Kategori
Catatan Perjalanan Dunia Islam FLP Jurnal Harian mother's corner Oase

Berbuka bersama anak-anak para PSK & Mucikari

 DSC03508   DSC03517   DSC03525   DSC03541

Mata anakku, Inayah, 2  SMP basah memandang foto-foto oleh-olehku dari Dolly. Jajaran wajah lucu menggemaskan dengan latar belakang rumah-rumah wisma yang di hari-hari bisa dipenuhi pekerka seks komersial (PSK). PSK yang memiliki hubungan darah dengan mereka : ibu, kakak, atau bibi. Atau juga orangtua mereka justru yang penyedia wisma alias induk semang atau mucikari.

Sebetulnya aku tidak menyambangi Girilaya dengan gang Dolly-nya yang terkenal. Banyak sekali gang di daerah Jarak yang menyediakan sarana kenikmatan. Salah satu yang kami kunjungi adalah Putat Jaya 2 A, daerah yang terkenal dengan beraneka ragam Wisma Kenikmatan. Tetapi daerah di sekitar Jarak memang lebih akrab disebut Dolly.

            Sejak di depan gang Putat Jaya 2 A, telah ditandai dengan larangan : TUTUP.

            Di gang itu banyak bertebaran neon box bertuliskan : Dilarang masuk bagi pengemis, pemulung, anjal dan banci.

            Sepanjang gang tersebut yang terdiri kurang lebih 50 rumah, mungkin sekitar 10 rumah yang bukan Wisma Kenikmatan. Di tiap jendela lebar seperti akuarium dan pintu tertulis larangan di atas kertas secara rapi ; TUTUP. Sekalipun duduk-duduk di depan gang wanita-wanita berbusana ketat dengan paha mulus terbuka.

            Disanalah aku mengenal Oka, Dimas, Riki, Degrit, Nanda, Angga, Riska, Ayu, Dwi, Oka, Dharma, Della, Nane, Catur, Guntur, Febri, Nadya dan masih banyak lagi.

            Anak-anak cantik.

            Anak-anak tampan.

            Anak yang molek.

            Anak siapa mereka?

            “Ayo, siapa nama nabi kalian?

            “Allaaaaah….”

            “Siapa nama malaikat?”

            “Rasuuuul…”

            “Sholat Shubuh ada berapa rokaat?”

            “Lima rokaat!”

            Jika anak TK yang menjawab, kita akan maklum.

            Tapi usia mereka sebagian kelas 6, kelas 5. Hanya beberapa yang masih balita. Jangankan mengenal syariat Islam seperti tuntunan sholat dan puasa. Mereka bahkan tak mengenal siapa Tuhan dan Nabi mereka sendiri. Kemana saja orangtua kalian, Nak?

            Kadang anak-anak itu tak terkendali. Kadang mereka begitu liar. Tetapi sekali waktu wajah mereka demikian lapar, haus, kering, ketika kami mengajarkan surat al Fatihah dan doa mau makan.

            Pak Kartono aktivis taman bacaan Kawan Kami banyak bercerita tentang kondisi Putat Jaya 2A.

            “Di sini memang berbeda dengan Dolly sana, Mbak,” paparnya. Dolly lebih ditekankan pada kawasan bisnis dengan sistem layanan perjam, minimal 80 ribu tiap 1,5 jam. Dolly juga termasuk kawasan bisnis elit sementara yang masuk gang seperti Putat Jaya 2 A termasuk hanya kelas menengah. “Semalam ada yang tipnya sampai 1 juta, karena memang cantik sekali.”

            Putat Jaya tidak ditekankan sistem perjam tetapi layanan sepuasnya.

            Bayanganku tentang kamar-kamar seperti hotel lenyap seketika.

            Putat Jaya (Puja) lebih mirip rusun (rumah susun) Penjaringan atau Wonorejo. Rumahnya kecil dengan ukuran 5 x 10 . Kamar-kamarnya juga kecil dengan pintu yang tidak selalu bisa terkunci rapat. Yang kupikirkan adalah bagaimaa puluhan anak-anak yang lalu lalang di situ menangkap pemandangan para ibu mereka berkasih-kasihan dengan pasangan bergonta ganti?

