Kategori
Testimoni & Resensi #Rinai ~RINAI~ Sinta Yudisia

Testimoni & Resensi #Rinai

1. (0856xxxxxx, 21 Januari 2013, 03 :55 PM)

Assalamu’alaykum.
Bunda Sinta, SMS ini akan sangat panjang. Anggap saja sebuah email yang dipaksakan terkirim dalam bentuk short message. Novel Rinai baru saja saya tuntaskan 16 jam lalu. Novel kesekian yang saya baca diiringi sesuatu yang meraba hangat, keluar dari dua sudut mata. Kesekian kali, dari banyak kisah fiktif yang saya baca. Ya, fiktif.
Benar adanya ketika seorang sutradara film asing pernah mengatakan, “film ini adalah tipuan. Maka kita harus berhasil menipu penonton .“
Jelas, maksudnya tak lain seperti apapun film itu tidak nyata, maka para pembuat film harus menyusunnya sedemikian rupa, sehingga orang2 akan menganggap tipuan itu adalah kenyataan yang sedikit dipaksakan. Sebuah kemenangan besar ketika penonton akan dengan polos berkata, “kok bisa ya?” atau “Wah, ada ya yang kayak gitu?”

Padahal jelas, itu adalah visualisasi dari imajinasi penulis atau penyusun scenario.
Rinai.
Seperti itulah ia berhasil membuat saya tertipu, kalah telak. Hazeem, San’a, Montaser. Tiga orang yang pada akhirnya membuat saya mau tidak mau berharap memiliki anak2 dan suami seperti Hazeem, San’a dan Montaser. Cerdas, sederhana, penuh keyakinan tinggi, tenang. Ah, izzah Islam terpancar jelas melalui karakter mereka, sebagaimana yang Bunda tuliskan. Montaser, dengan nilai2 Islam yang dicontohkan Rasulullah, berhasil membuat saya sangat mengidam-idamkan calon suami kelak seperti ia. Sangat menghargai wanita, menjaga, melindungi. Begitupun cara warga Gaza menyambut tamu, memuliakan, sebagaimana baginda Rasul mencontohkan. Surga imbalannya, sudah lebih dari cukup. Segala sesuatu tidak berbau surga, lewat.

Saya menangkap semua pesan Bunda. Terlebih bagaimana ketegaran Hazeem. Itu yang membuat saya semakin semangat menghafal. Jika sewaktu2 saya mati, apa yang bisa saya bawa jika bukan amal sholeh?…

cover RINAI

2. (30 Januari 2013 05:42 PM by Benny Arnas)

Entah bagaimana, karakter Nora Effendi kok dapet banget yak!

3. (15 Januari 2013 07:27 PM by Wahyu Kurniawan, Amd)

Bonsoir Mbak Sinta.
Mbak, bukunya keren abis dari buku2 yg p’nah saya baca walaupun t’bitan dari luar negeri, padahal baru sampai halaman 45 bacanya. Critanya yg di kampus apa pengalaman mbak Sinta sendiri? Kalau tahu gini aku pesan buku banyak sekalian, he3x.

4. Syahrizal Bahtiar, FLP Jember ( 6 Februari 2013 04 :18 PM)

Subhanallah Mbak, ketika saya membaca Rinai, seolah2 saya sedang menonton acara televisi Al Jazeera yang menayangkan live tentang palestina. Punmembaca buku ini ibarat saya sedang duduk, memutar bolpoin, tatapan tajam, memperhatikan dosen saya yang menerangkan mata kuliah psikologi 

5. http://ridhodanbukunya.wordpress.com/2013/02/02/buku-buku-yang-habis-kubaca-januari-2013/

Rinai tak hanya berbicara Palestina dengan perang yang tak berkesudahan. Namun, ada tumpukan mutiara ilmu di dalamnya. Psikologi barat Freud VS Psikologi Islam Ibnu Khaldun, fakta anak-anak Palestina yang memiliki kecerdasan normal bahkan lebih dari biasanya walau dalam keadaan perang, juga ada kisah cinta yang tak harus memiliki Rinai yang mencintai Montaser yang memiliki Toyor Al-jannah. Dalam novel ini, bercampur satu semua itu menjadi sebuah kisah yang menarik pembaca untuk menyelesaikan hingga halaman terakhir.

