Kategori
Cinta & Love Jurnal Harian mother's corner Oase Psikologi Islam Rahasia Perempuan

Kurikulum Rumah

Berapa kita membayar SPP sekolah per bulan untuk ananda? Limaratus ribu, sejuta, dua juta perbulan? Seiiring pembayaran uang SPP maka terasa ‘plong’; dalam pengertian sudah menuntaskan kewajiban muamalah terhadap sekolah, atau plong melepas ananda. Betul betul plong melepas.

Alhasil, sekolah harus bertanggung jawab terhadap aqidan dan akhlaq anak-anak, perkembangan kognitif dan emosi, termasuk jadwal makan siang tepat waktu plus bergizi. Muncul masalah pornografi, bullying, pola makan tidak tepat, jajan sembarangan; maka pikiran yang pertama terlintas ,” gimana sih kepala sekolah dan guru ngurusin sekolah? Bayar mahal-mahal…”

Kalau melihat jadwal pelajaran yang tertempel di dinding kamar ananda, itulah kurikulum pendidikan saat ini. Huff, padatnya. Terbayang betapa berat tanggung jawab sekolah mulai kepala sekolah hingga cleaning service. Hakekat pendidikan, al ummu madrosatun. Ibu lah sekolah. Seharusnya, belajar matematika, bahasa, olahraga, kesenian, agama dengan orangtua sendiri. Andai, suami berkata kepada kita,” daripada bayar sekolah mahal, mending Bunda aja yang ngajar anak sendiri.” Siapkah?
Tak mungkin sekolah mendidik 100% anak kita. Pun, bila tak mahir mengelola homeschooling, bunda tak berani mendidik anak di rumah sesuai tahapan pendidikan yang harus dilalui di bangku sekolah. Bila sekolah ananda di rasa tak memadai mencapai semua karakter, mengapa tak memadukannya dengan kurikulum rumah? Pasti, sekali waktu sebagai orangtua kita pernah berujar,
“…aduh, matematika sulit banget sih! Bunda gak bisa nih, kamu tanya aja sama kakak apa guru ya. Habis, matematikanya beda sama zaman dulu.”
Bisa dibayangkan betapa anak akan respect kepada guru yang dianggap banyak tahu dan menempatkan kita sebagai orangtua serba-tidak-tahu yang hanya tahu memerintah dan menyuruh sholat? Tak ada salahnya belajar secara sederhana konsep kepala sekolah dan guru.
Tidak ada batasan orangtua dalam mendidik anak, sepanjang itu baik. Lama waktu, bahan materi, gaya penyampaian. Yang pasti, membuat kurikulum rumah berarti kita juga ikut belajar materi apa yang akan disampaikan kepada anak-anak. Untuk lebih memperkaya, mungkin bisa memberikan materi tentang apa yang luput dari sekolah. Bila sekolah mengambil posisi formal, kita mengambil posisi informal. Misal, sekolah mengajarkan bahasa Indonesia, maka orangtua membacakan puisi Muhammad Iqbal yang bergelora dengan nilai-nilai ke Islaman. Bila sekolah mengajarkan ilmu-ilmu IPA dan IPS kita membacakan kepada anak-anak penemuan terbaru seperti cangkok sel punca untuk mengatasi beragam penyakit; emas sebagai alat tukar, sejarah para penakluk seperti Shalahuddin al Ayyubi dan Muhammad al Fatih.
Capek di sekolah, pusing di rumah? Tidak juga. Kita bisa menyampaikan materi pembelajaran kurikulum rumah sambil menikmati sepiring potongan pepaya dan mangga, sambil tidur bergulingan di waktu pagi usai Shubuh atau malam menjelang berangkat tidur. Anak-anak biasanya excited melihat ayah bundanya berlagak jadi guru. Lagipula, pengajaran biasanya tak berlangsung lama : 15 menit.
Mungkin, ananda nanti akan bertanya seperti anak saya, ketika kami memberlakukukan kurikulum rumah yang masih sederhana.
“Ummi, ini nanti ada ujiannya juga ya?”

Oleh Sinta Yudisia| twitter @penasinta| IG : @sintayudisia

I am a writer and psychologist. A mother of 4 children, a wife of incredible husband. I live in Surabaya, and have published more than 70 books. What do I like the most? Reading and writing. Then, observing people. And also, learning new language

3 replies on “Kurikulum Rumah”

Tinggalkan komentar