Kategori
Catatan Perjalanan Jurnal Harian Karyaku Kepenulisan Perjalanan Menulis

Berapa Tahun yang Dibutuhkan untuk jadi Penulis?

Berapa tahun dibutuhkan untuk berhasil dalam dunia kepenulisan?

‘Berhasil’ punya definisi bermacam-macam, secara materi cukup baik sandang, pangan, papan (plus kebutuhan lain yang tidak termasuk 3 itu tapi sangat mendesak : kendaraan, laptop, hape!, tabungan). Intinya, pencapaian materi.

Berhasil ada pula yang mengukurnya dengan waktu.

Pernikahan yang melewati angka 5, 7, dinyatakan berhasil (bagaimanapun ruwetnya ). Perusahaan yang melewati angka 5, 7 dinyatakan berhasil apalagi jika melewati angka 10-15 tahun, sebab konon kabarnya semua krisis termasuk krisis moneter berulang tiap satu decade. Pedagang yang bisa tetap eksis dan konsisten dengan produknya 5, 7 bahkan lebih juga akan menuai keberhasilan.

What about writer? Di titik mana ia menyatakan dirinya berhasil? Ketika bukunya best seller, terjual jutaan copy, bukunya laris manis? Ketika jumlah buku yang ditulisnya mencapai lebih dari 50 judul? Ketika bukunya difilmkan? Ketika bukunya meraih banyak penghargaan dan pujian dari para kritikus dan resensor?

Ada baiknya saya menceritakan histories kenapa saya menulis.

Manusia tidak boleh melupakan sejarah , belajar dari sejarah, mengevaluasi dari sejarah, bisa menimbang sejauh mana keberhasilan suatu kaum jika sudah dibandingkan dengan sejarah. Secara teknologi kita memang jauh lebih maju disbanding jaman untanya Rasul Saw tetapi secara moral kita bahkan meloncat memasuki zaman Nabi Luth, dan Nabi2 dengan kaum yang dibinasakan.

Baik, kembali pada histori menulis. Awalnya, saya jenuh menjadi ibu rumah tangga. Alhamdulillah, saya punya ibu yang luarbiasa yang selalu bilang “…Sinta, kamu itu punya potensi! Jadi ibu rumahtangga nggak melulu hanya urusan domestic kan?” Saya suka menjahit dan memasak kue. Hampir semua baju Inayah –putri I saya- gaunnya saya buat sendiri. Tiap kali teman-teman lihat mereka bilang “ bagus banget! Mbak Sinta bikin butik saja.”

Saya bercita-cita punya usaha garment, konveksi, butik, termasuk mengembangkan kesukaan saya pada patchwork. Saya punya mesin jahit dan kepekaan untuk mengkombinasikan kain-kain. Selain hobi menjahit, saya juga hobi bikin kue. Kue-kue saya titipkan ke pasar dan menghasilkan penghasilan yang luamyan. Saya dan adik saya, Erisa Kurnia Nanda, berencana bikin toko roti muslimah berlabel hala karena kami sama-sama suka masak dan makan! Bikin butik apa toko roti ya? Baju apa kue? Pakaian atau makanan? Nanda tetap suka bikin kue , terkenal enak dan selalu laris manis di kalangan teman-teman dan tetangga. Ini dilakukannya sambil kuliah dan kerja, kadang dilakukan ketika malam larut. Sayapun juga begitu, bikin kue saat anak-anak sudah tidur.

Tapi…saat punya anak 3 saya repot bukan main. Gak bisa bikin baju, gak bisa bikin kuet.

Akhirnya ada mesin ketik nganggur, jadilah saya corat coret dan ketik mengetik. Tahu nggak cerita saya pada awalnya yang dikirim ke Annida dan dimuat?

 • Langkah Awal, cerita tentang gadis manja yang memulai usaha

 • Gaun Biru, cerita seorang ibu rumahtangga yang kepingin bikin gaun tapi gak punya duit akhirnya bikin dari bahan seprei

• Jalinan Kasih Yang Terkoyak , juara II LMCPI Annida, setting nya Aceh (saya pernah ikut suami di Medan),dsb cerita saya nggak jauh-jauh dari kue dan baju!

Mana yang lebih dahulu melaju, itu yang saya pilih!

Ternyata menulis membuat saya kembali mencintai hobi yang sempat agak lama tertinggal : membaca dan mengkliping koran. Akhirnya saya meninggalkan cita-cita membuat butik dan bakery, lalu beralih profesi jadi penulis.

ADA TANTANGANNYA?