6. http://timbunanresensi.wordpress.com/2012/10/20/rinai-by-sinta-yudisia/

Mengambil latar tempat di Gaza adalah salah satu yang membuat saya tertarik untuk membaca buku Rinai. Ditambah, ketika mengetahui bahwa kisah Rinai terinspirasi dari perjalanan penulis ketika berada di Khan Younis, Jabaliya, Deir Al Balah, Gaza City, maka keputusan untuk mengikuti event pre-order yang diadakan Penerbit Indiva di facebook-pun dilakoni. Sempat salah sangka, saat membaca blog penulis tentang gaya penceritaan epistori, bayangan awal saya adalah cerita akan berlangsung dengan model surat-menyurat seperti Life on the Refrigerator Door-Alice Kuipers tapi dalam bentuk surat bukan pesan di pintu lemari es. Jadi, saya mengira imajinasi pembaca dibangun dari aktivitas surat menyurat yang dilakukan sepanjang cerita. Ternyata epistori baru terasa ketika menjelang akhir antara Rinai dengan tokoh anonim, Aku. Meski begitu, saya menikmati membaca perjalanan Rinai Hujan yang dibalut dengan konflik psikologis dalam dirinya.

Menjadi anak perempuan di keluarga penganut adat Jawa yang kental ternyata menciptakan beragam tanya akan pengorbanan yang terlihat tidak adil, salah satunya ‘pemujaan buta’ terhadap laki-laki dalam keluarga. Jiwa berontak Rinai semakin kencang seiring dengan bertambahnya usia, bersamaan dengan tingkah Guntur, sang kakak, yang tidak tertolerir, ditambah lagi dengan Pak de Harun yang tidak kenal malu, terus meminta bantuan uang dari saudari-saudarinya, salah satu Bunda Rafika, ibu Rinai. Tapi, seluruh keluarga seperti berusaha ‘menutup mata’ dan memaklumi.

Keputusan mengambil kuliah di Surabaya, ternyata tak membuat Rinai menjadi tenang, pertanyaan pun masih menggelayutinya, apakah keputusannya adalah bentuk pemberontakan atau upaya melarikan diri dari keluarga yang menurut Rinai selalu menciptakan beban pikiran. Sosok Nora Efendi membuat Rinai kagum dengan dosennya yang tampak sebagai perempuan tangguh yang berani mengambil tindakan dan cerdas, kemudian muncul sifat membandingkan ketika bayangan Bunda Rafika hadir dengan sifatnya yang pengalah dan kerap memendam segala keluh. Dua sosok perempuan kuat dengan caranya masing-masing.
Tak berhenti di situ, mimpi Rinai yang kerap hadir di setiap malamnya dalam wujud Ular pun menambah ‘perang’ dalam kepalanya. Mimpi tentang ular seringkali dianggap sebagai pertanda munculnya jodoh, tapi kehadiran mimpi ini mencemaskan. Rinai mulai mempertanyakan orientasi seksualnya, menambah permasalahan yang berkemelut dalam batinnya.

Setengah buku pertama, rasanya cerita berjalan lama bagi saya. Bukan dalam taraf membosankan tapi ada rasa tidak sabar dengan ada apa saja dan apa yang bakal terjadi di Gaza. Selain, menuturkan tentang latar keluarga dan pergolakan pikiran Rinai, penulis juga memberikan wacana tentang psikologis lewat diskusi yang terjadi dalam ruang kelas atau obrolan sesama teman kuliah, santai dan mengalir, mungkin karena latar belakang pendidikan penulis yang juga psikologi.
Sepanjang perjalanan menuju Gaza, penulis menggambarkan tentang proses ketika berurusan dengan petugas; suasana Timur Tengah yang jauh berbeda dengan Indonesia; makanan khas Timur Tengah yang malah membuat rindu nasi dan sambal pedas kampung halaman; dan berbagai tempat-tempat yang dilewati sepanjang perjalanan menuju Gaza, di sanalah penulis menyajikan unsur traveling dalam cerita.

