Kategori
Cinta & Love My family Oase Pernikahan Psikologi Islam

Bila istri berpenghasilan : milik siapakah uang istri?

 

 

Tuntutan ekonomi,  dorongan untuk membantu pihak lain, keinginan meningkatkan taraf hidup; membuat  ibu atau istri memutuskan bekerja. Bekerja tidak selalu harus keluar rumah. Dewasa ini banyak sekali peluang penghasilan yang dapat dilakukan tanpa harus meninggalkan keluarga selama 8 jam sehari. Bisnis online, blogger, reviewer produk, buka usaha katering atau busana, konsultan keluarga, konsultan fashion, konsultan bisnis; adalah sedikit di antara peluang bisnis yang dapat dilakukan di rumah sembari mendampingi buah hati. Disisi lain, ada perempuan-perempuan yang harus bekerja sebagai pegawai, pengajar, dosen, pengusaha, anggota dewan, dsb.

downloadPembahasan kali ini bukan memperdebatkan tentang ibu bekerja tetapi justru pasca perempuan berpenghasilan : milik siapakah uang istri?

 

Lelaki adalah Qowwam

Al Quran menegaskan  dalam 4 : 34 yang artinya ,” Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-lai) telah memberikan nafkah dari hartanya….”

Dalam tafsir Quran dijelaskan beberapa hal antara lain :

  1. Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah dan bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang telah menjadi istri dan keluarganya
  2. Setiap istri wajib mentaati suaminya dalam mengurus rumah tangga,memelihara kehormatannya, memelihara hartanya dan harta suaminya
  3. Setiap istri berhak mengadukan suaminya yang tidak menunaikan kewajibannya kepada pihak yang berwajib dan berwenang untuk menyelesaikannya

 

Menjadi qowwam atau pemimpin berarti memiliki hak-hak istimewa seperti dipatuhi, ditaati, dihormati, disegani, disanjung, ditakuti, didengarkan perintahnya.

Masih ingatkah kita dulu ketika seorang anak minta sesuatu kepada ibu? Ibu biasanya berkata,

“Coba tanya bapakmu dulu.”

Meski kadang-kadang sang ayah pun melontarkan hal yang sama : “terserah kata ibumu.”

Hal ini dilakukan seorang istri atau ibu sebab memandang tinggi kedudukan suami/ayah. Keputusan-keputusan mulai yang remeh hingga penting di rumah harus disetujui suami/ayah seperti  beli sepatu anak-anak, beli handphone, mau jalan-jalan kemana.

Sebagian suami menyerahkan sepenuhnya pada istri untuk mengatur segala urusan rumah tangga.

Suami saya menyerahnya urusan keuangan pada saya. Jadi saya punya buku catatan pengeluaran yang menjelaskan pengeluaran untuk air, listrik, bayar pembantu, mengirim orangtua, SPP anak-anak hingga cicilan-cicilan lainnya. Suami pun terbuka ketika ia ikut acara kantor yang membutuhkan urunan transportasi atau makan bersama, atau ikut paguyuban dan arisan.

Disisi lain, saya pun memberitahu suami bila memiliki pemasukan dari mengisi acara seminar atau royalti buku. Pendek kata, kami berdua mencoba berbicara terbuka tentang pendapatan dan pengeluaran.

Apakah pernah ada rahasia masalah keuangan?

Sesekali ada. Tapi kami sepakat, yah, sekali-sekali nggak papa kan?

Suami pernah membeli barang-barang seperti kaos beraneka ragam. Ia suka sekali kaos-kaos Jersey. Ia beli beberapa seri, termasuk beberapa buah untuk anak-anak laki-laki kami. Ia juga pernah beli kaos-kaos dengan sablon 3 dimensi untuk dirinya dan anak-anak. Barang-barang ini dibeli tanpa memberitahu saya. Sekali-sekali, menuruti keinginan pribadi bukanlah dosa. Asal frekuensi dan pagu-nya dibatas kewajaran.

Apakah saya marah? Awalnya memang bertanya-tanya. Tapi setelah tahu berapa harga barang-barang tersebut, apalagi suami membelinya dari teman-teman dekatnya yang tengah merintis bisnis kaos, saya pun membiarkannya. Suami tidak setiap bulan beli baju, bahkan kadang setahun sekali beli baju. Jumlah barang yang dibelinya masih relatif wajar.

Bagaimana dengan saya?

Saya sesekali membeli jilbab dan baju tanpa pertimbangan suami. Terus terang, saya memang memiliki penghasilan meski kecil. Jumlah barang yang saya beli baik rupa dan harganya tidak boleh melebihi uang pribadi yang saya punya.

Ketika saya akan beli barang relatif mahal seperti handphone, maka saya mengajak suami untuk memilih.

Apakah saya nggak bisa beli handphone sendiri?