Ups, tentu ada. Saya sudah merintis bisnis jahit menjahit cukup lama demikian pula modal bikin kue. Memulai menulis dari awal seperti belajar merangkak lagi. Pertanyaan yang muncul :

1. Saya mau menulis cerita apa? Anak , remaja, dewasa?

2. saya mau bikin cerpen atau novel, atau cerita bersambung?

3. saya mau kirim ke mana sih, media Islam, nasional atau mau diterbitkan oleh penerbit?

 ……………..dalam perjalanan menulis, ah, bikin kue langsung sorenya terima duit. Bikin tulisan, kapan terima duitnya? Sebetulnya saya bakat nulis nggak sih? Setahun, dua tahun nulis, masih mau diteruskan apa nggak? Apa saya banting stir lagi jadi pengusaha seperti yang dari dulu saya impikan?

YANG PERTAMA DITULIS ….. Kumpulan Cerpen! Kenapa? Karena cerpen-cerpen itu kalau tidak dimuat di majalah atau media massa, bisa dikumpulkan dan dikirim ke penerbit. Nakal ya! Lagipula, bikin cerpen aja banyak-banyak 15-20, nanti diedit dan dipilih penerbit. Sisanya (kadang sisa 5 atau 7) kita tambahin lagi cerpen2 dan dikirim ke penerbit lain. Kumpulan cerpen yang pertama Cadas Kebencian, buku favorit saya, diterbitkan MIZAN. Kumcer ini mengokohkan niat bahwa saya MUNGKIN ada bakat di dunia kepenulisan. Masih mungkin lho…saya masih belum yakin ternyata;-(

Lalu saya mulai kenal mbak Asma Nadia. Beliau memasangkan dengan mbak Izzatul Jannah di Gadis Diujung Sajadah. Saya juga mengirimkan Kuntum-kuntum Bunga, Alhamdulillah diterbitkan oleh FBA Press, penerbit di Jakarta yang sekarang sudah gulung tikar.

Kapan ya pertama kali nulis? Oya, 2002. Akhirnya saya getol nulis, kirim kesana kemari, ditolak. Ada yang diterbitkan dengan revisi dll. Tentang liku2 menulis…nanti saja ya. Nah, ternyata selama tahun-tahun perjalanan itu saya masih dikejar pertanyaan : aku ini benar-benar mau menghabiskan umur dengan jadi penulis atau apa sih? Aku ini sebetulnya mau nulis apaaaa? Maka jadilah kutu loncat.

Menulis Kumcer.

Menulis cerita remaja.

Menulis cerita anak

Menulis non fiksi

Menulis novel.

Menulis antologi, keroyokan bareng teman-teman.

DI TITIK MANA AKU SEKARANG? Aku bingung dengan dentitas kepenulisanku lalu bertemulah aku dengan FLP (anugerah Tuhan untuk bangsa Indonesia –kata Taufik Ismail). Aku bertemu teman2 FLP Yogya : Ganjar, Jazimah, Iwul, Prima, Lilo, bunda Kun, mbak Koes, Zen, Aries. Juga teman-teman FLP lain. Semoga Allah SWT memberkahi Ganjar yang menitipkan pesan yan gmembakar semangatku : ”……mbak Sinta kayaknya konsen aja di fiksi sejarah. Bagus tuh nulis di situ.” Aku memang habis memenangkan lomba GIP sebagai juara I, Singa-singa di Padang Kekuasaan yang terbit dengan judul Sebuah Janji. Ucapan Ganjar membakar semangatku. Pertemuan dengan adik2 FLP memacuku. Ooooh, ternyata jadi penulis itu penting ya? Aku mulai merasa luwes menulis setelah 3-4 tahun. Pertama kali pindah ke Surabaya, aku menemukan Lafaz Cinta di Toga Mas. Aku bangga dan bahagia sekali ketika melihat covernya yang spesial. Waaah, aku sekarang beneran jadi penulis ya ? (Itu lagi pikiran konyol!) Pertemuan dengan mbak Helvy di ITS memacu kembali adrenalinku. ”Sinta, Lafaz Cinta mbak Helvi rekomendasikan jadi bahan bacaan anak2 sastra. Tapi kok ceritanya masih dangkal ya? Padahal kamu masih bisa lebih tajam, lebih dalam menceritakan.”