Misi kemanusiaan ke Gaza memuat konflik. Tak disangka, human relief for human welfare [HRHW] yang dibawahi Nora Efendi tak seidealis yang dibayangkan Rinai. Persepsi tentang orang dan anak-anak Gaza yang ‘diciptakan’ untuk sekadar menarik simpati agar kucuran dana dari donatur semakin meningkat, menyalahi nurani Rinai. Perasaan bersalah dan terkejut membuatnya mengambil tindakan “melawan”. Membaca bagian ini, memberikan saya gambaran tentang organisasi yang bergerak di dunia kemanusiaan, tanpa bermaksud menggeneralisir, ketika idealisme ‘kalah’ dengan realitas. Meski ada dua pandangan yang berseberangan, penulis tidak memihak, latar belakang dan alasan masing-masing disampaikan seperti ketika Nora berdebat dengan Taufik.
Tidak banyak buku yang mengangkat Gaza sebagai tema atau latar tempat, padahal butuh buku-buku seperti ini untuk terus mengingatkan pada manusia, terkhusus umat muslim, bahwa ada saudara kita yang sedang berjuang mati-matian untuk mempertahankan apa yang menjadi haknya. Tidak hanya bergaung pada waktu-waktu tertentu, tapi selama penindasan terus terjadi.

cover RINAI
7. http://bawindonesia.blogspot.com/2013/01/resensi-buku-rinai.html

“Ilmu pengetahuan selalu mempunyai guru, di samping mempunyai prajurit sebagai penjaga. Sebagaimana psikologi merupakan anak kandung dari ilmu filsafat, para penjaga ilmu jiwa, beragam alirannya.” (hal.62)

Itulah kata-kata bertenaga yang saya petik dari novel Rinai. Novel ketebalan 400 halaman ini membuat saya mendalami ilmu psikologi secara eksplisit, terangkum dalam pengalaman tokoh utama yang bernama Rinai Hujan di daerah konflik Gaza. Gaya bahasa penulis yang serius, mengantarkan pembaca untuk memahami representasi mimpi, menemukan jati diri, dan menjunjung nilai kebenaran. Di sini, penulis membandingkan ideologi psikoanalisa oleh Sigmund Freud dan aliran Ibnu Khaldun.

“Ibnu Khaldun seorang ulama, ia bukan hanya peneliti. Tiap kali merumuskan bab demi bab, ia senantiasa menukil ayat Al Qur’an dan Hadist. Tidakkah selama di Gaza, Rinai melihat betapa Al Qur’an adalah kartasis hebat bagi jiwa yang sakit? Ibnu Khaldun mengobati dirinya sendiri sebelum ia mengeluarkan rangkaian obat bagi masyarakat. Rinai tahu, banyak orang tak akan semudah itu percaya pada Ibnu Khaldun. Sebab ilmunya terkubur bersama kaum muslimin yang menguburkan sikap ilmiahnya, menimbunnya dalam pertikaian dan kecintaan pada dunia, serta penghambaan pada ilmu bangsa lain yang belum tentu benarnya.” (hal.323)

Beberapa kali saya sempat terpukau oleh deskripsi penulis untuk menyisipkan wawasan di novel ini. Meski awalnya saya terjebak oleh sudut pandang cerita yang melompat, yakni dari sudut pandang orang pertama berganti haluan menjadi ketiga. Perjalanan alur cerita menjadi bersahaja ketika dijelaskan karakteristik budaya Indonesia dan Palestina secara bergantian. Novel ini cukup mengungkap rahasia anak-anak dan wanita Gaza dalam medan pertempuran. Seolah-olah Anda diajak penulis untuk menyelami kehidupan mereka, merasakan kepahitan dan kebangkitan emosi.

