Kategori
Jurnal Harian My family

14 tahun pernikahan

25 Desember punya makna istimewa bagiku.
Tepatnya 25 Desember 1994 aku menikah dengan seorang pemuda asal Tegal bernama Agus Sofyan. Kami sama-sama kuliah di STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara). Aku ambil jurusan Akuntansi, suamiku Pajak.Kami tidak saling mengenal satu sama lain.
Ustadz kami yang memperkenalkan lewat foto dan biodata, lalu proses berjalan demikian cepat kurang lebih dua bulan.
Pernikahan kami sederhana, pakaian kami sederhana. Aku masih ingat suguhan pernikahan kami yang dipesankan ibu dari catering : lontong dan sayur opor. Kuenya bolu lapis coklat dan roti keju. Teman dan handai tolan berdatangan, terkejut sekaligus memberikan selamat. Aku menangis di pelaminan, tak menyangka semua berjalan mendadak dan begitu cepat, ada rasa takut dan bahagia. Harapanku kami dapat membangun sebuah pondasi da’wah yang kokoh.

dsc00442 img0455a img0932a

14 tahun sudah berjalan.
Sekarang kami berdomisili di Surabaya, anak kami 4 orang. Yang terbesar Inayah (1 SMP), kedua Ayyasy (5 SD), ketiga Ahmad (3 SD), keempat Nisrina (TKB). Anak-anakku, sebagaimana anak-anak yang lain, punya kelebihan sekaligus kekurangan. Kadang rumah kami dipenuhi canda, kadang teriakan-teriakan. Tetapi kami banyak belajar dari kekurangan orangtua kami dahulu. Anak-anakku kuberikan gambaran bahwa mereka mempunya tugas bukan hanya sebagai individu, tapi juga sebagai bagian dari kaum muslimin.

Alhamdulillah, sekalipun anak-ankku kadang menguji kami dengan tingkah polah yang memusingkan, mereka seringkali mengerti ketika aku dan suami harus keluar rumah bahkan di hari libur.
”Abah ummi mau berjihad ya? Mau cari rizki yang banyak?”
Kukatakan kami memang akan mencari rizki dari berda’wah. Sebab rizki kan bisa berarti uang, kesehatan, hidayah, rasa aman dan seterusnya. Kukatakan juga kami berda’wah dan berjihad untuk mencari rizki supaya bisa membeli rumah yang buesssaaar, seperti impian anak-anakku. Kepada anakku yang pertama dan kedua, kami sudah saling memahami bahwa rumah buessar kami mungkin tidak di sini, di dunia ini, tapi suatu saat kelak di yaumil akhir. Anakku yang ketiga dan keempat masih belum punya gambaran abstrak. Mereka masih memahami ’mobil’ sebagai mobil dan ’rumah’sebagai rumah. Jadi ketika aku dan suamiku keluar rumah mereka bertanya
”Ummi mau berjidah ya? Berda’wah/ Mau cari rizki buat beli rumah dan mobil?”
Kukatakan, InsyaAllah. Sebab Dia Maha membukakan pintu rezeki. Berapa banyak sudah ikhwah yang berjuang di jalan da’wah tanpa pamrih, Allah cukupkan rezeki mereka, bahkan berlimpah, dari arah yang tak disangka.

14 tahun kami sudah berjalan.
Banyak penyesuaian, bahkan sampai sekarang. Banyak hikmah yang baru dapat kupetik ketika usia manusia sudah merambat makin naik menuju titik akhir. Baru di titik ini aku betul-betul mempercayai hadits Rasulullah Saw : pilihlah seseorang karena agamanya. Setiap kali aku dan suamiku punya perselisihan, dari kecil hingga gawat, kami punya cara masing-masing untuk menentramkan hati. Pernah suamiku menyusuri dari satu masjid ke masjid lain di Surabaya untuk berdzikir dan membaca Qur’an ketika kami tak menemukan titik temu. Sama seperti suamiku, kalau hatiku panas membara, aku memilih mengulang hafalan atau membaca Qur’an keras-keras, atau menyetel murottal keras-keras. Jika bosan, aku menyetel nasyid. ’Perang’ kami seringkali tak lebih dari satu hari , aku menangis sesudahnya demikian pula suamiku menyesali kekhilafannya. Kadang aku kembali membuka persoalan dan membicarakan apa sebetulnya titik permasalahan kami dan bagaiamana caraku memandang untuk menyelesaikannya. Sesekali suamiku menerima pendapatku, sesekali aku yang menerima pendapatnya.

Ternyata, menikah tanpa dasar agama adalah bencana.
Beberapa saudaraku berakhir dengan perceraian ketika usia pernikahan baru 5 tahun. Atau kalau tidak, selingkuh. Keluhan mereka rata-rata sama : Masalah mertua, ipar, ekonomi, akhlaq pasangan itu sendiri dst. Ketika aku menceritakan pernikahanku mereka berkata bahwa masalahku tak sebesar masalah mereka.
Benarkah?
Mustahil menantu dan mertua tak punya perbedaan pendapat. Mustahil hidup tak dililit masalah ekonomi, pekerjaan, sosial dst. Mustahil 14 tahun pernikahan kami semua baik-baik saja. Jika semua dibingkai dengan agama, masing-masing pihak tak melanggar jalur yang seharusnya demikian pulamasing-masing tahu hak dan kewajibannya.

14 tahun…ah, aku masih belajar untuk saling memahami.
For my Husband, you are so special.
Di belakang FLP dan buku-bukuku, ada dirimu yang selalu mendukung setiap langkahku.
img1255a