LEBIH TAJAM, LEBIH DALAM, LEBIH BAGUS…ITU SEPERTI APA? Semoga Allah SWT memberkahi pula mas Dul Mizan (sekarang dah nggak disana). ”….mbak Sinta coba baca Perempuan Suci –Qaisra Shahraz dan Taj Mahal-John Shors. Pelajari.” Aku memburu buku itu di Islamic bookfair. Aku juga menemukan Samarkand- Amin Malouf dan buku-buku lain. Aku baca berulang-ulang. Aku tersesap. Aku terpana. Ow, jadi menceritakan tokoh itu seperti Jahanara dan Isa, seperti Umar Khayam ya? Ow, jadi setting tentang Benteng Merah itu penggambarannya seperti itu ya? Ow, ternyata karakter Umar Khayyam dan Hassan Sabah itu penggambarannya begitu ya? Ow, ternyata buat plot, alur itu begitu rumitnya ya? Ow, konflik Khondamir, Aurangzeb, Dara itu demikian tajam menikam dan meninggalkan jejak di benak pembaca ya? Ow, ….ternyata….aku masih jauuuuuh…dari seorang penulis! Aku masih pembelajar!! Armanusa, Lafaz Cinta, Rival-rival istri dsb ..BELUM APA-APA. Padahal aku sudah lebih dari 5 tahun menulis, sekarang sudah 7 tahun malah. Kapan sih aku benar-benar berhasil jadi penulis?

…………..7 TAHUN KEMUDIAN BEP : Break Even Point 3 tahun. Perusahaan normalnya 3 tahun BEP, artinya modal harus kembali 3 tahun paling lambat . Kalau tidak, namanya rugi. Harus ganti haluan, harus ganti usaha dan pasar, harus ganti produk. 3 tahun jadi penulis sudah jadi apa? Royaltinya banyak, bukunya banyak? 7 tahun dari aku mulai memutuskan untuk benar-benar menulis Alhamdulillah hasil karyaku sudah diterbitkan 40 judul kurang lebih. Tetapi dari semua, tidak semuanya masterpiece. Lafaz Cinta menurutku cukup bagus, berikutnya The Road to The Empire dan Reinkarnasi Alhamdulillah lebih mendapat banyak apresiasi dari teman-teman. Artinya, 2 karyaku yang beelakangan dinilai cukup bagus bagi khalayak. Dibandingkan 40 judul yang lain, TRTE & Reinkarnasi memang menguras semua energiku. Energi doa, energi berpikir, energi kantong (referensi butuh biaya besar), energi2 yang lain. Apa buu2 ku yang digarap seenaknya? Tidak juga. Tapi belajar memang butuh waktu. Belajar membutuhkan kesabaran. Di atas segalanya belajar membutuhkan keikhlasan.

Maka aku teringat dialogku dengan suamiku suatu hari

”Lafaz Cinta best seller, Mas. Aku diminta menulis yang semacam itu lagi. Bagaimana?” ”Menurut Inta bagaimana?” (suamiku sampai 15 tahun menikah masih suka memanggilku dengan nama kecilku –Inta)

” Inta pingin nulis Takudar yang ke 3, sekalipun yang ke 1-2 jeblok di pasaran.” ”Memang kenapa pingin nulis itu?”

Aku merenung, tiap kali diskusi ini bolak balik menangis.

”…soalnya Inta terkesan sekali sama Takudar, sama kaisar2 Mongolia yang muslim. Sama Iskandar Beg. Sama Thariq bin Ziyad. Pokoknya sama para pejuang muslim yang bijaksana dan mulia.”

 ”Ya sudah, kalau gitu nulis Takudar lagi aja, Takudar 3.”

”Tapi…yang ini belum tentu laku di pasaran. Kalau sekuel Lafaz Cinta pasti best seller lagi. Royaltinya lumayan. Mas gak papa Inta gak bisa menyumbang royalti buat keperluan rumahtangga kita?”

 “Sudahlah, pakai gaji Mas saja apa adanya. Menulis Takudar saja sebagai ladang da’wah.”

“Tapi….gak papa Mas? Menulis Takudar setahun, royaltinya belum tentu, di pasar belum tentu laku. Beranti kalau Inta menulis Takudar lagi siap-siap 3 tahun ke depan gak punya royalti memadai?”

“Iya..sudah gapapa. Nulis Takudar aja buat da’wah. Urusan nafkah biar Mas aja, Inta yang penting nulis.”

