Aku tak pernah merasa punya ayah.
Mungkin, karena kebersamaan dengannya terasa singkat, hanya sekitar 6 tahun dalam jangka waktu panjang hidupku. Sejak kecil hidup bersama nenek, dan baru ikut ayah ibu pindah ke Bali ketika masa akhir TK serta SD. SMP kembali hidup bersama nenek hingga kemudian tiba-tiba ayah sakit : kaki bengkak, nafas terengah, berjalan dengan tongkat dan…buta. Mama berkata, bapak terkena diabetes parah. Penyakit yang merampas kehidupan pakde-pakde, abang bapak. Aku memanggil ayah dengan sebutan bapak dan ibu dengan sebutan mamah, hal yang tidak lazim. Disamping diabetes, bapak menderita penyakit yang bagi sebagian orang seperti di luar akal sehat. Meski bagi sebagian besar orang apa yang kualami dianggap takhayul dan akan merontokkan iman, namun begitulah faktanya : ular yang tiba-tiba masuk rumah, kalajengking bergerombol-gerombol di sudut rumah, sesajen bunga yang seringkali dilempar orang ke halaman rumah.
Ayah.
Tak banyak kuingat kenangan tentangnya. Ada masa-masa aku digendong ketika kecil. Tapi kenangan itu tak melekat kuat. Kenangan yang kuat mengendap adalah justru detik-detik akhir beliau meregang nyawa. Ketika mamah sibuk mengontak dokter, menanyakan infus apa yang seharusnya masuk, tindakan apa yang seharusnya dilakukan (mama seorang apoteker) ; aku berada di ICU. Berdua dengan bapak.
Setiap paramedis bergerak cepat.
Dan disitulah.
Satu-satunya kenangan bersama ayahku. Menghadapi wajahnya yang buta, dahi bersimbah keringat, suara sengau memanggilku.
“Sinta, tolong Bapak. Tuntun Bapak…”
Aku memegang tanganku. Beliau meremasnya hingga serasa jemariku meremuk. Kuucapkan dzikrullah dan beliau terbata mengikuti.
Bau karbol. Dokter yang berlarian. Perawat yang berteriak cemas. Brangkar lalu lalang. Kesibukan ICU yang memekakkan, diselingi tangis histeris dan film televisi hitam putih yang dikeraskan untuk menyamarkan situasi nestapa.
Jantungku serasa tercerabut.
Tangisku meledak. Bukan oleh kesedihan, namun serasa sebuah ikatan terputus tiba-tiba oleh dimensi ghaib yang tak pernah kumengerti.
Hari itu.
Saat aku tak pernah demikian dekat dengan bapak, maka tiba-tiba beliau membutuhkan bantuanku. Tak pernah kami sedekat ini, dan kedekatan singkat nan aneh itu adalah satu-satunya tali cinta menjelang kematian.
Menangis? Entah
Di pemakaman, ratusan tamu dan handai tolan yang datang, tak membuatku meraung kehilangan. Tidak seperti masku dan Mamah yang menangis tersedu-sedu. Aku menangis ala kadarnya. Menangis ketika memandikan beliau, dan mengantar ke kuburan. Itu saja.
Tangis ini meleleh ketika kembali ke Yogya, masuk sekolah.
Melihat teman-teman dijemput ayahnya masing-masing. Oh, bukan mereka yang naik mobil yang membuatku cemburu. Namun para ayah, yang ketika musim hujan, menepi di tepi cucuran atap. Menunggu sabar anak-anaknya pulang, menanti tanpa jemu bel berdentang. Lalu, satu jas hujan dikenakan berdua. Sang anak rapat mendekap pinggang ayahnya.
“Hati-hati Nak, pegangan ya..”
Aku benci ucapan itu!
Aku tak pernah mengalaminya.
Kalaupun pernah, entah kapan dan dimana. Pastinya hanya beberapa hari dalam 365 waktu yang terjabar dalam kalender sonar.
Apakah kau mencintaiku, Ayah?
Pernikahanku tanpa ayah, tentu, sebab masku yang menjadi wali. Aku menangis tersedu di pelaminan, sebab kini memiliki seorang sahabat, teman, kekasih dan ayah sekaligus. Lambat laun, kesedihan, kehampaan, bahkan mungkin kebencian akan ketiadaan sosok ayah dalam kehidupan menguap.