Jangan harap menemukan kisah picisan dalam novel ini. Ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dalam memaknai sebuah cinta. Tentang bunga-bunga cinta yang tumbuh mekar dan mewangi meski tak harus memiliki. Ada konflik batin yang menurut saya belum berakhir sampai epilog cerita. Hal ini menimbulkan rasa penasaran untuk membaca kisah selanjutnya.
Rinai.
Sebuah novel fiksi yang patut untuk diapresiasi kepada penulis Sinta Yudisia berdasarkan inspirasi jejak rekamannya di bumi Gaza pada tahun 2010 silam. Yap. Sebuah perjalanan ke manapun itu bisa menjadi sumber cerita yang penuh hikmah dan manis tatkala diabadikan oleh pena.
Alhamdulillah, novel ini dikhatamkan menjelang pergantian tahun masehi dengan secercah harapan; ‘Setiap orang pasti memiliki potensi untuk dikembangkan. Kebiasaan untuk menulis secara berkesinambungan adalah sebuah ikhtiar untuk menjadikan diri semakin produkif. Mari, hasilkan karya positif untuk negeri tercinta. Apapun itu bentuknya :)”
(An Maharani Bluepen 30 Safar 1434 H)

8. http://secangkirtehtarik.wordpress.com/2012/10/15/rinai-novel-sinta-yudisia/

Apa yang mendorong seseorang memutuskan membeli novel? Kalo saya, salah satunya adalah penulis novel tersebut. Saya penggemar Sinta Yudisia sejak novel “Lafaz Cinta” (sejak covernya belum ada tulisan “best seller”) dan sering menjadi pembeli awal karya-karyanya. Tidak semua novel Sinta saya suka genre-nya. Bukan berarti ngga bagus, ini hanya soal selera. Toh kepiawaian Sinta dalam menjalin cerita tidak meluntur di bermacam tema. Riset mungkin merupakan kunci dari kedalaman materi yang dibawakan dalam karya-karyanya.
Cerita boleh jadi fiktif, kali ini Sinta membawakan tema dengan setting berdasarkan pengalaman pribadi melangkah di bumi para nabi, tambahkan dunia psikologi yang juga dekat dengan kesehariannya.
Disclaimer, saya jarang bikin review. Di blog ini pun baru ada dua, sangat sedikit untuk ukuran orang yang mengaku suka membaca novel. Dibilang review, hmmm…bukan kapasitas saya mengkritisi ini itu, jadi tulisan ini hanya sebuah ekspresi subyektif semata.
***
Diceritakan dari sudut pandang orang ketiga dan pertama. Dengan cara bertutur epistolari (novel jenis ini yang pernah saya baca adalah teenlit “Princess Diary”) dan berbingkai (seperti “Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh”) (istilah ini baru saya kenal dari blog penulis). Adalah Rinai Hujan, sang tokoh utama yang memiliki nama unik, akan membawa pembaca bertualang bersama rombongan relawan kemanusiaan menembus blokade Gaza, tertahan berhari-hari di Kairo dan perbatasan. Bergaul dengan sesama relawan Indonesia yang baru ditemui, berjuang mengepaskan diri dengan individu-individu dari tim lain. Bahkan berkonflik dengan timnya sendiri yang telah membawanya jauh dari tanah air.

Selama ini situasi di Gaza tidak pernah benar-benar saya pahami. Ya, saya tau negeri itu berkonflik. Maka yang terimaji di benak adalah baku senjata tanpa henti. Tidak terbayang ada situasi dimana mata uang negara sendiri dilarang beredar, namun aktivitas masyarakat —termasuk jual beli— berjalan normal. Dimana untuk memasuki perbatasannya saja tanpa kepastian akan diijinkan oleh otorita (saya bahkan tidak tau otorita ada di tangan Israel, Palestina atau pihak ketiga?), di sisi lain para relawan diajak berwisata.

Rinai ikut serta sebagai bagian dari tim psikolog, sehingga tentu saja novel ini akan menyinggung istilah-istilah dan pengetahuan yang berkaitan dengannya. Untuk bagian ini saya agak bosan karena otak saya yang cetek enggan diajak berpikir ilmiah . Mimpi Rinai tentang ular saya pikir digambarkan terlalu berlebihan, walau menjelang akhir Sinta mempunyai maksud mengapa demikian. Ada juga informasi remeh yang saya anggap cukup menarik, misalnya ternyata mengganti alat tes itu memerlukan proses panjang, tidak bisa sembarangan, pun alat tes tersebut tidak sesuai dengan kondisi testee (h. 205). Konflik cerita yang dibangun masih berkaitan dengan dunia psikologi, bisa dipahami pembaca se-awam saya dan menurut saya sangat menarik.