Begitulah embrio The Road to The Empire dan Reinkarnasi. Ditulis dengan keringat dan airmata. Airmata karena aku terlanjur mencintai Takudar, sang pejuang yang rela melawan arus demi mengobarkan kebenaran. Airmata karena saat aku menulis Takudar lewat tengah malam, aku berdoa pada Robbku : “….ya Allah, Kau Maha Tahu, aku menulis Takudar ini karena ingin menuliskan kebaikan. Ini bukan novel laris yang diminati banyak orang tetapi Engkau Maha Kaya. Bukan penerbit yang memberiku rezeki melalui royalti. Engkau yang Memberi Rezeki orang-orang yang berjuang di jalanMu. Aku minta rezeki padaMu, aku minta uang padaMu, aku minta bantuan dan kecukupan dariMu.”

Tiap hari aku berdoa : Ya Allah barakahilah The Road to The Empire. Barakahillah Reinkarnasi. Bantu aku menyelesaikan sebaik-baiknya naskah Existere yang tengah kutulis. Jadikan buku-buku hamba barakah, best seller, mencerahkan bagi siapa saja yang membacanya. Ya Allah, Bantu aku agar amanah sebagai istri, ibu, penulis, mahasiswa, ketua FLP Jawa Timur.

 Sekarang aku adalah pembelajar. Aku masih belajar sebagai seraong istri & ibu, aku masih belajar untuk jadi penulis yang baik, akumasih belajar untuk jadi manager yang baik, aku masih belajar menjadi manusia yang baik. Bukankah belajar itu dari buaian sampai liang lahat?

Ramadhan hari ke 5, 1430 H

Oleh Sinta Yudisia| twitter @penasinta| IG : @sintayudisia

I am a writer and psychologist. A mother of 4 children, a wife of incredible husband. I live in Surabaya, and have published more than 70 books. What do I like the most? Reading and writing. Then, observing people. And also, learning new language

11 replies on “Berapa Tahun yang Dibutuhkan untuk jadi Penulis?”

Alhamdulillah,

Dukungan suami mbak Sinta Insya Allah juga saya lakukan untuk istri saya (bukan penulis, tapi “calon” guru dan “calon” pembuat kue) dan adik saya (“calon” pembuat baju): Lakukan sebagai dakwah, bukan mengejar “selera” pasar.

Keteguhan idealisme dibutuhkan di semua bidang, seperti di tata busana, perlu ada yang menghidupkan kembali dan mengembangkan busana tradisi nusantara ditengah serbuan busana barat.

Sedih lihat di TV masyarakat ribut tentang budaya Indonesia katanya dicuri Malaysia. Padahal yang saya lihat sementara masyarakat kita melupakan batiknya, justru mereka sedang giat mengembangkan batik, termasuk membuat film dokumentasi untuk ditayangkan di pentas dunia seperti di Discovery Channel.

Kembali ke Takudar,
Apakah Takudar 1 & Takudar 2 mau ditulis ulang ?
Saran saya, tulis ulang saja Takudar 1 & Takudar 2. Merevisi ulang fiksi bukan hal tabu.
Gajah Madanya Kang Langit Kresna Hadi juga direvisi ketika ada kesalahan.

Buku – buku Winnetou-nya Karl May juga direvisi agar antara buku yang satu dan yang lain kemudian bisa runtut ceritanya membentuk tetralogi Winnetou.

Selain itu, apakah mbak Sinta punya rencana membuat fiksi sejarah berlatar belakang sejarah Islam nusantara ?
Kalau saya sih usul gunakan latar belakang di sekitar Sumatra di sekitar abad XIV – XV (1400-an), saat awal Islam masuk ke nusantara.
Dari segi buku sejarah, zaman Islam antara Raja Malik As-Shaleh (1267) dari Samudera Pasai, Merong Mahawangsa dari Kedah (1136) dan Sultan Iskandar Syah (1402) dari Malaka masih “gelap”, ada ada peluang besar untuk di-fiksi-kan tanpa bertentangan dengan sejarah 🙂

Kisah pertalian antara sumatra dengan wilayah nusantara lain (termasuk jawa, semenanjung melayu, dan champa) dan manca negara (cina, india, dan arab) menarik untuk diulas.

Bahannya dari legenda melayu (seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, dan Sejarah Melayu) cerita perjalanan Ibnu Battutah dan Marco Polo serta sumber asing dari India, Cina, atau Arab.

Suka

Waah, Ki Syafrudin, sepertinya saya harus banyak berguru pada panjenengan. jangan-jangan Ki Syafrudin penulis juga tapi sedang menyamar? Jazakumullah atas apresiasinya. rencananya pingin bikin Mongolia waktu mendarat di Majapahit, Ki. Doakan ya…;-)

Suka

Jazakumullah atas pujiannya,

Tapi beneran saya bukan penulis atau semoga calon penulis belum jadi. Menjadi penulis memang salah satu cita – cita saya, kalau sudah pensiun dini dari kesibukan menjadi karyawan, doakan ya.