Lagipula, aku memiliki ayah mertua yang sosoknya luarbiasa. Tak pernah tinggal sholat malam, demikian rajin ke masjid, emmbaca Quran dan puasa sunnah. Ayah atau lelaki yang kupanggil bapak, menghilang bersama waktu.
Fotonya tak kusimpan.
Kenangan tentangnya tak perlu dipertahankan.
Hingga suatu ketika, mamah memanggil kami.
“Mamah sudah tua. Nggak banyak warisan tersisa. Apa yang ada, ayo mulai dibagi 3.”
3 disini adalah masku, aku dan si bungsu adikku.
Maka kami mulai mengambil barang-barang mamah, membaginya sesuai kesepakatan. Dari semua harta benda yang ada, ternyata yang demikian banyak tersisa adalah milik bapak berupa…buku-buku.
Takudar : warisan Ayah
Begitu banyaknya buku-buku milik bapak, sebab beliau dulu seorang dosen agama dan bekerja di Departemen Agama, Denpasar. Satu buku yang kupilih adalah The Preaching of Islam karya Thomas W. Arnold. Buku lama yang mengisahkan tersebarnya Islam ke penjuru-penjuru dunia termasuk wilayah Mongolia. Disitulah, untuk pertama kali aku mengenal nama dan sosok yang selama bertahun-tahun kemudian kuburu riwayat hidupnya, menghubungkannya dengan sejarah bangsa-bangsa lain di dunia. Nama yang tak banyak dikenal, nama yang hanya 2 tahun memerintah Mongolia dan dilumpuhkan oleh kekuasaan Kubilai Khan dan Arghun Khan. Takudar Muhammad Khan.
Buku-buku bapak demikian banyaknya.
Di halaman depan, tertulis tanda tangan beliau.
Beberapa buku tertulis : untuk anak-anakku.
Di beberapa halaman tertulis : anakku harus membacanya.
Maka, menitik airmata ini.
Mungkin, aku ada di hati dan benak pikirannya saat ia membaca buku. Mungkin, bapak berpikir, jika besar nanti maka aku yang akan mengurai pemikiran para ulama tersebut. Namun saat itu, aku masih terlalu kecil untuk memahami, bahwa waktu demi waktu bapak, habis bukan untukku.
Bapak mengajar anak-anak mengaji. Bapak mengajar mahasiswa pelajaran agama Islam. Bapak meng Islamkan orang. Bapak merintis musholla dan masjid dikampung yang mayoritas beragama Hindu. Bapak mengajar di kampus dengan honor hanya Rp.2000 rupiah, jumlah yang saat itu sangat sedikit. Mamah pernah berkata,
“6 bulan honor nggak diambil Sinta, Mamah pikir dapat Rp. 120.000,lumayan. Ternyata hanya dapat Rp.12.000. Tapi Mamah dan bapak sepakat, tak apa mengajar agama dengan bayaran murah. Yang akan dicetak adalah pemikiran generasi muda.”
Aku tak pernah menjalin cinta demikian intens dengan ayah.
Ia tak pernah ada untukku, ia tak pernah hadir ketika dibutuhkan. Kepedihan yang baru kumengerti tahun demi tahun di masa dewasa, bahwa bahasa cinta, bukan hanya terdiri dari bicara. Tulisan, pemikiran, jejak peninggalan, gerakan tubuh; bagian dari komunikasi yang tak terjabarkan panca indera.
Satu demi satu kisah Takudar muncul kemudian.
Sebuah Janji, yang menyabet juara 1 tingkat Nasional penulsian Novel Islami oleh GIP.
The Lost Prince
The Road to The Empire, yang menajdi Fiksi Dewasa terbaik IBF Award 2009
Takhta Awan.
Kini, ketika aku tengah menyelesaikan studi profesi psikologi sembari menuliskan sebuah kisah novel romance bersetting Jepang, satu demi satu pembaca menagih .
“Kapan serial Takudarnya diselesaikan, Mbak?”
Insyaallah. Insyaallah. Semoga 2016, usai kuliah profesi dan magister, serta menyandang sebutan Psikolog aku akan konsentrasi menuliskan Takudar kembali.