Beberapa hal yang saya catat dari novel ini, yaitu:
Tokoh dengan peran antagonis digambarkan dengan wajar, tak ada yang berlebihan bagai kisah syitnetron. Selalu ada yang bisa dipelajari dari karakter tokoh. Nora sudah pasti bukan favorit saya, saya tetap suka argumennya di h. 271 *walaupun itu kutipan juga, tapi kan tapi kan saya baru pertama tau di novel ini, jadi terkesan banget gitu loh*. Ia punya argumen kuat dalam mempertahankan apa yang diyakininya. Perdebatan dengan rekan seprofesinya itu sebenarnya banyak kita jumpai di realita.

Demikian pula tokoh protagonis, Rinai sendiri tidak selamanya diceritakan berhati putih-putih melati tentu disayang mama. Latar belakang keluarganya, memang bukan tentang kekerasan fisik, saya pikir kekerasan psikis (dalam hal ini patriarki yang kelewatan) pun bikin nyesek. Dalam penceritan latar belakang Rinai kelihatan alur cerita yang bergantian antara kronologis dan kilas balik.
Setiap kalimat punya makna. Misalnya deskripsi bahwa Rinai memindahkan diam-diam aksesori di genggamannya ke saku jaket (h.135). Apa maknanya pada cerita secara keseluruhan? Entahlah, mungkin tidak ada secara langsung. Saya hanya menebak bahwa itu reaksi kecil seseorang di dunia nyata terhadap sesuatu, bisa juga untuk memperjelas karakter tokoh. Uhmmm…gimana ya ngejelasinnya. Maksud saya gini, saya sering menceritakan sesuatu (dan kemungkinan kalo saya bikin cerpen atau novel) langsung yang penting-penting aja, tidak mempedulikan hal-hal kecil yang akan sangat wajar di realita. Nah, disini Sinta tidak melupakan detil semacam itu, tanpa menimbulkan kesan bertele-tele.

Selalu ada romantika dalam karya Sinta yang mengambil porsi yang pas. Tidak menye-menye menghabiskan seluruh cerita, namun tidak pula tempelan semata. Saya selalu jatuh cinta pada tokoh lelaki rekaannya (belum move on dari Takudar dan Salim ehhe..). Mungkin karena penggambaran yang ”…teguh dalam pendirian, menjadi qawwam dalam keluarga dan kelompoknya, berdiri di depan, mengambil keputusan…”. Gimana ngga meleleh coba yaaaa. Benar-benar saya persis seperti kata hati Rinai ”pemuda itu membuatnya ingin bersandar, berguru, bertanya tanpa rasa cemas”. Awwww….manis.

Hal lain:
Sering merasa upacara bendera itu seremonial, cuma berlelah tanpa makna? Palestina akan menggugah kesadaran, bahwa sementara Merah Putih bebas berkibar di seluruh teritori Indonesia, ada negara yang hari gini masih pake “hari gini” memperjuangkan tegaknya bendera di negeri sendiri. Kerap mengeluhkan kondisi negara begini begitu penuh cacat cela? Rakyat Palestina tidak sempat mengeluhkan keadaan negara mereka karena “kehidupan mereka sedikit lebih cepat dari kehidupan lain di belahan bumi lain”. Jika kita sedang berada di luar lingkaran, kita akan lebih obyektif memandang segala sesuatu. Lebih bersyukur akan apa yang dimiliki atau tidak dimiliki.

Ini memang bukan genre favorit saya yang sangat menyukai kisah klise berakhir bahagia. Karena kisah di novel happy ending memang harus berakhir, sedangkan di realita buku akan ditutup jika kita mati. Maka novel ini lebih terasa manusiawi dan nyata. Hidup terus berlanjut dengan segala konflik di dalamnya. Novel ini akan berakhir sekaligus berlanjut dalam perenungan.