            ”Wah, itu sudah biasa, Mbak,” ungkap pak Kartono. ”Mereka sering melihat ibu mereka hanya pakai handuk sedang melayani tamu.”

            Aku menelan ludah, kering.

            Padahal beberapa waktu lalu kubaca bahwa pornografi merusak salah satu pusat keseimbangan di otak secara hormonal. Pantas saja anak-anak itu kadangkala begitu liar seperti hewan buruan.

            Persoalan pelacuran bagaikan benang ruwet, tumpang tindih, saling silang, berkelindan jalin menjalin , tiada tahu ujung pangkalnya. Debat panjang siapa yang harus mengentaskan : para ulama, pemerintah, LSM, aktivis, PSK atau mucikari itu sendiri; menjadi perdebatan panjang. Aku sendiri mendapatkan tanggapan pro dan kontra tentang keinginanku berkecimpung di Dolly.

            ”Percuma, menghabiskan tenaga.”

            ”Yang paling bertanggung jawab pemerintah.”

            ”Dasar perempuannya aja yang sudah gatel, keenakan. Nggak bakal mau kerja baik-baik karena sudah biasa dapat uang banyak.”

            Silang pendapat ini  kadang membuatku pepat, sedih, marah, kecewa. Entah pada siapa, mungkin pada diriku sendiri. Aku marah karena aku tidak bisa berbuat apa-apa juga. Yang lebih kupikirkan bukan para PSK tetapi anak-anak mereka. Memang itu ulah ibu mereka yang nista dengan lelaki yang aib pula, tetapi anak-anak itu tidak bersalah kan? Kita tidak menganut dosa turunan tetapi lingkungan yang diwariskan, memang iya.

            Aku senang bertemu pak Kartono.

            ”Saya melakukan apa yang saya bisa, Mbak.”

            Ia mengontrak 3 kamar di Puja, satu buat kamar tidur dan dua buat rumah baca Kawan Kami. Ia juga bergabung di Plan dan Indonesian ACTS (Against Child Trafficking). Selain mengumpulkan anak-anak, ia juga menjaring para remaja untuk ikut andil dalam Stop! Perdagangan Anak. Pak Kartono mengakui,  betapa sulitnya menutup Dolly tetapi ia berusaha semampu mungkin memutus rantai PSK.

            “Kalau ada yang masuk kemari nggak boleh di bawah umur lalu kami beri arahan untuk bekerja di bidang lain. Tapi kalau nggak mau ya bagaimana lagi,” akunya. Pak KArtono ingin Dolly suatu saat seperti Kramat Tunggak yang menjadi Islamic Centre.

            Ada satu cerita yang aneh, unik, menggeramkan dari pak Kartono yang membuat kita beristighfar dan mengambil hikmah. Sebanyak apapun PSK melayani lelaki, ternyata kebutuhan afeksi mereka kurang sehingga tetap saja punya pasangan atau pacar ‘peliharaan’. Ini memakan biaya besar.

            “Saya sering ajari ibu-ibu supaya mereka menabung  dan menyekolahkan anak-anak setinggi-tingginya. Saya nggak tau itu uang haram atau nggak ya Mbak, pokoknya saya bilang ‘kalau kamu sudah susah seperti ini jangan sampai anakmu ikut susah’. Soalnya, banyak Mbak, PSK yang malah punya pacar dan duitnya habis buat melihara si lelaki ini sehingga anak-anaknya terlantar.”

            Jadi begitulah kenapa seperti lingkaran setan yang makin lama makin menyempit tidak selesai-selesai. Cari uang waktu masih muda dan cantik, haus kesepian, cari lelaki (pastilah lelaki yang juga tidak berniat mengayomi), perlu banyak biaya untuk mengelola hubungan (mungkin perselingkuhan, atau juga di perempuan mengimingi harta karena haus kasih sayang), punya anak (kecelakaan atau memang keinginan), perlua keluar uang untuk memelihara kecantikan fisik, begitu seterusnya.

