Kategori
Catatan Perjalanan Oase PSIKOLOGI. PSYCHOLOGY

Rendah Hati atau Rendah Diri ?

Salah tingkah rasanya bila orang memuji : wah hebat ya! Tulisanmu bagus! Anda luarbiasa!
Tak sanggup mendengar kata-kata pujian tersebut, sebab di belakang kesuksesan seseorang –termasuk saya- ada suami, anak-anak, keluarga, teman-teman, dosen, dan sekian banyak guru-guru kehidupan yang menghantarkan kita menuju kesuksesan. Maka, setiap pujian rasanya seperti sentakan tak pantas. Kita belum apa-apa.

lowself

Saya memilih menolak untuk dipuji; selain takut riya, ujub, sum’ah…rasanya masih banyak orang yang pantas mendapatkan penghargaan. Tulisan masih jauh dari sempurna. Prestasi biasa saja.

Suatu ketika, tibalah masa ujian praktek. Salah satu tahapan sebelum layak mendapatkan gelar Psikolog Klinis adalah melakukan case conference di suatu rumah sakit Jiwa terkemuka di Surabaya, di depan para dosen, pembimbing, Psikolog dan Dokter Jiwa. Bagaimanapun saya berusaha sebaik-baiknya, tetap terasa demikian kecil. Rasanya ada yang salah, meski kami tak tidur nyenyak berhari-harimenyantap sekian banyak jurnal, buku referensi dan buku sakti PPDGJ & DSM V. Rasanya ada yang kurang, meski seteliti mungkin membuat assessment. Rasanya ada yang keliru, meski secermat mungkin melakukan intervensi dan Psikoedukasi. Rasanya, tak pantas lulus dengan nilai terbaik meski berkali-kali pembimbing memberikan selamat bahwa presentasi saya sangat bagus dan meyakinkan hingga ia mengirim pesan singkat, “…terimakasih atas kerja kerasnya!”

Saya berkonsultasi kepada salah satu dosen kami, seorang doctor yang sangat berpengalaman di bidang klinis. Di luar dugaan, argumentasi saya dipatahkan dengan tegas. Ia, yang biasanya demikian lembut dan santai, tiba-tiba berubah menjadi demikian…marah. Mungkin tidak marah, tapi balik mengkiritk saya dengan tajam.

low-self-esteem
Percakapan kami kurang lebih demikian.
“Saya rasanya belum yakin dengan semua,” saya mengeluh.
“Lho, apanya yang belum yakin?” ia menyelidik
“Scoring, assessment, intervensi, evaluasi…semua…”
“Berarti selama ini kita bimbingan nggak ada hasilnya?”
“Oh…bukan begitu , Bu…,” aku terkejut sekali.

“Atau anda meragukan kami sebagai dosen, pembimbing dan semua institusi ini?”
“Bukan! Bukan begitu…”
“Hm, terus apa?” bu dosenmenatapku penuh selidik.
“Saya merasa…ada yang salah…kurang…ada celah…”
“Celah itu yang harus ditutup, tiap kali kita belajar dan maju ujian seperti ini!” tegasnya.
“Tapi…saya merasa sangat jelek…saya takut salah…”
“Anda merasa tidak mampu? Berarti anda tidak professional dan silakan kembali ke bangku kuliah S1!”
Terkejut. Tertampar. Terhenyak. Termenung.

“Siapa yang bisa mengelak dari salah?” ujar dosen menjelaskan. “Setiap orang bisa salah. Apalagi anda yang sedang belajar dan belum bergelar Psikolog. Tapi apa yang harus anda tekankan pada diri sendiri, anda harus yakin ketika melangkah. Ketika menegakkan diagnosis. Sekian banyak ujian yang harus dilalui adalah tahapan untuk menutup celah. Apa celah anda selama ini?”

Saya merenung.
“Saya…orang yang senang memperhatikan hal besar, tapi sering mengabaikan hal kecil. Saya merasa dapat menggali assessment dari tes WAIS, Rho, Wartegg, dsb…saya merasa observasi dan interview adalah hal sepele. Ternyata, saya mendapatkan gambaran utuh tentang klien dan keluarganya dari observasi dan interview.”
“Nah, itu jawaban dari celah yang telah anda dapatkan!”
Saya terdiam.
“Berarti…saya nggak boleh merasa rendah diri, nggak pantas, terus merasa salah?”
“Anda harus yakin berdiri di atas kebenaran ketika bersikap professional. Profesional dengan ilmu yang telah dipelajari, dengan pengalaman yang telah dijalani.”

images
Tanpa keyakinan, tanpa sikap professional, tanpa merasa utuh dan pasti dengan pijakan serta jalan yang dilalui; bagaimana bisa meyakinkan apalagi mempengaruhi orang di luar sana?
Itulah gambaran diriku.
Saya sering ingin merasa rendah hati karena tidak ingin dipuji, ternyata itu refleksi rendah diri. Dan rendah diri berarti kita tidak professional dengan ilmu dan pengalaman yang telah kita miliki, kita jalani selama ini. Manusia bisa saja salah. Psikolog, dokter, penulis, polisi, hakim , presiden dan seterusnya. Apakah ketika seorang dokter melakukan diagnosis yang berbeda-beda pada pasiennya; ia serta merta dianggap malpraktek?

Dokter A berkata ia alergi, dokter B berkata ia ISPA, dokter C berkata batuk biasa, dokter D mengatakan radang paru-paru. Mungkin analogi ini salah, tapi tak ada yang menuntut semua dokter melakukan malpraktek. Mereka dituntut malpraktek ketika tidak melakukan langkah sesuai prosedur, missal melakukan operasi tanpa izin keluarga pasien atau pasien tak tahu efek samping obat.

Seorang Psikolog A boleh jadi mendiagnosa seorang anak hiperaktif, psikolog B ADHD, psikolog C autis, psikolog D hanya mengatakan gangguan perkembangan biasa , psikolog E mengatakan anak tersebut hanya mencari perhatian orangtua.

Apakah semuanya tidak professional? Ketika mereka melakukannya sepenuh dedikasi, sesuai ilmud an pengalaman yang dimiliki, maka semuanya tetap dalam koridor profesionalisme.

Demikian pula terhadap semua profesi kita, antara lain penulis. Janganlah rendah diri ketika orang bertanya, “ apa sih kehebatan novel anda? Apa yang ingin anda jual dari tulisan anda?”

Dan Brown, memiliki pemikiran brillian ketika suatu hari mendengar para professor seni menjelaskan lukisan the Last Supper. Ia berkhayal tentang spionase, tentang rahasia di balik simbol-simbol. Seluruh mahasiswa di kelas itu, berpuluh-puluh orang mengkaji tentang the Last Supper. Semuanya paham tentang lukisan tersebut. Tetapi Dan Brown tak mundur untuk menuliskan novel yang controversial tersebut. Sebab ia berpendapat, “ hanya orang di ruangan ini yang tahu makna the Last Supper dari professor Seni. Jutaan orang dil luar sana belum mengetahuinya!”

Jangan takut berkarya.
Jangan takut melangkah.
Jangan takut salah , meski harus jujur dan memperbaiki diri.
Bersikaplah professional.
Dan buang rendah dirimu!

Oleh Sinta Yudisia| twitter @penasinta| IG : @sintayudisia

I am a writer and psychologist. A mother of 4 children, a wife of incredible husband. I live in Surabaya, and have published more than 70 books. What do I like the most? Reading and writing. Then, observing people. And also, learning new language

9 replies on “Rendah Hati atau Rendah Diri ?”

Tinggalkan komentar