Mungkin, aku tidak sekedar mencintai Takudar dan sosok misteriusnya yang tersembunyi dalam lembar-lembar sejarah. Mungkin, aku mencintai sosok ayah yang mewariskan sejarah Islam dalam buku-buku yang ditinggalkan.
Selamat hari Ayah, lelaki yang tanpanya, dunia tak akan pernah melahirkan pahlawan.
21 replies on “Apakah aku punya Ayah? (Refleksi Hari Ayah, bagi mereka yang kecewa pada Ayah)”
halo, mbak sinta. sehat? lebaran mudik tegal mboten? bikin agenda ngumpul bareng mbak sinta dong. hehe..
takudar; pangeran yang bikin jatuh hati sama tulisan-tulisan mbak sinta selanjutnya. sayang buku pertama dan kedua dari seri takudar ini hilang karena dipinjam. sedih. berharap ada yang mau menerbitkan ulang sebuah janji dan the lost prince.
SukaSuka
Lebaran Insyaallah selalu mudik Tegal dan Yogya. Eh , ada no HP/ whatsapp gak?
Insyaallah kalau novel romance Jepang saya terbiy , kita bedah buku spesial di Tegal ya…💞💝🌸🌸🌸🍁🍁🍁🍁
SukaSuka
Sip mba sinta, mau mau mau 🙂
Meleleh air bening di wajahku saat kubaca tulisan mba sinta ttg ayah. Bapakku msh ada, tp aq tak dekat dg beliau 😦
SukaSuka
Saya baru tahu kalau hari ayah itu ada. Di hari ayah saya malah ngerjain yang lain -,-
Bunda, baca tulisanku 🙂
https://bangicalku.wordpress.com/2015/11/12/biar-kuberitahu-sedikit-banyak-sekali-tentang-lombok/
SukaSuka
Insyaallah malam nanti ya…hari Jumat ini ujian Profesi. Mohon doanya bang Ical 😊
SukaDisukai oleh 1 orang
Ya Allah .. mudahkanlah bunda kami dalam segala urusannya, berkahi setiap usahanya, dan tuntunlah kami semua menegakkan-Mu dalam setiap jengkal kehidupan. Aamiin :’)
SukaSuka
Subhanallah … baru tahu
SukaSuka
Hehe….makanya Takudar melankolis ya? 😎
SukaSuka
Wah ada post twitter saya di mari 😅.
Panjang juga ternyata ya Mba ‘asbabul maktub’ (ngikutin asbabun nuzul hehe)- nya kisah Takudar.. Berawal dari faktor ayah.. 🙂
Semoga berkah lancar terus ya mba urusannya, terutama selama nerbitin karya2 nulisnya, heu, aamiin 😉
SukaSuka
Iya , ada nama mbak Lutfi setiap kali terlintas akan Takudar 💖💗💐💟
SukaSuka
Saya juga tidak punya ayah sejak 7 tahun, Mbak. Tapi kalau mengenangnya, rasanya masih ada perasaan sakit dan sedih. Mungkin karena belum ikhlas ya? Entahlah.
SukaSuka
Semoga , manis pahit kenangan kita , tetap mendoakan para Ayah selalu 🌸🌸🌸🍁🍁🍁🍁
SukaSuka
Saya juga salah satu pembaca yang setia menunggu kisahnya Takudar, mba Sinta 🙂
SukaSuka
Ini salah satu penulis favorit saya 👆💗💓💟
SukaSuka
Wah, saya juga salah satu penggemarnya Bunda. Kapan ke Tegal lagi? September kemarin kan kita kumpul bareng Bunda Sinta di FLP Tegal. Masih ingat kan? Hehe
SukaSuka
Insyaallah kalau novel Romance Jepang terbit , kita bedah buku di Tegal ya…📃📄📇
SukaSuka
Reblogged this on dediwiyanto and commented:
cerita tentang ayah yang tak pernah sama
SukaSuka
Masing-masing punya cerita khusus ttg Ayah 👴
SukaSuka
Semoga dilancarkan dalam penulisan sekuel Takudar ya Bunda 🙂
SukaSuka
Aamiin yaw Robb…💞💝💟💖
SukaSuka
jadi Takudar itu nyata ada ya mb Sinta? Semua tokohnya nyata jugakah? atau ada fiksinya?
SukaSuka