Bisa!

Lagipula royalti saya cukup kok buat beli barang elektronik mahal yang saya inginkan. Tetapi, saya pribadi merasa tidak enak hati bila harus beli barang mahal tanpa seizin suami. (Handphone bagi saya mahal. Padahal kata anak-anak : ummi tuh harusnya beli iphone! Tapi smartphone yang cukup kapasitasnya untuk mengunduh jurnal-jurnal ilmiah, bagi saya sudah oke).

Kenapa saya nggak beli barang mahal, dengan uang saya sendiri, tanpa sepengetahuan suami?

Pertama, saya menghargai suami. Ia adalah qowwam dan pemimpin kami. Sepanjang 21 tahun kami menikah, tentu ia pernah melakukan kesalahan dan punya kekurangan. Tapi sebagian besar perilakunya menunjukkan rasa bertanggung jawab. Terutama dalam masalah nafkah. Ketika kami kekurangan, suami tak segan-segan mengajar meski ia sudah sangat lelah seharian kerja di kantor.

Kedua, suami sebagai qowwam pun menunjukkan contoh baik. Ia beli HP bagus seharga 2 jutaan, ketika anak buahnya bahkan sudah rame-rame beli HP harga 10 juta! Dulu ia beli HP murah, dan dibelikan oleh temannya blackberry. Kata suami ,”kalau yang murah sudah bisa digunakan, ngapain beli yang mahal.”

Ketiga, suami tidak segan-segan membantu saya jika kesulitan. Saat sakit dan nggak bisa masak, suami rela belanja dan memasak. Bila saya harus keluar kota, suami rela mengantar. Atau malah membantu menjaga anak-anak. Pendek kata, ia sigap membantu ketika saya butuh bantuan.

 

Qowwam adalah contoh

love-wifePemimpin adalah contoh bagi rakyatnya. Rasulullah Saw memberikan contoh bagaimana menjadi orangtua, suami, panglima perang, negarawan, politikus dan penyayang binatang. Kebiasaan Rasul ini menjadi role model bagi rakyat.

Begitupun suami saya, ayah anak-anak kami.

Anak-anak terbiasa tidak punya HP. Mereka baru beli HP harga 1 jutaan ketika mahasiswa. Kalau ditanya apa nggak kepingin punya HP bagus?

“Kepingin sih, Mi,” jawab anak-anak. “Tapi nanti beli HP pakai uang sendiri aja.”

Putri sulung dan bungsu kami sudah dapat menghasilkan uang dari menulis. Tetapi HP bukan barang primer yang mereka buru pertama kali.

Putra kedua kami, Ibrahim, menyarankan kepada adiknya-adiknya,”kalian kalau butuh HP beli aja yang murah-murah. Tuh, abah sama ummi aja HP nya murahan. Padahal ummi harusnya pakai iphone.”

Sekalipun Ibrahim tidak punya karya tulis seperti kakak perempuan dan adik perempuannya, ia punya prinsip yang ditularkan dari sang ayah.

Sebagai pemimpin, suami juga memberikan contoh dalam hal berpakaian dan makanan. Dalam hal membeli baju ia tidak terbiasa yang mahal-mahal, juga makanan. Maka contoh pemimpin ini mengimbas pada anak-anak. Mereka biasa berpakaian rapi sederhana, disaat anak muda di lingkungan mereka menggunakan pakaian gaul yang bermerek mulai topi hingga sepatu!

Bila suami/ayah suka ke masjid, anak-anak akan meniru. Meski tetap butuh upaya orangtua untuk memotivasi lebih (hehehe…anak-anak itu kadang-kadang diberi contoh baik saja masih suka ngeles!)

Bila suami/ayah suka makan di rumah, anak akan ikut.

Bila suami/ayah berkata kasar, anak akan meniru.

Bila suami/ayah malas, rajin, pemberani, suka sedekah, suka ngomong kotor, maka anak pun akan meniru ayahnya.

 

Hebatnya seorang Suami

Begitu hebatnya posisi ayah dan suami. Namun demikian besar juga tanggung jawabnya. Ia harus dapat mendidik anak istrinya. Bila istri salah, ia harus dapat membenarnya. Bila anak salah, ia harus dapat mendidiknya, tentu dibantu istri.

Begitu hebatnya posisi ayah dan suami, menunjukkan betapa besar pula tanggung jawab dan kewajibannya. Kewajiban presiden, gubernur, guru, tukang batu tentu berbeda kan? Istri wajib taat pada suami, sebagaimana suami wajib menyayangi keluarganya. Istri wajib memenuhi permintaan suami, sebagaimana suami harus mampu memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya.

Pertanyaan berikut muncul.

Wedding rings and large bills of moneyBila, suami tidak mampu memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, bagaimana istri harus bersikap? Bila suami tidak mampu mencari nafkah dan istrilah yang harus mencari nafkah, bagaimana pula peran domestik di rumah?