            “Kalau hanya keluar dari sini untuk jadi pembantu atau pelayan toko…wah, pasti balik lagi.”

            Agama. Syariat. Ketrampilan. Perlindungan hukum. Kesadaran. Semangat untuk berubah. Masyarakat yang kondusif. Lapangan Kerja. Betapa banyak PR kita.

            “Siapa sih yang paling banyak menyambangi PSK?” tanyaku ingin tahu.

            “Paling banyak lelaki yang punya masalah di rumah tangga,” kata pak Kartono.

            Hm, tambah lagi PR buat para wanita dan kaum ibu : jaga diri kalian baik-baik seutuhnya mencakup fisik, komunikasi, agama, keluarga. Up grade diri agar suami tidak berpaling!

            Kami bercerita tentang Masjid yang Bersedih (aku), Biola Tua (Aferu Fajar), Janji Cici (Citra Widuri). Kami berbagi minum, ta’jil kolak, nasi kotak dan bingkisan dari bu Diah Katarina (istri pak Bambang DH). Anak-anak itu berbaris usai sholat magrib yang berdesakan.

            “Bunda, kenapa kok anak laki-laki di depan sih?”

            Tidak tahukah kamu, Sayang, bahwa demikian shof orang sembahyang terutama di masjid?

            ”Siapa yang berpuasa?”

            Nyaris tak ada yang mengacungkan jadi.

            ”Siapa sholat tarawih?”

            Sepi.

            ”Siapa sholat 5 waktu?”

            Tak ada yang bereaksi.

            ”Siapa yang tadi pagi sholat Shubuh?”

            Beberapa orang ingin mengangkat tangan tapi ragu.

            Ketika magrib menjelang kami berbuka dengan tenggorokan kering, sakit, kehabisan suara. Dimas (entah anak siapa) mengumandangkan adzan dengan merdu. Mereka menatapku dengan mata bercahaya dan mulut tersenyum.

           

 

 

 

            “Bunda habis ini pulang?” tanya mereka.

            Aku mengiyakan.

            Wajah mereka sedih. Aku berpamitan. Aku menyalami para PSK dan mucikari juga orang-orang kampung sembari meminta maaf karena kami sudah menyebabkan banyak kegaduhan. Wajah mereka tentu saja menyimpan kehatian-hatian.

            Aku berjalan pulang meninggalkan gang Putat Jaya, meninggalkan dunia antah berantah yang jauuuuuh sekali dari kehidupanku yang normal, bahagia, bersama anak-anakku yang sehat & lucu. Di ujung gang aku menyapa Nanda dan Risma.

            “Nanda, rumah kamu di mana?”

            Ia menunjuk sebuah rumah biru dengan kaca lebar jernih dengan lampu-lampu menyala. Ada tulisan Wisma. Ada juga tempelan berbunyi : TUTUP.

Oleh Sinta Yudisia| twitter @penasinta| IG : @sintayudisia

I am a writer and psychologist. A mother of 4 children, a wife of incredible husband. I live in Surabaya, and have published more than 70 books. What do I like the most? Reading and writing. Then, observing people. And also, learning new language

7 replies on “Berbuka bersama anak-anak para PSK & Mucikari”

mbak sinta kalau sekilas baca sama kasus di tempatku seperti tempat minuman. TUTUP tapi tetap saja banyak yang minuman keras kalau di Brebes khusunya desa alaranga Namanya Brangkal (campuran minyak tanah,spritus dan rendaman tebu dll sesuai selera). untuk itu malah yang jadi Takmir sebuah mushola yang jadi bandar minuman memabukan itu. he he kata orang mipil (sedikit demi sedikit) agar bisa meninggalkan kebiasaan MIRAS itu.

Suka

Tinggalkan komentar