Kategori
Cinta & Love da'wahku Oase Psikologi Islam

Psikologi Dakwah (1)

Andai Nabi Muhammad Saw diminta menyeru gunung, batu atau hewan untuk tunduk pada Allah SWT; tentu tak butuh waktu 23 tahun untuk menyempurnakan tugas. Memahami, mengerti, menghimpun, mengkoordinasi manusia tampaknya butuh keahlian paripurna. Tak pelak, Nabi Muhammad Saw adalah contoh teladan bagaimana beliau mampu menempatkan manusia terbaik di posisi masing-masing. Pun, Rasulullah Saw tetap manusia biasa yang bercanda, melakukan aktivitas sehari-hari, marah, berproduksi, bernegosiasi ; hal yang membuat Rasul tetap berinteraksi dengan setiap elemen alam semesta.

Manusia kadang dianalogikan dengan piramida ( Abraham Maslow), gunung es (Sigmund Freud), hewan-tikus ( BF Skinner), topeng ( Carl Gustav Jung).
Dalam dakwah, dasar-dasar psikologi memang harus difahami agar sebagai pelaku dakwah kita memahami dan tetap semangat! Tentu tidak bisa semua teori di break down disini, semoga di kesempatan lain dapat menelaah lebih jauh lagi sehingga kita dapat memiliki bekal relative cukup untuk memahami obyek manusia, atau obyek dakwah.

1. Individual Differences

Pernah lihat kembar identik yang berasal dari satu telur? Wajah mirip, tinggi sama, body sama. Masih kecil bisa diseragamkan pakaian. Besar sedikit, meski kembar, tak mau disamakan. Sangat alamiah, tak ada satupun manusia yang sama persis. Hal ini membuat kita tak boleh mn -generalisir
“Wah, gak mau sama orang Madura. Kasar dan keras kepala!” (saya banyak punya teman Madura yang sangat halus, melebihi orang Yogya dan Solo)
“Aduh, susah deh kalau sama orang Yogya/Solo. Kalem sih…tapi, manis di mulut doang.” (saya banyak punya teman Yogya dan Solo yang fair, to the point, tidak suka lip service!)
“Jangan sampai sama orang Bandung atau Betawi. Ukurannya materi.” (saya punya kenalan banyak orang dari wilayah ini yang sampai sekarang tetap hidup sederhana)
Memang, secara antropologi, masing-masing budaya membawa warna sendiri tapi sungguh, setiap individu adalah makhluk berbeda! Hal ini akan memberikan semangat buat para pelaku kebaikan bahwa siapapun yang ditemui : Batak, Padang, Banjar, Madura, Bali, Papua mereka akan menjadi individu yang berbeda tergantung “sentuhan”.
Dan, jangan samakan satu orang dengan orang yang lain meski sekali waktu kita memang perlu membandingkan sebagai persaingan.
“eh, jangan kalah dong sama orang Madura yang tahan banting dan pintar membaca peluang ekonomi.”

2. Predisposisi

Bahasa gampangnya – sudah turunan atau dari sononya.
Beberapa karakter dan watak memang diturunkan sesuai pendapat carl Gustav Jung. Anak yang dilahirkan dari ayah ibu berwatak keras, biasanya wataknya pun keras. Anak dari keluarga berhemat, ia juga disiplin menjaga uang. Anak dari keluarga yang humoris, iapun akan humoris.

National geographic terbaru melaporkan, beberapa karate dalam genetic akan mewarnai sifat seseorang. Misal DNRD4-7R, membuat manusia suka petualangan, menjelajah, berani, tak kenal takut. Kita mengenal Steve Irwing yang tewas tertusuk ikan, Thomas Abercrombie yang suka memotret wilayah konflik.
Ada orang-orang yang secara “turunan” ngeyel, ada yang mudah diarahkan.
Tak mungkin 280 juta penduduk Indonesia punya gen yang sama, yang membuat mereka mudah sekali diarahkan ke satu tujuan kan?

