Aamiin
SukaSuka
Cakep ya mesjidnya. Sebenarnya lucu jg kalau tiap jalan2 singgah ke mesjid
SukaSuka
Betul Mbak. Masjid adalah salah satu tempat yang punya daya magis 🙂
SukaSuka
Senang jalan-jalan ke rumah nonikhairani.com…cakep !
SukaSuka
Bunda, dalam rangka apa ke Jepang? Semoga perjalanannya selalu barokah dan membawa ilmu bermanfaat. 🙂
SukaSuka
[…] Sepasang sahabat ini, yang tertakdir menjadi suami istri, cukup lama saya kenal. Setelah berpisah karena kesibukan masing-masing, saya hanya menyapa Wid lewat whatsapp. Hingga suatu ketika, saya mengupload sebuah tulisan https://sintayudisia.wordpress.com/2015/09/18/masjid-fukuoka-satu-titik-wilayah-makrokosmos/ […]
SukaSuka