Bila, satu-satunya sumber pendapatan di rumah itu adalah istri, apakah penghasilan istri boleh disimpan sendiri?

 

Perkawinan Kultur Timur dan Pembiasaan Islami

Di barat, adalah biasa suami istri bertukar peran.

Suami kerja, istri nggak mau masak, ya makan di luar. Nggak ada kewajiban istri harus mengurus rumah tangga kalau ia nggak mau. Istri kerja, ada kesepakatan pembagian peran domestik, ya suami yang menyuapi anak-anak. Mencuci dan seterusnya.

Dalam dunia timur, pembagian peran domestik dan publik masih sangat kentara.

Lelaki memiliki martabat lebih sehingga akan membuatnya kehilangan self esteem dan self respect bila ketahuan tetangga atau keluarga besar tengah mencuci, memasak, mengurus anak,belanja, antar jemput anak. Bila posisi lelaki saat itu berpenghasilan, tak masalah.

Banyak juga suami sambil berangkat pulang kerja sambil antar jemput anak sekolah, banyak suami sepulang kantor mampir supermarket untuk beli susu atau tetek bengek keperluan rumah tangga.

Yang akan terasa mengesalkan, membuat malu, menjatuhkan harga diri adalah ketika semua dilakukan suami disaat penghasilannya jauh di bawah istri atau malah dirinya (sedang) tidak berpenghasilan!

Bisa dibayangkan posisi suami.

Istri bekerja. Berangkat pagi, pulang sore. Pekerjaan kantor tidak mentolerir gender. Absen jam 7 ya jam 7 : mau laki, perempuan, sakit, sehat, hamil, haid, badmood, dll; aturan organisasi jelas. Jam 7 ya jam 7. Akibatnya istri/ibu setengah mati mengatur jadwal di waktu pagi. Ia ngos-ngosan berangkat kantor.

Alhasil, pekerjaan rumah tentu terbengkalai. Belanja, masak, mencuci.

Bukan istri/ibu tidak mau melakukan tugasnya. Tapi jadwal pekerjaan dan kepadatan kesibukan rumah tangga tidak sesuai lagi dengan jumlah waktu.

Apa yang harus dilakukan bila saat-saat genting seperti ini memang dibutuhkan bantuan suami untuk tugas domestik?

  1. Buatlah kesepakatan suami istri mana saja yang harus dikerjakan. Suami mencuci,menyetrika; istri belanja memasak. Atau sebaliknya.
  2. Saling jujur dengan kondisi hati. Ingat! Setiap orang, setiap keluarga berbeda. Ibu mertua saya berpesan : jangan sampai melihat suami saya mencuci baju. Saya menghargai beliau. Maka saya upayakan suami membantu pekerjaan rumah yang lain : belanja, memasak. Rupanya di keluarga suami, pekerjaan mencuci bisa melukai harga diri laki-laki. Sebaliknya; saya pernah mendengar sebuah keluarga dimana hal yang melukai harga diri laki-laki adalah bila memandikan anak-anak. Maka sang istri menghormati kebiasaan itu, ia meminta suaminya membantu hal-hal lain selain memandikan anak-anak dan memakaikan baju anak-anak
  3. Beri tenggat waktu berubah. Kita semua berasal dari keluarga yang mungkin tidak trampil 100%. Suami yang diharapkan dapat membantu mencuci dan menyetrika, mungkin belum pernah melakukannya. Beri ia waktu 3-6 bulan untuk dapat menyesuaikan diri.
  4. Bila harus memilih uang atau hubungan baik, pilihlah hubungan baik. Kemungkinan, istri sudah sangat lelah memasak. Harus belanja dan cuci-cuci segala. Sementara suami pun keberatan bila harus memasak. Memasak butuh energi besar! Tidak ada salahnya mencoba catering meski harganya mungkin cukup mahal. Selain waktu yang tersisa lebih banyak, hubungan baik dengan pasangan harus menajdi prioritas. Daripada bersikukuh harus masak sendiri sementara suami atau istri kesulitan melakukannya. Ini juga bisa dilakukan terhadap mencuci pakaian yang dapat dialihkan ke laundry.

 

Wahai Suami, Qowwam, Qowwam dan Qowwamlah dirimu!

Para suami, jadikanlah dirimu pantas dihargai. Pantas dikagumi. Pantas dihormati.

Jangan berpikir bahwa dengan menghasilkan uang banyak, itulah satu-satunya kesempatan dihargai. Banyak juga suami berpenghasilan sangat besar namun tingkah polahnya tidak dapat menjadi panutan, akiabtnya istri dan anak-anakpun membandel.