3. Insight

Memotret masalah secara keseluruhan adalah makna insight. Ibarat bulan purnama, kalau masih lubang sedikit, ia belum terhitung purnama. Lihatlah bulan bulat bak piring, itulah purnama. Jilbab, sholat wajib, sedekah, tersenyum dan semua perilaku baik sesungguhnya hasil pemahaman dan aktivitas sempurna.
Sedekah — tercapai melalui pemahaman, juga si individu memiliki uang, hasil jerih payah, pengembangan ekonomi bertahun-tahun, mungkin juga hasil tabungan yang disisihkan.

Jilbab – bukan sekedar kain di atas kepala. Ia buah aqidah kepada Allah SWT, latihan melawan hawa nafsu, yakin akan prestasi, yakin akan tampilan diri, ketrampilan menggunakan peniti dan jarum pentul, kemampuan menahan panas bila musim kemarau.
“Malas pakai jilbab Mbak, ribet,” itu alasan seorang remaja.
Kalau gitu pakai aja jilbab kaos!
Selesai? Tentu tidak.

“Waah, harus beli baju baru dong kalau mau pakai jilbab. Gak punya duit buat beli jilbab!”
Pakai korden dong kaya kaum Anshor ketika ayat jilbab turun.
Ups, bisa-bisa obyek dakwah kita sewot. Maka, penggalangan jilbab cantik pun diadakan.
Masih belum mau juga pakai jilbab? Informasi jilbab terkini seperti yang dikenakan Khayrunnisa Gul, Hana Tajima, Dian Pelangi bisa diberikan. Takut gak dapat kerja? Hampir semua instansi pemerintah dan swasta sekarang justru memilih perempuan berjilbab.

Dan, sepanjang perjalanan “mencari” agenda penempaan aqidah harus terus menerus berjalan agar di satu titik ketika aqidahnya kokoh, akhlaqiyahnya siap, kognisinya memadai; seorang perempuan mengenakan jilbab dengan kesadaran penuh. Bila, sepanjang perjalanannya mencari jilbab ia malah kesulitan mencari kerja, tak kunjung mendapat jodoh sebab menghindari pacaran, prestasi akademik ngepas sebab harus bekerja juga, ujian demi ujian silih berganti datang; maka bukan jilbab yang menjadi tumpuannya memaknai kesalahan. Tetapi secara bijak, secara insight, individu berhasil melihat segala sesuatu tidak secara parsial.

4. Modifikasi Perilaku

Berapa lama mengubah perilaku seseorang yang pelit menjadi suka sedekah? Yang malas baca Quran jadi gemar hafalan? Yang suka menunda sholat jadi sholat tepat waktu? Bisakah semua perilaku buruk berubah dalam waktu cepat?
Modifikasi perilaku memang pilihan cepat , tanpa mengenal latar belakang atau visi misi ke depan. Pokoknya berrubah, titik. Hal ini sering menjadi pilihan behavioristik yang ingin cepat mengubah perilaku anak ngompol, malam belajar, kecanduan game dst.
Berapa lama?
Bayangkan, mengubah satu perilaku saja sedikitnya butuh 6 bulan! Itupun di bawah panduan ahli dan orang yang berniat berubah hingga ke point 10!
Jadi, berapa lama mengubah seorang individu yang enggan sholat, suka ngomong jorok, senang mengkritik Islam, suka pornografi tapi ia seorang mahasiswa berprestasi yang sangat ingin kita ajak masuk ke dalam lingkaran kebaikan?
Artinya, jangan patah arang ketika yang baru berubah dari semua perilaku buruknya baru sedikit. Sholat mepet waktu (dari yang semula bolong-bolong), masih suka mengkritik Islam, masih ngomong jorok, tapi sudah menjauhi film-film porno.

Manusia memang unik!
Tapi bayangkan, andai barisan special dan unik ini bergabung dalam shaf yang rapat dan siap bekerja sama dalam kebaikan!

Oleh Sinta Yudisia| twitter @penasinta| IG : @sintayudisia

I am a writer and psychologist. A mother of 4 children, a wife of incredible husband. I live in Surabaya, and have published more than 70 books. What do I like the most? Reading and writing. Then, observing people. And also, learning new language

4 replies on “Psikologi Dakwah (1)”

Tinggalkan komentar