Namun yang pasti dari dulu saya penggemar sastra. Dan karena saya juga pramuka “sejati”, penjelajah alam, dan penelusur sejarah, jadinya bisa ditebak buku paling disukai ya pasti sastra epik sejarah seperti serial Takudar dan Gajah Mada.

Saya sendiri bersyukur bahwa saat ini penghargaan sastra sejarah di Indonesia cenderung meningkat. Kalau Bung Karno selalu menyeru Jasmerah (Jangan Melupakan Sejarah), kenyataannya bagi kebanyakan orang, ingatan akan sejarah tertinggal di bangku sekolah. Sastra sejarah membantu mengingatkan mereka; meski sekaligus “menjerumuskan” karena mereka tidak bisa membedakan antara kenyataan sejarah dan rekaan pengarang. Untuk itu bumbu dalam sastra sejarah perlu untuk menghidupkan cerita tapi jangan sampai menabrak kenyataan sejarah.

Semoga niat mbak Sinta menulis cerita Mongolia di tanah Jawa semoga bukan saja tercapai, tapi juga lebih kaya sejarah dibanding pendahulunya seperti “Tutur Tinular”. Selain itu, semoga bisa juga dinikmati oleh anak SD.

Suka

mbak sinta, tergetar membaca jurnal ini. jalan panjang yah, mba ternyata. Suami saya senang banget baca buku The Road to The Empirenya mba sinta. dan itu buku pertama rekomendasi saya yang dibaca oleh suami. Buku-buku saya yang lain cuma dilirik aja:)

Suka

selamat, ya, mbak sinta, semoga tetap dapat terus berkarya…
Impian mbak sinta tentang semakin dikenalnya pahlawan2 islam, semoga menjadi kenyataan yang tak terbantahkan. Mbak nggak sendirian, fenomena bahwa kita jauh lebih mengenal budaya atau tokoh yang disodorkan oleh barat pernah menjadi dialog panjang antara saya dan teman2 lain, mengulas keprihatinan betapa minimnya pengetahuan kita (saya) akan sejarah perjuangan para salafusshalih
Membaca kisah Takudar Khan melalui buku mbak sinta, aduhai, betapa saya merasakan cinta yang dalam kepadanya, cinta karena Allah tentunya.
Doa saya untuk mbak sinta, i want to say, uhibbukifillah, ukhti.

Suka

Jazakillah dek…tetap saling mendoakan ya. Doakan karya2 mbak barakah & best seller. Doakan mbak bisa menuntaskan cita-cita menulis tentang Takudar dan para penerusnya, kaisar Mongolia yang muslim. Jugatentang para pahlawan islam lain yang namanya sudah terdaftar dan mbak sedang memburu jejak langkah mereka untuk dijadikan novel. Doakan…

Suka

1. ternyata keberkahan melimpahi Takudar 3 ya mba…. menulis dengan niat lillahi ta’ala, Insya Alloh akan mendpatkan semuanya. mestinya itu yg hrs dipahami oleh penulis, pembuat film dinegeri kita. tidak hanya mengejar materi semata
2. pantas saja saya membacanya sampai meneteskan airmata dan berkesan bgt krn memang ditulis dengan keringat & airmata.
3. saya nunggu reinkarnasi-nya lho….

Suka

Alhamdulillah dek Iffah….doakan yag The Road to The Empire, reinkarnasi dan karya-karya mbak barakah serta best seller. Ingin rasanya dunia entertaintment kita diramaikan oleh hiburan yang membuat orang makin mengenal jatidirinya, makin tunduk pada Yang Maha Kuasa. Alhamdulillah reinkarnasi sudah terbit..

Suka

mbak sintaa, salam kenal 🙂

saya penggemar buku2 mbak sinta sejak saya smp lho mbak (tahun 2002), dari jaman buku2 mbak yang diterbitin mizan berbau remaja, sampai skrg, saya punya anak 1 dan baca buku Bulan Nararya. Salah satu yang favorit dan berkesan dalam adalah serial Takudar 😀

makasih banyak mbak sudah menuliskan artikel ini :’D
selama ini saya maju mundur dan bingung kalau fokus mau menjadi penulis harus mulai dari mana? kapan menulisnya?
tapi dengan membaca artikel2 soal proses menulis mbak, saya jadi kembali menemukan semangat itu 🙂

jazakillah khairan katsiraa

Suka

Tinggalkan komentar