Bila seorang suami posisi nafkahnya berada di bawah istri, atau malah tidak berpenghasilan maka :

  1. Didiklah istri untuk tetap hormat pada suami. Bukan menunjukkan jati diri kelelakian dengan memaki, memukul, bersikap kasar. Perilaku negatif sama sekali tidak meninggalkan jejak hormat, malah menimbulkan jejak kebencian dan perasaan remeh di hati pasangan dan anak-anak. Pastilah ada perasaan terluka ketika istri bekerja, berpenghasilan besar.namun sabarlah dan berpikir positif.
  2. Berusahalan tetap bekerja sekalipun penghasilan kecil. Berikan pada istri dan nasehatilah untuk bersabar.
  3. Bila memakai uang istri katakan maaf, doakan istri atas sedekah yang dilakukannya. Katakan , “semoga ini menjadi sedekah bagimu ya Dek.”
  4. Sama seperti istri yang menjaga harta suami, suami juga perlu menjaga harta istri. Bukan karena istrinya bekerja dan punya uang lebih, suami merasa berhak berfoya-foya. Bersenang-senang. Merasa keenakan bahwa istri juga memiliki penghasilan lumayan. Ingatlah bahwa keberkahan sebuah keluarga ketika suami menjadi qowwam yang sesungguhnya.
  5. Suami harus waspada bila istri bekerja sebab ia tak boleh membiarkan ini belangsung lama. Pendidikan anak mutlak berada di bawah pengasuhan ibu. Bagaimana ibu akan optimal bila suami/ayah tidak giat bekerja?
  6. Jangan malu mengerjakan pekerjaan halal. Betapa banyak pengusaha besar memulai pekerjaan dari titik nol, menjadi orang palign bawah : tukang rumput, tukang batu. Mungkin bisnis suami bangkrut sehingga istri harus bekerja sebagai guru. Tak ada salahnya menjadi supir Gojek, Grab, Uber dan tak perlu malu dengan perbedaan posisi suami istri. Kalau orang mengejek, memangnya mereka mau kasih jabatan dan gaji besar? Berjualan herba dan mengantarnya sendiri ke pemesan, sementara istri duduk manis di kantor; tak perlu berkecil hati. Siapa tahu bukan gaji istri yang membuat keluarga tersebut bisa beli mobil rumah; namun justru ketekunan suami berjualan obat-obatan herbal.

 

 

Penghasilan istri : sedekah dan me time

Dewasa ini, beban haruslah sama-sama dibagi. Beban domestik, beban publik. Beban ekonomi. Kasihan jika suami hanya menjadi satu-satunya sumber pencari nafkah. Istri pun tidak bebas sedekah dan membeli barang yang diingankan, kan? Kasihan pula bila istri menjadi satu-satunya yang menangani urusan domestik. Kalau ia lelah jiwa raga, maka suami juga yang repot.

Jujurlah pada suami bila istri memiliki penghasilan. Utarakan hati-hati perasaan dan tingkatkan ketrampilan komunikasi. Komunikasi itu ada skillnya lho…

Bila seluruh uang istri diberikan untuk menyelenggarakan rumah tangga, bolehkah sekali waktu punya me-time baik dalam bentuk uang atau waktu? Misal, ingin di akhir pekan bebas tugas dan beli makan di luar meski hanya bakso. Bolehkah seharian tidur aja untuk membayar kelelahan di hari-hari yang lain? Bolehkah membeli barang dengan plafon 100-200 ribu uuntuk jilbab, sepatu, dompet, baju? Dengan keterbukaan pikiran dan perasaan, semoga suami menghargai pengorbanan istri dan mengizinkannya untuk bersenang-senang sesekali waktu.

Demikian pula para istri, jagalah perasaan suami bila saat ini penghasilanmu lebih besar dari suami. Saya ingat banget nasehat sederhana ibu mertua saya :

“Penghasilan itu sejatinya rezeki keluarga. Rezeki suami istri. Jangan merasa sombong. Suami punya uang, ia merasa hebat karena sudah bekerja. Istri punya uang, ia merasa hebat karena sudah berpenghasilan. Coba saja, jika mereka berpisah atau bercerai, biasanya rezeki keduanya akan berbeda lagi. Yang merasa punya penghasilan besar, ketika pongah dan merasa lebih baik berpisah, boleh jadi malah pintu rezekinya ditutup olehNya. Sebabnya, karena sumber rezeki berasal dari pasangan jiwanya.”

Naehat ibu mertua itu saya catat banget dalam benak.

Oleh Sinta Yudisia| twitter @penasinta| IG : @sintayudisia

I am a writer and psychologist. A mother of 4 children, a wife of incredible husband. I live in Surabaya, and have published more than 70 books. What do I like the most? Reading and writing. Then, observing people. And also, learning new language

13 replies on “Bila istri berpenghasilan : milik siapakah uang istri?”

Tinggalkan komentar